Dalam perjalanan pulang menuju rumah keluarga Fabian, Sherly terus memeluk Tommy. Tak peduli lelaki itu sedang mengemudi, ia tetap mengeratkan kedua tangannya di pinggang Tommy.
"Kau yakin dengan keputusanmu ini?" tanya Tommy seraya merangkul tubuh Sherly dengan sebelah tangannya, sementara tangan satunya memegang setir mobil.
Sherly mengangguk. "Aku yakin. Yang aku inginkan sekarang hanyalah bersamamu dan tetap bersamamu." Sherly menyusupkan kepalanya di dada Tommy.
Drrttt... Drttt...
Getaran ponsel dari saku jelana jins Tommy mengekutkan Sherly. Perlahan ia melepaskan kedua tangannya, membiarkan Tommy merogoh sakunya untuk meraih ponsel. Saat pria itu berhasil mengambil benda portable itu dari saku, ia meliat nomor tanpa nama sebagai pemanggil. "Andin," katanya pada Sherly.
Sherly yang kebetulan mengintip langsung berkata, "Dari mana kau tahu itu nomor Andin?" Nadanya terdengar kesal. Entah kenapa meski Andin sudah bersikap baik, tapi rasa cemburu masih saja menyelimutinya.
"Tadi dia menggunakan nomor yang sama saat memberitahukan bahwa kau ada di rumahnya."
"Oh. Ya sudah, kalau begitu angkat saja," ketusnya.
Tommy tersenyum sayang. Tapi sebelum menyambungkan panggilannya, ia mengecup pipi Sherly. "I love you," bisiknya lalu menyambungkan panggilan Andin, "Halo?"
"Kau di mana? Apa kau sudah bertemu Sherly? Saat aku tinggal tadi dia di rumah, tapi sekarang dia sudah___"
"Dia bersamaku," jawabnya pelan seraya menatap Sherly yang sedang menatapnya, "Maaf karena tidak menunggumu. Sherly takut kalau ayahmu pulang dan melihatnya di rumah itu."
"Ya ampun, syukurlah kalau begitu. Aku pikir anak itu kabur lagi."
"Kami sedang dalam perjalanan pulang. Tapi, Andin," sergah Tommy cepat, "tolong jangan beritahu ayahmu soal ini. Sherly tidak mau orangtuanya sampai tahu kalau dia bersamaku. Kalau perlu kau jangan menceritakan bilamana kau tadi bertemu dengannya."
"Memangnya kenapa? Lagi pula Bibi juga sudah tahu. Aku takut kalau-kalau Bibi akan keceplosan pada Papa soal kedatangan Sherly tadi di sini."
"Kan kau tinggal bilang ke Bibi seperti yang aku katakan padamu. Ada masalah keluarga yang membuat Sherly kabur dari rumah. Itu sebabnya dia tidak mau lagi bertemu dengan orangtuanya," jelas Tommy.
Andin membuang napas panjang. "Baiklah kalau begitu, hati-hati ya untuk kalian berdua. Semoga kalian secepatnya bisa melewati cobaan ini."
"Ya. Sekali lagi terima kasih, Andin."
Tut! Tut!
Tommy memutuskan panggilannya. Setelah meletakkan ponselnya di depan indikator, ia menatap Sherly yang wajahnya terlihat kusut. Tommy tertawa. "Kenapa wajahmu begitu, Sayang?" Ia merangkul Sherly lagi kemudian mengecup pucuk kepalanya. Cemburu, ya?"
"Aku tidak suka kau komunikasi dengan dia." Bibirnya manyun menatap Tommy.
Tommy mengerutkan alis. "Kenapa, bukannya dia sudah menolongmu?"
Sherly menjauhkan diri dari tubuh Tommy. "Kau tahu, Jovita yang mengantarkanku ke bidan untuk aborsi adalah teman Andin. Aku curiga kalau Andinlah yang menyuruhnya melakukan itu; menghasutku hingga melakukan hal yang tidak kau suka lalu membenciku dan akhirnya kita batal menikah."
