Chereads / Hidden Desires / Chapter 25 - Bab 25. Membatalkan Pertemuan.

Chapter 25 - Bab 25. Membatalkan Pertemuan.

Tommy bergerak-gerak gelisah. "Eh, Sayang, apa... eh, maksud aku apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Kita belum menikah dan kau masih sekolah."

"Bukannya kau akan menikahiku?" Nada Sherly meninggi.

"Iya, Sayangku, tapi maksud aku... eh, apa tidak sebaiknya kita lakukan setelah kita menikah?"

"Sebenarnya aku juga ingin seperti itu, tapi setiap kali kita berciuman aku selalu merasakan sesuatu yang... yang..."

"Bergairah," sambung Tommy. Ia terkekeh.

"Nah, itu. Lagipula kau kan calon suamiku, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita melakukannya."

Tok... Tok...

Bunyi ketukan pintu membuat Tommy kaget. "Sayang, aku ada tamu. Nanti aku telepon kamu lagi, ya?"

"Iya. Jangan lupa apa yang aku katakan tadi."

Tok... Tok...

"Masuk!" teriaknya. "Iya, Sayang. Jangan lupa kabari aku kalau sudah pulang." Dilihatnya Malik memasuki ruangan. "Sudah dulu, ya, bye."

Tut... Tut...

"Selamat pagi, Pak." Tommy berdiri dan berjabat tangan dengan Malik.

"Pagi, Tom. Aku mengganggumu, ya?"

"Tidak, Pak. Oh, iya, ini sketsa gambarnya, Pak." Tommy meraih benda panjang berwarna hitam lalu mengeluarkan lembaran putih berukuran besar. "Anda lihat dulu, kalau ada perubahan atau tambahan, akan kuperbaiki."

Malik pun menatap sketsa itu dengan teliti. Alisnya yang berkendut-kendut membuat Tommy gugup. Ia takut jika atasannya itu tidak setuju dengan idenya.

"Ini luar biasa, Tom."

"Anda menyukainya?"

"Tentu saja." Malik tersenyum lebar.

"Wah, terima kasih banyak, Pak. Apa Anda yakin tidak ada yang perlu dirombak?"

"Tidak. Ini sudah benar. Ayo kita pergi sekarang."

"Baiklah kalau begitu." Tommy segera merapikan kembali sketsanya dan pergi bersama Malik.

***

Waktu terus berlalu. Tommy dan Malik masih berada di lokasi proyek. Malik sedang berbicara dengan mandor konstruksi sedangkan Tommy hanya bisa mendengar. Diliriknya jam tangan sudah menunjukan pukul dua belas siang.

Ting!

Satu notifikasi masuk. Ia merogoh ponsel dari saku celana lalu memeriksa notifikasi yang baru saja masuk.

"Tom, kita jadi kan makan siang?"

Tommy melihat ke arah Malik. Ternyata pesan itu dari Andin. "Maafkan aku, Andin. Aku belum bisa janji. Aku masih bersama Pak Malik saat ini dan kelihatannya beliau masih serius bicara dengan mandornya." Tommy mengetik tombol kirim.

Di saat yang bersamaan Malik berbalik dan mendekatinya. "Jam berapa sekarang, Tom?"

Tommy basa-basi menatap jam tangannya. "Jam dua belas, Pak."

"Wah, lama juga berarti kita di sini, ya." Tommy tersenyum. "Ayo kita kembali."

Tommy menunduk hormat lalu mengikuti Malik dari belakang. Sesampainya di mobil yang berlogo MSS, Tommy yang mengambil alih untuk menyetir. Malik selalu menyuruhnya untuk menggunakan fasilitas kantor jika sedang operasional. Jadi, kalau sudah di kantor, Tommy akan menggantikan mobilnya dengan mobil kantor setiap kali ia bepergian dalam urusan operasional.

"Tom, kita mampir makan siang dulu."

"Baik, Pak. Ada referensi untuk tempatnya?" tanya Tommy sambil menyetir.

"Di Menk's Seafood saja. Aku ingin makan ikan bakar."

"Baik, Pak." Tak berpikir panjang lagi Tommy langsung mengiyakan.

Ting!

Satu notifikasi masuk di ponsel Tommy, tapi lelaki itu mengabaikannya. Ia fokus meyetir tanpa peduli pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Dalam hati ia berpikir itu pasti Andin. Tapi karena Malik adalah atasannya, ia pun lebih memprioritaskan urusan pekerjaannya daripada urusan pribadi. Toh Andin bisa meneleponnya jika memang ada hal yang ingin dia sampaikan.

Drtt... Drtt..

Ponsel Malik bergetar. "Selamat siang, Pak," sapanya begitu panggilan terhubung.

Tommy tetap fokus menyetir. Ia menatap lurus sambil mengegerakan mobil menuju restoran yang disebutkan Malik tadi.

"Baik, baik," kata Malik.

Tut... Tut...

"Tom!" panggil Malik begitu memutuskan panggilannya. Ia mengarahkan pandangan ke arah Tommy dan menunggu sampai lelaki itu menatapnya baru ia berkata, "Kau tidak apa-apa makan siang sendiri?"

"Tidak masalah, Pak. Maaf, tapi ada apa? Apa ada masalah?" tanyanya begitu melihat kegelisahan sang atasan.

"Aman. Tadi itu Pak Walikota yang menelepon. Beliau ingin bertemu denganku. Kau bisa antarkan aku ke kantor walikota sekarang."

"Bisa, Pak." Tommy segera menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya.

Tak berapa lama mereka pun tiba di kantor walikota. Malik membuka pintu mobil lalu turun. "Terima kasih, Tom. Maafkan aku karena membatalkan makan siangnya."

