Chereads / Cindy Bukan Cinderella / Chapter 7 - Sisi yang Tersembunyi?

Chapter 7 - Sisi yang Tersembunyi?

Cindy terdiam. Ia sama sekali tidak bisa menebak maksud perkataan ibu tirinya. Raut wajah wanita itu juga sulit tertebak. Apa ia sedang marah sekarang atau sedang menunggu jawaban yang cepat dari bibir Cindy.

"A-aku," ucapnya terbatata-bata.

"Bagaimana Cindy, kamu setuju kan? Ibu, Ayah dan juga saudari-saudarimu sudah menunggu jawabanmu.

"Kak Anti dan Sofi? Tapi Ibu ini tentang apa?" Cindy masih berusaha mencerna perkataan sang ibu.

"Cukup katakan saja iya atau tidak." Suara ibu tiri Cindy meninggi, membuat gadis itu menjadi sedikit takut.

Mungkin dalam hidupnya, ini adalah pertama kali Cindy mendengar suara yang sekeras itu. Cindy memang sering mendengar omelan kecil dari sang ibu, namun hari itu berbeda. Ada aura jahat yang bisa ia rasakan.

Sang Ayah yang berada di sana lalu berdiri dan mengampiri Cindy.

"Duduhklah di samping Ayah," katanya sambil menenangkan.

"Arrgghhh!" seru Sofi dari balik pintu. Sofi yang ketahuan dari tempat persembunyiannya pun hanya bisa memasang senyum palsu. Wajah sang Ayah nampak sangat tak senang mendapati Sofi yang berada di sana.

"Sejak kapan kamu berdiri di sana? Apa kamu menguping?"

"Ah-itu …."

"Tentu saja dia tidak menguping. Aku mendidik Sofi dengan baik sejak kecil. Iya, kan? Sofi sayang pasti baru saja tiba dan tidak sengaja membuka pintu ini," bela sang ibu.

"Ma-maafkan Sofi, Ayah. Sofi hanya ingin mengatakan kalau rekan ayah tadi menelepon." Sofi berusaha mencari alasan yang masuk akal. Bagaimanapun, alasan itu malah nampak lebih mencurigakan dari pada kehadirannya yang begitu tiba-tiba.

"Rekan siapa?"

"Pengacara. Ia mengatakan soal ahli waris."

"Bagaimana mungkin Ilham menghubungimu untuk mengatakan hal itu."

"Bukan Paman Ilham. Itu …." Sofi tidak melanjutkan perkataannya, itu adalah sebuah kalimat yang bisa membuat amarah sang ayah menjadi lebih besar.

Sang ibu tak bisa tinggal diam. Wanita itu segera mengalihkan perhatian suaminya dengan berkata, "Mungkin pengacara yang dimaksud adalah pengacara keluarga. Ah, aku belum membicarakan ini denganmu," ucap sang istri pada suaminya sambil menatapnya dan tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah putrinya, Sofi. "Keluarlah, Ayahmu, Ibu dan Cindy memiliki hal penting yang harus kami bicarakan."

Sofi mengambil kesempatan itu untuk meninggalak ruangan yang terlihat berbahaya untuknya. Sedikit lagi, mungkin saja ia bisa terkena amarah sang ayah.

"Apa lagi ini? pengacara keluarga? Sejak kapan, dan untuk apa? Aku sudah punya Ilham untuk mengurus semua tentang hak waris di rumah ini."

Tak mau kalah, sang istri mulai dengan aksinya. Ia menggunakan kelicikannya untuk meluluhkan lagi hati kepala rumah tangga itu.

"Sayang … tak tahukah engkau bila aku menghawatirkan kondisi kita? Aku melakukan ini demi masa depan kita. Aku, anak-anak … aku tahu suatu saat nanti …." Wanita itu mengatupkan mulut dengan tangan kanannya. Bergerak dan duduk di atas tempat tidur dan mulai terisak sendu.

"Aku tidak bermasuk manaikkan suaraku, maaf …"

Sang suami segera merengkuh tubuh istri dan menenangkannya. Menang, itulah kata yang terpancar dari wajah sang istri. Ia baru saja berhasil meluluhkan hati pria paruh baya itu.

"Ayah dan Ibu, maaf … lalu apa hubungannya denganku?"

Kedua orang itu melepaskan pelukannya. Ada seorang gadis di sana yang masih belum mengerti hal yang ingin dibicarakan.