Tommy menyipitkan mata kemudian melirik Sherly. Kedua tangannya kini memegang kemudi. "Dari mana kau tahu itu temannya?"
Emosi Sherly meluap. "Aku lihat kok fotonya di kamar Andin. Aku bahkan lihat foto kamu dipajang di meja rias. Sepertinya dia masih berharap banyak padamu."
Suara Sherly yang meninggi membuat Tommy tertawa. Dengan lembut ia meraih sebelah tangan Sherly kemudian menggenggamnya. "Sudah, sudah, jangan emosi. Aku percaya, kok."
"Aku curiga kalau dia yang menyuruh Jovita. Aku yakin. Dia kan cinta mati padamu."
Tommy membawa tangan sherly ke bibirnya untuk di kecup. "Tidak boleh berpikir begitu, buktinya dia memberitahukan padaku di mana kau berada."
Sherly melepaskan tangannya. "Kau memang suka membelanya." Ia membalikan tubuh menghadap jendela. Sementara Tommy semakin terkikik karena kelucuan yang diperlihatkan Sherly akibat rasa cemburunya kepada Andin.
Tak berapa lama mereka berdua pun tiba di rumah keluarga Fabian. Tommy memasukan mobilnya ke dalam garasi, sementara Sherly masih duduk merajuk akibat pembelaan Tommy pada Andin. Melihat gadis itu tak menimbulkan reaksi apa-apa, Tommy segera mendekat dan memeluknya dari belakang. "Mau ngambek berapa lama?" Ia mengecup leher Sherly.
Dan hal itu membuat Sherly malu. "Aku belum mandi," rengeknya sambil meletakan tangan di atas tangan Tommy. Tapi bukannya berhenti, pria itu malah terus menyerang lehernya. "Hentikan, Tommy, aku belum mandi."
"Biar. Aku takkan berhenti sebelum kamu memaafkanku." Ia semakin mengeratkan pelukanya dan terus menyerang leher Sherly.
Tak tahan akan gelitikan yang diciptakan bulu halus rahang Tommy, Sherly akhirnya terbahak dan menyerah. "Iya, iya, ampun." Tawanya lepas.
"Masih mau ngambek, tidak?" Tommy menggigit pelan telinganya, sedangkan Sherly menggeleng-geleng kepala karena geli. "Ya sudah, ayo kita turun."
Sherly menurut. Setelah merapikan rambut dan dandannya yang berantakkan akibat perbuatan Tommy, mereka pun turun dari mobil dan masuk ke rumah melalui pintu samping. Tangan mereka saling menggenggam sementara tangan Tommy yang satu membawa jaket kulit yang dipakainya tadi.
"Aku takut," bisik Sherly saat mereka memasuki ruang tamu.
"Takut kenapa?" Tommy mengecup pucuk kepalanya dan terus membawa Sherly ke dalam rumah untuk menemui orangtuanya. "Mi? Aku pulang," teriak Tommy saat memasuki ruang tengah.
"Tommy! Kau pulang, Nak!" Teriakan Lisa membuat Sherly semakin takut.
"Aku takut, Sayang," bisiknya pada Tommy.
"Takut kenapa?" tanya Tommy sembari mengajak duduk Sherly di sofa panjang yang ada di ruang tengah, "Apa Mami akan memakanmu?" ledeknya.
Buk!
Tinju Sherly melayang di lengan Tommy. Dan tepat di saat itu Lisa muncul. "Tommy, Sherly? Ya ampun!" Ia mendekat untuk memeluk mereka. Sherly dan Tommy pun sama-sama berdiri untuk membalas pelukan Lisa. "Ya ampun, Sayang, kamu ke mana saja? Kami semua mengkhawatirkanmu, Nak," katanya pada Sherly kemudian mengajaknya duduk. "Bi, tolong buatkan teh untuk Tommy dan Sherly, ya."
"Baik, Nyonya," sahut si pengurus rumah yang kebetulan berada tak jauh dari situ.
