Malam semakin larut, perbincangan Charles dan Harry takkan ada habisnya. Mengingat anak-anak mereka besok harus sekolah, Charles dan Lisa segera pamit pulang.
Dalam perjalanan keheningan pun terjadi. Charles menyetir mobil dengan tangan sebelah menggenggm tangan Lisa, matanya sesekali melirik Tommy. Lisa yang juga sama pemikiran dengan suamiya sesekali menegok ke belakang. Kebisuan Tommy membuat mereka berdua khawatir.
Tak kuasa menahan gejolak dalam dirinya, Lisa berkata sambil menatap Tommy, "Nak, kenapa diam saja?" Ia melirik Charles. "Kau tidak perlu memaksakan diri untuk menjalin hubungan dengan Sherly. Mami dan Papi tidak mau pikiranmu terbebani hanya karena hal itu. Mami dan papi sama sekali tidak masalah, Sayang."
"Ya, mami benar," timpa Charles. "Kebahagianmu adalah yang utama bagi kami. Soal perjodohan yang dikatakan Om Harry sebenarnya sudah lama kami tahu, tapi mami dan papi tidak mau mengatakannya. Mami dan papi mau kau menemukan pasangan sesuai kemauanmu sendiri."
Tommy menoleh, mencodongkan badan di antara dua kursi di depan lalu menatap kedua orangtuanya secara bergantian. Ia menarik sebelah tangan mereka masing-masing dan menggenggamnya. "Aku tidak masalah Mi, Pi, aku setuju. Toh ini masih tahap pengenalan. Lagipula apa salahnya jika aku mengenal gadis lebih dari satu. Selama ini kan aku hanya bergaul dengan Andin. Jadi, aku juga ingin bergaul dengan Sherly, anak teman Papi. Jika Andin bisa kujadikan teman, kenapa Sherly tidak?"
"Ya, maksud Papi juga begitu, Nak," balas Charles. "Kau jangan berpatokan dengan omongan Om Harry soal perjodohan itu. Perjalananmu masih panjang. Kau baru kelas dua belas, belum lagi kau harus kuliah. Papi tidak mau perjodohan itu akan mengganggu pikiranmu dan merusak sekolahmu."
Sherly menatap Tommy. "Kau tahu, sudah sejak kau SMP Om Harry dan Tante Lenna ingin menjodohkanmu dengan Sherly, tapi mami dan papi tidak terlalu memperdulikan karena kau dan Sherly masih sangat kecil. Om Harry sampai ngotot ingin sekali mempertemukanmu dengan Sherly, tapi waktu tidak mengijinkan." Lisa melirik Charles. "Mungkin dengan adanya proyek ini kalian bisa bertemu. Tapi mami harap niatmu ke depan tidak akan terintimidasi dengan kata-kata Om Harry. Kami mau kau harus fokus dengan sekolah dan karirmu. Kau adalah pewaris tunggal, Nak. Bisnis-bisnis mami yang tidak diketahui oranglain sana sedang menantimu. Jadi mami mohon, jangan kecewakan mami."
Tommy menempelkan tangan Lisa ke pipinya. "Mami tenang saja. Kalian tidak akan pernah kecewa padaku."
***
Tibanya di rumah Tommy segera pamit kepada Lisa dan Charles untuk masuk ke kamar yang ada di lantai dua. Ia mengganti pakaiannya tadi dengan celana pendek berwarna biru gelap dan kaos putih oblong. Karena belum mau tidur, ia berjalan mendekati balkon, melihat pemandangan kota dan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia masuk ke kamar lagi untuk mengambil ponsel lalu kembali ke balkon. Sambil mengotak-atik benda itu Tommy tersenyum lebar ketika menemukan nama yang menjadi tujuannya. Pikirannya kembali ke beberapa hari yang lalu saat ia berani mengecup Andin. Bayangan Andin menciumnya pun membuat Tommy geli hingga ia terbahak. Tommy sangat yakin kalau Andin menyukainya.
Dengan gontai ia bergerak ke arah kursi rotan yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Sambil mengetikkan pesan untuk Andin, Tommy mendudukan tubuhnya di kursi. Setelah mengirim pesan singkat itu ia meletakkan ponsel di atas meja, di sampingnya. Dengan senyum lebar ia menatap langit, Tommy gemas dengan sikap Andin kalau-kalau peristiwa itu muncul kembali dalam benaknya. "Kenapa kau tidak mau jujur?" lirihnya dengan senyum geli.
Ting!
