Di rumah keluarga Fabian, Lenna sedang duduk bersama Lisa. Harry mengambil posisi bersebelahan Charles, sehingga kedua lelaki itu duduk menghadap para istri mereka.
"Lalu kenapa Sherly sampai termakan omongannya?" kata Lisa begitu selesai mendengar penjelasan Harry dan Lenna, "Harusnya kan dia bisa menilai sikap Tommy terhadapnya dan tak perlu percaya omongan orang."
Harry dan Lenna merasa bersalah. "Maafkan kami. Ini semua kesalahan kami," kata Lenna, "Seandainya saja aku terus memantaunya, Sherly pasti tidak akan se-impulsif ini."
Charles mengambil alih. "Ini bukan salah kalian. Kita semua hanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak memantau Sherly. Apalagi pikirannya masih rentan terhadap lingkungan. Jadi, memang sewajarnya gadis seusianya akan bertindak impulsif ketika ada faktor yang menyebabkan ketakutannya. Contohnya itu, perkataan si siapa dulu?"
"Jovita," balas Lisa dan Lenna secara bersamaan.
"Aku jadi penasaran tentang gadis itu," kata Harry, "Pasti dia punya maksud lain sampai-sampai menghasut Sherly."
"Kau benar," timpa Charles, "Aku juga sempat berpikir begitu. Apalagi katanya dialah orang yang membawa Sherly ke tempat aborsi."
Lenna dan Lisa saling memandang sebelum mata mereka tertuju pada suami-suami mereka. "Apa jangan-jangan dia mantannya Tommy?" kata Lenna.
Lisa menggeleng. "Tidak, Len, Tommy tidak pernah pacaran sebelumnya. Sherly adalah wanita pertama yang dia kencani."
"Kita harus mencari tahu siapa dia," kata Charles, "Dan cepat atau lambat, Tommy harus tahu masalah ini. Siapa tahu Tommy kenal dengan gadis itu." Ia meraih ponsel dari saku celana.
"Papi mau telepon siapa?" tanya Lisa.
"Tommy. Papi tidak akan mengatakan masalah ini untuk sementara. Papi hanya ingin tahu, siapa tahu Tommy punya teman bernama Jovita."
Tiga pasang mata hanya diam menatap Charles. Keputusan lelaki itu benar. Ada baiknya mereka mencari tahu siapa sosok gadis bernama Jovita itu, baru mengatakan permasalahannya kepada Tommy.
"Nomor Tommy tidak aktif. Mungkin dia sedang sibuk," kata Charles setelah berkali-kali menghubungi kontak putranya.
"Aku takut jika Tommy akan tahu masalah ini tanpa penjelasan kita," kata Lenna.
"Itu dia intinya," kata Charles, "Kalau seandainya Tommy tahu cerita ini tanpa pemberitahuan dari kita, itu berarti Jovitalah yang membocorkannya. Dan sudah jelas, bahwa gadis itu tidak suka kalau Tommy menikah dengan Sherly."
"Ya ampun, kenapa jadi seperti ini, sih? Aku juga heran, kok bisa Sherly sampai terprovokasi olehnya," kata Lenna.
"Itu karena dia masih anak-anak, Len. Sekarang kita hanya bisa berdoa, semoga ada jalan keluar untuk masalah ini. Semoga Tommy mau menerima alasan ini. Kita semua tahu bagaimana dia sangat menantikan buah hatinya?" kata Lisa dengan mata yang mulai nanar. Dalam hati ia pun merasa sangat kehilangan. Cucu pertama yang sangat ditunggu-tunggu, akhirnya hilang. "Bagaimana keadaannya? Apa dia tahu kalian ke sini?"
Lenna mengangguk. "Sebenarnya dia sendiri yang ingin menjelaskannya pada kalian, tapi karena kondisinya masih lemah, aku menyuruhnya istirahat saja di rumah."
"Untuk sementara kalian harus selalu mengontrolnya. Dia pasti cukup syok karena masalah ini. Jangan sampai dia akan berbuat hal yang tidak kita inginkan. Kehilangan bayinya sudah pasti akan membuatnya stres, belum lagi tanggapan Tommy akan masalah ini," kata Charles.
