Tiga hari kemudian, kesehatan Sherly sudah membaik. Mulas dan pusingnya sudah mulai berkurang. Namun, karena sudah 5 hari tidak masuk sekolah, hari ini ia bersekeras akan masuk sekolah karena takut ketinggalan pelajaran. Tommy yang awalnya sangat khawatir, akhirnya mengijinkannya.
"Kalau ada apa-apa langsung telpon mami atau mama, ya?" katanya pada Sherly.
Saat ini Tommy sedang menyetir mobil menuju sekolah. Setelah dari sana ia akan langsung menemui Pak Malik lalu ke bandara dan kembali mengerjakan tugasnya yang mungkin berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun akan selesai. Namun kesibukan itu tidak membuat Tommy memudarkan kualitas asmaranya dengan Sherly. Jika sebelumnya lelaki itu sangat romantis, kini setelah tahu Sherly hamil, ia malah menjadi pria yang semakin romantis dan super protektif.
"Ingat, jangan terlalu lelah. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, mami atau mama. Jangan makan sembarangan dan kalau lelah sebaiknya kau pulang istirahat dan..."
"Iya, iya," potong Sherly. "Kau sekarang jadi bawel ya seperti mama."
Tommy tersenyum lebar. "Maafkan aku, Sayang. Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan anak kita." Ia mengusap kepala Sherly.
Saat ini mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah. Karena hari ini adalah hari perpisahan mereka berdua, Tommy memanfaatkan 15 menit dalam mobil untuk bermesraan dengan Sherly. Dibelainya buah dada Sherly yang mulai berisi. "Setelah hamil, kau tambah cantik dan berisi, ya?"
Sherly tersipu malu. "Kau juga semakin tampan."
Tommy tersenyum dan langsung mencondongkan badannya. Ia mencium bibir Sherly. Awalnya hanya belaian bibir biasa, kini menjadi lumatan penuh hasrat yang seakan membangunkan dewa-dewi gairah dalam diri mereka. Tak ingin terbawa oleh hasrat yang menggebu-gebu, Tommy pun segera melepaskan ciumannya.
Sherly tampak kecewa, namun Tommy segera mendaratkan kecupan lembut di dahinya yang berhasil membuat Sherly tersenyum manis. "Jaga kesehatan. Ingat, pokoknya kau..."
Sherly memagut bibir Tommy. Setelah Tommy terdiam dan mulai menggerakan bibirnya untuk membalas ciuman itu, Sherly segera melepaskan bibirnya. Kali ini Tommy-lah yang tampak kecewa. Sherly terkikik. "Kau sudah seribu kali mengingatkanku tentang hal itu, Tom. Aku ingat semuanya, jadi kau tak perlu lagi mengulainginya."
Tommy terbahak. "Baiklah, sekarang turunlah. Aku akan bertemu Pak Malik dulu."
"Siapa yang akan mengantarkanmu ke bandara?"
"Supirnya mami."
Tatapan Sherly berubah sedih. "Jangan nakal, ya, di sana?"
Tommy menggenggam tangannya. "Tidak, Sayang, untuk apa aku nakal sementara di sini ada wanita cantik yang sebentar lagi akan menjadi istriku."
Lagi-lagi wajah Sherly merona merah. "Tapi kan di sana banyak cewek cantik. Siapa tahu mereka bergenit-genit padamu hingga kamu tergoda." Bibir Sherly mengerucut.
Tommy terbahak membuat Sherly kesal melihatnya. Setelah tawanya selesai, Tommy langsung merapatkan wajahnya dan berbisik, "Aku tidak akan tergoda pada siapa pun, kecuali pada wanita berbokong besar dan memiliki goyangan yahut seperti Sherly Meysa."
Mata Sherly terbelalak. "Dasar mesum! Sudah, ah." Sherly bergerak keluar, tapi Tommy menahannya.
"Tidak ingin menciumku dulu?" katanya pelan.
Karena tatapan Tommy yang memang sengaja dipasang untuk menggodanya, Sherly pun tersenyum dan langsung mengalungkan tangannya di leher Tommy.
Setelah melampiaskan kerinduan untuk terakhir kalinya, mereka pun akhirnya berpisah di depan gerbang sekolah.
Sherly masuk ke halaman sekolah dengan pakain putih abu-abunya yang kini semakin ketat di badannya. Kemeja putih yang biasanya dipakai itu sedikit longgar, kini sedikit mengetat di bagian buah dadanya yang mulai berisi. Rok abu-abu yang dipakainya juga terlihat sedikit ketat di bagian bokong.
Perubahan dalam diri Sherly ternyata diketahui oleh salah satu guru yang merupakan guru BK mereka. Setelah jam istirahat Sherly dipanggil untuk menghadap.
Tok... Tok...
"Semalat siang, Bu,"
Sang ibu guru sedang duduk di depan mejanya. Saat mendengar bunyi ketukan pintu, wanita itu langsung melepaskan bolpoinnya dan menatap Sherly. "Siang. Masuklah, Sherly."
Sherly pun menurut. Ia menarik kursi dari bahan stainless yang memiliki sandaran empuk lalu mendudukan dirinya di sana. Ia berhadapan dengan si guru BK.
