Dengan mata yang masih melihat Andin Ferry berkata, "Aku harus bicara dengan Charles dan Lisa sepecepatnya. Aku harus membicarakan perjodohan ini sebelum Andin berubah pikiran."
Di sisi lain.
Di dalam kamarnya yang cerah, dinding-dinding tembok berwarna putih, lampu tidur di atas langit-langit kamar yang bergelantungan berwarna kuning, membuat suasana kamar itu terlihat romantis. Andin membaringkan diri menatap langit-langit tanpa melepaskan seragam sekolahnya. Bayang-bayang saat ia dan Tommy berciuman tadi terus menari dalam benaknya. Spontan tangannya terulur memegang bibirnya sendiri. Gerakan dan sapuan bibir Tommy yang kenyal dan lembut itu muncul dalam ingatannya. Wajahnya terasa panas karena merah. Ia malu akibat kelakuannya sendiri.
Digeleng-gelengkan kepalanya dengan kedua tangan menutup wajah. Tapi ucapan papanya tentang perjodohan itu membuat tangan Andin sontak terlepas. Penuh sentakan Andin bangun dan duduk, bibir bawahnya digigit sambil berpikir keras. "Jika dia tidak suka padaku, kenapa dia mengecup bibirku?" pikirnya, "Aku yakin, Tommy pasti memiliki perasaan yang sama denganku. Jika tidak, mana mungkin saat aku menciumnya dia langsung melumat bibirku senikmat itu. Apa jangan-jangan ... Akh!" pekik Andin karena malu.
Dengan cepat ia berdiri dan mondar-mandir di depan ranjang. "Aku yakin, Tommy pasti suka padaku. Tapi ..." Andin duduk kembali dan berpikir sambil menggigit bibir. "Bagaimana caranya agar Tommy tahu aku menyukainya, ya? Apa aku ... Tidak! Tidak! Jangan impulsif lagi, Andin," katanya pada diri sendiri, "Aku harus berani mengungkapkan perasaanku padanya. Toh dia juga suka. Kalau tidak suka pasti dia tadi sudah menolak ciumanku." Andin sangat yakin. "Pokoknya aku harus mengatakannya, harus!"
***
Keesokan harinya Andin bangun lebih pagi dari hari biasanya. Senyumnya adalah bukti nyata jika hari ini ia sangat bahagia. Disapanya Ferry yang sedang duduk di kursi ruang makan sambil membaca koran. "Selamat pagi, Pa."
Ferry yang melihat keceriaan terpancar dari raut wajah anaknya itu pun langsung tersenyum. Dilipatnya kembali koran terbitan hari itu dan meletakkannya di kursi kosong yang ada di sampingnya. Posisinya saat ini berada di kursi bagian kepala rumah tangga, sementara Andin duduk di sisi kanannya.
Kursi makan itu ada dua belas buah, lima di kiri dan lima di kanan, serta satu di masing-masing kepala meja. Sebelum istrinya meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan, ruang makan itu selalu ramai dengan kerabat dan keluarga yang tinggal di rumah itu, tapi setelah istrinya meninggal, Andin kadang makan sendirian jika dirinya sedang ada pertemuan dengan klien. Gadis kecilnya itu sering merajuk tidak mau makan. Jadi, sejak saat itu pun ia berjanji akan selalu makan bersama Andin.
"Sepertinya tidurmu nyenyak sekali, Nak," ledek Ferry yang tahu anaknya sedang bahagia.
Andin terkekeh. "Ah, Papa. Tidurku memang selalu nyenyak, Kok. Hanya saja tadi malam aku bermimpi bertemu jodohku, Pa," balasnya.
Mata Ferry melotot. "Jodohmu? Ah, papa tidak percaya. Memangnya siapa jodohmu di mimpi itu?" Ferry terkekeh menatap Andin.
Tahu sang pengurus rumah mendekatinya sambil membawa nampan berisi susu putih untuknya, Andin terbahak dan hampir membuat pengurus rumah itu menjatuhkan nampannya. Ferry menahan tawa. Untung saja bakinya sudah mengenai meja.
"Non, Anda mengagetkanku, Non."
Ferry menggeleng sambil tersenyum. Sedangkan Andin terkikik. "Maafkan aku, Bi."
"Sepertinya Non Andin sedang bahagia pagi ini?" katanya jujur.
Ferry mengangkat alis lalu menautkan sepuluh jarinya dengan siku yang bertumpang di atas meja. "Katanya, semalam dia bermimpi ketemu jodohnya, Bi."
Bibi terkejut. "Benarkah, Non? Apakah lelaki itu tampan, Non?" Andin tertawa. "Apa pria yang di mimpikan Non Andin itu sama tampannya dengan Victor Stoner?"
"Victor Stoner?" tanya Ferry tiba-tiba. Ia dan Andin saling melirik.
Andin yang ekpresinya bahagia langsung berubah bingung menatap bibi. "Victor Stoner? Siapa itu, Bi? Apa dia sejenis artis?"