"Benar, kalian harus mengalihkan pikirannya agar tidak terlalu stres. Aku sayang Sherly seperti aku menyayangi Tommy. Aku tidak mau dia kenapa-kenapa hanya karena masalah ini. Soal Jovita, biar aku dan Charles yang akan mengurusinya. Yang terpenting sekarang kalian harus membuat Sherly pulih agar dia bisa hamil lagi."
"Aku takut Tommy akan membenci Sherly," kata Lenna, "Aku sudah jatuh cinta pada Tommy. Aku tidak mau menikahkan Sherly dengan pria lain selain Tommy. Apalagi kondisinya saat ini yang sudah.... Pasti tidak akan ada pria baik-baik seperti Tommy yang mau menerimanya."
"Jangan berkata begitu," kata Lisa, "Tommy bukan pria seperti itu. Dia pasti akan bertanggung jawab. Kau tenang saja," katanya sambil mengusap punggung Lenna.
"Kalau begitu aku dan Charles kantor dulu," kata Harry, "Ada pekerjaan yang harus kami selesaikan minggu ini."
Charles dan Harry sama-sama berdiri. "Benar, kalian tenang saja. Nanti kalau sudah ada kabar dari Tommy, Papi akan segera menghubungi Mami."
"Aku ikut," kata Lenna, "Aku harus pulang. Kasihan Sherly sendirian di rumah."
Lisa ikut berdiri. "Kabari aku kalau perlu sesuatu," katanya pada Lenna.
Lenna mengangguk pelan. "Terima kasih."
"Oke, kami pergi dulu, ya?" pamit Charles seraya mencium pipi istrinya.
"Hati-hati," katanya sambil cipika-cipiki bersama Lenna, "Jangan lupa untuk meneleponku." Ia mengantarkan mereka ke pintu depan. "Aku akan segera menghubungimu begitu dapat kabar dari Tommy."
"Baiklah, terima kasih banyak, Lisa."
"Sama-sama."
***
Setelah mengantar Lenna kembali ke rumah, Harry melanjutkan perjalanan menuju kantor bersama Charles. Mereka masing-masing membawa mobil. "Papa ke kantor dulu. Telepon Papa jika ada sesuatu?" kata Harry dari dalam mobil.
Lenna berdiri di depan pagar. "Baik, Pa, hati-hati." Dilihatnya mobil Harry dan Charles pergi meninggalkan tempat itu. Karena teringat pada Sherly, ia pun segera memasuki rumah untuk menemui putrinya. "Pintunya kok terbuka? Perasaan tadi aku menguncinya dari luar," kata Lenna saat melihat pintu depannya sedikit terbuka. Karena tak yakin akan hal itu, ia merogoh kunci dari saku celana jinsnya untuk memastikan. "Lah, ini kuncinya," katanya sambil melihat anak kunci di tangannya, "Tapi kenapa pintunya bisa terbuka, ya? Apa jangan-jangan rumah ini dimasuki maling?!"
Pikiran itu membuatnya khawatir. Dengan cepat ia mendorong pintu depan dan menghambur ke dalam rumah. Lenna terkejut dan menghentikan langkahnya saat melihat isi rumahnya yang tampak rapi. "Jangan, jangan.... Sherly!" pekiknya sambil menghambur menaiki tangga, "Sherly! Ya ampun, semoga maling itu tidak menculik anakku."
Clek!
Ia mendorong pintu kamar anaknya dan menghambur masuk. "Sherly?" Mata Lenna menghadap kasur. "Sherly? Kau di mana, Nak?" Ia menyapu isi kamar yang juga terlihat rapi. Kasur yang tadi ditempati gadis itu pun terlihat sudah diatur serapi mungkin. "Ke mana dia?" Ia berjalan menuju kamar mandi untuk memeriksa. "Kosong?!" Jantungnya mulai berdetak cepat. "Sherly, kau di mana?"
Dengan cepat Lenna menghambur keluar kamar untuk memeriksa seisi rumah. Sambil berlari-lari kecil ia memeriksa semua sudut-sudut rumah maupun halaman. "Ya Tuhan, ke mana anakku? Apa ada orang yang menculik putriku?" Sambil terus mencari gadis itu, air matanya mulai menetes.
Di sisi lain.
"Pa, aku sudah di depan kantor. Papa di mana?" tanya Andin begitu tiba di depan perusahan milik Pak Malik. Ia sedang berada di dalam mobil dengan pakaian rapi, layaknya eksekutif wanita.
