Chereads / Hidden Desires / Chapter 41 - Bab 41. Pengakuan Sherly Kepada Sang Ibu.

Chapter 41 - Bab 41. Pengakuan Sherly Kepada Sang Ibu.

Charles yang melihat Lisa hendak berdiri. Ia langsung menahan tangannya dan berkata, "Mami tidak boleh begitu, Mi, Mami harus mendengarkan dulu penjelasan Sherly. Siapa tahu dia melakukan itu karena memang kesalahan Tommy. Kita tanya dulu, Mi. Mami telepon Tommy dan tanya apa yang sebenarnya terjadi."

Lisa yang emosinya tadi meledak-ledak akhirnya terdiam dan duduk kembali. Ia mencerna apa yang dikatakan suaminya. Charles benar, seandainya Sherly melakukan aborsi karena memang kesalahan Tommy sendiri, putranya itu pasti akan sangat kecewa jika tahu Sherly melakukan itu. Ada baiknya jika Tommy sendirilah yang mendengar masalah aborsi itu dari Sherly. Setidaknya penyampaian Sherly tidak ada unsur provokasi dibandingkan penyampaian Lisa.

Lisa duduk kembali. "Tapi entah kenapa perasaan mami tidak enak, Pi. Mami merasa kalau aborsi itu dilakukan bukan karena kesalahan Tommy." Ia mengubah posisi duduknya menghadap Charles. "Papi tahu, kan, bagaimana cinta Tommy terhadap Sherly? Saat tahu gadis itu sakit saja dia langsung terbang ke sini dan meninggalkan pekerjaannya. Jadi mami yakin sekali kalau Tommy tidak melakukan kesalahan apa pun yang membuat Sherly mengambil keputusan secepat itu. Apalagi dia masih anak-anak, dia pasti akan mengadu kepada kita atau orangtuanya jika seandainya Tommy menyakitinya."

"Lalu menurut Mami Sherly melakukan itu karena apa?"

Lisa menghadap lurus ke depan. "Entalah, Pi, yang jelas mami yakin jika itu bukan kesalahan Tommy."

Di sisi lain.

Dalam perjalanan menuju kontrakan Tommy tampak gelisah. Sedari tadi ia menghubungi kontak Sherly, tapi tak dapat dihubungkan. Sudah dicoba berulang-ulang pun hasilnya tetap sama.

Karena hari ini adalah hari pertama bagi Tommy untuk mengenalkan Andrew mengenai pekerjaan dan tanggung jawabnya, Tommy tak sempat menghubungi Sherly saat pagi hingga siang. Sore pun diganti untuk makan siang, karena jam makan siangnya digunakan untuk pekerjaan yang cukup menyita waktu. Akhirnya saat memiliki waktu luang di sore hari, ia pun tak sempat menghubungi Sherly karena asik mengobrol dengan Andrew. Alhasil, di jam 8 malam sekarang ini Tommy menghubungi kontak Sherly, tapi, "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan." Tommy akhirnya menyerah setelah kesekian kalinya. Dilepaskannya ponsel secara asal di depan indikator, tepatnya di bawah setir mobil.

"Ada apa?" tanya Andrew. "Siapa yang kau telepon?" Andrew menatapnya dengan alis mengerut.

"Kontak Sherly dari tadi tak bisa dihubungi."

"Sherly? Apa kalian bertengkar?"

Tommy meliriknya. "Tidak! Belasan tahun pacaran kami bahkan tidak pernah bertengkar." Tommy kembali fokus mengemudi. "Tapi ini sudah kesekian kali kontaknya tidak aktiv." Wajahnya muram.

"Mungkin batreinya habis."

"Tidak, Andrew," bantah Tommy. "Kalau benar ponselnya lowbat, masa bisa berjam-jam kontaknya tidak aktiv. Ini sudah keseringan. Dan lihat saja, sampai tengah malam nanti pasti kontaknya tak bisa dihubungi. Aku rasa sejak hamil dia jadi aneh."

"Aneh bagaimana?" Lagi-lagi Andrew menatap bingung.

"Waktu pertama kali saat mengatakan bahwa dirinya sakit, sejak saat itulah kontaknya sering tidak aktiv. Aku bahkan sampai menghubungi tante Lenna dan alasannya sama denganmu. Batreinya habis." Ditatapnya wajah Andrew yang masih menatapnya. "Apa menurutmu dia sebenarnya tak menginginkan hal ini?" Ia kembali menatap lurus.

"Maksudmu? Maaf, tapi aku tidak mengerti, tak menginginkan hal apa?"

"Apa menurutmu Sherly tak menginginkan kehamilannya?" Ia melirik Andrew sekilas.

Andrew mendekikan bahu lalu menatap lurus. "Aku tak bisa berkomentar, karena yang lebih tahu tentang hal itu adalah dirimu. Kau kan pacarnya, kau pasti lebih tahu apa yang ia ingin dan tidak inginkan. Dan kalau seandainya dia tidak mau hamil, pasti dia sudah menolaknya sejak awal. Aku rasa kebiasaan itu hanya muncul karena pembawaan sedang hamil."

