Andin masih terdiam. Ia cukup terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Charles padanya. "Jovita? Apa yang dimaksud Om Charles adalah Jovita temanku? Tapi kenapa Om Charles bisa menyimpulkan bahwa dia punya hubungan dengan Tommy?" pikir Andin. Ia menatap mata Charles dan tepat di saat itu Ferry muncul.
"Sayang, maaf Papa lama," katanya dengan napas yang menderu, "Charles, apa kau sudah lama menunggu?"
Charles balas tersenyum. "Tidak. Kebetulan melihat Andin di sini, aku menemaninya sambil menunggumu."
Andin masih terdiam. Sementara Ferry dan Charles sudah membahas pekerjaan yang akan mereka lakukan hari ini. "Oke, Sayang, kau sudah siap?" tanya Ferry yang suara yang mampu membuat Andin terkejut.
"Akh, iya! Aku siap, Papa."
Charles menatap bingung. "Ada apa ini? Apa ada hal yang saya tidak ketahui?" ledeknya dengan wajah tersenyum.
Ferry mengambil alih. "Pak Malik sedang mencari sekertaris pribadi. Kebetulan Andin baru saja wisuda, jadi aku mereferensikan dirinya kepada Pak Malik."
"Wow, itu luar biasa. Selamat, Nak," kata Charles sambil memeluk Andin.
Andin balas memeluknya. Dalam hati ia membayangkan bahwa yang dipeluknya kini adalah Tommy. "Terima kasih, Om Charles."
Ferry tertawa. "Kalau begitu ayo kita masuk," kata Ferry pada mereka.
Charles pun bergerak menjauhi mobil. "Ayo, Andin. Kapan-kapan kita bicarakan lagi masalah yang tadi. Oke?"
Andin dan Ferry ikut berjalan. "Siap, Om."
"Sepertinya kalian punya bisnis mantap. Apa aku boleh ikut kerja sama?" ledek Ferry sambil terus melangkah memasuki gedung.
"Oh, tidak bisa. Ini bisnis rahasia," balas Charles.
"Oh, jadi sekarang main rahasia, ya?" kata Ferry. Sedangkan Andin hanya tertawa mendengar perdebatan antara kedua lelaki itu.
Charles terbahak dan tepat di saat itu ponselnya bergetar. Langkahnya terhenti untuk melihat siapa yang menelepon. "Kalian duluan saja," katanya pada Ferry dan Andin. Karena si penelepon adalah orang yang kebetulan ditunggu-tunggunya sejak tadi, Charles akhirnya memilih untuk tidak masuk dulu untuk menerima panggilannya. "Halo, kamu ke mana saja? Kenapa ponselmu dari tadi tidak aktif?"
"Maaf, Pi, aku sedang tidak enak badan," sahut pria yang ternyata adalah Tommy.
Mendengar suara putranya yang lemas membuat dada Charles seakan dipukul. "Kau beneran sakit? Apa sudah ke Dokter?"
"Belum, Pi. Aku tidak apa-apa, aku hanya kelelahan."
Entah kenapa Charles bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda pada Tommy. "Tidak biasanya kau seperti ini. Meskipun lelah kau bahkan tidak pernah mengeluh dan tetap semangat. Ada apa?" kata Charles yang yakin kalau putranya pasti berbohong.
"Aku tidak apa-apa, Pi. Aku hanya sedang ingin istirahat."
Dari suara lemas Tommy, Charles yakin bahwa putranya itu pasti sedang ada masalah. Namun, ia berharap apa yang ada dalam pikirannya tentang Tommy tidaklah benar. "Apa pekerjaanmu baik-baik saja? Kalau ada kesulitan bicaralah, biar Papi yang akan menjelaskannya pada Pak Malik."
"Tidak, Pi, tidak," kata Tommy cepat, "Ini bukan soal pekerjaan. Aku hanya ...."
"Kalau bukan karena pekerjaan, berarti karena apa?" sergah Charles.
Tommy tahu bahwa pertanyaan ayahnya itu mengandung makna ganda. Bisa jadi karena kepedulian sebagai orangtua atau karena ayahnya sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Charles pun demikian. Suara lemah dan diamnya Tommy membuat Charles yakin bahwa intuisinya sebagai orangtua pasti benar. Tommy pun tak punya alasan untuk berbohong. "Aku rasa Papi sudah tahu alasannya."
