Dalam perjalanan menuju sekolah Andin memikirkan tentang peristiwa kemarin di puncak. Wajahnya merah merona saat mengingat kembali sapuan bibir Tommy yang lembut dan manis di bibirnya.
Diambilnya ponsel dan mencari kontak nama Tommy. Sambil tersenyum ia mengirim pesan. "Hari ini aku tunggu di Menk's Cafe jam tiga sore. Tidak pake lama. Kalau terlambat, aku akan menghukummu dan kali ini aku tidak bercanda, Tom!" Andin terkekeh saat membaca kembali pesan itu sebelum mengirimnya.
Jam demi jam pun berlalu. Saking sibuknya dengam jadwal pelajaran, hari ini Andin bahkan tidak istirahat makan. Ia hanya menganjal perutnya dengan roti yang dibelikan teman sebangkunya waktu gadis itu pamit ke koperasi sekolah.
Setelah jam terakhir usai, Andin bernapas lega. Diliriknya jam tangan yang menunjukan pukul dua siang lewat sedikit. Ia merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu Tommy.
"Tommy?" pekiknya pelan. Ia merogoh saku ransel untuk mengambil ponsel. Ia hanya ingin memastikan apa ada balasan pesan dari Tommy. Senyumnya tiba-tiba melebar saat melihat logo pesan belum dibuka terpampang di ujung atas layar ponsel. Dibukanya pesan itu, alisnya bekerut. Ada rasa kecewa dalam hatinya. Ternyata itu bukan pesan dari Tommy, tapi Jovita, sahabat Andin. Gadis itu dulu adalah tetangganya dan sekarang dia sudah tinggal di luar kota.
Andin membaca pesan itu dengan suara pelan. "Din, apa kabar? Lulus nanti aku akan kembali ke Sulawesi. Aku akan kuliah di sana. Kita ketemu, ya?" Andin tersenyum paksa. Ia lagi malas membalas pesan itu. Yang ia harapkan adalah pesan dari Tommy. "Awas kalau terlambat," pikirnya. "Aku akan menghukummu, sungguh!"
Teng... Teng... Teng... Teng...
Bel usai sekolah akhirnya berbunyi. Dengan cepat Andin merapikan buku-bukunya ke dalam ransel sambil melirik ponsel yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya. Ia sangat berharap Tommy membalas pesannya, tapi sedari tadi pemuda itu tidak mengiriminya pesan.
Karena tahu Tommy pasti sedang mengejarinya dengan tidak membalas pesannya, Andin menepiskan pikiran tentang pesan itu dan berjalan ke luar kelas bersama teman-temannya.
Di depan gerbang Andin melirik jam tangan yang menunjukan hampir pukul tiga sore. Itu artinya masih ada waktu berapa menit baginya untuk berjalan kaki menuju Menk's Cafe.
Sambil melangkah cepat, Andin terus memikirkan Tommy. Peristiwa kemarin itu tak bisa lepas dari benaknya. Dan untung saja saat mengerjakan soal di kelas tadi, Andin tidak menyebutkan bibir Tommy sebagai jawabannya.
Tibanya di Menk's Cafe, Andin segera mengambil posisi duduk di pojok. Cafe yang tinggi dindingnya setengah tubuh dari Andin membuat gadis itu dengan mudah melihat kedatangan Tommy. Matanya menyapu seantero cafe. Matanya yang indah itu melirik ke arah pelayan saat wanita itu menyapa Andin sambil memberikan daftar menunya. "Permisi, Mbak. Mau pesan apa?"
Andin melirik jalan raya sebelum membuka lembaran-lembaran menu. "Aku pesan melon squash saja, Mbak."
"Melon squash satu. Makannya, Mbak?"
"Makannya nanti saja. Aku sedang menunggu temanku, nanti kalau dia sudah datang baru aku akan memesan makan bersamanya." Andin mengembalikan buku menunya lagi. "Oh iya, Mbak, melon squash-nya dibanyakin es batu, tapi gulanya sedikit aja, ya?"
"Oke, Mbak. Ada lagi?" Si pelayan mencatat.
"Itu saja."
"Baik, terima kasih, Mbak." Pelayan wanita itu pergi meninggalkan Andin.
Andin kembali menyandarkan punggungnya di sofa, tangannya terlipat di depan tubuh, tatapannya menghadap jalan, matanya menyapu jalan. Andin gelisah. Diliriknya jam tangan sudah menunjukan pukul tiga sore. "Kebiasaan sekali," kesalnya. "Memang mau dihukum berarti kamu, ya?" katanya sambil merogoh kantong ransel. Ia mengambil ponsel dan bertepatan di saat yang sama, benda portable itu berdering. Nama Tommy terpampang. Senyum Andin cemerlang. Diseretnya logo berwarna hijau untuk menghubungkan panggilannya. "Halo, Tom! Kenapa kau belum datang? Kau memang ingin dihukum, ya?"
"Maafkan aku, ponselku dari mati dari semalam. Saat aku mengisi daya, aku ketiduran. Jadi, aku..."
"Ketiduran? Jadi kamu tidak sekolah hari ini?" potong Andin.
"Ya. Aku..."
"Ya sudah," potong Andin lagi. "Sekarang cepat kau ke sini. Aku sudah lebih dari jam tiga di sini, Tom. Kau baca pesanku, kan? Atau kau memang ingin dihukum dan sengaja terlambat?" Andin terbahak.
"Itu dia masalahnya, Ndin."
Tawa Andin terhenti. "Jangan bilang kalau kau tidak jadi datang, Tom. Ya sudah, lupakan hukumannya, aku tidak akan menghukummu. Asal sekarang juga kau ke sini. Aku sudah lumayan lama menunggumu."
