Drtt... Drtt...
Ponsel Tommy bergetar. Ia meraih ponsel yang ada di depannya dan melihat layar. "Nomor baru?" Ia memelankan laju mobil.
Sebenarnya dulu Tommy paling tidak suka mengangkat nomor baru. Tapi karena pekerjaan sekarang yang membuatnya selalu terikat dengan siapa saja, bukan hal asing lagi baginya jika ada nomor tak dikenal masuk dalam panggilan.
"Halo, selamat pagi," sapanya ramah. Si penelepon terdiam. "Halo?" Tommy menyapa lagi. Ditatapnya layar ponsel untuk memastikan panggilan itu. "Halo, selamat pagi?"
"Halo, Tom." Suara perempuan menyahut dari seberang telepon.
Tommy sangat mengenali suara itu. "Andin?" Dilirknya nomor tanpa nama. "Kau ganti kontak, ya?"
"Iya."
"Sejak kapan?"
"Sejak kau ke Jawa."
"Pantasan saja aku menghubungimu, tapi tidak bisa. Ngomong-ngomong ada apa?"
Sebenarnya bukan itu jawaban yang diingikan Andin. "Kau di mana? Apa kau sibuk?"
"Aku sedang perjalanan menuju kantor. Sepertinya hari ini tidak. Aku hanya akan menemani Pak Malik ke lokasi. Kenapa?"
"Sampai jam berapa? Aku ingin mengajakmu makan siang, sekaligus ada hal yang ingin kusampaikan padamu."
"Aku belum tahu, tapi aku akan menghubungimu nanti saat makan siang."
"Baiklah. Sampai nanti," kata Andin.
Tut... Tut...
Tommy segera melepaskan kembali ponselnya dan melajukan mobil. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh lebih.
Tak berapa lama ia pun tiba di kantor. Setelah memarkirkan sedan hitamnya di tempat biasanya, ia meraih semua barang-barang dari bangku belakang dan membawanya masuk. Tas laptopnya di gantungkan ke bahu sebelah kanan, sementara sketsa gambar yang disimpan di tempat yang bulat panjang berwarna hitam di letakkan ke bahu kiri.
Saat Tommy memasuki kantor, beberapa pegawai wanita yang baru juga datang menatapnya dengan tatapan menggoda. Mereka bahkan berbisik-bisik, membuat Tommy besar kepala. Penampilannya yang selalu santai dan rapi membuat wanita-wanita itu ingin mendekatinya.
"Selamat pagi, Pak Tommy," sapa salah satu wanita cantik yang kebetulan berdiri di depan pintu masuk.
"Pagi, Bu," balas Tommy ramah. Ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
"Jangan panggil ibu, dong. Aku kan belum menikah," kata wanita yang usianya sekitar kepala tiga.
Tommy terkekeh. "Eh, maaf. Tapi dengan tidak mengurangi rasa hormat, lebih baik saya memanggil Anda seperti itu. Toh Anda juga memanggil saya dengan sebutan Pak."
Wajah wanita itu kontan memerah sambil terkekeh. "Terserah Pak Tommy saja deh mau panggil saya dengan sebutan apa, yang penting Pak Tommy nyaman."
Ting! Satu notifikasi masuk ke ponsel Tommy.
"Baik, Bu, saya permisi dulu, ya." Ia kembali menunduk lalu berjalan meninggalkan wanita itu. Diraihnya ponsel dari saku celana yang dijejalkannya tadi.
Dilihatnya sebuah pesan chatting dari Sherly. Merasa malas untuk membalas pesan itu, Tommy menekan radial untuk menghubunginya.
"Halo, Sayang," sapanya begitu sambungannya terhubung.
"Kau di mana?"
"Ini baru masuk lift." Tommy menekan angka lima menuju ruangannya. "Kenapa? Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Tommy tersenyum sambil menempelkan ponselnya di telinga dengan punggung yang bersandar di dinding lift.
"Aku merasa kau tadi sangat berbeda."
"Berbeda apanya, Sayang? Cintaku padamu takkan pernah berubah."
"Bukan itu, tapi... eh, apa... apa kau tadi terangsang?"
Tommy terbahak. Suaranya yang berat bergema memenuhi seantero lift, tapi untung saja hanya ia sendiri di dalam situ sehingga tidak akan ada yang mendengarnya berbicara hal itu dengan Sherly. "Apa yang membuatmu yakin?"
"Aku lihat kok tadi. Eh... eh..."
Ting! Lift terbuka.
Tommy melangkah maju dan tersenyum lebar. "Apa yang kau lihat, hah?"
"A-aku... aku melihatnya bangun."
"Apanya yang bangun?" Tommy menahan tawa.
"Itu."
"Itu apa?"
"Punyamu!"
