Chereads / Hidden Desires / Chapter 8 - Bab 8. Cemburu.

Chapter 8 - Bab 8. Cemburu.

"Oke. Jangan selingkuh ya, Sayang."

Lagi-lagi Tommy menahan tawa. Karena geli dengan sikap Sherly yang iseng, ia pun berkata, "Tidak cium pipi dulu, nih?"

Zet!

Mata Sherly terbelalak. Ia menatap Tommy dengan wajah memerah. Dilihatnya pemuda itu sedang tersenyum manis padanya. Tak sanggup melihatnya, Sherly segera berlari ke arah kelasnya. Tommy yang puas mengerjainya pun segera terkekeh lalu meninggalkan tempat itu.

"Sherly, Sherly."

***

Sejak keisengan mereka hari itu, Sherly dan Tommy harus bersandiwara di sekolah. Tommy yang setuju-setuju saja tidak pernah keberatan dengan perlakuan Sherly jika gadis itu berbicara mesra di hadapan teman-temannya. Meski tak seperti orang berpacaran: duduk bersama, tapi tutur kata yang ke luar dari mulut Sherly dan Tommy membuat orang-orang percaya bahwa mereka berpacaran. Hal itu ternyata membuat perasaan Tommy mulai tergugah.

Sejak menjalani hukuman itu, Tommy selalu menjemput Sherly dengan mobil sedan hitam yang difasilitasi oleh kedua orangtuanya. Karena jam diklat mereka tidak sama, gadis itu sering menunggu di kantin sekolah sampai Tommy selesai.

Kesetiaan Sherly yang rela menunggu sampai berjam-jam membuat Tommy mulai menyukai gadis itu. Meski tak selembut Andin, tapi kejujuran, ketegasan dan pendirian dalam diri Sherly-lah yang membuat Tommy jatuh cinta padanya.

"Kenapa kau tidak pacaran dengan temanku? Dengar-dengar, si ketua Osis itu sangat menyukaimu. Dia sering bertanya padaku tentang dirimu," goda Tommy.

Mereka sedang perjalanan pulang dari sekolah menuju tempat makan. Karena di tingkat SMP sedang ada ujian, juga kelas Tommy sedang masa tenang, mereka cepat pulang dan memutuskan untuk tidak langsung ke rumah.

Sherly mengendus menatap Tommy. "Memangnya dia tidak tahu kalau kita pacaran?" ketusnya.

Tommy terkikik. "Memangnya kita pacaran sungguhan?"

Sherly membuang muka. Tommy bahkan yang tidak melihat wajahnya bisa membayangkan bagaimana merahnya wajah Sherly. Setelah diam sesaat, Sherly menatapnya lagi lalu berkata, "Memang tidak, tapi kan kemesraan kita di sekolah sudah cukup bukti untuk para lelaki-lelaki itu bahwa aku milikmu."

Tommy terbahak. "Kemesraan?" Ia mengacak rambut Sherly. "Kemesraan bagaimana? Duduk berduaan saja tidak pernah."

Wajah Sherly merah padam. Ia kesal karena Tommy selalu membantah alasannya. Tapi memang benar, ia dan Tommy tidak pacaran. "Kemesraan" menurut Sherly yang sering dilakukannya bersama Tommy di sekolah, hanyalah alasan Sherly agar tidak boleh ada siswi-siswi yang boleh mendekati Tommy selain dirinya.

"Memangnya kalau sudah pacaran harus mesra? Jangan harap! Aku tidak akan bermesraan denganmu. Toh mesra bukan harus berpelukan atau berciuman," kata Sherly. Ia mengomel tanpa menatap Tommy.

Pemuda itu menahan tawa. Sikap Sherly sangat menggemaskan. Jujur Tommy tahu alasan Sherly kenapa harus bersikap begitu di sekolah. Gadis itu tidak mau didekati oleh lelaki lain selain dirinya. Ia juga tahu Sherly tipekal gadis pemilih, bukan hanya dalam urusan makanan, tapi juga lingkungan. Ruang pergaulan Sherly sangat minim, padahal banyak yang ingin berteman dengannya. Tapi ia tahu sebisa mungkin Sherly menjaga jarak karena tidak ingin orang-orang mendekatinya hanya sebagai alasan untuk memanfaatkan latar belakangnya.

***

Suatu hari di sebuah cafe, Sherly dan Tommy sedang duduk sambil bercerita. Entah kenapa Sherly berpikir untuk menanyakan soal teman-teman Tommy.

"Oh iya, Tom, di sekolah kamu sebelumnya, siapa saja teman-teman yang dekat denganmu?"