"Tapi, Andin, aku..."
"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang dan cepatlah!"
Tut... Tut...
Andin memutuskan panggilannya. Ia menggeleng-geleng kepala sambil tertawa. Dilihatnya pelayan menuju mejanya sambil membawa pesanan minuman. "Terima kasih," kata Andin setelah pelayan itu meletakkan minuman kesukaannya.
Drtt... Drtt...
Andin melirik ponselnya. Dilihatnya Nama Tommy sebagai pemanggil. Tapi bukannya mengangkat, Andin malah terkekeh dan menyedot kembali minumannya. "Kau ingin mengerjaiku, hah? Kita sama-sama saling mengerjai saja, Tom." Andin terkekeh. Disedotnya minuman itu sambil menatap ponselnya sampai panggilan itu hilang.
Ting!
Satu notifikasi masuk. Dengan cepat Andin menarik tisu dari kotak untuk mengeringkan tangannya. Diraihnya ponsel dan membuka isi pesan yang masuk. Senyumnya mengembang ketika melihat nama Tommy sebagai pengirim, tapi senyum itu tiba-tiba pudar saat membaca pesannya.
"Maafkan aku, Andin, aku tidak bisa datang karena aku sekarang di Jawa. Aku berangkat dengan papi dan mami. Kemungkinan juga aku akan pindah sekolah di sini karena proyeknya kata papi akan lama. Aku meneleponmu tadi karena ingin mengatakan itu, tapi kau langsung memotong pembicaraanku. Maafkan aku, ya?"
Mata Andin nanar, tangannya gemetar. "To-Tommy pergi ke Jawa? Pi-pindah sekolah?" Air matanya lolos, ponselnya lepas. Ia tak kuasa menahan tangis. Kedua tangannya langsung menutup wajah dan menangis.
Hari di mana ia ingin mengungkapkan perasaannya kepada pemuda itu, justru menjadi hari pertama baginya tidak akan pernah melihat Tommy lagi. "To-Tommy, kenapa kau tega padaku? Ke-kenapa kau pergi tak berpamitan padaku?" Ia menangis.
***
Sudah dua hari Tommy berada di Pulau Jawa. Hari ini Tommy dan Lisa sibuk mengurus kepindahan sekolahnya. Kini Tommy dan Lisa berada di sebuah sekolah independen ternama di kota itu. SM High School itu memiliki halaman yang luas, di sisi kanan sekolah khusus untuk siswa-siswi yang masih SD, di sisi kiri untuk siswa-siswi SMP, sementara di tengah-tengah sekolah terletak gedung tiga lantai khusus untuk siswa-siswi SMU. Jarak SMU, SMP dan SD cukup jauh, sehingga para murid-murid junior pun punya batasan untuk tidak mengganggu para murid-murid senior.
"Selamat siang, Nyonya Fabian," sapa seorang laki-laki dari arah pintu. Lisa dan Tommy yang sedang duduk di ruang kepala sekolah itu pun segera menoleh dan berdiri. Mereka balas menyapa. "Maaf sudah membuat kalian menunggu," katanya sopan.
"Tidak, Harry, kami belum lama di sini, kok," balas Lisa-ibunya Tommy sambil berjabat tangan.
"Perkenalkan, ini kepala sekolah Jawas High School. Pak kepala sekolah, perkenalkan, ini Nyonya Lisa Fabian, istri dari Charles Fabian," jelas Harry.
Sang kepala sekolah pun menyapa. "Nah, kalau yang ini, Tommy Fabian, putra mereka, siswa baru di SM High School. " Harry tersenyum lalu mempersilahkan duduk kembali. Sementara Lisa dan Tommy balas tersenyum.
"Baiklah, Tommy, bapak harap kamu tidak akan mengecewakan Pak Harry dan keluarga Fabian. Jadilah siswa terbaik di sekolah ini."
"Tenang saja, Pak," kata Lisa. "Putra saya anak yang pintar dan penurut. Dia tidak akan mungkin mengecewakan kita semua. Bukan begitu, Tommy?" Lisa menyenggol Tommy.
Wajah Tommy memerah. Sambil tersenyum mengangguk tanda merespon. Kepala sekolah terkekeh lalu berkata, "Kau besok sudah bisa bergabung di sekolah ini, Tommy. Siswa-siwi di sini baik-baik dan sopan. Bapak yakin, kau pasti akan betah di sekolah ini."
Tommy tersenyum. "Iya, Pak."
"Kalau begitu kami permisi dulu, Pak," kata Harry pada kepala sekolah. Lisa dan Tommy pun ikut pamitan sebelum akhirnya mereka ke luar dari ruangan kepala sekolah menuju parkiran.
Sambil berjalan Harry berkata, "Oh iya, Tom, kalau kau ingin bertemu anak om... dia sekolah di sini juga, tapi dia di tingkat SMP." Harry menunjuk gedung panjang dua tingkat di samping kiri.
Lisa dan Tommy sama-sama menoleh ke arah yang ditunjuk Harry. "Memangnya mereka sudah bertemu?" kata Lisa.
"Oh, iya, aku lupa. Mereka belum bertemu, ya?" sesal Harry. "Baiklah, kalau begitu aku akan mengundang kalian makan di rumahku nanti malam. Selain aku ingin membicarakan proyekku dengan Charles, aku juga ingin membiacarakan soal anak-anak kita." Harry menatap Tommy. "Apa kau tidak keberatan jika om akan memperkenalkanmu dengan anak om?" ledeknya.
Tommy tersenyum. "Tentu saja, Om," balasnya sopan.
Continued___