Lagi-lagi Tommy tertawa. Sambil membuka pintu ruangannya ia berkata, "Kau memang selalu membuatnya bangun, Sayang."
"A-aku?" Tommy bergumam. "Tapi kan kau yang memulai."
Tommy melepaskan semua barangnya di atas di meja kemudian menyalakan suhu ruangan. "Tapi kau suka, kan?"
Sherly terdiam.
"Sayang?" panggil Tommy.
"Eh, ya?"
"Kau dengan siapa di situ? Tidak takut ya kalau ada yang dengar?" ledeknya.
"Kenapa takut, toh aku bukan bini orang."
Tommy terbahak. "Oh, iya, Sayang. Tadi..." Tommy terdiam. Ia nyaris saja menyebutkan soal ajakan Andin untuk makan siang. Mengingat Sherly begitu membencinya, Tommy pun menarik napas dan berkata pelan. "Sayang?" Ia mendudukan bokongnya di kursi sambil mengeluarkan laptop dari dalam tas. Sementara ponselnya dijepitkan antara bahu dan telinga.
"Hmm?"
"Jangan marah, ya? Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin berkata jujur."
"Soal apa?"
"Tadi Andin mengajakku makan siang. Katanya ada hal yang ingin dia bicarakan denganku."
"Andin? Hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak sekalian saja dia mengatakannya saat menghubungi tadi?" sahutnya ketus.
"Entalah. Kau mengijinkan aku?" tanyanya pelan.
Sherly diam sesaat sebelum berkata, "Terserah kamu saja."
Nada pasrah yang terlontar dari mulutnya membuat Tommy tersenyum. "Oh, iya, omong-omong soal gairah, apa kau sendiri tidak merasakan hal yang sama?" Tommy sengaja mengalihkan pembicaraan agar wanita kesayangannya itu tidak merajuk.
"Itulah yang sebenarnya ingin aku sampaikan padamu. Aku..."
Benarkan, Tommy berhasil menepiskan pikiran Sherly dari Andin. "Aku apa?" ledek Tommy sambil menyandarkan punggungnya.
"Aku merasakan ada sesuatu yang lain saat kau mencium atau menyentuhku. Dan entah kenapa rasanya aku tidak ingin kau berhenti mencium atau menyentuhku sampai rasa itu hilang."
Tommy mengerti maksud Sherly. "Itu berarti kau bergairah, Sayang. Maafkan aku karena sudah membuatmu seperti itu. Tapi aku tidak bisa mengontrol emosiku saat sedang bersamamu."
"Apakah itu yang disebut gairah?"
"Yap."
"Berarti itulah yang selalu membuatku gelisah setiap kali kau selesai mencium atau menyentuhku."
"Mungkin."
"Lantas, apa yang bisa kulakukan untuk menghilangkan kegelisahan itu?"
Tubuh Tommy kontan mengejang. Tatapannya berubah sayu begitu hal itu terbenak dalam pikirannya. "Bercinta. Kau harus bercinta baru kau bisa menghilangkan semua kegelisahan yang ada dalam dirimu." Sekuat tenaga Tommy menahan gairah yang kembali bergolak dalam dirinya.
"Apakah kau juga merasakan hal yang sama setelah mencium dan menyentuhku?"
"Seperti yang kubilang tadi, kau selalu membuatku gelisah, Sayang."
"Kalau begitu aku... aku ingin melakukannya."
Pikiran Tommy masih berfantasi akan hal lain yang membuat keperkasaannya mengeras. Bayangan tubuh Sherly yang setiap kali duduk di atas pangkuan membuatnya berfantasi sehingga tak terlalu jelas menyimak perkataan Sherly.
"Tom?"
Tommy terkejut. "Eh! Ya, Sayang? Maaf, aku sedang menyalakan laptop," bohongnya.
"Aku ingin melakukannya."
"Melakukan apa?"
"Bercinta."
Zet!
"Bercinta?" Tommy terbahak dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendela. "Kau masih sekolah, Sayang. Sebentar lagi kau ujian akhir." Ia membalikkan tubuh, menyandarkan biritnya di atas bufet dengan cuaca pagi yang cerah sebagai latar belakang. "Belum lagi kau harus kuliah. Perjalanan kita masih sangat panjang, Sayang."
"Tapi aku ingin melakukannya, Tom. Memangnya kau tidak ingin melakukannya?"
Tommy terkekeh. "Aku juga ingin, tapi kau masih sekolah. Aku takut kalau kita melakukannya sekarang, kau..."
"Kau berniat menikahi, bukan?" sergah Sherly.
Tommy terkejut mendengar ketegasan suara Sherly, namun ia mengerti dengan sikap Sherly yang masih anak-anak. "Tentu saja, Sayang, aku akan menikahimu."
"Kalau begitu, ajari aku melakukannya."
Continued___