Tommy tak menjawab iya atau tidak. Lelaki itu mencodongkan badan, mengulurkan tangan untuk membersihkan bekas sambal di mulut Sherly yang tidak dijangkaunya dengan tisu. "Menurutmu?"
"Terima kasih. Kalian pasti sangat mesra." Gadis itu mengambil tisu lagi dan menggosokkannya secara kasar di mulutnya.
Tommy bisa melihat rasa tidak sukanya Sherly dengan jawaban yang mungkin sudah terpikirkan olehnya. Dengan mimik wajah yang lembut, Tommy berdeham sebelum berkata, "Apa kau serius dengan ucapanmu malam itu?" Sherly sontak menatapnya. "Apa kau benar-benar serius menyukaiku, Sherly?"
Sherly terdiam. Ia menatap Tommy. Ingin rasanya Sherly mendapatkan keraguan dari tatapan abu-abu Tommy, namun tidak ada. Tommy menatapnya dengan serius. Selama beberapa bulan mereka selalu bersama, bahkan sejak lelaki di hadapannya ini menyatakan pertanyaan itu, Sherly tidak pernah melihatnya dengan wajah sedatar ini.
Agar menyembunyikan kegugupannya, Sherly menunduk. "Apa itu penting bagimu?"
Tommy tak menjawab sampai Sherly mendongak menatapnya. "Ya."
Entah kenapa Sherly sangat berat mengatakan ya, padahal dalam hati, berteriak-teriak senang. Tak ingin melewatkan kesempatan ini, ia pun berkata, "Rasanya meski aku tak menjawabnya, kau sudah tahu jawabannya."
"Tapi aku ingin mendengarnya langsung," kata Tommy lirih tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Sherly.
Wajah Sherly memerah. Dengan cepat ia membuang muka sambil berdeham. Ekor matanya menangkap sosok Tommy yang masih terus menatapnya. "Ya, ampun, jangan tatap aku seperti itu," ucapnya dalam hati.
"Bagaimana, kau serius bahwa kau menyukaiku?" sergah Tommy yang tahu kegugupan Sherly. Ia memang sengaja membuat Sherly semakin malu, tapi dari lubuk hatinya itu, jawaban Sherly sangat penting baginya.
Dengan penuh sentakan Sherly menengadah menatap Tommy. Mata lelaki itu masih cemerlang menatapnya. Tak ingin membuang emas, ia pun menjawab dengan anggukan sambil menunduk. "Ya, aku menyukaimu, Tommy."
***
Beberapa bulan kemudian Tommy akhirnya lulus sekolah. Tujuan dan cita-citanya membawa Tommy memasuki Universitas ternama di kota itu. Hubungan asmara yang tidak sedekat dulu: satu sekolah, membuat Sherly hampir setiap hari selalu merindukan Tommy.
"Padahal kita setiap hari ketemu, lho," ledek Tommy lewat telepon. Saat ini dia berada di rumah, baru saja pulang kampus dan sedang membaringkan diri di dalam kamar.
Gadis yang juga belum lama pulang sekolah itu melakukan hal yang sama dengan Tommy. Ia berbaring menyamping menatap pantulan sinar orange yang mengenai jendela sore hari. Sambil memeluk guling Sherly berkata, "Iya, tapi kan beda. Dulu kita masih satu lokasi, tiap hari bertemu. Lah, sekarang? Mana kamu sibuk ospek lagi."
Tommy terkekeh. "Kalau begitu, nanti malam kita ketemu. Aku ingin lihat, seberapa rindukah dirimu padaku," godanya.
"Oke. Akan kubuktikan."
Setelah Sherly ematikan sambungan telepon, Tommy mengerutkan alis. Ia lalu tertawa pelan karena sikap Sherly yang selalu menggemaskan. Kebahagiaannya membuat ia teringat pada Andin. Sambil tersenyum Tommy mengotak-atik ponsel mencari nama sahabatnya itu lalu menekan radial.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan. Cobalah be..."
Tut... Tut...
Tommy memutuskan panggilan. Dahinya mengerut sambil menatap angka-angka yang berderet +628228743****. Merasa tak yakin, ia menekan radial lagi lalu menempelkan ponsel itu ke telinga.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau...:
Tut... Tut...
Kerutan di wajah Tommy semakin mencuat. "Heran, kok sejak hari itu nomornya tidak aktiv? Apa jangan-jangan..."
Tok... Tok...
Bunyi ketukan pintu membuyarkan pikiran Tommy tentang Andin. Dengan cepat ia bangkit dari kasur dan membuka pintu.
