Di sisi lain.
Setelah memutuskan panggilannya dengan Charles, ia menekan angka lalu menghubungi Pak Malik.
"Halo, Pak," sapanya ketika panggilannya terhubung.
"Bagaimana, Ferr? Siapa desainernya?" tanya Malik tak sabar.
"Sudah, Pak. Ternyata dia adalah anaknya Charles, kontraktor yang nantinya akan menangani tender Pak Malik di sini."
"Benarkah? Wow! Ini luar biasa, Ferry. Berapa persen dia minta? Aku tidak masalah jika dia minta sedikit mahal. Aku sudah melihat desainnya di sini, hasilnya luar biasa, Ferry, dan beginilah hasil yang kuinginkan."
Ferry terkekeh. "Tenang saja, Pak Malik. Anda bisa mengikat dia dengan memberinya tender lain sebelum dia jatuh ke tangan kontraktor lain."
"Apa kau yakin dia mau, Ferr?"
"Aku yakin. Semua itu tinggal dari cara Anda bagaimana bisa mengikat dia."
"Baiklah. Oh, Ferry, aku tak sabar lagi ingin berbicara langsung dengannya. Oh, iya, tiket mereka sudah dibooking, kan?"
"Sudah, Pak. Aku ambil keberangkatan pagi biar mereka bisa tiba di sini secepatnya."
"Bagus. Kau atur saja. Hari ini kalau sudah selesai urusanku, aku akan langsung pulang hari ini juga."
"Lho, bukannya besok jadwal penerbangan Anda, Pak?"
"Benar, tapi aku tidak ingin mereka menungguku. Aku yang akan menunggu mereka."
"Baiklah. Jika itu yang membuat Anda senang, aku ikut senang, Pak."
"Ferr?"
"Iya, Pak?"
"Aku sangat berterima kasih padamu. Dan jika tender kita kali ini berhasil lagi, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."
"Terima kasih, Pak. Tapi selama ini, apa yang Anda berikan padaku sudah sangat berlebihan. Aku tidak tahu harus membalas..."
"Sudahlah, Ferry, jangan berkata begitu. Kau itu rekan bisnis yang jujur. Yang jelas aku sangat berterima kasih padamu selama ini. Berkatmu, tidak pernah ada proyek sipil maupun independenku yang gagal. Dan semoga saja kali ini proyek kita akan berhasil."
"Amin, Pak. Aku yakin pasti akan berhasil."
"Ya, sudah. Jangan sungkan untuk menghubungiku kalau memerlukan sesuatu."
"Baik, Pak."
***
Tak terasa hari sudah malam. Karena ingin menyambut sahabat sekaligus tamu kehormatannya, Ferry segera menghabiskan kopinya lalu berdiri dan keluar dari ruang kerjanya. Hari sudah malam dan ia pun harus segera istirahat karena pagi-pagi harus menjemput keluarga Fabian dan Mesya.
Tepat di saat Ferry hendak menaiki tangga menaiki tangga menuju kamar, Andin muncul. Dihentkannya langkah kaki dan melihat putrinya yang baru saja pulang. "Kau dari mana, Nak? Jam berapa sekarang?"
"Maaf, Pa, tadi aku jalan sama Jovita. Kami nonton bioskop, jadi lama baru selesai," katanya lalu menghambur ke arah tangga untuk memeluk Ferry.
"Tidurlah. Besok kau kuliah, kan?" kata Ferry dengan senyumnya yang lebar.
"Baik, Pa. Selamat malam." Andin mencium pipi Ferry sebelum akhirnya bergerak menaiki tangga menuju kamar. Ia lalu mengotak-atik ponselnya untuk memasang alarm.
Didorongnya pintu kamar lalu dikunci. Saking lelah dengan aktivitasnya hari ini, Andin langsung tergoda saat ia menatap kasur yang empuk dengan sprai berwarna putih bersih. Tapi ritual yang sering ia lakukan menghalaukan niatnya sebentar dan pergi ke kamar mandi: mencuci muka, sikat gigi, lalu mengganti pakaiannya dengan baju tidur.
