Chereads / Hidden Desires / Chapter 36 - Bab 36. Niat Jahat.

Chapter 36 - Bab 36. Niat Jahat.

Drtt.... Drtt....

Dering ponsel mengagetkan Andin. Dengan cepat ia meraih benda yang casingnya berwarna merah itu lalu melihat layar. "Jovita?" lirihnya. Ia sangat berharap orang yang meneleponnya itu adalah Tommy, tapi ternyata bukan. Dengan lemah ia pun menjawab. "Halo, vi?"

"Ha... Hei, ada apa? Kenapa suaramu begitu? Habis nangis, ya?" Pertanyaan Jovita membuat Andin kembali terisak. "Apa yang terjadi? Maukan kau menceritakannya padaku?"

Setelah menghentikan tangisannya, Andin mulai menceritakan apa yang menyebabkan ia menangis.

"Apa?" pekik Jovita. "Sherly hamil?"

"Iya. Dan 2 bulan lagi mereka akan menikah."

"Dan kau diam saja?" bentak Jovita.

"Maksudmu?" Andin terkejut.

"Ya ampun, Andin. Kau harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Masa iya sih kau ingin melihat pria yang kau cintai menikah dengan wanita lain."

"Aku rasa mereka memang berjodoh, Vi. Aku juga sudah ikhlas." Pembohong! Padahal ia baru saja menangis tersedu-sedu.

"Kalau aku jadi kau aku takkan merelakannya. Aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan Tommy kembali. Kau harus berpatokan dengan apa yang pernah dia lakukan padamu. Dia tidak akan mungkin menciummu kalau dia tak menyukaimu, Andin. Jadi harusnya kau melakukan sesuatu untuk merebutnya."

Andin tertarik. "Me-melakukan sesuatu bagaimana maksudmu, Vi?"

"Kita dekati Sherly. Toh Tommy tidak ada di sini. Lagi pula kau juga kan sahabatnya, aku rasa Tommy akan senang kalau kau perhatian pada calon istrinya," kata Jovita lalu tertawa.

"Perhatian? Maksud kamu aku harus memberinya perhatian seperti mamak-mamak, gitu? Ogah, ah!"

Jovita terbahak. "Si Sherly itu kan masih SMA, otomatis pikirannya masih anak-anak. Jadi, ayo kita goda dia, kita hasut dia biar dia menilai bahwa menikah muda itu bukanlah hal yang indah. Pokoknya kita cuci otaknya dan bilang kalau menikah muda itu tidak baik untuk masa depan, karena selain masa mudanya yang terampas, hidupnya tidak akan bebas karena harus mengurus anak dan suaminya. Dengan begitu, dia pasti akan menolak untuk menikah."

"Kau gila! Aku tidak mau. Aku tidak mau merusak hubungan mereka. Lagi pula Tommy sudah pernah mengatakan padaku bahwa jangan pernah mengganggu hubungan mereka."

Jovita tertawa. "Kau itu pintar, tapi otakmu tak berfungsi. Aku tidak percaya kalau itu benar-benar Tommy. Seorang lelaki, entah itu orang lain atau sahabatnya, akan memilih mengabaikan daripada menyakiti perempuan dengan kata-kata seperti itu. Siapa tahu saja pas kau mengirim pesan padanya, tapi ponselnya pada Sherly.

Andin terdiam sesaat. Ia kembali merangsang semua kenangannya bersama Tommy semasa sekolah. Lelaki tidak pernah membentak, bahkan menyakitinya dengan kata-kata kasar pun tidak pernah sekalipun. Lelaki itu justru akan diam saja kalau Andin sudah mengomel soal keterlambatannya saat menjemput pulang sekolah. "Kau benar. Tapi... hidup seseorang kan tak selamanya sama. Siapa tahu Tommy berubah dan sikapnya sudah lebih tegas."

"Ya ampun, Andin. Ya sudah. Kau diam saja di rumah. Nanti kalau misiku sudah berhasil, aku akan mengabarimu nanti. Oke? Doakan agar aku berhasil membuat Tommy kembali padamu."

"Jangan gila, Jovita! Apa yang akan kau lakukan?"

"Merusak hubungan Tommy dan Sherly."

"Hei! Apa-apaan kau ini? Jangan lakukan itu, Jovita. Biarkan saja mereka..."

Tut... Tut...