"Pembawaan hamil bagaimana?" Tommy meliriknya.

"Iya, wanita yang hamil muda kan suka aneh. Ada yang tidak mau berhadapan dengan suamilah, tidak mau mencium aroma masakanlah, bahkan ada yang tidak mau melihat sinar matahari. Apa menurutmu itu tidak aneh?"

Tommy tersentak. "Ah, masa, sih? Kau tahu dari mana? Kau sendiri, kan, belum menikah."

"Aku tahu dari nyokap. Adikku saat hamil muda juga seperti itu katanya." Ia menatap Tommy. "Kalau kau tak percaya, coba kau tanya ibumu, bagaimana sikap beliau waktu hamil padamu."

Tommy balas meliriknya. "Masa, sih? Aku jadi penasaran."

Andrew yang duduk tepat di samping Tommy merasa kalau sahabatnya itu tidak yakin dengan penjelasannya tentang wanita hamil yang aneh. Merasa perlu menenangkan Tommy, ia pun berkata, "Tapi apa kau yakin hubungan kalian baik-baik saja? Kalau adikku, dia memang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya sampai usia kandungannya 5 bulan, tapi setiap hari dia tak pernah absen menelepon suaminya itu. Dia bahkan akan mengamuk kalau suaminya lama merespon."

"Hubungan kami baik-baik saja, Andrew. Setiap kali kita bicara via telepon, dia malah tidak pernah keberatan atau membahas tentang jarak di antara kita maupun kesibukan yang kadang seharian aku lupa mengabarinya. Kau tahu sendiri, kan, bagaimana sikap anak sekolahan?"

"Seharian?! pekik Andrew. "Jadi kau pernah tidak mengabarinya seharian?"

Di saat yang sama Tommy memasukan mobilnya ke halaman luas di depan kontrakkannya. Setelah memarkirkan mobil di dalam garasi dan mematikan mesin ia menjawab pertanyaan Andrew, "Iya, tapi hanya 2 kali seumur hidupku. Dan keesokan harinya aku menjelaskannya secara spesifik dan dia sama sekali tidak keberatan."

Tommy keluar dari mobil. Andrew juga melakukan hal yang sama. Setelah mengunci mobil dan pagar, Tommy berjalan memasuki rumah kecil yang elegan itu sambil menceritakan tentang sikap Sherly yang begitu pengertian dan perhatian.

Andrew mencernahnya dan mengangguk lalu melontarkan beberapa pendapat yang menurutnya harus Tommy tahu. "Tapi jangan salah, Tom, wanita itu biasanya berkata iya, tapi beluk tentu mereka setuju." Ia melihat Tommy yang sedang membuka pintu rumah. "Kau mengerti maksudku, bukan? Wanita itu biasanya mendengar dan memberi respon setuju saat kita menjelaskan, tapi sebenarnya dalam hati mereka marah dan ujung-ujung merajuk untuk minta dibujuk. Bukannya aku beranggapan Sherly seperti itu, ya? Tapi toh Sherly kan masih anak-anak, apalagi katamu dia sangat manja. Jadi, kemungkinan dia sering menon-aktivkan ponselnya karena marah padamu dan mau kaulah yang menghubungi untuk membujuknya."

Tommy mencerna perkataan Andrew sambil berjalan memasuki ruang tamu. Rumah kontrakkan yang dihuninya itu tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Rumah yang hanya 1 lantai itu terdiri 3 kamar. Tommy menggunakan kamar utama sebagai tempat istirahatnya, kamar yang ke-2 dijadikan tempat penampungan pakaian sekaligus ruang ganti, sementara kamar yang ke-3 kosong dan sekarang sudah dihuni oleh Andrew. Rumah itu memiliki ruang tamu yang tak terlalu besar. Dapurnya juga bersih dan cukup luas dengan dapur set, peralatan masak dan makan yang serba baru, yang sudah disediakan pemilik rumah untuk Tommy saat pertama ia mengontrak rumah itu.

Tommy mengajak Andrew duduk di sofa panjang berwarna cokelat di ruang tamu. Ia melepaskan tas laptopnya lalu menatap Andrew yang juga baru saja duduk tepat di sampingnya. "Kalau seperti yang kamu bilang orang hamil suka aneh, aku rasa kebiasaan Sherly akhir-akhir ini ada hubungannya dengan itu, karena kalau soal bertengkar, kami berdua sama sekali tidak pernah melakukan itu. Bahkan beradu mulut saja tidak pernah. Kau tahu aku, kan? Aku akan mengalah demi apa pun kemauannya. Dan kebiasaan itu muncul belakangan saat tahu dia hamil."

"Makanya, jadi kau juga jangan berpikir macam-macam jika seandinya ponselnya tidak aktiv, kan tidak selamanya juga dia mematikan ponselnya dan tak mau bicara denganmu," ledek Andrew.