"Mami?" Dilihatnya Lisa berdiri dengan senyum lebar.
"Kau sedang sibuk?" tanya Lisa lembut. Ia menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.
"Tidak, Mam. Ada apa?" Tommy balas tersenyum.
"Ada yang ingin papi bicarakan. Kalau kau tidak sibuk, papi ingin kalian bicara sebelum makan malam."
"Baik, Mi. Kalau begitu aku mandi dulu."
Lisa balas mengangguk. "Kau mau minum apa? Mami akan menyiapkan minuman dan camilan untuk kau dan papi."
"Hot cokelat saja, Mi."
"Baiklah, mami turun dulu, ya. Sampai ketemu setengah jam lagi."
Tommy balas tersenyum lalu menutup pintu. Permintaan Lisa membuatnya langsung bergegas ke kamar mandi dan melupakan tentang masalah Andin. Padahal ia tadi sangat antusias untuk berbagi kebahagian sekaligus memberi tahu sahabatnya itu bahwa ia sudah punya pacar.
***
"Papi ingin kau mengenal pekerjaan ini dari sekarang. Tidak ada salahnya kau ikut bersama papi ke lokasi proyek atau ke kantor bersama papi di saat kamu punya waktu luang. Ini semua demi kamu, Tommy."
"Papi benar," balas Tommy. "Aku juga mau seperti itu, Pi. Kan jam kuliahku pendek, aku mau sisa waktunya akan kupergunakan untuk ikut bersama papi dan melihat-lihat kondisi dan cara kerja papi. Aku juga ingin tahu bagaimana papi bernegosiasi dengan klien dan bagaimana papi mengatur para pekerja di lokasi agar selesai sesuai permintaan papi."
"Kalau kau mau seperti itu, papi akan senang. Itu juga demi kamu, Nak. Biar saat bekerja nanti, kau sudah tahu bagaimana seluk-beluk seorang kontraktor. Tapi ingat," kata Charles. "Menjadi kontraktor itu jangan hanya mengandalkan subkontrakor atau mandor untuk memantau lokasi, alangkah baiknya kau sendiri yang turun langsung ke lapangan untuk mengawasinya."
"Kenapa begitu, Pi?"
"Selama ini, sih, papi belum pernah menemukan hal itu di tender papi. Tapi itu sering terjadi terhadap tender-tender lain. Kontraktor atau subkontraktor sering menggunakan material dari kualitas murahan yang berdampak pada usia bangunan. Bahkan ada yang berani menggunakan kabel yang dengan hanya kentut saja bisa meledakan bangunan itu. Jangan sampai itu terjadi padamu, Tom. Itu sama saja kau membunuh."
"Tapi bukannya itu ada surat ijin, Pi?"
"Ya, tapi kalau seandainya nanti kau sudah bekerja dan melihat ada benda-benda yang tidak wajar lolos dan saat inspeksi semua benda itu berhasil lolos dengan stempel persetujuan pemerintah kota, berarti ada yang tidak beres. Banyak kontraktor yang seperti itu, menggunakan benda murahan, tapi klien dikenakan harga berkualitas lalu mengantongi selisihnya," jelas Charles. "Papi tidak seperti itu, Nak. Jadi, papi harap kau bisa bekerja jujur kelak nanti. Inilah tujuan kenapa papi ingin mengajakmu mengenal dunia proyek sejak dini."
Tommy tersenyum. "Baik, Pi. Aku mengerti."
Charles mengangguk mantap. "Kontrator yang hebat ialah kontrator yang bukan hanya bisa bernegosiasi dengan klien, tapi juga bisa melakukan pekerjaan konstruksi dengan bagus dan kualitas yang baik."
***
Usai perbincangan yang penting itu, Charles, Lisa dan Tommy pergi ke sebuah restoran terkenal di salah satu kota itu. Charles dan Lisa dalam satu mobil, sedangkan Tommy memilih mengendarai mobilnya sendiri karena setelah itu ia akan menemui Sherly.
Tibanya di restoran, Tommy terkejut melihat ada Harry, Lenna juga Sherly yang duduk di sofa sudut restoran. Mereka mengambil posisi di dekat jendela agar bisa memandangi indahnya pemandangan malam. Posisi mereka menghadap pintu masuk. Sementara sofa untuk keluarga Fabian yang mejanya sudah digabungkan dengan meja keluagaa Mesya menghadap ke arah pusat kota.
Sherly menahan tawa karena berhasil mengejutkan Tommy. Sedangkan Tommy menatapnya dengan tatapan menyipit dengan bibir yang bergerak, "Awas" tanpa suara.
Continued___