Lisa dan Tommy sama-sama menoleh ke arah yang ditunjuk Harry. "Memangnya mereka sudah bertemu?" kata Lisa.
"Oh, iya, aku lupa. Mereka belum bertemu, ya?" sesal Harry. "Baiklah, kalau begitu aku akan mengundang kalian makan di rumahku nanti malam. Selain aku ingin membicarakan proyekku dengan Charles, aku juga ingin membiacarakan soal anak-anak kita." Harry menatap Tommy. "Apa kau tidak keberatan jika om akan memperkenalkanmu dengan anak om?" ledeknya.
Tommy tersenyum. "Tentu saja, Om," balasnya sopan.
***
Malam pun tiba. Tommy sedang duduk di ruang tamu sambil menunggu kedua orangtuanya. Tak lama kemudian Charles turun dengan kemeja tangan panjang yang dilipat sampai siku. Kemeja Charles sama persis dengan kemeja yang dikenakan Tommy. Kemeja putih dengan motiv kotak-kotak besar berwarna biru muda. Celana jins mereka juga sama, biru dongker.
Lisa yang baru saja turun langsung terkejut melihat dua pria tampan yang sedang berdiri saling memuji. Sambil mendekat ia berkata, "Mami merasa paling cantik di antara kalian."
Tommy terkekeh. "Mami memang wanita paling cantik di dunia," puji Tommy saat melihat Lisa yang wajahnya lebih segar dengan riasan makeup natural.
Tubuh wanita itu langsing dan terbalut dress panjang di atas lutut. Dress itu sangat pas di tubuh Lisa yang mungil. Atas-annya yang terbuka membuat tulang selangkah Lisa nampak dan Charles ingin sekali menciumnya. Andai saja itu bukan undangan makan malam, Charles pasti akan menyeret Lisa ke kamar atau di toilet terdekat.
"Oh, Sayang, kamu memang sama gombalnya dengan papi." Ia menatap Charles yang juga menatapnya.
"Siap?" tanya Charles sambil mengulurkan lengannya untuk Lisa.
Ibu muda beranak satu itu tersenyum manis pada suaminya. Charles sangat tampan, wajahnya bagai pinang belah dua dengan Tommy. Yang membedakan antara mereka hanyalah Tommy versi muda sedangkan Charles versi tua-nya. Hahaha. Lisa sangat bangga hidup di antara suami setampan dan sekaya Charles juga anak setampan, sepintar, dan seramah seperti Tommy.
Charles melajukan mobil sedannya. Mobil yang warna silver itu diberikan Harry sebagai fasilitas keluarga Fabian selama berada di Pulau Jawa. Rumah yang ditempati Charles dan Lisa juga adalah rumah kosong milik Harry yang sengaja disediakannya untuk kolega atau relasi-relasi bisnisnya jika datang berkunjung ke sana.
Setelah memakirkan mobil itu di halaman rumah keluarga Meysa, Charles pun turun dan membukakan pintu untuk Lisa. Tommy yang duduk di kursi belakang ikut keluar.
"Rumah ini besar sekali," puji Lisa ketika melihat rumah yang berlantai dua itu dengan cat dinding berwarna gelap. Lampu-lampu keemasan menempel di dinding-dinding. Desainnya klasik dan elegan. Tamannya luas, bunga-bunga dan tanaman tropis tumbuh dengan subur. Meski sederhana, tapi desain dan warna rumah itu sangat berkelas. "Kau tahu, Tom," Lisa menatap anaknya, "Om Harry itu seorang desainer bangunan, lho. Kau lihat saja rumah ini." Lisa mengedarkan pandangannya ke seantero rumah sambil tersenyum.
"Ayo kita masuk." Charles mengintimidasi. "Harry pasti sudah menunggu kita." Lisa terkekeh. Ia mengangguk dan langsung menggandeng lengan suaminya. Sambil berjalan Charles menunduk lalu berbisik pada istrinya, "Kau sangat cantik, Mi."
Lisa tersipu malu. "Kau juga tampan, Pi." Ia menyandarkan kepala di bahu Charles.
Tommy yang berjalan di belakang mereka pun tersenyum melihat kedua orangtuanya. Ia sangat bahagia karena memiliki orangtua yang baik. Hubunga mereka yang akur dan romantis membuat Tommy juga kelak nanti ingin seperti itu.
Saat ini ia sangat bersyukur, memiliki orangtua yang selalu mendukung apa pun yang dilakukannya. Meski terlahir dari benih ayah yang adalah seorang kontraktor juga ibu yang adalah pengusaha sukses, tapi Tommy selalu diajarkan bagaimana hidup sederhana. Charles dan Lisa selalu mengingatkannya agar tidak memandang rendah orang lain. "Di atas langit, masih ada langit. Jadi, janganlah kita merasa tinggi, karena masih ada orang lain yang lebih tinggi dari kita." Begitu kata Charles padanya. Sementara Lisa juga selalu berpesan jika, "Hargailah perempuan, Nak. Jika kau menyakiti perempuan, itu sama saja kau menyakit mami." Dua hal itulah yang selalu ditetapkan Tommy bagi kehidupannya, menghargai dan mencintai. Dan hal itulah kelak yang akan dia terapkan dalam kehidupannya sendiri.
