Chereads / Hidden Desires / Chapter 16 - Bab 16. Kekhawatiran Andin.

Chapter 16 - Bab 16. Kekhawatiran Andin.

Sambil mengemudi, pikiran Andin kembali teringat pada kejadian tujuh tahun lalu saat Tommy menciumnya di dalam pondok itu. Ciuman itu selalu membekas dalam ingatannya, bahkan setiap kali melihat adegan orang berciuman, Andin selalu terbayang akan sapuan bibir Tommy yang begitu lembut di bibirnya. Meski sudah mencoba melupakan Tommy, tapi kenangan itu selalu membekas dalam hatinya dan bahkan sampai saat ini. Apakah Tommy akan menciumnya lagi seperti itu?"

Tiiiiiiittt!

"Oh, brengsek!" umpat Andin saat melihat anak anjing menyeberangi jalan tiba-tiba. Ia menekan klakson dan menginjak rem mendadak. Dilihatnya anak anjing itu berlari ketakutan saat mendengar bunyi decitan dari ban mobilnya. Setelah hilang dari jangkuan sang anjing, Andin kembali menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju kampus.

"Hai, Andin!" sapa seorang wanita ketika melihat Andin keluar dari mobil sedan merahnya.

"Jovita! Tumben pagi sekali kau datang." Andin menutup pintu mobilnya lalu berjalan meninggalkan parkiran.

Wanita itu mengenakan celana jins biru ketat dan kemeja putih berbahan satin. Rambut cokelatnya terurai. Meski sederhana, tapi gaya dan kecantikan Andin mampu membuat hati cowok-cowok di kampus itu bergetar. Jovita yang juga memiliki kecantikan yang hampir sama, mengenakan dress longar berwarna hitam. Rambutnya hitam dan panjang. Tubuhnya sama tinggi dengan Andin. Kulitnya putih, bahkan lebih putih dari Andin.

"Aku sengaja datang pagi karena ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah merindukan si Fabian itu."

Andin tersenyum girang. "Dia akan pulang besok. Kata Papa, bos-nya meminta ayahnya untuk menangani proyeknya yang lain. Jadi, kebetulan proyek ayahnya di Jawa sudah selesai, mereka akan kembali ke sini dan itu berarti...." Wajah Andin memerah. "Aku setiap hari akan bertemu dia."

"Ciee," ledek Jovita. "Tapi ngomong-ngomong dia itu anak orang kaya, lho. Fabian's Group besar. Gila! Kalau kau sampai jadian dengannya dan menikah... OMG, Andin, aku tak bisa bayangkan kekayaanmu seperti apa. Kau bisa membeli ini, itu, ini, itu...."

"Tidak seperti yang kau ucapkan, Vi. Ini saja aku belum bertemu dia. Siapa tahu pas ketemu dia sudah lupa padaku."

"Kamu ada-ada saja. Itu tidak mungkin."

"Jovita!" seruan dari arah belakang membuat Jovita dan Andin menoleh.

"Sana! Calon suamimu sudah memanggil," ledek Andin.

"Baiklah. Sampai ketemu nanti."

"Ya."

"Jangan lupa telepon aku dan kabari aku soal perkembangannya."

"Iya."

"Bye, Andin." Jovita terkikik dan langsung meninggalkan Andin.

Saking padatnya pelajaran, mereka bahkan tidak sempat makan siang bersama. Andin makan siang di kantin kampus sedangkan Jovita makan siang bersama pacarnya di luar. Sebenarnya Jovita sempat mengajak Andin ikut, tapi wanita itu menolak karena pikirannya terus dihantui oleh Tommy. "Bagaiamana aku menghadapinya nanti, ya?" katanya sambil memasukan kentang goreng ke mulutnya. "Bagaimana kalau dia sudah tak mengenalku lagi?" Kesal dengan pikiran itu, Andin pun menjejalkan beberapa kentang ke mulutnya membuat sosok yang sedari tadi duduk di pojok kantin memandangnya langsung tertawa gemas tanpa Andin sadari.

***

Aktivitas kampus hari ini membuat Andin merasa lelah. Jika malam sebelumnya ia selalu jalan-jalan bersama Jovita ke mana pun mereka mau, malam ini justru Andin menolak ajakan Jovita dan memilih untuk istirahat lebih cepat.

Seperti biasa, malam hari sebelum tidur, Andin melakukan rutinitasnya: membersihkan muka dan pakai skincare. Setelah selesai ia tidak langsung ke atas ranjang, tapi berjalan menuju balkon dengan ponsel di tangannya. Kamarnya di lantai dua. Posisi rumahnya yang berada di atas puncak membuatnya bisa melihat keramaian kota. Kendaraan masih lalu-lalang, lampu-lampu masih menerangi, tapi keramaian di sekitarnya tidak bisa mengalihkan pikiran Andin terhadap Tommy. Ia terlalu merindukan lelaki itu.

Dilihatnya layar ponsel dan menghubungi Jovita. Dengan gaun putih berbahan satin, Andin berdiri di balkon sambil memandang jalan untuk menunggu panggilannya terhubung.

