Andin terus berjalan dengan senyum yang melebar. Ia tak sabar lagi ingin melihat Tommy setelah tujuh tahun terpisahkan. "Selamat malam semuanya!" seru Andin saat menghambur ke ruang tamu. Ia melihat Ferry yang langsung berdiri menyapanya.
"Malam," sahut keluarga Fabian dan keluarga Mesya.
"Oh, Andin, dari mana saja kau?" tanya Ferry saat menghampiri putrinya.
Ingin sekali ia melihat Tommy, tapi malu melanda dirinya sehingga tak mengijinkan matanya untuk mencari di mana sosok Tommy Fabian.
Ferry merangkulnya "Andin, ini kenalkan," Ferry menunjuk Harry yang sedang berdiri tepat di samping Charles. "Ini Om Harry, dan ini..." Ferry menunjuk Lenna yang berdiri di samping Lisa. "Ini Tante Lenna, istrinya Om Harry." Harry menyapanya dengan lembut. Lenna juga menyapa dan mencium pipi Andin. "Dan ini..." Ferry menunjuk gadis yang berdiri di samping Tommy. Wajah gadis itu sangat datar. Andin yang melihatnya pun langsung membencinya. "Ini Sherly, anak Om Harry dan Tante Lenna."
Andin mengulurkan tangan. Demi menjaga kesopanan dan posisi sang ayah, ia tersenyum meski senyum itu terpaksa. "Kenapa dia harus berdiri di samping Tommy? Kan dia bisa berdiri di samping ibunya," ketus Andin dalam hati. "Andin."
Sherly pun membalas uluran tangannya. "Oh, jadi ini Andin yang dikatakan Tommy sebagai teman dekatnya," ucapnya dalam hati. Sherly menyunggingkan senyum puas. "Sherly." Mereka sama-sama berjabat tangan dan saling melemparkan tatapan tidak suka.
Hal itu ternyata disadari Tommy. Tak ingin suasana menjadi tidak enak, pemuda itu pun langsung berkata, "Andin apa kabar? Kau tidak ingin menyapaku?" sergah Tommy.
Andin yang tadinya memberikan tatapan cemooh kepada Sherly pun kini berubah girang. Wajahnya berbinar. Ternyata benar kata Jovita, Tommy tidak melupakannya, pikirnya. "Kabarku baik, Tommy. Kamu?" Andin memborong semua tubuh Tommy. "Kau semakin tampan saja." Ia memeluk Tommy.
Tommy tersenyum dan balas memeluk Andin. "Terima kasih."
Sherly yang melihatnya pun kesal, tapi sebiasa mungkin ia menahan amarahnya. Kalau bukan karena pekerjaan yang membuat orangtua mereka bersama, Sherly tidak akan mengijinkan Tommy memeluk Andin.
setelah melepaskan pelukannya, Andin memberikannya jempol dan kedipan mata. Sherly kesal. Sontak tangannya langsung mengepal. "Andai saja kau bukan anak Om Ferry. Aku..."
"Baiklah, ayo kita makan. Kalian semua pasti lapar, kan?"
Ajakan Ferry langsung menghentikan kata-kata yang terbenak dalam pikiran Sherly. Dilihatnya Ferry mengajak para orangtua, sedangkan Andin mengekor dari belakang. Entah apa yang terbenak dalam pikirannya, Sherly berkata tiba-tiba, "Tom, aku duduk di samping kamu, ya?"
Andin yang mendengar hal itu langsung terkejut, tapi tidak ada ekpresi atau gerakan yang membuatnya terkejut. Ia terus berjalan mengikuti para orangtua dan membiarkan Sherly berkomentar di belakang sesuai keingingannya. "Dasar genit!" katanya dalam hati. "Kenapa juga harus duduk di samping Tommy."
"Iya," balas Tommy sambil menggenggam tangan Sherly.
Sherly pun merasa puas. Meski posisi Andin di depan mereka, tapi persetujuan Tommy membuat Sherly senang karena itu berarti ia berhasil membuat Andin iri. Ia yakin kalau Andin pasti mendengar pembicaraan mereka tadi, hanya saja wanita itu berpura-pura. "Dulu kau mungkin sahabat dekatnya, tapi sekarang aku takkan membiarkan kau mendekatinya lagi," katanya dalam hati sambil menatap Andin dari ujung rambut hingga kaki. Meski kulit Andin lebih cerah darinya, tapi itu tidak membuatnya terintimidasi untuk mendapatkan Tommy.