Seperti biasa, sebelum naik ke atas ranjang, Andin memakai skincare untuk malam hari. Setelah selesai, ia segera bergerak naik ke atas ranjang, mematikan lampu tidurnya dan mulai memejamkan mata.
Baru beberapa menit ia memejamkan mata, tiba-tiba wajah Tommy hadir dalam benaknya. Ia membuka mata. Dinyalakannya lampu di atas nakas lalu duduk bersandar di sandaran kasur. Andin menatap lurus. Pikirannya tentang Tommy kini kembali setelah tujuh tahun lalu ia mengubur semua kenangan bersama pemuda itu karena kecewa. Saat itu Andin marah karena Tommy tega pergi ke luar kota tanpa berpamitan lebih dulu. "Kenapa tiba-tiba wajahnya muncul, ya?"
Andin meraih ponselnya dari bawah bantal. Sambil mengotak-atik dan mencari nama Jovita sebelum menghubungi sahabatnya itu. Andin masih tak habis pikir kenapa tiba-tiba setelah sekian tahun ia sudah melupakan Tommy, kini wajah tampan itu kembali hadir dalam benaknya.
"Halo, Vi, kau sudah tidur?" tanya Andin setelah sambungannya terhubung.
"Belum, Ndin. Aku tidak bisa tidur. Film tadi membuatku rindu pada mantanku."
Andin terkekeh. "Aku juga."
"Kau juga?" tanya Jovita tak percaya. "Memangnya kau merindukan siapa, setahuku kau tidak punya pacar?"
Andin tersenyum. "Entalah, Vi." Ia menarik napas panjang. "Tiba-tiba saja wajahnya muncul dalam benakku setelah tujuh tahun aku melupakannya."
"Tujuh tahun?" pekik Jovita. "Siapa dia? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?"
"Maafkan aku. Tapi saat itu aku sedang berusaha untuk melupakannya dan ternyata berhasil. Tapi sekarang..."
"Wait, wait," sergah Jovita. "Katamu tujuh tahun kamu berusaha melupakannya. Itu berarti... sejak SMP dong."
"Ya. Maafkan aku. Mungkin sekarang saatnya kau tahu tentang dia." Andin membaringkan diri dalam posisi menyamping. "Sebaiknya nanti saja aku cerita. Ini sudah larut. Besok kita harus ke kampus."
"No! Aku mau sekarang, Andin," tuntut Jovita.
Andin tertawa. "Namanya Tommy Fabian. Dia..."
"Apa!" pekik Jovita. "Fabian? Apa dia pemilik Fabian Group?"
"Ya, tapi dia anaknya. Anak satu-satunya keluarga Fabian. Dia bukan hanya teman sekolahku, tapi juga sahabatku di saat senang maupun sedih. Dia sangat baik dan..." Tiba-tiba air mata Andin menetes entah kenapa. Ia terisak.
"Andin? Kau tidak apa-apa?" tanya Jovita saat Andin tak bersuara.
"Entah kenapa aku tiba-tiba merindukannya, Vi. Aku... aku sangat merindukannya. Sungguh."
"Kenapa kau tidak menghubunginya? Siapa tahu dia juga sedang merindukanmu."
Andin menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau. Kalau dia merasakan hal yang sama pasti dia juga akan menghubungiku, tapi ini... sejak dia membalas pesanku dan memberitahukan bahwa dia sudah di Jawa, sampai sekarang pun dia tak pernah mengabariku lagi. Aku rasa dia sudah melupakanku. Lagipula aku cuman sahabatnya, bukan pacarnya. Jadi, hal yang mustahil jika dia merindukan aku juga."
"Apa salahnya mencoba. Mungkin dia sibuk atau bisa jadi kontaknya hilang. Kan kau bisa mencobanya dulu."
Andin menggeleng. "Aku tidak mau. Aku tidak mau dia berpikir bahwa aku mengejarnya. Dia harus dihukum karena sudah meninggalkan aku."
