Chereads / Hidden Desires / Chapter 12 - Bab 12. Mengerjai Tommy.

Chapter 12 - Bab 12. Mengerjai Tommy.

"Aku pikir ada masalah apa," keluh Lisa. "Wajahmu sangat serius tadi, Pi."

Charles terkekeh. Sedangkan Harry dan Lenna pun ikut tertawa. Kedua keluarga itu pun akhirnya melanjutkan makan malam mereka dengan senda gurau dan tawa bahagia.

***

Setelah makan malam selesai, Harry dan Lenna kembali ke rumah mereka. Begitu juga Charles dan Lisa. Dalam perjalanan menuju rumah, Charles menceritakan kembali soal proyek yang dibicarakan Ferry tadi pada Lisa. Istrinya itu setuju dan mengungkapkan beberapa pendapat sebagai tambahan. Charles setuju pun setuju. Dukungan dan motivasi seorang istri adalah hal penting bagi Charles.

Tibanya di rumah, dilihatnya Tommy sedang duduk di ruang TV. Saking tegangnnya dengan berita yang ditontonnya, ia bahkan tak sadar akan kehadiaran kedua orangtuanya. Kebiasaan yang jarang dilakukan oleh pemuda-pemuda seumurannya. Usia Tommy sekarang dua puluh empat tahun. sejak dua tahun lalu ia menjadi lelaki yang lebih dewasa dan bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Sehingga, acara berita apa pun itu yang ditayangkan, akan selalu menarik bagi Tommy. Entah karena terlahir dari kedua orangtua yang jiwa pembisnis atau apa, yang jelas aura pembisnis begitu kentap di wajahnya saat ini.

Sejak lulus kuliah, Charles sudah memberikan tanggung jawab padanya untuk menangani tender-tender kecil yang didapatkan Charles. Meski masih di bawah arahan sang papa, tapi Charles bisa melihat adanya keberhasilan dalam diri Tommy saat menangani tender-tender kecil yang ia berikan. Dan sebagai orangtua, ia sangat bangga pada putranya.

Mengingat hasil Tommy selama ini yang tidak pernah mengecewakannya, ia pun berniat akan memilih Tommy sebagai referensinya.

"Tom," panggil Charles ketika menjejakkan kaki di ruang nonton bersama Lisa.

"Pi, Mi!" Ia berdiri dan menyapa.

Charles dan Lisa pun duduk. Pria itu mengambil posisi di samping Tommy, sementara Lisa mengambil posisi di sofa lain yang menghadap ke arah dua panggeran tampannya itu.

"Lusa nanti kita akan kembali ke Sulawesi," kata Charles ketika Tommy menatapnya.

"Lusa?" Tommy terkejut. "Memangnya proyek Papi sudah selesai?"

"Sudah, Nak. Tapi di sana papi juga akan menangani tender lain." Charles menatap Lisa sambil tersenyum sebelum pandangannya kembali pada Tommy. "Sebenarnya Mami dan Papi masih ingin berlama-lama di sini. Kami punya rencana akan liburan selama sebulan di sini, sekaligus memberi waktu untuk kamu dan Sherly. Tapi saat makan malam tadi, Om Ferry menghubungi papi. Dia menyuruh papi pulang karena ada tender besar yang akan dia berikan pada papi."

"Wow! Benarkah, pi?" Tommy girang dan berjabat tangan. "Bagi-bagi ya, Pi?" ledeknya.

"Kau tenang saja. Kau dan Mami-mu akan dapat jatah, kok."

"Bukan uang, Pi, tapi proyek. Maksudku, kalau ada proyek kecil-kecilan yang menurut Papi bisa kutangani, aku akan dengan senang hati mengerjakannya."

"Tentu saja, Nak. Itu pasti. Bahkan tanpa kau minta pun papi akan memberikannya. Selama ini pekerjaanmu sangat bagus. Meski belum lihai dalam pengerjaan konstruksi, tapi kau sudah bisa mengarahkan para pekerja dengan baik."

"Terima kasih, Pi." Raut wajah Tommy yang girang kini berubah. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan Charles. "Lusa?" pikirnya. Ia menunduk menatap kesepuluh jarinya yang saling mengait. Sambil mencondongkan badan dengan siku yang bertumpang di atas pahanya, Tommy teringat pada Sherly.

Charles dan Lisa menyadari hal itu. Mereka tersenyum sambil menatap. Lisa-lah yang lebih dulu melemparkan tatapannya pada Tommy. "Memikirkan soal Sherly, ya?" Ia melirik Charles sambil mengedipkan mata.

Tommy terkejut. Pikiran soal LDR membuatnya lupa bahwa Charles dan Lisa masih duduk di hadapannya. "Maaf, Mi, Pi." Ia terkekeh lalu menyndarkan punggungnya di sofa. Sambil memainkan kedua telunjuk dan jempolnya, ia berkata, "Ya, Mi."

Charles merangkulnya. "Kau benar-benar mencintainya, ya?" Tommy tak menjawab. Tapi mimik sedih di wajah Tommy membuat Charles mengerti. "Papi juga dulu begitu, Nak. Sebelum papi menikah dengan mamimu, papi belum memiliki pekerjaan. Kau justru harusnya bersyukur, karena orangtua Sherly menyetujuinya. Sedangkan papi..." Ia menatap Lisa yang kini menatapnya haru. "Orangtua mami menolak papi karena papi tidak punya pekerjaan, tapi setelah papi berhasil dan sukses, mereka akhirnya bisa menerima papi." Charles menatap Tommy. "Itulah kenapa papi mau kau harus sukses dari sekarang. Diluar kehendak karena orangtua Sherly adalah sahabat papi, tapi ini semua demi masa depanmu, Nak. Kau sukses diusia muda adalah satu kebanggaan bagi diri sendiri juga kami sebagai orangtua."

