Lisa dan Lisa saling melirik sambil tersenyum. "Itu tidak mungkin," kata Charles. Putraku tidak seperti itu. Dia tipe laki-laki yang setia. Kau tenang saja. Dia tidak akan nakal."
Lisa menahan tawa. "Benar, Lenn. Kau tidak usah mengkhawatirkan Tommy. Aku dan Charles yang akan memantaunya."
"Aku bukannya tidak percaya, Lis, tapi sebagai pihak perempuan, sebagai orangtua lebih baik kita menjaga-jaga. Tommy anak yang tampan dan memang benar dia tidak akan nakal, tapi kan di sana juga ada wanita-wanita cantik? Bahkan lebih cantik dari Sherly. Bukannya di Sulawesi terkenal dengan wanita-wanitanya yang berparas cantik? Aku takut saja jika para wanita itu akan menggoda Tommy," keluh Lenna.
Charles terkekeh. "Itu tidak akan mungkin, Lenna." Ia menggeleng kepala karena merasa lucu dengan sikap khawatir Lenna.
Harry berkata, "Aku setuju dengan istriku." Perkataannya membuat raut wajah Lisa dan Charles berubah. Suami istri itu saling melirik dengan mimik wajah datar. Harry yang merasa perubahan di kedua wajah temannya itu pun dengan cepat berkata, "Maafkan aku. Aku dan Lenna bukannya tidak percaya pada Tommy, tapi sebagai orangtua, aku sudah menganggap Tommy seperti anakku sendiri. Jadi, aku hanya takut Tommy akan tergoda pada wanita lain dan meninggalkan Sherly. Secara fisik mungkin kecantikan Sherly tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kecantikan wanita-wanita di sana. Tommy sekarang berbeda dengan Tommy yang dulu. Mungkin dulu dia masih sekolah, jadi belum semua wanita yang ada di Sulawesi sana itu menyadari akan ketampanannya. Tapi sekarang dia sudah menjadi Tommy dewasa dan punya masa depan yang cerah. Soal ketampanan itu relatif dan akan menjadi nomor dua, tapi kesuksesan dan kemapanannya itu bisa mengundang berbagai wanita dari pelosok mana pun rela melakukan sesuatu untuk mendapatkan dirinya. Sekalipun itu harus membuat mereka membuka kaki demi mendapatkan simpati Tommy, mereka pasti akan melakukannya."
Charles berdeham. Ia tersinggung. "Kalau masalah itu, kami sebagai orangtua juga tidak bisa melarang Tommy. Aku dan Lisa memang sudah bicara, kami berdua sepakat tidak akan mengekang Tommy dalam segala hal, terutama soal masa depannya. Yang menjalaninya adalah dia. Dan jika kalian meragukan kesetiaannya itu hak kalian."
"Maaf, Charles," kata Harry terbata. "Bu-bukan, eh... maksudku..."
"Aku tahu maksudmu, Harry." Suara datar Charles membuat Lisa terdiam. Ia bisa merasakan emosi Charles yang kini beradu argumen dengan suaminya demi memutuskan masa depan anak mereka. "Soal pernikahan, bukan? Kau memang menyetujui Sherly menjadi menantuku, tapi bukan berarti karena putraku kau harus mengorbankan pendidikan putrimu. Lagipula Tommy belum bekerja. Dia baru saja wisuda. Bukannya lebih baik jika mereka menikah di saat Tommy sudah punya pekerjaan? Di samping Tommy mencari pekerjaan, toh Sherly bisa menyelesaikan sekolah dan kuliahnya."
Harry menunduk malu. Ia bahkan meminta maaf kepada Charles atas sikapnya yang terlalu memaksa.
"Aku sangat senang karena kau begitu menyayangi putraku," kata Charles. "Tapi alangkah baiknya kalian mendiskusikan hal ini dulu bersama Sherly. Kalian tahu kan bagaiamana dampak dari pernikan dini? Kalau soal putraku, seratus persen aku sangat tahu Tommy tidak seperti itu. Dia sangat menyayangi ibunya," Ia melirik Lisa. "Dan itu berarti, dia pun akan mencintai wanitanya seperti dia mencintai ibunya."
Harry menghembuskan napas dengan kasar. "Maafkan aku, Charles. Aku dan Lenna saking khawatirnua sampai tidak bisa memikirkan hal itu." Ia menatap Lenna lalu kembali menatap Charles dan Lisa secara bergantian. "Kau benar, ada baiknya besok aku akan menanyakan hal ini dulu pada Sherly."
Sambil mengelus punggung suaminya, Lenna berkata, "Dia juga belum tahu kalau proyek kalian sudah selesai. Mungkin dia akan syok jika tahu Tommy akan kembali ke Sulawesi," katanya sedih.
Lisa meraih punggung tangan Lenna dan mengusapnya untuk menenangkan. Sedangkan Charles membentuk seringai lebar di wajah tampannya lalu berkata, "Tommy juga belum tahu soal itu. Aku dan Lisa memang berencana akan berlibut di sini dulu selama satu bulan sebelum kembali ke sana. Kami ingin liburan di sini. Sambil membiarkan Tommy dan Sherly menikmati detik-detik kebersamaan mereka, aku ingin menemani istriku jalan-jalan."