Lamunan Tommy memudar ketika suara Harry mengenai telinganya. "Ayo silahkan masuk. Tommy mana?" tanya Harry.
Lisa dan Charles memberi akses bagi Harry untuk menyapa Tommy yang berdiri di belakang mereka.
Tommy dengan sopan menyapa dan mencium tangan Harry. "Kau dan ayahmu sama-sama tampan." Dirangkulnya bahu Tommy dan mengajak pemuda itu memasuki rumah. "Ayo, Nak, Om akan memperkenalkanmu dengan putri Om."
Charles dan Lisa yang berada di belakang mereka pun saling bertatap dan tersenyum. Sebagai keluarga kaya, mereka tak pernah memaksa Tommy untuk menyukai orang lain. Pilihan jodoh atau segala sesuatu yang bersangkutan dengan kemauan Tommy, tak pernah dicampuri. Sebagai orangtua, Lisa dan Charles sangat hati-hati, dalam arti, mereka tidak mau terkesan memaksa. Yang ada, Tommy pasti akan menyalahkan mereka karena memaksakan yang bukan kemauannya. Jadi, soal Harry ingin mendekatkan Tommy dan putrinya adalah hak Tommy untuk mengambil keputusan.
Charles dan Lisa sebenarnya sudah tahu, sebelum itu Harry sudah sering membahas soal perjodohan itu setiap kali dia menelepon Charles. Dan sekarang mungkin sudah waktunya untuk Tommy memilih sendiri. Mereka memilih tidak membicarakan hal ini sebelumnya karena takut kalau-kalau Tommy kecewa karena tahu dia akan dijodohkan. Jadi, biarlah Tommy sendiri yang memberikan keputusannya pada Harry. Sebagai orangtua mereka hanya mendukung apa pun kemauan Tommy selama itu wajar.
"Lenna, Sherly, kenalkan," Harry berkata sambil mendekati ruang tamu. Istrinya Harry langsung berdiri dan tersenyum menyapa mereka. Sherly mengikuti. "Ini Tommy, putra dari Tuan dan Nyonya Fabian."
Lenna terkejut. "Wah, dia sangat tampan." Ia mengulurkan tangan saat Tommy menyapanyanya. "Dia sangat gagah, Lisa," katanya.
Lisa tersenyum. "Dia sama gagahnya dengan Charles."
Charles berdeham sambil berdiri tegak. "Siapa dulu dong papinya?"
Harry dan Lenna terbahak. "Kenalkan," kata Harry. "Ini Sherly. Putri om yang kedua. Kakaknya sedang berada di luar kota."
Tommy dan Sherly saling menatap. Tommy sambil tersenyum mengulurkan tanganya untuk berjabat, sementara Sherly membalas uluran tangan Tommy dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat.
"Baiklah, ayo kita makan," ajak Harry. Ia berjalan bersama Charles, Lenna dan Lisa berjalan di belakang mereka sambil bercakap-cakap. Sementara para anak-anak mengekor di belakang. Tapi, tanpa Tommy sadari, Sherly meliriknya.
"Ayo, silahkan." Lenna mempersilahkan.
Harry duduk di bagian kepala meja, Charles mengambil posisi di samping kiri Harry. Lisa duduk di sebelah Charles, sedangkan Tommy duduk di samping Lisa.
Lenna terseyum lebar. Sambil menarik kursi yang di posisi kanan Harry ia berkata, "Makan yang banyak ya, Tom," ledeknya.
Sepanjang makan malam keheningan nyaris tak terjadi. Harry dan Charles membahas soal proyek yang sudah mereka mulai sejak kemarin. Lisa dan Lenna hanya mendengarkan. Tommy dan Sherly juga ikut mendengar. Meski tak mengeluarkan sepatah kata, tapi Tommy menyimak setiap pembicaraan yang diucapkan Harry dan Charles. Ia memang ingin sekali menjadi kontraktor, bahkan dia berniat akan melanjutkan sekolah untuk mencari gelar arsitektur. Ia ingin menjadi disainer.
"Ngomong-ngomong, apa kau sudah punya pacar, Tom?" tanya Harry.
"Dia belum punya pacar," sahut Lisa ketika melihat mulut Tommy sedang sibuk mengunyah.
"Syukurlah kalau begitu. Berarti tidak masalah kalau Sherly bisa dekat dengannya?" ledek Lenna.
Sherly yang duduk di sampingnya pun langsung terbatuk-batuk. Spontan semua jadi panik kecuali Tommy. Lenna segera menyodorkan air, sedangkan Sherly berkata, "Aku tidak apa-apa, Mama, terima kasih."
Lisa tersenyum melihatnya. "Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya. "Maafkan mamamu."
Sherly menatap Lisa tanpa senyum. "Aku tidak apa-apa, Tante. Aku hanya terkejut mendengarnya."