Tommy masih diam. Ia terus memainkan jempol dan telunjuknya seakan itu lebih menarik dari segala hal. Lisa yang menyadari kesedihan Tommy, segera menggerakkan bibir kepada Charles seakan-akan menyuruh suaminya agar menceritakkan yang sebenarnya mengenai Harry sekeluarga.

Bukannya menurut, Charles malah lebih mengerjai Tommy. "Papa harap kau bisa sanggup menjalin hubungan jarak jauh bersama Sherly."

Gerakan di jari Tommy terhenti bagaikan mesin yang tadinya berproduksi, kini mati karena tak ada aliran listrik. Matanya terpaku menatap kosong. Ia tampak berpikir. Dan sebelum membalas perkataan Charles, ia menarik napas. "Aku yakin aku sanggup, Pi," katanya pelan. "Seperti yang Papi bilang tadi. Aku memang harus mapan dulu baru menikah. Toh Sherly juga masih kelas 3 SMU, belum lagi dia harus kuliah. Jadi, aku rasa waktuku sangat banyak untuk mengumpulkan uang demi masa depan kami nanti."

"Oh, Tommy," seru Lisa. "Kau benar-benar anak yang manis."

Tommy menyunggingkan senyum cerah pada ibunya lalu menghadap lagi pada Charles. "Aku ingin meminta bantuan Papi. Aku ingin sukses sebelum aku menikah. Aku ingin Papi menjadi mentorku dalam pekerjaan-pekerjaanku nanti. Aku ingin di bawah arahannya Papi sampai aku sukses nanti dan aku ingin membahagiakan Papi, Mami juga Sherly."

Lisa menatap haru dengan tangan memegang dada. "Mami beruntung mendapatkan anak sepertimu, Nak."

"Aku juga beruntung dilahikan ke dunia ini dari kedua benih yang luar sungguh biasa."

"Baiklah, Boy," kata Charles sambil menepuk paha Tommy lalu berdiri. "Papi akan mereferensikanmu pada Om Ferry. Kau tenang saja. Asalkan kamu siap dan serius untuk bekerja, papi sangat yakin semua mimpimu pasti akan jadi kenyataan."

"Amin, Pi," kata Tommy. "Mami dan Papi istirahtlah. Aku juga sudah mau tidur."

Tanpa menjawab perkataan putra semata wayang, Lisa dan Charles mengawasi kepergian Tommy hingga lenyap di balik tembok lantai atas menuju kamarnya. Sambil terkikik-kikik pelan mereka berkata, "Dia pasti akan kaget tau-tau Sherly satu pesawat dengannya," kata Charles.

Lisa geli membayangkannya. "Semoga saja Harry dan Lenna juga berhasil membujuk Sherly agar jangan dulu membeberkan rencana ini pada Tommy."

"Semoga, Mi."

Drtt... Drtt....

Ponsel Charles berdering. Dilepaskannya rangkulan tangan dari pinggang Lisa kemudian meraih ponsel dari kantong kemejanya. Dilihatnya nama orang yang sangat dikenalnya di layar. "Ferry?" Dengan cepat ia menyambungkan panggilan sambil membawa Lisa ke dalam pangkuannya.

Wanita itu mengenakan dress ketat dengan potongan leher yang rendah. Bokongnya yang besar begitu bulat memenuhi paha Charles. Sambil melihat suaminya berbicara di telepon, Lisa dengan lembut mulai melepaskan kancing-kancing kemeja Charles.

Tatapan Charles sayu berubah sayu ketika Lisa mulai mengecup dadanya yang berbulu. Diusapnya pucuk dada itu dengan lidahnya dan membuat Charles menggigit bibir bawahnya. Meski pikirannya fokus pada seseorang di seberang telepon, tapi matanya tak lepas dari wajah cantik Lisa. Tangannya mulai merambat ketubuh mungil Lisa dan meremas-remas bagian bokong istrinya membuat Lisa mendesah pelan. Ia sengaja menggodanya dengan menyusupkan di balik roknya.

Tahu sikap nakal suaminya, Lisa pun dengan lihai mulai mengemut pucuk dada Charles. Kepala Charles terkulai ke belakang. Tangannya yang tadi di dalam rok Lisa, kini terkulai ke samping tubuh seakan pasrah dengan kenikmatan yang diciptakan Lisa.

Posisi kaki Lisa terkangkang di atas pangkuan Charles, bibir dan tangannya dengan lembut terus bermain di dadanya. Sementara tangan Charles dengan lembut membelai-belai paha dan bokong istrinya.

Tak tahan akan gairah yang bergolak dalam dirinya, Charles menyudahi pembicaraannya di telepon. Menyadari akan hal itu, Lisa pun dengan cepat beranjak dan berdiri meninggalkan Charles.

Zet!

Ditariknya lengan Lisa hingga tubuh mereka jatuh ke sofa. "Mau ke mana kau, hah?"

Continued___