Jovita menutuskan panggilannya. Andin terkejut. "Halo, Vi? Halo?!" Andin mencoba kembali menghubunginya. Ditekannya radial dan memanggil kontak Jovita.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan. Coba...."

Tut... Tut...

Andin kesal. Ia mencoba terus menghubungi Jovita namun hasilnya sama. Saat kelima kali panggilannya masih hasilnya tetap sama, Andin menyerah. Dengan kesal ia melemparkan ponsel secara asal ke atas kasur. "Apa yang akan dilakukannya? Aku harap dia tidak akan mencelakakan Sherly."

****

Keesokan harinya Sherly masuk sekolah seperti biasa. Sesuai janjinya kepada guru BK, pagi itu ia langsung ke ruangan guru untuk menemuinya. "Selamat pagi, Bu."

"Pagi, Sherly. Ayo masuk."

Sherly pun duduk di hadapan bu guru. Ia mengeluarkan unek-unek dalam dirinya karena masalah ini. Sebagai guru, wanita itu tidak bertindak impulsif. Beliau memberikan toleransi satu bulan lagi agar Sherly bisa menyelesaikan masalahnya.

"Begini saja, ibu akan bicara dengan kepala sekolah mengenai hal ini. Sebelum rapat dewan, ibu akan minta toleransi pada beliau. Dan semoga saja beliau mau menerimanya."

"Ibu yakin kepala sekolah akan menyetujuinya?"

"Ibu tidak yakin, Sherly. Aturan tetaplah aturan. Tapi setidaknya ibu berharap kau dapat toleransi karena kau siswi kelas 3. Kau banyak berdoa saja semoga kepala sekolah bisa memeberikanmu keringanan sampai ujian nanti."

Mata Sherly cemerlang. "Baik, Bu. Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Sekarang masuklah ke kelasmu."

Sherly menurut. Ia pun pergi ke kelasnya dan berdiam diri di sana. Jika biasanya dia selalu mengelilingi sekolah bersama teman sebangkunya, kini justru ia hanya duduk manis dalam kelas dan makan pun di dalam kelas. Ia jadi malas. Pembawaan hamil membuat sikap Sherly berubah. Hal itu bisa dirasakan oleh teman sebangkunya.

"Kau sakit apa, Sherl? Kau kelihatan pucat dan lemas." Dilihatnya Sherly mencium minyak kayu putih. "Kau... kau tidak sedang hamil, kan?"

Kepala Sherly tersentak. "Apa yang membuatmu berkata begitu?"

"Maafkan aku. Habisnya kau suka cium minyak kayu putih. Kata mamaku orang yang suka cium minyak kayu putih itu hanya orang yang sedang hamil."

Lagi-lagi Sherly terkejut. Dadanya langsung berdebar. Ia ketakutan. Ibarat pelaku kejahatan yang keterangannya diketahui polisi saat sedang diintrogasi. Tak ingin temannya semakin curiga, Sherly segera berdiri dan mendorong kursinya ke belakang. "Aku mau ke kantin, mau ikut?"

Temannya itu pun setuju. Dan mulai saat itulah Sherly memutuskan untuk melakukan giat seperti biasanya; mengelilingi sekolah dan bersarang di kantin saat jam lowong dan istirahat.

Hal itu ternyata membuatnya cepat lelah dan nafsu makan semakin meningkat. Akibatnya, saat ia mangkal di kantin, semua yang ia sukai diborongnya, baik makanan, cemilan, maupun minuman. Hanya dalam waktu seminggu kemeja sekolahnya sudah tak bisa dikancing lagi. Di rumah juga Sherly sering menyuruh Lenna untuk memasak makanan yang ia sukai. Dan akhirnya berat badannya pun naik drastis.

Tanpa disadarinya, setiap kali ke sekolah semua orang sering memerhatikannya. Beberapa guru yang sudah tahu memilih mengabaikan karena mereka tahu bahwa Sherly adalah calon mantunya keluarga Fabian. Namun ada beberapa siswi yang memang tidak suka padanya sering mengeluarkan singgungan-singgungan yang membuat Sherly merasa harga dirinya direndahkan.

"Kau hamil, ya?" kata salah satu wanita pada teman di depannya saat Sherly sedang duduk menikmati makanan di kantin tepat di samping mereka. Sherly tak menoleh, tapi dia mendengar dan menyimak setiap kata yang diucapkan.

