Tak ada balasan pesan dari Sherly membuat Tommy akhirnya masuk ke kamar. Ia menutup pintu balkon dan mematikan lampu tidur. Bias cahaya bulan dari setiap jendela membuat siluet tubuhnya terlihat saat ia berbaring menghadap langit. Pikirannya tentang Andin hilang saat ia membayangkan sosok Sherly berwajah tegas, tapi cantik itu sedang merajuk sekarang akibat istilah yang diberikannya. "Miss Watak." Tommy tertawa sampai akhirnya kantuk menelan kesadarannya.
***
Bias mentari pagi menyapa Tommy dari jendela kaca. Mimpi buruk semalam membuatnya terlelap pukul empat subuh dan terlelap lagi pukul lima. Untung saja ia memasang alarm sehingga tidak takut untuk terlembat. Dilihatnya jam pukul setengah tujuh. Dengan cepat ia bergegas mandi, pakai seragam, lalu sarapan.
Lisa yang melihat putranya buru-buru pun langsung bertanya, "Siapa yang mengejarmu, Tom?" candanya.
Tommy yang baru saja menjejalkan potongan terkahir roti di mulutnya dengan cepat mendorong kursi dan berdiri. "Aku harus menjemput Sherly, Mam. Aku sudah janji untuk mengantar jemputnya mulai hari ini."
Charles yang baru saja muncul dengan pakaian rapi dengan heran menatap Tommy. "Apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa kau sarapan sambil berdiri?" Ia menjejalkan tubuhnya di kursi bagian kepala lalu meraih cangkir berisi kopi. Ditatapnya Tommy dengan alis berkerut bingung.
"Aku harus menjemput Sherly, Pi. Aku pakai taksi. Jadi biar tidak terlambat, aku harus berangkat dari sekarang. Nyari taksi di sini agak susah."
Charles dan Lisa saling bertatap sambil tersenyum. "Cie, ada yang mulai PDKT, nih," ledek Charles.
Tommy tersenyum. "Kan aku dan Sherly berteman, Pi."
Lisa menududukan diri di samping kanan Charles, menghadap Tommy. Sambil mengolesi roti untuk suami, ia berkata, "Mami dan papi punya rencana membelikanmu mobil untuk dipakai sehari-hari."
Tommy girang. "Benarkah, Pi?" Charles mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu, Pi, Mi. Aku bisa terlambat jika kita membahas ini." Tommy menghabiskan susunya kemudian mencium pipi kedua orangtuanya.
"Aku pergi, ya? Bye, Mi, Pi."
Dengan sedikit berlari Tommy berjalan keluar gang untuk bisa sampai ke jalan utama. Tak berapa lama taksi muncul dan ia segera naik.
Ting!
Satu notifikasi masuk dan Tommy segera meraih ponsel dari saku celana abu-abunya. Dilihatnya pesan dari Sherly.
"Fabian junior, kau di mana? Aku sudah siap."
Tommy terkekeh. Baru saja ingin membalas pesan Sherly dengan menyapa menggunakan istilah yang sesuai nama kontaknya "Miss watak" Tommy teringat soal hukumannya. Ia segera tertawa dan menghapus kembali semua huruf itu dan mengganti, "Sabar ya, Cantik, aku sudah di jalan."
Setelah mengirim pesan itu Tommy terkikik pelan. Tatapannya menghadap jendela. Ingatannya yang tadi pada Sherly tiba-tiba teralih ke mimpi buruknya semalam.
Mimpi itu tentang dirinya bersama Andin yang hubungan asmara mereka kandas karena orang ketiga. Dalam mimpi itu Tommy dikhianati Andin. Dan Tommy sangat bersyukur itu hanya mimpi. "Tapi kenapa harus mimpi seperti itu, ya?" pikirnya.
Tak berapa lama ia pun tiba di depan rumah Sherly. Gadis itu sudah berdiri di depan gerbang dengan seragam putih-biru dan ransel berwarna hitam. Rambutnya lurus, tubuhnya tinggi, kurus, wajahnya cantik, tapi sayang jarang tersenyum. Tommy terkikik melihat wajah cemberutnya.
"Ayo, naik," kata Tommy saat menurunkan kaca jendela.
"Tommy!" Dengan cepat Sherly naik ke taksi. Dari sisi kiri ia membuka pintu. "Selamat pagi," sapanya." Tommy menyahut bersamaan dengan supir taksi. "Aku pikir kau tidak jadi menjemputku." Ia melirik supir. "Jalan, Pak."
Tommy terkekeh. "Kan aku sudah janji. Apa kau tidak keberatan aku menjemputmu dengan taksi?"
Sherly mengerutkan dahi. "Tidak masalah. Yang penting kau datang menjemputku dan pulang mengantarku. Aku tak peduli kau pakai taksi, bajai atau apa, pokoknya sebagai hukuman atas kesalahanmu semalam, kau setiap hari harus mengantar jemputku di sekolah."