Charles bernapas lega, karena Tommy mau jujur. "Awalnya Papi dan Mami pun terkejut. Mami bahkan sempat kecewa, karena sikap Sherly yang impulsif. Tapi setelah mendapat penjelasan dari orangtuanya, Mami dan Papi bisa menyimpulkan bahwa itu masuk akal karena usia Sherly yang masih anak-anak. Apalagi kita semua sibuk dan tidak pernah memperhatiakannya," katanya pelan. Namun tiba-tiba pikiran Charles teringat pada hal lain. "Tunggu, ngomong-ngomong kamu tahu dari mana masalah ini? Siapa yang mengatakannya padamu, Tom?"
"Ada seseorang yang mengirim videonya padaku. Dalam video itu terlihat Sherly sedang berteriak kesakitan," katanya lemah.
Charles terkejut. "Video? Itu pasti Jovita! Apa yang Papi pikirkan ternyata benar. Wanita itu sengaja menghasut Sherly untuk melakukan aborsi. Sekarang kau jujur pada Papi, siapa Jovita itu? Apa dia mantan pacarmu?"
Tommy ikutan bingung. "Jovita? Mantan? Maksud, Papi?"
"Jovita. Kata Om Harry dan Tante Lenna, Sherly mengaku bahwa dia melakukan aborsi setelah bercerita dengan wanita itu. Jovita menghasutnya dengan mengatakan bahwa mantan suaminya yang kontraktor sering selingkuh jika berada di luar kota. Jadi, Papi rasa Sherly sengaja dihasut olehnya untuk menggagalkan pernikan kalian."
"Jovita, siapa dia, Pi? Aku tidak mengenalnya."
"Ya ampun, Tommy, masa kamu tidak mengenalnya? Katamu ada seseorang yang mengirim video itu saat Sherly sedang aborsi, itu berarti dia. Karena dialah yang mengantar Sherly ke tempat bidan itu dan mungkin dia juga yang mengambil videonya lalu mengirimkannya padamu. Siapa sebenarnya dia, Tommy?"
"Aku tidak mengenalnya, Pi. Sumpah!"
"Aneh, tapi kalau kau tidak mengenalnya, lantas siapa dia?" katanya pelan, "Andin! Andin mengenalnya," pekik Charles.
"Andin? Pi, jangan buat aku bingung. Aku tidak mengerti apa yang Papi bicarakan."
"Papi akan menghubungimu lagi. Papi harus bertemu Andin dan menanyakan soal Jovita. Ingat, Tommy, jangan salahkan Sherly, dia hanya diprovokasi oleh Jovita."
Tut! Tut!
Charles memutuskan panggilannya dan bergegas memasuki gedung. Namun tepat di saat itu, Harry berlari dari arah dalam gedung bertingkat itu untuk keluar. "Les, Sherly hilang," kata Harry.
Charles terkejut. "Kenapa bisa hilang?"
"Lenna baru saja menghubungiku. Katanya Sherly tidak ada di rumah. Dia sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ada. Kata Lenna dia mungkin diculik, karena pintu depan dalam keadaan terbuka saat dia pulang tadi."
Charles mengendus. "Ini pasti Jovita. Gadis itu sengaja menculik Sherly agar Tommy tidak jadi menikah."
"Jovita? Maksud kamu gadis yang mengantarkan Sherly ke tempat aborsi?" tanya Harry.
"Iya, siapa lagi? Dia juga yang sudah memberitahukan kabar ini pada Tommy. Dia bahkan mengirimkan video saat Sherly sedang melakukan aborsi itu."
"Jadi Tommy sudah tahu?" tanya Harry dengan nada terkejut.
"Iya. Dan itu sudah pasti perbuatan gadis itu. Sekarang kau pergilah, aku akan mencari tahu siapa gadis itu sebenarnya."
"Baiklah. Kabari aku secepatnya, Charles."
Charles mengangguk. Setelah Harry pergi meninggalkan kantor, ia menarik napas panjang agar kekhawatirannya tidak semakin tampak. Sambil berjalan memasuki kantor, Charles bertanya-tanya dalam hati, "Siapa Jovita itu? Dan apa maksudnya ingin menghancurkan hubungan Tommy dan Sherly?"
Di sisi lain.