"Nak, kemarilah," panggil sang ibu pada Cindy.

Cindy menurut, ia lalu mendekatkan diri pada ibu tirinya.

"Ibu tahu kamu anak yang sangat baik, manis dan juga pintar," pujinya. "itu … Ibu memiliki sebuah permohonan untukmu. Mungkin ini terdengar serakah, tapi Cindy … semua ini sebagai bukti bila kamu benar-benar menerima Anti dan Sofi sebagai kedua kakakmu."

"Apa yang sedang Ibu bicarakan?" tanya Cindy lagi. Bagaiama bisa ibu tirinya berkata seperti itu? Apa selama ini Cindy sama sekali tidak baik untuk kedua saudarinya?

"Cindy, kamu memiliki warisan yang sangat banyak ... lalu … apa kamu tidak berniat membaginya dengan mereka?"

Cindy melihat ayahnya lalu sang ibu tiri. "Aku bahkan tidak pernah mengetahui ini. Warisan?"

***

"Apa yang mereka bicarakan di dalam?" tanya Anti pada Sofi begitu melihat saudarinya itu menuruni tangga dari lantai dua.

Sofi tidak menjawab, ia menarik Anti masuk ke dalam kamarnya dan menutupnya. "Dengar, ada sebuah pembicaraan penting di sana namun aku yakin kita sama sekali tidak dilibatkan di dalamnya."

"Tunggu, maksudnya?"

"Ini soal warisan milik anak itu."

"Anak itu? Siapa?"

"Memangnya siapa lagi? Cindy lah."

"Soal warisan?"

"Bagaimana kamu bisa langsung tahu?"

"Bukankah itu bagian dari rencana jahat Ibu, bagaimana sih?"

"Apa kita akan mendapat warisan?" tanyanya lagi. Wajah Anti sangat berseri-seri. "Sini, sini duduk di sampingku." Anti menepuk-nepuk bagian ranjang yang masih kosong di sampingnya. "Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan di sini."

Sofi memutar bola matanya sebelum akhirnya naik ke atas ranjang bersama sang saudari. "Kenapa wajahmu sangat ceria mendengar kata warisan? Waow … aku sangat terkejut."

"Enggak usah munafik, kamu juga butuh uang. Sejak awal semua ini sudah direncanakan. Ikuti saja alurnya."

"Entahlah, tapi kadang aku merasa apa yang kita lakukan ini sedikit keterlaluan."

"Hahaha! Apa aku tidak salah dengar?" Anti menangkap wajah Sofi dengan kedua tangannya, menatapnya intens seraya berkata, "Ibu, aku dan kamu akan mendapatkan bagian kita. Ingat itu baik-baik. Harta keluarga ini juga adalah milik kita."

"Ini gila … kita bahkan tidak punya apa-apa sebelum Ibu menikahi Ayah. Apa yang perlu menjadi hak kita? Ini tidak benar."

Kalimat itu berakhir dengan tatapan tajam sang anak pertama. "Lalu, kamu mau apa sekarang? Atau kamu sebenarnya memiliki rencana lain heh?!"

"Apa?"

"Apa? Ingat ini Sofi, semua ini demi kelangsungan hidup kita di masa depan. Pak Tua itu-"

"Kecilkan suaramu Anti," tungkas Sofi segera setelah mendengar suara langkah kaki yang terdengar menuruni tangga.

"Kalian di dalam?" tanya seseorang dari luar.

"Ya, kami di sini. Ada apa Cindy?" balas Anti sedikit malas setelah mengetahui langkah itu adaah milik si bungsu dalam rumah ini.

"Boleh aku masuk?"

"Sepertinya tidak, pergilah kembali ke kamarmu." Anti dengan malasnya membalas lagi pertanyaan Cindi. Mendengar balasan yang sedikit kasar itu, Sofi beranjak dari ranjang dan menuju pintu. "Apa yang mau kamu lakukan Sof? Biarkan saja dia di sana.

"Aku mau keluar dari sini." Sofi lalu meninggalkan kamar itu dan menyapa Cindy.

"Cih, dasar. Kita saja nanti apa dia masih bertahan dengan hati malaikatnya atau terpesona dengan kilaunya warisan Cindy," gerutu Anti dalam kamarnya. "Manusia kan pada dasarnya akan menunjukkan sisi aslinya bila berhubungan dengan uang. Masa sih Sofi tidak suka uang, hahaha … lucu sekali adikku itu."