Tommy terkekeh. "Kau benar. Besok pasti ponsel sudah bisa dihubungi."

Andrew menepuk bahu Tommy. "Biasanya kalau sudah mendekati pernikahan, banyak ujian yang akan dihadapi setiap pasangan. Jadi kau harus sabar."

***

Keesokan harinya Sherly siuman tepat di jam 8 pagi. Lenna yang setia menjaganya sejak semalam tertidur di kursi sambil memegang tangan Sherly. Sekarang ia terjaga ketika tangan Sherly mengusap kepalanya dengan suara pelan memanggil, "Mama?"

Lenna langsung berdiri. "Ada apa, Sayang? Apa yang kau rasakan?"

"Aku ingin pulang, Mama."

"Baiklah, mama telepon papa dulu, ya?" Lenna mendorong kursinya ke belakang. Diraihnya tas hitam dan merogoh ponsel dari dalam.

Harry yang sejak semalam marah-marah meninggalkan istri dan anaknya di rumah sakit, sehingga Lenna terpaksa menjaga Sherly sendirian sampai putrinya sadar. "Halo, Pa? Sherly sudah sadar," kata Lenna begitu sang suami menyapa.

"Apa kau sudah menanyakan alasan kenapa dia melakukan aborsi?"

Lenna melirik Sherly yang sedang menatapnya. Karena tak ingin gadis itu mendengarkan pembicaraan mereka, ia terpaksa membalikan tubuhnya dan keluar kamar. "Kau gila! Dia baru saja sadar, mana mungkin aku menanyakan hal itu sementara kondisinya masih sangat lemah," pekiknya pelan.

"Aku tidak mau tahu, Lenna. Kalau kau tidak mau menanyakan alasannya sekarang juga, aku sendiri yang akan menanyakannya begitu tiba di rumah sakit."

"Aku tahu! Tapi setidaknya berikan dia waktu sampai kita tiba di rumah nanti."

Tut! Tut!

Lenna memutuskan panggilannya. Diraihnya handle pintu lalu masuk kembali ke ruangan VIP yang memang dikhususkan untuk Sherly. "Kau yakin ingin segera pulang?" tanyanya sambil mendekati brangkar pasien yang ditempati Sherly.

"Iya, Ma," katanya pelan. Dilihatnya wajah Lenna yang balas menatap wajahnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Menyadari jika dokter pasti sudah buka mulut membuat mata Sherly nanar. "Dokter bilang apa, Ma?" tanyanya skeptis.

Lenna kembali merapatkan kursinya dan duduk sambil menggenggam tangan Sherly. "Apa benar kau melakukan aborsi?" Raut wajah Sherly membuat Lenna yakin jika tebakannya itu benar. Tapi dengan cepat ia berkata, "Mama tidak akan marah jika kau mau jujur kenapa sampai kau melakukan itu? Dan siapa yang menyuruhmu melakukan itu?"

Air mata Sherly merebak. Dibukanya kedua tangan lebar-lebar seakan menyuruh Lenna memeluknya. "Maafkan aku, Ma, aku... aku tidak bermaksud melakukan itu. A-aku... aku hanya tidak mau To-Tommy..."

"Tommy kenapa, Sayang?" sergah Lenna seraya melepaskan pelukannya. "Tommy kenapa? Apa dia menyakitimu? Apa kalian bertengkar?"

Sherly menggeleng. "Kami tidak bertengkar, Ma, hubungan kami baik-baik saja. Ini semua salah aku, Ma. Aku yang terpengaruh dan mempercayai kata-kata Kak Jovita. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku, Mama."

"Kak Jovita? Siapa dia?"

"Aku tidak begitu mengenalnya, Ma. Aku dan dia bertemu di caffe saat aku pulang sekolah. Dia wanita janda yang pernah kecewa terhadap kontraktor. Katanya, dia dan suaminya bercerai karena suaminya tugas di luar kota dan akhirnya selingkuh." Sherly kembali menangis. "Aku takut Tommy seperti itu, Ma. Jadi aku memutuskan untuk aborsi agar aku tak jadi menikah dengannya."

"Ya ampun, Sherly, tidakkah kau berpikir bahwa tindakkanmu itu telah merugikan banyak orang? Terutama dirimu. Kau tahu sendiri, kan, bagaimana Tommy sangat mencintaimu. Bisa-bisa dia akan marah kalau tahu kau melakukan hal itu tanpa bukti yang jelas." Sherly menangis dan Lenna memeluknya. "Semuanya sudah terlambat, Sayang, kau sudah mengecewakan banyak orang."

"Maafkan aku, Ma. Aku takut... aku takut Tommy akan meninggalkanku, Ma."

Diusapnya punggung Sherly. "Sekarang tenanglah. Nanti kita akan bicarakan hal ini dengan, Papa begitu tiba di rumah."

Continued___