Cuaca pagi keesokkan harinya sangat cerah, secerah hati Lisa dan Charles karena semalam menghabiskan malam yang panjang. Bagi mereka tak masalah liburan yang sudah mereka rencanakan tidak akan ter-realisasikan karena suatu pekerjaan yang menuntut. Tapi dengan menghabiskan malam berdua saja semalam yang seperti pengantin baru, membuat mereka sudah merasakan liburan yang nyata, apalagi hari ini adalah hari terakhir mereka di Pulau Jawa dan besok mereka harus kembali ke Sulawesi.
Sambil menyesap kopi buatan istri tercinta, Charles menatap Tommy yang baru saja turun dari tangga. Dilihatnya wajah Tommy yang nampak lesu. Merasa tahu kenapa putra semata wayangnya seperti itu, dengan cepat ia berkata, "Bagaimana tidurmu semalam, Nak?"
Tommy menarik kursi di samping kanan Charles. Ditatapnya wajah sang ayah yang begitu berbinar-binar. "Pasti Papi dan Mami melewatkan malam yang bahagia semalam sampai wajah papi sebahagia ini," pikirnya. Dengan lesu ia mendudukan biritnya ke kursi. "Aku tidak bisa tidur semalam, Pi."
Charles menyunggingkan senyum lalu menatap Lisa sekarang mendekati meja makan sambil membawa nampan berisi roti lapis untuk suami dan anaknya. "Pasti karena Sherly, ya?"
"Selamat pagi, Sayang," sapa Sherly pada Tommy. Wajahnya berbinar-binar.
"Pagi, Mi," sahutnya lesu. Dalam hati ia berkata, "Apa sebahagia inikah setiap pasangan sehabis bercinta?" tanya Tommy dalam hati.
Dilihatnya wajah Charles dan Lisa secara bergantian. Lisa sedang mengulurkan piring berisi roti lapis kepada Tommy, sedangkan Charles sedang memandang ke arah profil Lisa dengan tangan sedang mengusap punggung ibunya. Hal itu membuat Tommy iri sekaligus bangga; kedua orangtuanya begitu romantis, tapi dirinya sendiri sebentar lagi akan menjalin hubungan jarak jauh.
"Apa, sih, yang kau pikirkan?" Suara Lisa membuyarkan lamunan Tommy.
"Hah?" Tommy terkejut. "Eh... ti-tidak, Mi." Ia dengan cepat meraih roti lapis di piringnya dan memakannya.
Charles dan Lisa saling melirik. "Bagaimana, apa kau sudah bicara dengan Sherly soal keberangkatanmu yang mendadak?"
Tommy menatap rotinya di atas piring. Sambil mengunyah pelan ia menggelengkan kepala dua kali seakan menjawab pertanyaan Charles.
Lisa mengodekan sesuatu pada Charles, tapi Tommy terlalu sibuk melihat roti sehingga ia tak mengetahui jika sebenarnya kedua orangtua sedang mengerjainya. Apakah itu yang membuat Tommy galau?
"Eh, Tom?" Charles menelan sisa kunyahannya sampai Tommy menatapnya. "Kalau seandainya Sherly ikut, apa kerutan di wajahmu itu akan hilang?"
Mata Tommy terbelalak menatap Charles. Tahu bahwa itu hal yang tidak mungkin membuat Tommy bahagia dan kembali mengulaikan bahunya dengan lemas dan merosot di kursinya. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Pi." Ia menjejalkan kembali rotinya.
"Papi serius, Nak. Sherly akan ikut dengan kita."
"Tidak mungkin. Orang dia di sini sekolah." Tommy menyesap susunya.
Charles mengedipkan mata pada Lisa seakan berkomplot. "Ya, sudah kalau tidak percaya. Orang Papi dan Om Harry yang akan menangani proyeknya, kok."
Tommy tersentak. "Ma-maksdud, Papi?"
Lisa mengambil alih. "Om Ferry menawarkan tender kepada Papi dan Om Harry di sana. Karena Om Ferry juga sedang menangani proyek lain, jadi beliau mereferensikan Papi dan Om Harry kepada Pak Malik. Itu berarti..."
"Sherly dan Tante Lenna akan ikut, begitu?" sambung Tommy dengan antusias.