"Ayo, silahkan duduk," kata Ferry begitu mereka tiba di ruang makan.
Charles dan Lisa mengambil posisi di sebelah kanan Ferry. Harry dan Lenna mengambil posisi di sebelah kiri Ferry. Sedangkan Sherly mengambil posisi di samping Lisa sehingga Tommy mengikuti dan duduk di samping Sherly. Lenna dan Harry yang melihatnya pun langsung tersenyum.
Andin yang kesal melihat hal itu dengan cepat berkata, "Eh... Pa, aku potong kuenya dulu, ya?" pamitnya dan langsung menghambur ke dapur.
Meski sekilas, tapi Ferry sempat menangkap ekpresi Andin yang sedih. Dilihatnya Tommy dan Sherly. "Kalian akrab juga, ya?" Ia tersenyum. "Kalian cocok." Sebenarnya Ferry tidak ingin melontarkan kata-kata itu, tapi ia ingin tahu apa yang membuat Sherly sedari tadi ingin duduk di dekat Tommy. Apakah terkaannya benar?
"Kau tidak tahu, ya?" ledek Harry. "Mereka berdua sudah pacaran."
Ferry terkejut. Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya menyunggingkan senyum tulusnya. Ditatapnya Tommy dan Sherly. "Kalian benar-benar pasangan yang serasi. Kau tidak salah memilih lelaki, Sherly."
Wajah Sherly kontan tersenyum. Ia sangat senang karena mendapat pujian dari ayahnya Andin. Begitu juga Tommy, ia tersenyum sesaat lalu menunduk menatap Sherly.
"Baiklah, ayo kita mulai makan," ajak Ferry lagi.
Andin muncul dari arah dapur sambil membawa kue yang sudah dipotong-potong kotak. Ferry yang kebetulan sempat menangkap ekpresi kesal sang anak dengan cepat berkata, "Andin, boleh Papa minta tolong, Nak?"
"Boleh. Papa mau minta tolong apa?" Diletakkannya piring berisikan potongan kue itu di atas meja lalu menatap ke arah Tommy dengan senyum yang membuat Sherly mengepalkan tangan.
"Papa lupa, ponsel papa ada di kamar. Bisa tolong kau ambilkan?"
"Bisa, Pa." Andin dengan cepat bergerak menuju tangga. Saat hendak melangkah ke anak tangga yang pertama, bel pintu berbunyi.
Ting- Tong!
"Bi, tolong buka pintunya," titah Ferry.
Andin yang baru menginjakkan kaki di anak tangga pertama langsung menghentikan berhenti begitu mendengar bel berbunyi. "Biar aku saja yang buka pintunya, Pa."
"Terima kasih, Sayang," balas Ferry. Dilihatnya Bibi yang baru hendak menuju pintu depan dan langsung tersenyum kepada Ferry begitu mendengar teriakan Andin. "Tidak apa-apa, Bi," katanya pelan.
Bibi pun langsung pamit lagi ke dapur, sedangkan Lenna sedari tadi menatap Ferry dan berkata, "Putrimu cantik dan rajin, Ferr. Andai aku punya anak laki-laki, akan kujodohkan dia dengan putraku." Ferry tersenyum. "Beruntung sekali pria yang akan menikahinya nanti."
Sherly yang mendengar perkataan ibunya membuatnya kesal. Ia tidak suka ibunya memuji-muji wanita yang sekarang menjadi saingannya. Ia bahkan tak peduli dia anak siapa, atau hubungan antara orangtua mereka. Yang jelas jika itu ada kaitannya dengan Tommy, Sherly tidak akan segan-segan untuk memasukannya ke daftar hitam. Dan meski belum sepenuhnya tahu tentang perasaan Andin ya g sebenarnya pada Tommy, tapi senyum Andin yang ditujukan pada Tommy dan sikap dingin yang ditunjukan Andin padanya membuat Sherly yakin bahwa gadis itu cemburu padanya. Seringai puas pun terukir dari wajahnya. "Sampai kapan pun aku takkan membiarkan dia mendapatmanmu, Tommy," katanya dalam hati.
Di sisi lain.
Clek!