"Baik, Papa akan segera turun."
"Oke, Pa. Mobil Andin di parkiran dekat pintu masuk."
Setelah mendapat jawaban dari Ferry, Andin pun segera memutuskan panggilannya. Ia mengecek lagi dandanan juga riasan wajahnya, apa ada yang berantakan atau tidak. Saat mata Andin tertuju di kaca spion, ia tidak sengaja melirik mobil Charles yang baru saja tiba. Mobil lelaki itu di parkir tepat di samping mobilnya.
Karena senang melihat Charles, Andin akhirnya keluar dari mobilnya untuk menyapa lelaki itu. "Selamat siang, Om Charles," sapanya begitu Charles keluar dari mobil.
"Eh, Andin. Selamat siang, Nak. Menunggu Papa, ya?" ledek Charles.
Andin tersenyum manis. Dan tepat di saat itu juga mobil Harry muncul dan memarkirnya tepat di samping mobil Charles. Melihat lelaki itu turun, Andin jadi teringat pada Sherly dan Tommy. "Oh iya, Om, Tommy apa kabar? Kapan dia balik?" tanyanya pada Charles.
Charles yang berdiri tepat di samping mobil kini terlihat sedih. Ia teringat akan masalah yang dialami mereka saat ini. Namun hal yang tidak mungkin jika ia harus mengatakan masalah itu pada Andin. Tapi karena gadis itu menanyakan kabar Tommy, pikiran Charles langsung teringat pada Jovita. "Kabar Tommy baik-baik saja. Proyeknya juga masih berjalan. Kalau soal balik kapan, biasanya temanmu itu datangnya tiba-tiba," katanya basa-basi.
Andin tertawa dan tepat di saat itu Harry menyapa mereka. "Selamat siang, Om Harry," sapa Andin ramah.
"Siang juga, Andin. Lagi tunggu Papa, ya?"
Andin tertawa. "Iya."
"Les, aku duluan, ya?" kata Harry, "Ada yang harus saya bicarakan dengan Pak Malik sebelum beliau keluar makan siang." Charles mengangguk. "Andin, Om duluan, ya?"
"Baik, Om."
Setelah Harry pergi, Charles akhirnya melontarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan pada Andin. "Om Charles boleh tanya, gak?"
Andin menoleh. "Boleh, Om. Mau tanya apa?"
Charles menyandarkan punggungnya di badan mobil dengan tangan yang ditautkan di depan badan. "Maslah Tommy. Toh kamu kan cukup lama berteman dengan Tommy. Apa selama ini Tommy pernah bercerita padamu tentang wanita lain selain Sherly?"
Pertanyaan Charles membuat Andin tersentak. "Wanita lain, maksud Om Charles?" balas Andin dengan wajah yang kelihatan bingung.
"Maksud Om, apa Tommy sebelum pacaran dengan Sherly, pernah menjalin hubungan dengan wanita lain? Atau mungkin ada wanita lain yang mengincarnya?"
Andin menatap skeptis. "Kenapa Om Charles bertanya begitu, ya?" pikir Andin, "Tidak ada, Om. Seingat aku sih Tommy tidak pernah pacaran selama sekolah," lanjutnya, "Bagaimana mau pacaran, orang melarang Tommy untuk dekat dengan wanita lain," kata Andin dalam hati, "Memangnya kenapa, Om?"
"Tidak apa-apa. Om hanya ingin tahu. Ngomong-ngomong selain kamu, siapa lagi teman wanita Tommy? Apa kalian juga punya teman yang bernama Jovita?"
Pertanyaan Charles yang terakhir membuat Andin refleks terkejut. "Jovita! Om Charles kenal Jovita juga?"
Charles mengerutkan dahi. "Tebakanku benar, mereka ternyata punya teman bernama Jovita," katanya dalam hati, "Kalau Om boleh tahu, apa hubungan Jovita punya perasaan pada Tommy? Sesama perempuan pasti kalian saling curhat, bukan?"
zet!
Pertanyaan Charles membuat Andin ternganga. Mimik wajahnya yang tegang membuat Charles yakin bahwa asumsinya terhadap sikap Sherly yang menyangkut Jovita pasti benar.
Continued____