"Memangnya dia tahu kalau kau menyukainya?"
"Tidak."
Jovita tertawa. "Lantas, dari mana kau bisa berpikir bahwa kau mengejarnya? Kalau kau mengirim pesan padanya meski segombal apa pun isinya, dia akan beranggapan itu hanya sebuah pesan rindu dari sahabatnya."
"Benar juga, sih. Tapi aku tidak mau. Dia pasti akan beranggapan bahwa aku suka padanya. Karena... karena sore sebelum dia berangkat, kami sempat berciuman."
"Apa?!" pekiknya membuat Andin menjauhkan ponselnya dari telinga. "Ceritakan padaku. Apa sih sebenarnya yang terjadi pada kalian? Kenapa kalau memang hanya sebatas sahabat, kalian bisa sampi berciuman."
Andin menarik napas panjang lalu menceritakan perjalanan tempo hari mereka menuju pondok itu kepada Jovita. "Awalnya dia yang menciumku, tapi karena dasarnya aku juga menyukainya, aku malah menarik tengkuknya dan menciumnya lagi. Kami sempat..." Andin mengulurkan tangan untuk meraba bibirnya. "Ciuman kami begitu dalam dan lembut, tapi setelah itu dia minta maaf karena sudah melakukannya."
"Ya ampun, Andin, kenapa kau payah sekali. Harusnya kamu sadar bahwa dia menciummu itu berarti tandanya dia juga menyukaimu. Kenapa kau tidak bilang padanya bahwa kau menyukai ciuman itu?"
"Saat itu aku masih SMP. Aku belum tahu soal itu. Tapi aku berniat mengutarakan perasaanku besoknya, tapi ternyata malam itu dia sudah berangkat ke Jawa karena ayahnya punya proyek di sana."
"Terus?"
"Terus aku marah dan tidak kontak lagi padanya. Malah aku ganti nomor biar dia tidak bisa menghubungiku."
"Ya ampun, Andin, padahal mungkin saat itu dia sedang menunggu respon kamu. Mungkin juga dia ingin mengutarakan perasaannya padamu, tapi karena malu, ia hanya bisa menyatakannya lewat ciuman itu."
"Itu juga terpikir olehku belakang. Tapi saat itu juga aku terlalu emosi sampai-sampai aku tak mau lagi menghubunginya."
"Ya, sudah. Sekarang buang gengsimu itu dan lupakan soal ciuman itu, lalu kirimi dia pesan. Apa salahnya mencoba? Toh kalian teman dekat, jadi kau punya alasan untuk menanyai kabarnya dia sekarang."
Andin membuang napas panjang. "Baiklah, aku akan mencobanya. Terima kasih, Vi, kau memang sahabat terbaikku. Sekarang tidurkah. Besok kita ada kelas pagi."
"Kalau best friendmu, Tommy apa dong? Sahabat sekaligus..." Jovita tertawa.
"Apaan, sih?" Andin pun ikut tertawa.
"Baiklah, Andin. Jangan lupa apa yang aku katakan. Dan tidurlah. Sampai ketemu besok. Bye."
Tut... Tut...
Dengan senyum lebar Andin mentap ponselnya. Setelah memastikan panggilannya benar-benar putus, Andin menyelipkan benda portable itu di bawah bantal lalu menghadapkan tubuhnya ke langit-langit kamar. Bayangan wajah dan bibir Tommy kini memenuhi pikirannya. Sambil tersenyum dan menatap sayu, ia berkata, "Apakah benar kau merindukan aku di sana?"
***
Keesokan harinya Andin bangun sedikit terlambat. Alarm yang disett-nya semalam justru tak dijangkaunya. Selain suaranya terpendam oleh bantal, tidurnya terlalu lelap sehingga tak mendengar bunyi alarm yang sudah berkali-kali berteriak.
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, Andin ke luar kamar. Ia menuruni tangga dan menuju ruang makan. Disapanya Ferry yang seperti biasa sudah menunggunya di meja makan.
