Peri Ella masih mengamati pembicaraan semua orang yang berada di ruangan itu. Ia sangat ingin masuk ke dalam sehingga bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Saat ini, Ella merasa terlahir menjadi setan mungkin lebih menguntungkan. Apa gunanya jadi peri kalau tidak bisa menembus ruangan seperti ini, batinnya.
Tidak berhenti, peri bunga malam itu mencari ide. Matanya lalu tertuju pada keberadaan kucing putih di sana. Ia menemukan sebuah ide. Peri itu lalu meninggalkan jendela dan menuju si kucing putih.
"Bantulah aku," ucapnya.
***
"Cindy!" teriak Anti dari dalam kamarnya. Ia lalu diam kembali sambil menunggu respon sang adik. "Dia pasti pura-pura tidak mendengarnya. Dasar adik tidak tahu diri."
Kesal karena teriakannya tidak dipedulikan, Anti berjalan keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Ia hanya menginginkan segelas minuman bersoda.
"Meong …."
"Apa sih?"
"Meong …." Kali ini suara itu disertai dengan aksi menggaruk-garuk pintu.
Anti lalu membuka pintu dan nampaklah di sana seekor kucing putih. Begitu pintu dibuka, kucing itu segera masuk dan juga menempelkan dirinya pada sang pemilik rumah.
"Meong," katanya meski tak dimengerti oleh Anti."
"Padahal kamu sudah diberikan rumah baru di luar. Kamu bosan ya?"
"Meong ...."
"Nah, kamu boleh main-main sebentar di dalam, tapi … tidak di kamarku." Setelah itu Anti kembali berjalan santai ke kamarnya dengan segelas minuman bersoda.
Si kucing lalu menaiki tangga dan menuju lantai dua. Di atas kepalanya ada seorang penumpang ilegal- Ella.
"Kucing manis, terima kasih telah menolongku masuk ke dalam rumah ini. Tinggal satu tahap lagi, aku perlu masuk ke dalam sana. Kamu bisa, kan?"
"Meong …." Si kucing masih terus menjawab seolah mereka saling mengerti. Apa mereka memang saling mengerti bahasa satu dan lainnya? Mungkin.
Lagi, si kucing itu mengeong dengan keras di depan pintu membuat orang yang berada di sana mendengarnya. Ya, sebuah kesengajaan yang sudah terencana.
"Please, buka pintunya," kata Ella dalam hati. "Kalau sudah sejauh ini dan tidak bisa masuk, sama saja. Malah lebih baik kalau aku berada di jendela saja." Ia mulai berkeluh setelah lebih dari tiga menit kucing itu mengeluarkan suaranya di depan pintu.
"Cindy, singkirkan kucing itu. Kucing itu ribut sekali." Suara ibu tiri Cindy terdengar sangat tidak senang dengan kehadiran kucing putih.
Cindy membuka pintunya, lalu melihat kucing itu.
"Maaf ya, kamu tidak bisa masuk."
Cindy lalu menggendong si kucing dan membawanya keluar dari rumah. Peri Ella sudah masuk ke dalam kamar sedari tadi segera setelah pintu kamar itu terbuka. Ia tahu bila ia masih berada di atas kepala si kucing artinya ia hanya akan kembali berada di luar rumah.
Kucing itu sudah kembali berada di luar rumah. Saat Cindy hendak kembali ke lantai dua, Anti tiba-tiba membuka pintu kamarnya.
"Siapa yang menyuruhmu mengeluarkan kucing itu? Sini, berikan padaku."
Cindy menjadi bingung, perkataan siapa yang harus ia dengan sekarang.
"Ambil kembali kucing itu dan taruh di kamarku." Anti berkata lagi dan menyuruh Cindy menurutinya.
"Baik, Kak."
Cindy kembali membuka pintu ruang tamu lalu menuju halaman dan mencari keberadaan kucing putih itu.
"Kemarilah pus … kamu diijinkan masuk."
"Meong …."
"Aneh enggak sih, Kak Anti suka kucing. Padahal dia paling tidak suka dengan semua yang ada bulunya. Ah, kamu memang istimewa hingga bisa meluluhkan hatinya."
Dengan lembut, Cindy menggendong kucing itu dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah. Ia segera mengetuk pintu kamar Anti untuk memberikan kucing itu.