"Halo, Vi," sapanya setelah panggilan terhubung. "Maaf mengganggumu. Apa kau masih bersama pacarmu?"

"Tidak apa-apa, Ndin. Aku baru pulang kok. Omong-omong kenapa suaramu lemas. Kau sakit?"

Andin membuang napas panjang. "Aku sangat merindukannya, Vi. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Sudah lama sekali aku tak melihatnya dan aku..." Mata Andin nanar. "Aku takut dia tidak akan seperti dulu padaku."

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

"Dia... dia sama sekali tidak mengabariku. Padahal besok dia akan pulang, harusnya kan dia mengabariku. Baiklah, aku memang bukan pacarnya, tapi aku kan sahabatnya. Aku jadi ragu kalau dia merindukanku."

"Positif thinking saja. Kalau dia memang sahabatmu, dia tetap tidak akan melupakanmu meski sudah lama tak bertemu. Atau mungkin dia ingin memberikanmu kejutan, sehingga dia sengaja tak mengabarimu."

"Semoga saja. Tapi aku tidak yakin," katanya lalu mendudukan dirinya di kursi rotan yang ada di situ.

"Andin?" Gadis itu bergumam lemas. "Kalau dia sudah di sini, kau harus mengungkapkan perasaanmu padanya. Apa kau berani?"

"Entalah, Vi," katanya lemas. "Aku bahkan tak akan sanggup melihatnya besok."

"Kenapa?"

"Aku takut tak bisa menahan tangis saat melihatnya. Dulu dan sekarang beda. Dulu dia masih berani memelukku, bahkan menciumku, tapi sekarang aku tidak yakin kalau dia berani melakukan itu padaku."

"Nah, tunggu apalagi. Jika dia berani menciummu, itu berarti dia menyukaimu, Andin. Pokoknya kau harus mengutarakan perasaanmu besok kalau bertemu dengannya. Mumpung dia belum... ngomong-ngomong dia belum menikah, kan?"

Andin tertawa. "Belum." Apa dia sudah punya pacar? tanya Andin dalam hati. Ekpresinya yang senang kini berubah datar.

"Nah, tunggu apalagi? Kau tidak harus mengutarakan secara langsung padanya, cukup dengan bahasa tubuh atau tindakan yang mampu membuatnya yakin bahwa kau menyukainya, dia pasti akan tahu bahwa kau membalas perasaannya."

Andin bergerak-gerak gelisah. "Tapi kalau dia sudah punya pacar bagaimana?" Jovita terdiam. "Aku takut jika dia sudah punya pacar dan tak akan menerima cintaku, Jovita. Oh, Tuhan, rasanya aku takkan sanggup memikirkan hal itu."

"Jangan berpikir begitu. Kau harus yakin bahwa dia belum punya pacar. Dan kalau pun demikian, toh belum jadi suaminya, jadi tidak ada salahnya kau bersaing dengannya untuk mendapatkan Tommy."

"Ah, kamu jahat." Andin terkekeh.

"Memangnya kau rela membiarkan Tommy diambil wanita lain? Memangnya kau mau melihat lelaki kaya raya yang kau cintai menjadi milik orang lain yang sebenarnya dia juga mencintaimu. Andin, kalau menurutku kalian ini saling mencintai, hanya saja kalian belum bisa mengungkapkan perasaan masing-masing. Ibaratnya kalian itu memiliki keinginan yang tersembunyi."

"Aku sangat berharap besok saat bertemu, dia mau memelukku seperti biasa yang sering dia lakukan padaku tujuh tahun yang lalu."

"Apa kau sudah kontak padanya?"

"Belum."

"Ya ampun, Andin. Setidaknya basa-basi kek ke dia. Tanya apa kek padanya. Siapa tahu dia akan ajak kamu ngedate. Apalagi kalian sudah lama tidak bertemu. Aku yakin, dia pasti juga merindukanmu."

"Tapi masalahnya waktu itu aku ganti nomor dan dia tidak tahu nomorku yang sekarang."

"Oh, Tuhan, lantas kenapa kau berharap dia akan mengabarimu sementara kontak barumu tidak ada padanya? Pantasan saja dia tidak memberitahukanmu bahwa dia akan pulang. Bahkan mungkin dia sudah mengabarimu, tapi kontakmu tidak aktiv. Sekarang aku tanya, sejak kapan kau tidak pernah menghubunginya lagi?"

"Tujuh tahun lalu," balas Andin santai.

"Apa?! Tujuh tahun lalu?"

Andin menahan tawa. "Iya. Sejak dia mengabariku bahwa dia sudah di Jawa, saat itu juga aku ganti kontakku agar bisa melupakannya."

"Ya ampun, Andin. Kalau sudah selama itu, jangan kau harapkan Tommy lagi. Dia pasti sudah... Oh, Andin, kenapa kau harus menghukumnya begitu lama? Aku pikir kalian tujuh tahun terpisah hanya sebatas kontak saja, ternyata... Oh Tuhan, Andin, kalau begitu, kau harus banyak berdoa agar dia kembali dan mau menerima cintamu."

Continued____