Tommy terbahak mengingat kesalahannya. Sesaat mereka terdiam sebelum akhirnya Tommy berkata, "Apa kau serius dengan ucapanmu semalam?"
Sherly tersentak menatapnya. "Ucapan apa?"
"Kau menyukaiku."
Sherly menunduk diam, wajahnya memerah. Ia menoleh ke arah jendela agar Tommy tidak melihatnya, tapi terlambat.
Tommy yang memperhatikan kekikukan Sherly dalam hati berkata, "Miss watak sepertimu ternyata tahu malu juga?" Ia terbahak dalam hati. Tak ingin membuat Sherly semakin kikus, Tommy segera mengalihkan pembicaraan. "Hari ini pulang jam berapa?"
Saat itulah Sherly kembali menatapnya. Wajahnya sudah tidak merah, tapi tetap datar. "Mungkin jam dua." Dengan cepat ia menambahkan, "tapi aku akan menungguku sampai kelasmu selesai. Bedanya jam sekolah kita bukan berarti kau bebas dari hukuman, Mr. Fabian."
Tommy terbahak. "Mr. Fabian?"
Sherly mengangguk. "Setidaknya itu masih sangat sopan dari pada Miss watak." Sherly melemparkan pandangan kesalnya ke luar jendela sementara Tommy menahan tawa.
Tak lama mereka pun tiba di depan gerbang SM High School. Tommy membayar sewa taksinya, sementara Sherly segera turun dan menunggu pemuda itu dan berjalan bersama melewati gerbang sekolah. Para siswa SMP yang baru berdatangan menatap Tommy dengan pandangan heran, bahkan da yang menatapnya dengan mimik wajah tidak suka.
Wajah Sherly memang datar dan berwatak, tapi dia merupakan siswa paling cantik di tingkat SMP. Meski kurus, tapi Sherly memiliki tubuh indah bak model luar negeri. Wajah blasterannya itu perpaduan antara Harry yang berasal dari Amerika dengan Lenna yang asli Jawa. Kulitnya eksotik, hidungnya mancung dan bibirnya yang seksi itu sedikit berisi. Kesempurnaannya itu sangat diminati oleh para siswa penghuni SMP SM High School, apalagi saat mereka tahu ayahnya adalah pemilik saham terbesar di sekolah itu, dengan segala cara mereka mendekati Sherly, tapi ditolak. Dan melihat Sherly berjalan dengan Tommy membuat mereka marah, apalagi tahu bahwa Tommy adalah siswa baru.
Berbeda dengan para siswa, para siswi penghuni SM High School justru memandang Tommy dengan tatapan kagum. Ada yang bahkan sampai ternganga, menutup mulut karena terpesona akan ketampanan Tommy.
Bertolak belakang dengan Sherly, Tommy adalah sosok pria yang murah senyum. Parasnya yang turun dari sang ayah dan nenek, serta Lenna yang juga keturunan Belanda membuat Tommy terlihat seperti pemuda dari luar negeri yang berdomisili di Indonesia. Tubuhnya tinggi, rambutnya hitam kecokelatan, mata abu-abunya turun dari sang ayah dan nenek, sedangkan kulitnya yang putih kecokelatan itu adalah warisan dari keluarga Lenna, Indonesia-Belanda. Parasnya yang sempurna itulah yang membuat semua siswi SMP maupun SMA di SM High School, bahkan Andin dan Sherly ikut menganga menatapnya. Sikapnya yang lembut dan sopan membuat mereka ingin memilikinya.
"Aku ke kelas dulu. Kalau sudah pulang kabari aku," kata Tommy.
Sherly yang bangga akan kehadiran Tommy dan memang sengaja ingin meledek para siswi di kelasnya menjawab, "Ya, Sayang. Istirahat nanti kita makan siang bersama, ya?"
Tommy nyarik terbahak, tapi ia segera menahannya saat Sherly melirik semua siswi dan siswa yang sedang menatap mereka. Ia pun sadar dan ikut bersandiwara dengan Sherly. "Baiklah, nanti aku yang ke sini dan kita kantin sama-sama."
"Oke. Jangan selingkuh ya, Sayang."
Lagi-lagi Tommy menahan tawa. Karena geli dengan sikap Sherly yang iseng, ia pun berkata, "Tidak cium pipi dulu, nih?"
Zet!
Mata Sherly terbelalak. Ia menatap Tommy dengan wajah memerah. Dilihatnya pemuda itu sedang tersenyum manis padanya. Tak sanggup melihatnya, Sherly segera berlari ke arah kelasnya. Tommy yang puas mengerjainya pun segera terkekeh lalu meninggalkan tempat itu.
"Sherly, Sherly."
Continued___