Tommy terlonjak. Bunyi notifikasi langsung mempercepat tangannya untuk mengambil ponsel itu. Dilihatnya satu pesan masuk. Alisnya berkerut, senyum yang tadi melebar kini memudar saat nama pengirim pesan itu adalah Miss Watak alias Sherly.
"Tom, maaf mengganggumu. Aku tahu kau pasti tidak nyaman dengan ucapan papa tadi. Aku tidak keberatan jika kau menolak perjodohan itu. Aku mau kita berteman saja. Aku tidak mau kau menjalin hubunganku hanya karena orangtua kita. Lagipula kau pasti sudah punya pacar, kan? Maaf, Tom, tapi jujur aku menyukaimu."
Tommy terkekeh. Ia merasa lucu sekaligus kagum dengan sikap Sherly yang berani mengungkapkan perasaannya. Andai Andin seperti itu, pikirnya. Tapi dengan cepat ia membalas pesan Sherly. "Tidak apa-apa, Miss Watak. Aku belum punya pacar, lagipula kita masih sekolah. Jadi, memang lebih baik kita berteman saja. Soal jodoh itu di tangan Tuhan. Tapi kamu serius menyukaiku?" Tommy terkekeh saat menekan tombol kirim. Dan ia sendiri merasa bodoh karena sikapnya yang seperti itu. Pikirannya kembali ke pesan Andin. Melihat jam belum terlalu larut, ia mencari kontak Andin dan menghubunginya.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan. Cobalah..."
Tut... Tut...
Tommy memutuskan panggilannya. Dalam hati ia berkata, "Mungkin sudah tidur."
Ting!
Bunyi notifikasi masuk. Balasan pesan dari Miss Watak membuat Tommy menepiskan pikirannya tentang Andin.
"What! Miss Watak? Dasar Fabian Junior. Enak saja kau menyebutku Miss Watak. Tidak jadi! Aku menarik kata-kataku bahwa aku menyukaimu."
Tommy terbahak. Balasan pesan dari Sherly membuatnya geli. "Ya, kau Miss Watak. Kamu cantik, tapi mahal senyum. Padahal kalau kau senyum pasti akan lebih cantik."
Lima menit berlalu setelah Tommy membalas pesan Sherly. Diperiksanya layar ponsel, tapi tidak ada balasan apa-apa. Tommy khawatir. "Jangan-jangan dia tersinggung."
Sebagai lelaki yang diajarkan untuk menghormati orang lain, Tommy menekan radial di kontak Sherly. Ia harus minta maaf. Perkataannya mungkin membuat Sherly marah dan itu artinya ia harus bertanggung jawab.
"Halo," balasnya ketika suara Sherly menyapa. "Kau marah, ya? Maafkan aku kalau perkataanku tadi membuatmu tersinggung. Aku tidak bermaksud mengataimu Miss Watak." Sherly tak menyahut. "Halo, Sherly? Kau benar-benar marah padaku?" Keheningan terjadi. "Baiklah, aku tahu kau pasti marah. Tapi bagaimana kalau kau memberiku satu permintaan sebagai balasannya." Sherly masih diam. "Katakan saja, aku pasti akan menurutinya."
Tut... Tut...
Alis Tommy berkerut menatap ponsel. Sherly memutuskan panggilannya. Rasa bersalah pun menyelimuti Tommy ketika mengingat kalau istilahnya itu memang kelewatan. Baru saja ingin menghubungi Sherly kembali, tiba-tiba satu notifikasi masuk.
Ting!
Dengan cepat Tommy membuka pesan itu. "Sebagai hukuman, kau harus mengantar-jemputku di sekolah setiap hari, bagaimana?"
Tommy tersenyum lebar. Ada kelegaan dalam hatinya. "Baiklah. Kalau begitu tidurlah, besok pagi jam tujuh kurang aku akan menjemputmu. Awas sampai terlambat. Aku akan balas menghukummu." Ia terkikik.
Tak ada balasan pesan dari Sherly membuat Tommy akhirnya masuk ke kamar. Ia menutup pintu balkon dan mematikan lampu tidur. Bias cahaya bulan dari setiap jendela membuat siluet tubuhnya terlihat saat ia berbaring menghadap langit-langit. Pikirannya tentang Andin hilang saat Tommy bisa membayangkan sosok Sherly berwajah tegas, tapi cantik itu sedang merajuk sekarang akibat istilah yang diberikannya. "Miss Watak." Tommy tertawa sampai akhirnya kantuk menelan kesadarannya.
Continued___