Lenna terharu. "Kalian memang pasangan yang romantis."
"Bagaimana kalau kita liburan di luat kota saja?" usul Harry. "Eh, maksudku... hanya kita, para orangtua."
"Setuju!" serah Charles. "Anggap aja kita sedang bulan madu yang kedua."
Guyonan Charles membuat Harry terbahak, sedangkan para istri saling menatap dengan raut wajah yang merah merona. Suasana romantis itu pun buyar ketika pelayan restoran membawa menu pesanan mereka.
Drtt... Drttt....
Bunyi getaran ponsel membuat pandangan Charles yang tadinya ke arah menu yang dihidangkan pelayan wanita itu, kini beralih ke benda portablenya yang terletak di samping kanannya. Ia mencodongkan badan, mengintip nama di balik layar.
"Ferry?!"
Mendengar nama itu disebut Charles, Harry dengan cepat menatapnya. "Ferry Azkia?"
Charles mengangguk lalu mengodekan mereka semua agar diam. Ia pun menggeser radial untuk menyambungkan panggilannya. "Selamat malam, Ferry! Apa kabar?" sapanya dengan suara girang.
Harry, Lenna dan Lisa menatap wajah Charles dan menyimak pembicaraan itu meski tidak tahu apa yang dibicarakannya. Ketegangan di wajah Charles membuat mereka pun ikut tegang, terlebih Harry. Ia yang duduk paling dekat dengan Charles sehingga bisa mendengarkan kata-kata yang terlontar dari seberang telepon meski hanya sedikit. Ketegangan di wajahlah yang membuat Lenna dan Lisa rela menahan lapar demi menunggu pembicaraan itu selesai.
Setelah Charles memutuskan panggilannya, Harry dengan cepat menyuarakan pertanyaan. "Apa kata Ferry?" tanyanya dengan nada tak sabar.
Wajah Charles masih datar. Ia menatap mereka semua secara bergantian. "Hmmm, Ibu-Ibu yang budiman," kata Charles datar. Suaranya sontak membuat Lenna dan Lisa berubah pucat. Alis Harry berkerut-kerut menunggu jawaban. "Eh... sepertinya kita tidak akan jadi berlibur."
Lenna-lah yang lebih dulu menjerit. "Kenapa? Ada apa?"
Lisa ikut panik. "Ada apa, Pi? Apa kata Ferry?"
"Ada apa, Charles?" tanya Harry yang semakin tak sabar.
"Hmmm," gumam Charles. Ia sendiri bingung harus berkata apa. Diambilnya gelas yang berisi jus orange miliknya dan menyesap isinya sedikit. Ia menarik napas panjang sebelum matanya menyapu ketiga orang yang sedang menatapnya dengan penasaran. "Begini, eh..." Ia menatap istrinya. "Kita tidak bisa lama-lama di sini, Mi. Maafkan papi karena liburan kita akhirnya gagal. Tapi ini juga demi Mami."
"Ada apa, Pi? Cepat katakan, ada apa?"
"Iya, Charles, ada apa? Dan apa maksudmu tidak bisa liburan?" desak Lenna.
"Ferry menyuruh kita terbang ke Sulawesi lusa nanti."
"Lusa?!" seru Harry, Lenna dan Lisa.
Charles mengangguk. Tatapannya masih datar. Ekpresinya itu membuat mereka semua tahu dan ikut merasakan bahwa ada hal yang tidak beres.
"Kenapa cepat sekali?" tanya Lisa. "Urusan apa?"
Charles mendekikan bahu. "Kata Ferry dia sudah menjadwalkan pertemuan kami lusa nanti, pertemuam antara pemilik perusahan, aku dan Harry."
"Aku?" Harry terkejut. "Kenapa aku?"
Charles menyunggingkan senyum. "Referensinya adalah kita. Dia ingin kita menangani tender-tendernya Pak Malik. Karena beliau adalah pejabat daerah, jadi dia memilih kita sebagai kontraktornya."
"Kenapa bukan Ferry saja yang menanganinya?" tanya Harry.
"Katanya dia sedang menangani tender Pak Malik yang lain."
"Jika dia mereferensi kalian berdua, itu berarti proyeknya bukan asal-asalan, dong?" tanya Lisa. Senyumnya melebar.
"Ho-oh," sambung Lenna.
"Itu benar," kata Charles. "Aku dan Harry akan menangani tender yang sama, tapi beda wilayah. Itu sebabnya dia membutuhkan kami berdua."
"Wow! Pasti akan memakan waktu bertahun-tahun baru selesai," kata Harry.
"Itu pasti."
"Jadi?" tanya Harry. Ia menatap sahabatnya Charles.
Bukannya menjawab, Charles malah terbahak. Harry yang sudah tahu maksudnya pun ikut terbahak. Sedangkan Lenna dan Lisa menatap bingung. Mereka saling melemparkan sorot mata penasaran.
"Oh, Charles," kata Harry setelah tawanya selesai. "Tak kusangka ternyata anak-anak kita memang ditakdirkan untuk selalu bersama."
Charles terkekeh. "Iya, benar." Lenna dan Lisa yang masih tak mengerti pun hanya bisa menatap kegilaan suami mereka. "Ayo, makan. Aku sudah lapar."
Continued___