Chereads / Hidden Desires / Chapter 23 - Bab 23. Emosi Yang Bergolak.

Chapter 23 - Bab 23. Emosi Yang Bergolak.

Keesokan harinya Tommy bangun lebih pagi. Ia mempersiapkan lebih dulu bahan-bahan dan materi sebagai presentasi untuk Malik. Setelah selesai semuanya, ia kembali mengecek agar tidak ada yang lupa. "Baiklah. Semuanya sudah beres." Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul enam kurang. "Waktunya mandi."

Ting!

Bunyi notifikasi masuk. Baru saja hendak berbalik menuju kamar mandi, Tommy langsung mengalihkan tatapannya ke arah ponsel yang ada di atas nakas. Dengan pelan ia berjalan lalu mengambil ponselnya. Senyumnya melebar ketika membaca pesan chatting yang ternyata dari sang pacar.

"Sayang, aku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Ini semua karena kamu! Kau harus tanggung jawab."

Tommy terkekeh. Jarinya bergerak cepat menekan huruf-huruf di atas keyboard ponselnya. Setelah membalas pesan sang pujaan hati, Tommy melepaskan kembali ponselnya ditempat semula dan bergerak menuju kamar mandi. Senyumnya semakin lebar membayangkannya.

***

Dalam perjalanan sambil menyetir, Tommy berbicara di telepon dengan Malik. Pembasan mengenai proyek itu tidak ada hentinya. Ide dan hasil kerja Tommy sangat memuaskan bagi Malik. Dan untuk melakukan segala sesuatu di luar pekerjaan Tommy, Malik sering juga meminta pendapat dari pemuda itu. Meski usia sudah matang, ternyata Malik belum menikah, jiwanya juga jiwa muda dan hal itulah yang membuat mereka sama-sama saling cocok satu sama lain.

"Baik, Pak. Aku akan melaksanakannya."

Tut... Tut...

Diliriknya jam tangan. "Wah, si Miss Watak bakal ngamuk." Dipacunya gas mobil semakin melaju. Bayangan-bayang wajah Sherly yang marah membuat Tommy terkikik sendiri.

Tibanya salah satu cabang Fabian's Residence, dilihatnya Sherly sudah berdiri di depan gerbang. "Mampus aku." Ia membunyikan klakson mobil dan gadis itu menoleh ke arahnya. "Lho, kenapa pakai kaos?" kata Tommy begitu melihat Sherly hanya mengenakan kaos putih yang potongan lehernya rendah.

Dihentikannya mobil tepat di depan Sherly. "Mana kemejamu?" tanya Tommy begitu gadis itu duduk di bangku penumpang.

"Ada di dalam tas. Omong-omong ucap selamat pagi, kek, ini langsung marah-marah," kesal Sherly sambil melemparkan ranselnya di kursi belakang.

Tommy tersenyum. Diraihnya tangan Sherly dan dicium. "Aku tidak marah-marah, Sayang. Hanya saja aku kaget melihat kau memakai kaos. Apalagi kaosnya seperti itu."

Sherly menunduk menatap dirinya. "Memangnya kaos ini kenapa?" tanyanya sambil mengerutkan alis menatap Tommy.

"Apa tidak ada kaos yang lebih tertutup dari itu, hah?"

Sherly akhirnya sadar. Wajah Tommy tidak marah, tapi cara menyampaikannya membuat Sherly tahu bahwa lelakinya itu tidak suka ia mengenakan kaos itu. Bibirnya tersenyum. "Ada, tapi aku suka memakai yang ini."

"Kenapa? Mau pamer?" Alis Tommy berkerut.

Sherly tersenyum jail. "Ya."

"Oh, iya?" Nada Tommy meninggi. "Pada siapa?"

"Padamu."

Saat itulah baru Tommy akhirnya menggerakkan kembali mobilnya. Setelah menjalankan mobilnya keluar dari Fabian's Residence, ia melirik Sherly dengan senyum yang melebar. "Tapi lain kali jangan dipakai ke sekolah. Aku tidak mau siswa-siswa nakal itu melihatmu tubuhmu." Dilihatnya kaos itu yang menempel pas di tubuh pacarnya. Saat matanya terarah ke dada Sherly, pikiran Tommy langsung melayang pada kejadian yang mereka lakukan kemarin di dalam mobil. Cepat-cepat ia berdeham dan mengalihkan pandangan lurus ke depan.

"Kau kenapa, Sayang?" tanya Sherly yang sadar akan gerak-gerik sang pacar. Ia memborong tubuh Tommy. Dilihatnya bagian tengah tubuh yang membumbung. "Bagus. Aku berhasil," katanya dalam hati.

Sejak mendengar pengakuan Tommy terhadap ciuman pertamanya bersama Andin, Sherly mulai membuat strategi agar selalu menggoda Tommy. Ia tidak ingin lelaki itu mencari wanita lain__ apalagi Andin__ untuk melakukan kemesraan jika hal itu bisa ia berikan. "Hari ini ada rapat guru. Jadi tidak ada aktivitas belajar mengajar. Makanya aku mengenakan kaos saja, tapi aku bawa kemeja, kok."

Tommy menatapnya sesaat. Diraihnya tangan Sherly untuk digenggam. "Berarti pulangnya cepat, dong?"

"Mungkin."