Charles dan Lisa tersenyum lebar. "Iya, Nak. Memangnya Sherly tidak memberitahukannya padamu?" tanya Lisa.
"Tidak, Mi. Semalam dia tidak mengabari aku apa-apa." Ia meraih gelas berisi susu dan meminumnya.
"Mungkin Om Harry dan Tante Lenna belum memberitahukannya," kata Charles. "Tapi mungkin sebentar lagi dia akan mengabarimu."
"Benar. Mami rasa mungkin dia belum tahu. Tapi hari ini katanya Tante Lenna akan mengurus semua berkas-berkas kepindahan sekolah Sherly. Pasti setelah itu dia akan memberitahumu."
Drrtt... Drtt...
Ponsel Charles berdering. Kebahagiaan ibu dan anak itu langsung terhenti ketika sang kepala rumah tangga mengerutkan alis. Diraihnya ponsel dari atas meja lalu senyum lebar. "Ferry," kata Charles sambil menempelkan telunjuknya di bibir. "Halo, Ferr?"
"Halo, Charles. Maaf pagi-pagi aku sudah mengganggumu."
"Tidak masalah, Ferr. Ada apa?"
"Eh, begini. Soal desainer kemarin."
"Ya, ada apa?" Charles menatap Tommy. Dalam hati ia berdoa semoga Ferry tidak membatalkan rencana pencarian desainer untuk tendernya. Karena kalau batal, itu berarti peluang Tommy untuk terlibat di proyek itu akan gagal.
"Kau belum mendapatkan desainer yang aku minta, kan?"
"Belum, Ferr," sahutnya pelan.
"Bagus. Tadi malam Pak Malik menghubungiku. Katanya ada beberapa proyek bangunan milik temannya yang baru saja selesai dan hasilnya bagus. Beliau saat ini sedang berada di Jawa karena urusan keluarga, tapi besok beliau akan kembali ke sini sekaligus akan bertemu dengan kalian untuk membahas soal tender kita."
"Iya. Terus?"
"Nah, beliau sangat menyukai hasil desain bangunan itu yang katanya adalah karya dari arsitek muda. Tapi temannya itu tidak tahu siapa nama arsitek itu. Bisa tidak kau bantu aku untuk menemukannya? Kata Pak Malik dia di Jawa. Coba kau tanyakan pada Harry, siapa tahu dia mengenalnya."
"Kenapa tidak coba tanyakan saja pada teman Pak Malik siapa kontraktornya lalu tanya siapa desainernya? Toh kontraktornya pasti tahu siapa desainernya."
"Oh, iya, benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku, ya. Baiklah, kalau begitu aku hubungi Pak Malik dulu. Oh, iya, tiket kalian sudah kupesan. Boardingpass-nya nanti akan ku kirim ke kontak kalian masing-masing."
Charles tertawa. "Terima kasih, Ferr. Semoga desainernya cepat ketemu."
"Oke. Aku akan menghubungimu lagi, Charles. Terima kasih."
Tut... Tut...
Charles melepaskan ponselnya kembali. Ditatapnya wajah Lisa dan Tommy secara bergantian. Sambil menyunggingkan senyum, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Lisa-lah yang lebih dulu bertanya. "Ada apa, Pi? Apa maksud Papi soal desainer?"
Tatapan Charles mengarah kepada Tommy yang kini sedang menapnya. "Maafkan Papi, Tom." Pemuda itu mengerutkan alis karena bingung. "Semalam Om Ferry dan papi bicara panjang lebar soal proyek yang akan papi dan Om Harry tangani nanti. Karena proyek ini sangat besar, dia mau desainer andalannya yang memegang proyek itu, tapi ternyata yang bersangkutan tidak bisa. Dia juga sedang menangani tendernya Om Ferry yang juga lumayan besar sehingga tak bisa menghandle dua tender sekaligus. Jadi, semalam papi berencana akan mereferensikan kamu pada Om Ferry nanti ketika tiba di sana. Tapi..." Charles menatap Lisa sesaat lalu kembali melihat Tommy. "Pak Malik, pemilik proyek, sedang berada di sini. Kebetulan beliau ada urusan keluarga dan mungkin beliau bertemu dengan relasinya yang adalah pengusaha, yang kebetulan mungkin memperlihatkan bangunannya, sehingga beliau menyukai karya si desainer tersebut. Tapi, sayangnya temannya Pak Malik itu tidak tahu siapa desainernya," jelas Charles. Ia mengbuskan napas lemah.