"Selamat pagi, Pa." Diciumnya pipi Ferry. "Sepertinya hari ini Papa sedang bahagia," katanya saat melihat mimik wajah Ferry yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. "Pasti proyek, ya?" ledek Andin.
"Ya, tapi bukan hanya itu sih yang membuat Papa senang." Ferry melipat korannya dan meletakkan di meja bagian samping.
"Benarkah? Apa itu, Pa?" Andin mengambil satu slice roti sambil menatap Ferry yang menyunggingkan senyum lebarnya. "Tapi aku tidak yakin kalau ini ada sangkut pautnya dengan tender."
Ferry terbahak. "Memangnya kau pikir apa, hah?"
"Tidak tahu, Pa. Yang jelas ekpresi Papa sekarang tidak biasanya."
"Coba tebak apa?" goda Ferry.
Andin menciul saos kacang dari tempatnya dengan pisau. Diliriknya sang papa sebelum menggerakkan pisau itu seakan mengoles. "Aku tahu, Papa sedang jatuh cinta, ya?"
Ferry terkejut. "Jatuh cinta?" ulangnya. "Dari mana kau punya pikiran seperti itu, hah?" Ia menahan geli.
"Dari senyum, Papa. Kentara, kok kalau Papa sedang jatuh cinta."
Ferry terbahak. "No, Sayang, papa tidak sedang jatuh cinta. Papa hanya akan jatuh cinta dengan almarhun ibumu. Jadi jawabanmu salah. Ayo tebak lagi."
Andin menelan habis sisa makannya di mulut lalu menyesap susu cokelat buatan bibi. "Aku tidak tahu, Pa. Cepat Papa beritahu aku apa penyebabnya."
Ferry terbahak sambil mengoles mentega di lembar roti. "Papa memang sedang bahagia saja dengan pekerjaan Papa. Tapi kali ini pekerjaan papa sungguh luar biasa. Selain menangani satu tenser besar, Pak Malik juga melibatkan papa di proyek lain di mana ada sahabat-sahabat papa, Om Charles dan Om Harry."
"Om Charles?" ulang Andin dalam hati. "Om Charles Fabian?"
"Om Charles, Tommy dan Tante Lisa akan tiba di sini bersama keluarga Om Harry. Mereka akan tiba di sini besok. Jadi, mungkin hari ini papa akan sibuk mengutus tempat tinggal Om Harry."
"Besok? Bukannya Om Charles masih ada proyek di luar kota?"
Ferry mengangguk. "Sudah selesai. Hmm, Andin?"
"Ya, Pa?"
"Apa kau tidak keberatan kalau Om Harry akan tinggal di sini bersama istri dan anaknya?"
"Tinggal di sini?"
"Ya. Rumah kita kan cukup besar. Daripada mereka menyewa rumah, jadi lebih baik mereka tinggal di sini saja selama proyek berjalan. Di samping itu, kalau papa dan Om Harry sibuk, istri dan anaknya kan bisa menemanimu di sini."
"Aku setuju, Pa. Aku senang akhirnya bisa punya teman baru."
"Terima kasih, Nak. Sekarang habiskan sarapanmu dan pergilah ke kampus. Kau sudah hampir terlambat." Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Andin pun menurut. Ia menghabiskan sarapannya lalu berangkat ke kampus dengan menyetir sendiri. Sejak duduk di bangku kuliah, Andin sudah dihadiahi Ferry mobil baru. Mobil itulah yang menemaninya ke mana pun dia pergi. Jika masa SD sampai SMP ia selalu ditemani Tommy, sejak SMA dan sebentar lagi akan wisuda, Andin di temani mobil sport pemberian ayahnya itu. Mobil itulah yang membuat Andin lama-kelamaan bisa melupakan Tommy, terlebih sudah ada Jovita yang selalu bersamanya selama tujuh tahun ini. Dan sekarang Tommy akan kembali, apakah hubungan mereka akan seakrab dulu?
Continued___