"Selamat malam," sapa Andin pada sosok yang berdiri membelakangi pintu. Dilihatnya sosok laki-laki berbalutan kemeja hitam dengan celana jins pudar. Tubuhya atletis dan liat. Rambutnya cokelat dipotong cepak. Dalam hati Andin memperkirakan bahwa lelaki itu seumuran dengan ayahnya.
Lelaki itu berbalik dan tersenyum. "Ah, malam. Maaf mengganggu, apa Pak Ferry ada?" Dilihatnya wajah Andin lekat-lekat. "Apa ini istri mudanya Ferry?" tanyanya dalam hati. "Tapi kenapa Ferry tidak pernah cerita, ya?"
"Ada. Maaf, Anda siapa?"
Perkataan Andin membuat pikiran dalam benak lelaki itu buyar. "Oh, maaf. Aku Malik." Dia mengulurkan tangan untuk dijabat.
Andin pun dengan sopan mengulurkan tangannya. "Oh, Pak Malik," katanya tak kalah pelan. "Mari masuk, Pak. Papa sedang berada di dalam." Andin mengarahkan Malik agar masuk.
"Terima kasih."
Andin mengantarkan Malik ke ruang makan. "Pa, ada tamu."
"Siapa, Sayang," Ferry terkejut. "Pak Malik? Benar-benar satu kehormatan." Ferry berdiri dan menyapa Malik. Harry dan Charles pun ikut berdiri. Sementara Andin langsung meninggalkan ruangan itu untuk mengambil ponsel yang disuruh Ferry tadi padanya. "Charles, Harry, ini Pak Malik. Beliau tadi sempat membatalkan makan malam bersama kita, tapi sekarang aku senang karena beliau menarik kembali pembatalannya." Ferry tertawa sambil menatap Malik.
"Maaf, apa makan malamnya sudah selesai?" gurau Malik.
Harry, Charles dan Ferry tertawa. "Baru saja mulai," kata Ferry lalu mengarahkan Malik ke kursi bagian kepala meja yang berhadapan dengannya. "Aku senang sekali Anda bisa datang. Ayo, silahkan duduk, Pak."
"Terima kasih." Setelah bersalaman dengan semua orang di ruangan itu, Malik duduk di kursi yang berhadapan dengan Ferry. "Maafkan saya karena sempat membatalkan acara makan malam ini. Tadi ada urusan keluarga yang mendadak, tapi syukurlah cepat selesai. Dan pas aku lihat masih punya waktu, aku langsung ke sini saja."
"Baiklah, karena semua sudah berkumpul, sebaiknya kita mulai saja makan malamnya," kata Ferry.
Mereka pun bergerak dan mengambil menu masing-masing. Andin yang baru saja turun langsung memberikan ponselnya kepada Ferry.
"Terima kasih, Sayang. Ayo makan."
"Sama-sama, Pa."
"Eh, maaf, apa...?" Malik menatap Ferry dan Andin secara bergantian. "Apa...?" Alis sebelahnya terangkat.
Ferry yang paham maksud Malik langsung terkekeh. "Oh, ini anakku, Pak Malik. Dia anakku satu-satunya. Namanya Andin."
Andin dengan sopan berjabat tangan dengan Malik. Diciumnya tangan Malik dan membuat wajah lelaki itu kontan memerah. Tak ingin mereka tahu penyebab rona merah di wajahnya itu, Malik segera menunduk sambil menggeleng pelan. "Maafkan, aku. Aku pikir dia istri mudamu, Ferr."
Semua orang tertawa, termasuk Tommy. Andin spontan meliriknya. Tawa Tommy yang begitu bahagia membuat Andin memudarkan senyumannya. "Tawanya... Apakah dia sudah tidak menyukaiku, lagi?" Ditatapnya wajah Tommy yang sedang berbicara dengan Sherly. Sakit hatinya saat melihat Tommy mengambilkan lauk untuk Sherly.
"Andin, apa kau ingin berdiri saja?" tanya Ferry. Ia melihat Andin sedang menunduk termenung yang entah apa dalam pikirannya. "Ayo, duduk."
"Eh, ya." Andin melebarkan senyumnya. Senyum yang sengaja dipaksakan. Ia mengambil posisi di samping kanan Malik, tepat di samping Lenna. Matanya yang indah sesekali melirik ke arah Tommy dan Sherly. "Oh, ya Tuhan, apakah ini hukumanku karena sudah memusuhi Tommy selama bertahun-tahun?"
Continued___