Tommy yang sedang baru saja menelan kunyahannya segera menarik tisu untuk memberihkan tangannya dari remah-remah bubuk kentang goreng yang dipesannya. Sebelum menceritakan, Tommy menenggak minumannya hingga tersisa setengah gelas. "Aku sama punya satu teman dekat. Kami bersahabat sejak SD. Papi dan ayahnya punya hubungan yang sama seperti papamu dan papiku."

"Oh, ya?" Sherly mencondongkan tubuhnya untuk meraih tisu di depan Tommy. Sikapnya yang tidak malu-malu dan mandiri itu sangat disukai Tommy.

"Usia kami beda tiga tahun. Namanya Andin."

Sambil menotolkan tisu ke mulutnya, tatapan Sherly terarah ke piring kosong bekasnya. Ia tak sanggup menatap ekpresi Tommy saat mendengar suara pemuda itu begitu pelan menyebutkan nama Andin. Ada rasa sakit dalam hatinya. Tapi sebisa mungkin ia membuat wajahnya terlihat seperti biasa. Bagi Sherly, saat pertama mengirim pesan pada Tommy soal perasaannya itu sudah cukup untuk mengutarakan cintanya, tapi sikap Tommy yang lembut dan perhatian saja tidak cukup baginya jika lelaki itu tidak pernah mengutarakan perasaan. Bagi Sherly perbuatan saja tidak cukup, ia tidak mau dianggap memiliki kepercayaan tinggi akibat perlakuan Tommy. Ia pun dengan cepat berkata untuk menghangatkan suasana hatinya yang sedang dingin itu. "Kau pasti menyukainya, kan?"

Apa aku harus bilang ya? Pikir Tommy. Sebelum menyebutkan nama Andin tadi ia menatap lekat-lekat wajah Sherly. Dilihatnya apakah ada rasa cemburu saat ia menyebutkan nama itu? Dan ternyata iya. Tommy menemukan ketidaksukaan Sherly saat ia menyebutkan nama Andin; sebelum menyebutkan nama Andin, Sherly menatapnya, tapi setelah nama Andin disebutkan, Sherly dengan cepat menunduk, mengarahkan tatapan di piringnya yang kosong.

Ia menahan tawa. "Tidak. Kami hanya berteman saja."

Ingin sekali Sherly berteriak senang. Tapi harga dirinya terlalu tinggi sehingga menghalaukan perasaannya itu. "Berarti sama seperti kita, ya?"

Tommy tak menjawab iya atau tidak. Lelaki itu mencodongkan badan, mengulurkan tangan untuk membersihkan bekas sambal di mulut Sherly yang tidak dijangkaunya dengan tisu. "Menurutmu?"

"Terima kasih. Kalian pasti sangat mesra." Gadis itu mengambil tisu lagi dan menggosokkannya secara kasar di mulutnya.

Tommy bisa melihat rasa tidak sukanya Sherly dengan jawaban yang mungkin sudah terpikirkan olehnya. Dengan mimik wajah yang lembut, Tommy berdeham sebelum berkata, "Apa kau serius dengan ucapanmu malam itu?" Sherly sontak menatapnya. "Apa kau benar-benar serius menyukaiku, Sherly?"

Gadis itu terbahak. Tawanya nyaring membuat Tommy melihat kegugupan dalam dirinya. Dengan susah payah ia ingin menepiskan perasaannya dan bersikap netral, tapi Tommy langsung menyusulnya dengan pertanyaan, "Kau mau jadi pacarku, Sherly?"

Pertahan Sherly runtuh. Ia ingin berdiri dan pergi untuk menyembunyikan wajahnya, tapi Tommy dengan sikap laki-lakinya segera berdiri dan duduk di sampingnya. Digenggamnya tangan Sherly. "Kau mau, kan, jadi pacarku?" bisiknya.

Entah ingin menangis atau tertawa, Sherly segera memeluk Tommy. Ia menyusupkan wajahnya di leher Tommy dan menangis. "Aku mau, Tommy, aku mau."

Tommy balas memeluknya. "Kenapa menangis, hah?" Diusapnya rambut Sherly. Tommy terkikik. "Sekarang kita tidak perlu berpura-pura lagi di sekolah."

Sherly terkekeh. Ia segera melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. "Ngomong-ngomong, apa yang membuat kau ingin menjadikanku pacarmu?"

Tommy tersenyum. "Kau tahu, sikapmu itu sangat menggemaskan. Sejak awal saat kau mengajakku bersandiwara, aku sudah suka padamu. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku ingin kita menjalin hubungan yang tidak hanya sekedar sandiwara, tapi fakta. Aku menyukaimu bukan karena orangtua atau apa, tapi dari dalam lubuk hatiku mengatakan, bahwa aku menyukaimu, Sherly."

Continued___