Guru BK itu menatap Sherly seakan memborong semuanya. Dilihatnya bagian depan kemeja gadis itu yang mengetat lalu kembali ke wajah yang pipinya sudah mulai berisi. "Kau tahu alasan kenapa ibu memanggilmu ke sini?"
Sherly menggeleng. "Maaf, Bu, aku tidak tahu."
Guru itu menyandarkan punggungnya di kursi. "Maaf, Sherly, ini memang bukan urusan ibu, tapi sebagai Guru Bimbingan Kesiswaan, sudah sewajarnya ibu menanyakan hal ini padamu."
Sherly menyimak. Tatapannya polos seakan pasrah apa yang akan dilontarkan sang guru.
"Kau sedang hamil, kan?"
Sherly terkejut. Raut wajahnya yang tadinya biasa-biasa saja kini menegang. "I-ibu tahu?"
Guru yang memiliki rambut hitam beruban dan berkaca mata itu tertawa. "Sherly, aku ini sudah menjadi orang tua. Anak ibu 3 dan mereka sudah lebih dewasa darimu. Bahkan 2 di antara mereka sudah menikah. Ibu sudah melewati masa-masa ini berkali-kali. Dan tanpa kau memberi tahu, ibu pasti akan tahu gejala-gejalanya ."
Sherly menunduk malu. Sambil menatap jari yang ada di atas pangkuannya, ia berharap si guru BK itu tidak akan mengatakan hal-hal yang mempengaruhi pelajarannya. Apalagi ujian tinggal 6 bulan lagi, ia tidak mau diskors.
"Jujurlah dan ceritakan pada ibu, siapa tahu ibu bisa membantumu."
Saat itulah kepala Sherly mendongak menatap si guru. "Ya, Bu, aku hamil."
"Berapa bulan?"
"Masuk dua bulan, Bu."
"Apa orang tuamu tahu?"
Sherly mengangguk. "Orang tua dari kedua belah pihak sudah tahu."
"Lalu?"
Pertanyaan bernada datar dengan wajah yang terlihat garang membuat Sherly menelan ludahnya dengan gugup. "Kami akan segera menikah, Bu."
Si guru mengangguk. "Baiklah, itu kabar baik. Tapi, Sherly..." Dilihatnya wajah Sherly yang semakin pucat, "apa kamu tahu sanksi-nya bagi siswi yang kedapatan hamil?"
Sherly menggeleng pelan. "Tidak, Bu." Ia memang tidak tahu. Tommy yang juga selaku anak investor terbesar di sekolah itu tidak mengatakan apa-apa soal sanksi yang akan diterima seandainya pihak sekolah tahu jika dirinya hamil.
Guru itu menarik napas panjang. Ia mencondongkan badan agar volume suaranya bisa dipelankan. "Soal kehamilanmu itu bukan wewenang ibu untuk menyuruhmu mempertahankan atau mengugurkannya, apalagi katamu orang tua kalian sudah tahu dan setuju. Tapi sebagai Guru BK yang menaati aturan-aturan sekolah, mau tidak mau ibu harus memberikanmu sanksi atas aturan yang kau langgar ini, Sherly."
"Sanksi? Sanksi apa, Bu?"
"Suatu saat, entah itu kapan, tapi yang jelas pihak sekolah akan dengan terpaksa mengeluarkanmu dari sekolah ini atas pelanggaran yang kau buat, Sherly. Aturan di sekolah ini mengatakan bahwa, tidak diperbolehkan bagi siswi hamil untuk berada di area sekolah. Karena selain mencoreng nama baik sekolah, hal itu juga akan berdampak buruk bagi siswa-siswi yang lain."
"Me-mengeluarkan? Apa tidak bisa menunggu sampai aku selesai ujian, Bu? Toh ujian tinggal 6 bulan lagi."
Guru itu menggeleng. "Saat ini saja seandainya kepala sekolah tahu tentang kesalahanmu, pasti beliau akan langsung mengadakan rapat dengan dewan sekolah untuk mengeluarkanmu. Perutmu semakin hari semakin besar, Sherly."
Sherly menatap sedih. "Kalau begitu apa yang harus aku lakukan, Bu? Apa aku tidak mendapatkan toleransi sampai selesai ujian sekolah. Toh orang tuaku juga tidak keberatan jika aku hamil."
Benar-benar pernyataan polos yang membuat si guru tersenyum samar. "Bukan soal orang tuamu tahu atau tidak, Sherly, tapi ini soal aturan sekolah." Ia menarik napas panjang. "Bagini saja, sebaiknya kau pulang dan bicarakan dulu masalah ini dengan orang tuamu. Minta pendapat mereka. Ibu yakin, kedua orang tuamu pasti akan memberikan saran yang bermanfaat bagimu."
"Apa ibu yakin?"
"Yakin. Orang tua adalah guru terbaikmu di rumah. Mintalah saran pada mereka."
Pencerahan dari sang guru membuat Sherly lega. "Baiklah, Bu. Terima kasih. Aku permisi dulu."
"Sama-sama, Sherly. Besok di jam yang sama, ibu akan menunggumu di ruangan ini, ya?"
"Baik, Bu. Selamat siang."
Continued___