"Sini, bawa dia masuk saja di sini. Ibu bisa membunuhnya bila ia berkeliaran di dalam rumah," ujar Anti panjang lebar. "Dan kau … sudah bisa meninggalkan kamarku." Anti segera menutup pintu kamarnya dan bermain bersama si kucing putih.
***
Sementara itu, Peri Ella yang telah berada di kamar Ayah dan Ibu Cindy mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi. Sangat tidak lucu bila keberadaannya yang sangat kecil bisa ketahuan. Ia yakin, gadis yang akan ditolongnya bisa saja melihatnya dan memberitahukan keberadaannya di sana.
***
Cindy kembali masuk ke dalam ruangan dan melanjutkan pembicraannya dengan ayah dan juga ibu tirinya.
"Ibu tidak ingin basa-basi. Ibu hanya ingin kamu menandatangani ini," ucap wanita itu sambil memberikan selembar kertas yang berisi sebuah perjanjian.
Cindy mengambil dan membacanya sesaat. Ia lalu mengerutkan dahinya. "Apa semua ini tentang warisan? Mengapa semua orang masih membicarakan ini sedangkan aku saja bahkan tidak tahu bila aku memilikinya? Apa aku mempunyai hak atas semua ini?"
"Tentu kamu memilikinya, kamu adalah pemilik semua kekayaan yang dicantumkan di sana. Namun … yang Ibu inginkan adalah sedikit pembagiannya. Kenapa kita harus membicarakannya? Oh, Ibu bukanlah orang yang tamak, percayalah. Ini semua demi keluarga kita di masa depan."
"Ini bukan milikku, ini milik mendiang Ibuku. Aku bahkan tidak berhak atas ini." Dengan lantang, Cindy mengatakan kalimat itu. Tidak ada keraguan sedikitpun.
"Cindy!"
Cindy memilih meninggalkan tempat itu. Namun sebelum ia beranjak, ia mengucapkan, "kalau Ibu mau, Ibu bisa ambil semua harta itu. Aku sama sekali tidak butuh."
Ibu tirinya hanya tersenyum sinis. "Sombong sekali kau anak muda. Suatu hari nanti kau akan mengeri bila uang lebih manis dari pada madu," kata si wanita itu dalam hatinya. Ia tidak mencegah kepergian Cindy.
"Cin-Cindy …."
"Sudah, lihat kelakuaan anakmu, kan? Itu karena kamu terlalu memanjakannya. Tidak butuh harta? Apa dia yakin berkata seperti itu?" sindirnya.
"Dia masih belum mengerti. Harusnya aku sudah memberitahukan tentang hal ini sejak dulu."
"Tentu. Ia harus tahu bila semua harta yang kita nikmati adalah miliknya. Dan … sudah saatnya ia membagi dengan saudari-saudarinya."
Raut wajah sang suami tidak senang mendengar kalimat terakhir istrinya. "Sejak kapan kamu sangat ingin membahas hal ini?"
"Aku hanya memastikan bagian anak-anakku."
***
Cindy kembali ke kamarnya dan termenung. Hari ini seperti terasa lama. Ada hal yang belum ia mengerti. Semenjak sore tadi, arah pembicaraan hanya seputar warisan. Satu hal yang ada dalam benaknya. Apakah sang ayah akan segera pergi hingga mereka perlu membahas itu sekarang?
Peri Ella yang mengikuti Cindy sedari tadi hanya terdiam. Ia turut merasakan perdebatan dalam batin Cindy. Semua orang tahu, hal menyangkut ahli waris dan semacamanya akan dibicarakan bila salah satu anggota keluarga akan pergi untuk selamanya. Cindy masih belum bisa menerima itu.
Pikiran Cindy sekarang terarah pada kondisi sang ayah. Penyakit yang diketahui itu apakah penyebab utama mereka membicarakan ini dengan terburu-buru? Apa ayahnya akan meninggalkannya?
"Kamu anak yang manis, kamu bisa melalui ini semua," ucap peri itu pelan.
"Ha?"
Cindy lalu menengok ke kanan dan kiri. Ia seperti mencari sebuah sumber suara yang ia yakini di dengarnya dengan baik.
"Aku yakin aku mendengarnya di sekitar sini."