Pengurus rumah itu mendudukan bokongnya di kursi tepat di samping Andin. Ia menarik napas sebelum memberitahukan siapa sosok si Victor Stoner. Andin dan Ferry juga tampak penasaran. Mereka menyimak dengan alis berkerut.
"Victor Stoner itu pemilik Diamond Group. Dia suaminya Ellena Watson, ayahnya Villy dan Elvic Stoner."
Alis Ferry semakin berkerut. "Diamond Group?" ulangnya. "Mereka tinggal di mana, Bi? Kenapa aku tidak pernah mendengar perusahan itu, Bi?" Ia melirik Andin.
"Aku tidak tahu, Tuan. Yang bibi ingat waktu itu Victor Stoner mengejar Ellena Waston di Paris sebelum mereka menikah."
"Paris?!" pekik Andin dan Ferry. Ayah dan anak itu saling bertatap bingung.
"Iya, Tuan, Non, aku membaca kisah mereka di salah satu novel online. Judul novelnya itu Behind The Boss kalau tidak salah."
"Ya ampun, Bibi," lemas Andin sambil menepuk jidatnya. "Aku pikir Victor Stoner yang bibi maksud itu adalah pengusaha kaya di kisah nyata, ternyata di dunia novel. Bibi, Bibi."
Si bibi terkekeh. "Tapi bibi yakin Non Andin akan suka pada Victor kalau Non baca kisahnya di novel online. Kalau Non berminat, nanti bibi akan tunjukan nama aplikasinya biar Non sendiri yang men-downloadnya."
Ferry terkekeh-kekeh. Ia merasa beruntung memiliki pengurus rumah yang gaul sehingga bisa menemani Andin sewaktu ia tidak ada di rumah. Dan syukurlah Andin sangat terhibur dengan adanya perempuan itu.
Andin yang merasa dikerjai sang pengurus rumah pun segera menolak. "Tidak, Bi, aku tidak suka novel. Yang aku suka hanyalah ingin seperti Papa, bekerja sebagai kontraktor dan menjadi kaya." Ia menatap Ferry. "Iya kan, Pa?"
Ferry tersenyum sambil mengangguk. "Baiklah, sebaiknya sekarang kita sarapan sebelum kau terlambat ke sekolah, Nak."
Andin pun menurut. Pengurus rumah itu juga segera pamit undur diri saat Ferry sedang mengoles selembar roti dengan selai cokelat hazelnut.
Sambil mengoles Ferry berkata, "Semalam Om Charles menelepon papa, katanya mereka berangkat ke Pulau Jawa tadi malam. Om Charles menghubungi papa saat dirinya tiba di bandara."
"Jawa? Proyek lagi ya, Pa?" tanya Andin setelah meneguk susunya.
Ferry mengangguk. "Katanya kalau jadi, papa di suru berangkat ke sana minggu depan. Proyek yang akan ditangani Om Charles kali ini cukup besar. Ada beberapa proyek kecil juga yang nantinya akan ditangani papa. Dan kalau jadi, apa kau tidak keberatan hanya tinggal bersama bibi?"
Andin menggeleng. "Papa tenang saja. Kan aku sudah biasa ditinggal Papa."
Ferry tersenyum lebar. "Tapi ini belum pasti. Proyek ini dari Om Harry, teman papa dan Om Charles. Kalau memang proyek kecil itu berhasil, Om Harry akan memberikannya pada Om Charles, dan Om Charles akan memberikannya pada papa."
Andin menggigit rotinya sambil memberikan kode jempol kepada Ferry sebagai tanda memuji. Dalam hati ia berkata, "Selama ada Tommy yang menemaniku, aku takkan merasa kesepian, Pa." Ditatapnya wajah Ferry sambil mengunyah. "Sedikit lagi keinginan Papa dan almarhum Mama akan terkabul. Papa pasti akan senang mendengar aku dan Tommy menjalin hubungan." Mengingat nama Tommy membuat Andin mempercepat produksi mulutnya. Ia bahkan sudah tidak menghabiskan susunya. "Pa, aku duluan, ya." Andin meraih ranselnya dan mencodongkan badan mencium pipi Ferry.
"Cepat sekali, Andin. Sarapanmu juga sedikit sekali hari ini."
"Satu slice roti dan segelas susu sudah cukup, Pa." Ia tersenyum dan mencium tangan Ferry. "Aku pergi dulu. Bye, Papa."
"Hati-hati, Nak. Bilang supir pelan-pelan saja."
"Iya, Pa!"
Dalam perjalanan menuju sekolah Andin memikirkan tentang peristiwa kemarin di puncak. Wajahnya merah merona saat mengingat kembali sapuan bibir Tommy yang lembut dan manis di bibirnya.
Diambilnya ponsel dan mencari kontak nama Tommy. Sambil tersenyum ia mengirim pesan. "Hari ini aku tunggu di Menk's Cafe jam tiga sore. Tidak pake lama. Kalau terlambat, aku akan menghukummu dan kali ini aku tidak bercanda, Tom!" Andin terkekeh saat membaca kembali pesan itu sebelum mengirimnya.
Continued___