Harry menatapnya. "Boleh papa bertanya padamu, Nak?"
"Sangat boleh, Papa." Wajah Sherly sangat datar. Tapi nada bicaranya sangat sopan dan ramah. Ekspresinya itu membuat Tommy terkesan.
"Apa kau tidak keberatan jika mama dan papa ingin kau menjalin kedekatan dengan Tommy? Kami ingin kau dekat dengan Tommy, tapi bukan hanya sekedar teman." Harry menghentikan perkataannya, melirik Lisa dan Charles yang tersenyum sebelum melanjutkan, "Apa kau keberatan jika papa dan mama akan menjodohkanmu dengan Tommy?"
Spontan Tommy dan Sherly saling menatap. Wajah mereka berubah merah. Para orangtua merekam ekpresi mereka. Harry tersenyum lebar, sementara Lisa dan Charles saling melirik sebelum mengalihkan pandangan mereka ke arah Sherly.
Gadis itu berkata, "Aku tidak masalah, Pa." Ia menatap Harry. "Apa yang akan Papa dan Mama lakukan untukku, itu berati adalah yang terbaik bagiku."
"Oh, Sayang," kata Lisa. "Kau ternyata anak yang manis."
"Selama ini dia tidak pernah pacaran. Bukan soal usianya, tapi anak ini memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki," kata Lenna. "Di sekolah, aku sering memantaunya melalui wali kelasnya dan kata si wali kelas, Sherly bahkan akan menjauh kalau ada teman lelaki yang mendekatinya. Hal itulah yang aku takuti, Lisa. Aku takut sikapnya sepeti itu akan membuatnya tidak akan pernah menikah. Mendekatkan dia dengan Tommy aku rasa adalah cara yang bagus untuk bisa menghilangkan keanehannya itu."
"Bukan begitu, Mama," sergah Sherly. "Aku hanya ingin fokus belajar."
Lenna terkekeh. "Iya mama mengerti. Tapi, tidak ada salahnya kalau dari sekarang kau dekat dengan Tommy."
"Tapi ngomong-ngomong, apa Tommy setuju?" Harry menginterupasi. "Kita sudah menanyakannya pada Sherly, tapi tidak tahu apakah Tommy setuju atau tidak." Ia menatap Tommy. "Om dan Tante tidak akan memaksakan kalian sampai menikah, urusan jodoh itu di tangan Tuhan. Om dan Tante hanya ingin kau dan Sherly bisa lebih dekat. Bagaimana, Charles, Lisa, apa kalian setuju Tommy dekat dengan Sherly?"
Charles dan Lisa saling menatap. "Kami terserah Tommy, Harr. Sebagai orangtua kami akan selalu mendukung apa yang menjadi keinginannya," kata Charles.
"Ya, benar." Lisa menatap Tommy. "Kamu sendiri bagaimana, Nak?"
Tommy menegakkan tubuhnya. Ia menatap kedua orangtuanya sambil tersenyum. "Aku terserah Mami dan Papi. Apa yang menurut Mami dan Papi baik, itu berarti yang terbaik juga untukku. Lagipula Sherly dan aku masih sekolah. Jadi, kami punya waktu yang cukup panjang untuk bisa saling mengenal. Masalah jodoh, seperti yang Om Harry katakan tadi, semua atas kuasa Tuhan. Jadi, jika memang itu kemauan Mami, Papi, juga Om dan Tante, aku tidak akan keberatan selama Sherly tidak keberatan."
Lisa dan Charles bangga dengan jawaban Tommy. Tapi pemuda itu cukup terkejut dengan ucapannya barusan. Ia tak menyangka bisa memberikan jawaban seperti itu.
Harry dan Lenna tersenyum lebar. Mereka menatap Sherly. "Bagaimana, Sayang?" tanya Harry.
"Iya, Pa, aku tidak masalah."
Lenna bernapas panjang. Harry tersenyum lebar. Lisa dan Charles juga sama senangnya. Sementara Tommy dan Sherly saling bertatap seakan menilai.
Usai makan malam para orang tua berbincang-bincang. Mereka mengambil posisi di ruang tamu, sedangkan Tommy dan Sherly memilih taman depan sebagai tempat mereka untuk mulai berbicara.
Setelah saling mengetahui kepribadian masing-masing, mereka pun memutuskan untuk saling bertukar kontak telepon. Sherly menyimpan nama Tommy sebagai Fabian Junior, sedangkan Tommy menyimpan kontak Sherly dengan nama Miss Watak.
Malam semakin larut, perbincangan Charles dan Harry takkan ada habisnya. Mengingat anak-anak mereka besok harus sekolah, Charles dan Lisa segera pamit pulang.
Dalam perjalanan keheningan pun terjadi. Charles menyetir mobil dengan tangan sebelah menggenggm tangan Lisa, matanya sesekali melirik Tommy. Lisa yang juga sama pemikiran dengan suamiya sesekali menegok ke belakang. Kebisuan Tommy membuat mereka berdua khawatir.
Continued__