"Iya nih. Aku hamil."

"Berapa bulan? Apa pacarmu akan tanggung jawab."

"Mungkin lima bulan. Aku sendiri tidak tahu. Habisnya selama ini dia tidak pernah muncul lagi."

Sherly yakin jika perkataan itu dilontarkan untuk dirinya. Dan sudah berminggu-minggu ini mereka memang tidak pernah melihat lagi Tommy yang selalu mengantar dan menjemputnya sepulang sekolah. Mungkin maksud si wanita yang mengatakan 'Slama ini dia tidak muncul lagi.' Mengira bahwa Tommy tak bertanggung jawab. Kalau Sherly sendiri kan tahu dari pihak Tommy akan menikahinya, tapi toh para siswi itu tidak tahu bahwa Tommy adalah pria yang bertanggung jawab. Dan hal yang tidak mungkin jika ia berteriak di seantero sekolah untuk mengumumkan pernikahan mereka. Hal yang ingin dilakukannya adalah diam saja sampai waktunya tiba.

Sherly ingin sekali mengabaikan hujatan mereka, tapi rasa malu yang cukup tinggi membuat pikirannya kembali stres. Ia tak ingin dipermalukan. Ia mau pulang dan mengurung diri agar tidak bisa melihat tatapan tidak suka juga hujatan-hujatan yang dilontarkan padanya meski tidak secara langsung.

"Memangnya kau mau menikah muda?" kata si wanita itu lagi.

"Sebenarnya tidak, tapi apa boleh buat, aku sudah hamil."

Mereka sama-sama tertawa. "Kalau aku jadi kau, aku tak mau menikah muda," kata si wanita dengan nada mengejek. Matanya melirik ke arah Sherly.

"Memangnya kenapa? Kan bagus jika masih muda kau sudah punya anak."

"Ogalah! Enak saja aku sudah lelah mengurus anak di rumah, suamiku malah keluyuran dan cari wanita lain." Ia tertawa dan diikuti oleh teman-temannya yang lain.

Sherly tak tahan lagi. Ia segera melepaskan sendok dan garpunya lalu meninggalkan kantin. Teman sebangkunya yang kebetulan ada di situ langsung menghampiri ketiga gadis yang sedang terbahak karena berhasil membuat Sherly kesal.

"Kalian keterlaluan. Aku harap kepala sekolah tidak akan mengeluarkan kalian dari sini karena sudah menghujat calon menantunya Bapak Charles Fabian."

Salah satu siswa yang mendengar nama itu langsung terkejut. Setelah teman sebangku Sherly menyusul gadis itu, bisik-bisik terjadi di antara ketiga wanita tadi. "Jadi dia calon istrinya Tommy Fabian?"

"Ya Tuhan, Om Charles itu kan investor terbesar di sekolah ini."

"Mampuaslah kita."

Di sisi lain.

Karena tak tahan menerima sikap seperti tadi, Sherly pun langsung ijin pada wali kelas untuk pulang lebih awal. Sang guru yang juga sudah tahu tentang kondisinya sejak awal langsung mengiyakan. Namun karena waktu masih terlalu cepat, Sherly berniat akan mampir ke Menk's Caffe sampai jam sekolah usai. Ia pun berjalan kaki ke sana. Dan seperti biasa, kalori yang dikeluarkan saat jalan kaki meminta untuk diberikan asupan lebih untuk mengganti kalori yang hilang.

Sherly memilih duduk di sofa pojok dekat jendela. Ia sendirian dan sang pelayan langsung mendekat untuk memberikan daftar menu. Setelah memesan semua makanan yang ia suka, Sherly kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran dan mulai memainkan ponsel.

"Halo?" Suara wanita menyapanya. Sherly mendongak menatap wanita berambut panjang yang sedang berdiri di hadapanya. Wanita itu cantik, rambutnya cokelat dengan dandanan yang sepertinya pegawai kantoran. "Kau sendirian?"

Alis Sherly mengerut. "Kamu siapa?"

"Aku Jovita. Aku ingin makan siang di sini bersama temanku, tapi dia tidak jadi datang. Apa kau sedang menunggu seseorang?"

Sherly menegakkan tubuhnya. "Tidak. Aku juga sendirian."

"Kalau begitu, kau tidak keberatan bukan kalau aku duduk di sini bersamamu?"

Sherly mengangguk. "Silahkan."

Continued___