"Kamu kemana saja, Sayang? Dan kenapa kamu bersama Tommy?"
Mata Sherly mulai nanar. "Maafkan aku, Mi. Aku___"
"Mami ngerti, Sayang," sergah Lisa seraya meletakkan telunjuknya di bibir Sherly, "Kau tidak usah menjelaskannya, yang terpenting sekarang kau sudah kembali." Lisa menatap Tommy yang duduk di depan mereka. "Kau menemukannya di mana?"
"Saat tiba di bandara tadi sms dari Andin masuk, katanya Sherly ada di rumahnya." Hanya itu memang informasi yang disampaikan Andin pada Tommy. Karena rindu yang terlalu menggebu dalam dirinya, ia bahkan sampai lupa menanyakan kenapa sampai Andin bisa menemukan Sherly.
"Andin? Kenapa bisa?" tanya Lisa yang duduk di samping Sherly.
Tommy memberikan kesempatan pada Sherly untuk menjelaskan. "Saat aku berada di depan toko elektronik, Andin tiba-tiba menghampiriku, Mi. Karena mungkin dia melihat aku berjalan sedikir oleng, dia menawarkan bantuan. Kami sama-sama terkejut, kemudian mataku gelap hingga aku sadar kalau aku sudah berada di mobilnya. Dia membawaku pulang ke rumahnya sampai Tommy menjemputku."
"Ya Tuahan, syukurlah. Tapi kamu tidak apa-apa kan, Sayang?" Lisa memeriksa semua tubuh Sherly. Dan tepat di saat itu si pengurus rumah membawakan dua cangkir teh untuk Tommy dan Sherly. "Minum dulu tehnya. Wajahmu masih sangat pucat."
"Bi, tolong ambilkan koperku dan Sherly, ya? Kopernya ada di mobil," kata Tommy dengan nada sopan.
"Baik, Tuan."
"Ngomong-ngomong kau sudah mengabari orangtuanya?" tanya Lisa, "Kalau belum biar Mami yang___"
"Jangan, Mi!" seru Tommy dan Sherly. Sahutan mereka yang bersamaan membuat Lisa terdiam sambil ternganga. Sherly mengodekan pada Tommy agar mengambil alih.
Pria itu pun tersenyum kemudian menatap ibunya. "Itulah kenapa aku membawa Sherly ke sini, Mi, dia tidak mau pulang. Dia tidak mau bertemu dengan orangtuanya."
Lisa menatap Sherly. "Benar, Sayang? Tapi kenapa? Ayah dan ibumu sanga mengkhawatirkanmu saat ini. Ibumu bahkan menangis-nangis saat menelepon Mami."
Sherly pun menunduk sedih, tapi dengan cepat ia menjelaskan alasannya sampai kenapa ia melakukan itu. Sherly berkata jujur terhadap apa yang pernah didengarnya. "Aku tidak perlu harta Tommy, Mi, aku butuh Tommy. Aku mencintai dia bukan karena dia banyak uang, tapi karena memang aku sangat mencintainya."
Tommy segera berdiri dan duduk di samping Sherly. "Aku juga sangat mencintaimu," bisiknya seraya meraih tangan Sherly untuk digenggam.
Lisa terharu melihat keromantisan putrnya. Sikap Tommy seperti itu sama persis seperti Charles. "Mami tidak menyalahkan orangtuamu, Sayang, karena setiap orang tua itu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tapi bagaimana dengan sekolahmu, sebentar lagi kau akan ujian, Sayang?" Nada Lisa pelan dan penuh perhatian.
"Dia sudah tidak mau sekolah lagi, Mi," kata Tommy mengambil alih, "Dan jika Mami tidak keberatan, aku dan Sherly akan menikah di Jawa. Kami akan menikah tanpa sepengetahuan orangtuanya."
Mata Lisa terbelalak. "Itu namanya kawin lari, Nak."
"Aku tahu, Mi," kata Tommy, "Tapi itulah yang kita rencanakan."
Continued___