"Tidak masalah, Pak. Apa Anda ingin dijemput lagi?" Tommy tahu malik tidak bawa mobil.

"Tidak usah. Aku akan menghubungi supirku. Biar dia saja yang menjemputku."

"Baik, Pak." Tommy menunggu sampai Pak Malik masuk ke dalam gedung bertingkat itu sebelum akhirnya melajukan mobilnya. Ia merogoh ponselnya dari saku celana dan hendak menghubungi Andin.

Drtt... Drtt...

Di saat yang bersamaan ponselnya bergetar. Dilihatnya sang pacar sebagai pemanggil. Senyum Tommy langsung berkembang dan menekan radial untuk menyambungkan panggilan.

"Halo, Sayang," sapanya lembut.

"Kau di mana? Aku sudah bosan di sini. Dari tadi cuma duduk terus kerjaanku," keluh Sherly.

Tommy terkekeh. "Mau kujemput makan siang?"

"Jangan! Kau kan masih sibuk."

Tommy tertawa. "Sudah selesai. Baru saja. Aku baru saja mengantarkan beliau di kantor walikota."

"Tapi kan kamu harus bekerja lagi."

"Sudah selesai, Sayang. Aku jemput sekarang, ya?"

"Baiklah. Perutku juga sudah lapar."

Tommy terbahak. "Sampai ketemu. Mmuach."

"Mmuach. Hati-hati."

"Iya."

Tut... Tut...

Sherly memutuskan panggilannya. Tommy yang tidak mau menggunakan mobil kantor untuk urusan pribadinya pun segera melajukan mobilnya menuju kantor. Ia menggantikan mobil pickup putih itu dengan sedan hitamnya.

Ting!

Tepat di saat Tommy mendudukan tubuhnya di balik kemudi mobilnya, bunyi ponsel terdengar. Dilihatnya satu pesan chatting dari nomor tanpa nama. "Tom, ini sudah setengah satu. Kabari aku kalau masih sibuk."

Tommy pun segera menekan logo telepon untuk menghubungi Andin. Ia memeluk setir mobil, menempelkan ponsel di telinga untuk menunggu panggilannya terhubung.

"Halo, Tom!" Suara Andin terdengar dari balik ponsel. "Kau masih bersama Pak Malik, ya?"

"Tidak lagi. Beliau sedang ada pertemuan dengan Pak Walikota. Omong-omong hal penting apa yang ingin kau sampaikan padaku, Andin?"

"Tidak terlalu penting sih, Tom. Aku hanya ingin makan siang bersamamu sekaligus temu kangen."

Tommy tertawa. "Oh, begitu. Aku pikir hal penting apa yang ingin kau sampaikan."

"Tapi kamu bisa kan makan siang bersamaku?"

"Itu dia alasannya kenapa aku menghubungimu. Hari ini aku tidak bisa makan siang bersamamu. Aku..."

"Kau sibuk, ya?" Suara Andin terdengar pelan.

"Tidak juga. Justru setelah ini aku akan langsung pulang untuk meneruskan pekerjaan di rumah."

"Lalu alasan kau tidak bisa, kenapa?"

"Aku harus menjemput Sherly. Aku sudah janji akan menjemputnya dan makan siang bersama."

"Oh, begitu. Baiklah. Tapi kapan-kapan kau harus menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku, ya?"

"Tentu saja."

"Oke. Bye!"

Tut... Tut...

Tommy memutuskan panggilannya. Diletakannya benda portable itu di depan lalu mengemudikan mobil menuju FB High School untuk menjemput sang kekasih.

Di sisi lain.

"Kau kenapa?" tanya Jovita saat melihat wajah kusut Andin.

"Dia membatalkan makan siangnya." Mereka duduk di kantin kampus.

"Kenapa?" tanya heran.

"Katanya dia mau menjemput gadis jelek itu dan makan siang bersama."

"Ini tidak boleh dibiarkan, Andin. Kalian itu sahabatan sudah lama. Masa dia tega menolak janji dengan sahabat lamanya hanya karena gadis yang baru dikenalnya."

"Aku memang sahabatnya, tapi gadis itu pacarnya, Jovita." Andin menyedot minumannya banyak-banyak.

"Ini tidak boleh dibiarkan. Kau harus melakukan sesuatu. Kalau begini terus lama-lama kau dan Tommy bakal jauhan."

"Entalah. Tapi sekarang juga memang seperti itu, kok. Tommy lebih memilih gadis itu daripada aku."

"Aku tahu caranya!" kata Jovita. "Bagaimana kalau kau menggoda Tommy?"

Kepala Andin tersentak. "Menggoda?" Ia menggeleng keras. "Tidak, tidak. Memangnya aku ini cewek apaan."

"Bukan, maksud aku bukan menggodanya dengan hal yang seperti kau bayangkan." Andin menatap temannya. Alisnya berkerut. "Begini, kan dulu dia pernah menciummu. Nah, bagaimana kalau kau kirim pesan kepadanya seolah-olah kau teringat kembali soal kejadian tujuh tahun lalu. Saat kalian berciuman."

"Lalu?"

"Kau lihat balasannya apa, kalau dia masih mengingatnya, saat itulah kau harus mengungkapkan perasaanmu padanya. Dengan begitu dia akan tahu bahwa kau juga menyukainya." Andin ternganga. Ia menatap Jovita. "Bagaimana, kau setuju? Karena hanya dengan cara itu Tommy pasti akan kembali padamu dan meninggalkan si gadis jelek itu."

"Kau benar, Vi. Dia harus menjadi milikku. Tommy Fabian harus menjadi milik Andin Azkia, bukan Sherly Mesya."

Continued___