"Kabari aku kalau sudah pulang." Ia mencium punggung tangan Sherly. "Kau wangi sekali, Sayang."

Sherly menyeringai. "Harus dong. Toh pacarku selalu wangi."

Tommy tersenyum lebar dan langsung menginjak pedal gas untuk menambah lajukan mobilnya. Dalam perjalanan ia terus menggenggam tangan Sherly. Dan akan melepasnya ketika ia hendak memindahkan persneling.

"Apa yang membuatmu tidak bisa tidur?" tanya Tommy pelan. Matanya menatap wajah Sherly sebelum turun ke buah dadanya. Dan agi-lagi Tommy membuang muka karena bagian itu selalu menarik matanya untuk berpiki yang aneh-aneh.

Sherly pun menceritakan tentang apa yang menyebabkan ia tidak bisa tidur. "Mungkin karena kemarin kau... eh... Geli sekali rasanya saat mulutmu meraupnya. Dan aku rasa, itulah yang membuat aku tidak bisa tidur."

"Benarkah?" tanya Tommy dengan suara pelan nyaris tak terdengar. Kenapa?"

"Karena gelisah memikirkannya."

Tommy terbahak. "Kau menyukainya?"

Tiba-tiba seutas kata terbenam dalam pikirannya. "Tom?" panggilnya pelan.

"Hmmm?" Diliriknya Sherly yang kini menarapnya dengan tatapan datar.

"Aku ingin kau berkata jujur."

"Aku selalu jujur padamu, Sayang." Ia melirik Sherly sesaat sebelum kembali menatap lurus.

"Apa selain berciuman, ada lagi yang kau lakukan bersama Andin?"

Tommy terkekeh. Ia menarik tangan Sherly dan mencium punggunya lama-lama. Sambil memegang setir dan menatap lurus ke depan ia menjawab, "Kami tidak punya hubungan apa-apa, Sayangku. Ciuman itu hanya kebetulan saja dan itu tidak berarti apa-apa." Ia menghentikan mobil tepat di lampu merah. Dilepaskannya tangan Sherly lalu menarik rem tangan sebelum ia merangkul Sherly. "Sepertinya kau cemburu sekali dengannya?" bisiknya tepat di telinga Sherly.

"Entalah. Yang jelas aku tidak suka dia dekat-dekat padamu." Wajah Sherly cemberut.

"Kalau dengan wanita lain?"

Bug! Dipukulnya paha Tommy.

"Aw! Sakit, Sayang."

"Siapa suru genit-genit!"

Tommy menggerakkan kembali mobilnya begitu lampu hijau. Ia tersenyum dan menatap Sherly. "Aku hanya bercanda. Aku hanya ingin memiliki satu wanita dalam hidupku, yaitu kamu." Diliriknya wajah Sherly yang tersenyum malu.

Wajahnya memerah. Didekatkan tubuhnya ke tubuh Tommy. "Aku percaya padamu," bisiknya tepat di saat Tommy menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah.

Bukannya menyuruh Sherly turun, lelaki justru melepaskan sabuk pengamannya dan meraih kepala gadis itu. Ia mencium bibir Sherly dan melumatnya begitu kasar. Meski hanya sebentar, tapi hal itu mampu membuat bagian lain dari tubuh Sherly merespon. "Turunlah. Kabari aku kalau sudah pulang."

Sherly terheran-heran. Dilihatnya wajah Tommy yang memerah. "Kau kenapa?" katanya pura-pura. Padahal ia sendiri tahu apa yang menyebabkan Tommy seperti itu. Dan hal itu juga sama yang dirasakan olehnya.

"Kau tidak ingin aku merusak dandanmu, kan?"

Mata Sherly terbelalak. Dengan cepat ia melepaskan sabuk pengamannya dan bergegas turun.

Zet!

Tommy menahannya. "Pakai kemejamu dulu baru turun," suaranya berat dan parau.

Sherly yang menyadari ketegangan Tommy pun dengan cepat berkata, "I-iya, aku akan memakainya di toilet. Aku janji. Aku akan mengirimkan gambarnya padamu."

"Kenapa kau jadi gugup?" tanya Tommy sambil menyeringai nakal.

Diborongnya semua tubuh Tommy dari kepala sampai paha. "Kau menakutkan."

Tommy tertawa. Sedari tadi ia menahan tawa karena melihat ketakutan Sherly. Gairahnya memang sudah berteriak sejak Sherly masuk mobil, tapi ia sudah berjanji kemarin bahwa tidak akan merusak dandanan gadis itu. Jadi, sebisa mungkin ia tertawa untuk menghalaukan emosi yang bergolak dalan dirinya. "Maafkan aku, Sayang, aku hanya bercanda. Jangan lupa kabari aku kalau sudah pulang."

"Siap, Pak Tommy." Sherly mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipi Tommy. "Jangan nakal."

"Aku hanya akan nakal padamu. Kau tenang saja," bisiknya.

Dengan cepat Sherly turun dan membanting pintu. Ia berlari dan masuk ke dalam sekolah. Ia tak ingin berlama-lama di dalam mobil, karena itu sama saja membangunkan dewanya yang sedang tidur.

Tommy pun tertawa melihatnya. Setelah tubuh Sherly menghilang di balik tembok, ia pun langsung menginjak pedal gas dan meninggalkan sekolah itu.

Continued___