"Tidak apa-apa, Pi," kata Tommy. "Mungkin belum rejeki..."
Drtt... Drtt...
Getaran ponsel Charles menghentikan perkataan Tommy. Dilihatnya sang ayah menunjukan nama Ferry yang terpampang di layar telepon. Lisa yang duduk di seberang Tommy langsung meraih tangan anaknya dan mengusapnya. Dengan mulut yang bergerak tanpa suara ia berkata, "Sabar, ya?"
Tommy pun tersenyum mengangguk dan balas melapisi tangan Lisa. Dengan gerakan bibir yang sama ia berkata, "Tidak apa-apa, Mi."
"Ya, Ferr. Bagaimana?" tanya Charles.
"Sudah!" Ferry terbahak. Charles menatap Tommy sedang tatapan kasihan. Niatnya yang ingin membuat nama Tommy terkenal akhrinya gagal. "Relasinya Pak Malik langsung memberikan kontak kontraktornya kepada beliau dan beliau mengirimkannya padaku."
"Terus? Apa kau sudah menghubunginya? Siapa desainernya?"
"Justru itu aku ingin bertanya padamu, Charles, apa kau kenal desainernya?"
"Hah? Ma-maksudmu? Aku tidak tahu desainer mana yang kau maksud."
"Pak Malik mengirimkan kontak si kontraktor itu padaku barusan. Beliau menyuruhku untuk menghubunginya. Pas aku menekan radial, yang muncul adalah namamu. Itu berarti kaulah kontraktornya, Charles. Cepat! Ayo cepat katakan di mana kau menemukan desainernya? Soal harga tidak masalah. Dia minta berapa persenpun Pak Malik akan menyetujuinya."
Wajah Charles terkejut. Lisa dan Tommy menatap bingung. "Kau yakin, Ferr? Memangnya proyek yang mana, sih?"
Ferry menjelaskan kembali soal bangunan milik teman Pak Malik yang dicerikan beliau padanya. Tanpa kurang atau dilebihkan, Ferry menjelaskannya pokoknya sesuai yang dijelaskan Pak Malik padanya sebelum itu pada Charles.
"Oh, yang itu. Kalau itu memang benar. Aku kontraktornya dan disainernya adalah Tommy."
"Tommy?! Tommy anakmu?"
"Ya, Tommy putraku. Memangnya Tommyku ada berapa?" Charles tertawa. Ia mengedipkan mata pada Lisa dan mengacungkan jempol pada Tommy.
"Kalau begitu besok kalian harus cepat ke sini. Ini kabar baik buat Pak Malik. Aku akan menghubungi Pak Malik dan meberitahukannya bahwa desainernya adalah anakmu. Wah, ini sungguh luar biasa, Charles. Tapi.... tapi aku masih tidak percaya kalau putramu sudah sehebat itu. Tapi aku tidak ragu, sih, karena ayahnya juga sangat hebat."
Charles terbahak. "Apa kau tidak ingin bicara dengannya?"
"Kau sampaikan saja padanya, ini adalah peluang baginya untuk menuju kesuksesan. Kau tahu bagaimana Pak Malik kalau sudah menyukai sesuatu, kan? Pak Malik akan mengikat Tommy sebagai desainer pilihannya. Soalnya tadi beliau sangat ngotot ingin aku cepat-cepat mencari tahu soal disainer muda itu."
"Benarkah?"
"Ya. Baiklah, kalau begitu aku harus menghubungi beliau dulu untuk memberitahukan kabar gembira ini. Dia pasti sangat senang."
"Baiklah, Ferr. Terima kasih."
Tut... Tut...
"Ada apa, Pi?" tanya Lisa tak sabar ketika Charles meletakkan ponselnya di atas meja.
Charles menatap anaknya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Tommy. Lelaki itu tampak bingung, tapi ragu-ragu Tommy mengulurkan tangannya, balas menjabat tangan Charles. "Selamat, Nak. Desainer yang dicari-cari Pak Malik ternyata adalah kamu."
Continued___