Penasaran karena Charles tidak menjelaskan siapa sosok gadis bernama Jovita, Tommy kini menghubungi Lisa untuk meminta penjelasan. Dengan tubuh bagian atas yang telanjang, Tommy berjalan mendekati balkon dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. "Halo, Mi?" sapanya begitu panggilan terhubung. Sikap Tommy yang tadinya lemas, kini berubah semangat karena penjelasan Charles yang membuatnya penasaran. "Mami di mana? Sherly di mana, Mi? Siapa gadis yang bernama Jovita itu, Mami?"
Sebagai seorang ibu, Lisa bisa merasakan kekhawatiran Tommy. Namun karena tak ingin putrnya semakin panik, Lisa menarik napas untuk mengstabilkan emosinya. "Jadi kau sudah tahu, siapa yang memberitahukanmu, Nak?" Suara Lisa terdengar pelan, namun jantungnya berdebar-debar seakan takut kalau-kalau emosi putrnya akan meledak.
"Papi, Mi. Papi baru saja menghubungiku, katanya gadis yang bernama Jovita itu telah mengantarkan Sherly ke tempat bidan untuk aborsi. Benar begitu, Mi?"
Lisa semakin panik. "Kita tidak bisa menuduh, Sayang. Kalau dari pengakuan Sherly pada kedua orangtuanya, dia melakukan aborsi karena sempat terhasut oleh kata-kata Jovita. Dan katanya gadis itu juga yang menemani Sherly ke tempat bidan. Tapi kita tidak punya bukti untuk menuduhnya, Sayang."
"Aku punya buktinya, Mam. Dia pasti yang mengirimkan video itu padaku."
Lisa terkejut. "Video? Video apa, Tom?"
"Video saat Sherly sedang aborsi, Papi bilang itu pasti dia, karena dialah orang yang membawa Sherly ke tempat itu."
Lisa mulai menangis. "Ya ampun, Tommy. Apa kau tahu tempat tinggalnya di mana? Mami rasa dia cemburu pada kalian sampai dia merencakan ini semua."
"Tidak, Mam, aku bahkan tidak mengenalnya. Aku tidak punya teman wanita yang bernama Jovita. Mam tahu kan teman wanitaku hanya Andin."
Lagi-lagi Lisa terkejut. "Kalau begitu siapa dia? Dan apa maksudnya melakukan ini semua?"
"Aku tidak tahu, Mam. Kalau begitu sekarang aku pulang. Aku harus menemui Sherly dan menyelesaikan masalah ini."
"Pekerjaanmu bagaimana? Kalau kau sibuk, biar Mami dan Papi saja yang mengurus masalah ini, biar Om Harry dan Tante Lenna bisa menjaga Sherly."
Tommy menggeleng keras. "Tidak, Mi, aku sudah punya Andrew, tangan kananku. Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini. Aku penasaran, siapa Jovita itu? Dan berani-beraninya dia melakukan ini padaku," geramnya.
"Baiklah, kalau begitu kabari Mami kapan kau akan ke sini."
"Hari ini juga, Mi. Aku akan langsung beli tiket setelah menyerahkan tanggung jawabku pada Andrew."
"Oh, Tommy, Mami sendiri tak menyangka kalau semuanya akan seperti ini."
"Mami tenang saja, intinya Sherly dan aku akan tetap bersama."
Lisa terharu. "Ya sudah, hati-hati, Sayang. Kabari Mami kapan jadwal tiketnya."
Setelah mendapat balasan dari Tommy, Lisa segera memutuskan panggilannya. Merasa sedikit lega karena Tommy akhirnya tahu masalah ini dan menanggapinya dengan bijaksana, Lisa pun mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. "Ya Tuhan, semoga semuanya akan baik-baik saja."
Drrttt.... Drrttt....
Getaran ponsel mengejutkan Lisa. Dengan cepat ia menyambungkan panggilan saat melirik nama Lenna yang terpampang di layar. "Halo, Len?"
"Lisa!" Suara Lenna sedang menangis. "Sherly hilang."
"Hilang! Kenapa bisa?" pekiknya keras.
"Aku juga tidak tahu. Saat aku pulang tadi dari rumah kalian, Sherly sudah tidak ada."
"Kau yakin? Coba kau periksa semua rumah. Mungkin dia pingsan di mana atau apa?"
Lenna semakin menangis. "Tidak, Lisa, aku sudah memeriksa semuanya, tapi rumah ini kosong."
"Baiklah, sekarang kau tenang dulu. Aku akan segera ke sana." Lisa memutuskan panggilannya. "Tuhan, cobaan apa lagi yang akan Kau berikan pada kami?"
Continued___