Masih dengan situasi yang sama, Cindy berusaha meyakinkan dirinya bila ia hanya berhalusinasi. Mungkin suara itu hanyalah wujud dari rasa capek yang ia rasakan. Meski begitu, jantungnya masih berdegup dengan sangat kencang.
"Berhentilah takut, aku bukan orang jahat!" Lagi, seruan itu muncul.
"Orang?"
Peri Ella diam sejenak dan merenungi perkataannya. "Astaga, kenapa aku mengatakan kalau aku ini orang?" ucapnya dalam hati.
"Aku hanya berhalusinasi." Cindy beranjak dari meja belajar. Ia lalu mendekat pada jendela. Ia melihat arah luar rumah. Matahari sudah terbenam dan mulai digantikan dengan munculnya sang bulan dan juga bintang. Angin dingin pun mulai datang. Cindy menutup jendela kamarnya. "Dibanding hantu, kimia organik jauh lebih mengerikan."
Peri Ella yang masih duduk manis di pinggiran vas bunga hanya bisa tersenyum mendengar komentar tentangnya. Itu semacam membandingkan dua hal yang sangatlah tidak perlu. Sebuah soal dan juga seorang peri yang cantik. Sungguh tak sebanding.
"Soal itu membuatmu sakit kepala sedangkan aku di sini untuk membantumu. Jangan membandingkanku dengan tugasmu itu," protes Peri Ella sedikit keras. Ia lupa bila ia hanya akan membuat seseorang di sini semakin over thinking.
"Bisa-bisanya aku mendengar suara itu lagi. Aish! Aku harus minum air sekarang." Cindy lalu menuju dapur meninggalkan kamarnya. Ia tak ingin berlama-lama memikirkan hal-hal mistis yang semakin menakutkan. Bukan hal yang mudah untuk menerima bahwa ia baru saja mendengar suara yang sama, sekali lagi. Itu jelas sangat menganggu.
Cindy bertemu dengan Sofi di dapur. Kakak tirinya itu sedang membuat kudapan tengah malam.
"Kak Sofi masih ngemil malam-malam begini?" tanyanya. "Bukannya Kak Sofi sedang diet …."
"Sssstttt! Diam saja! Aku tidak kuat menahannya," balas Sofi dengan raut wajah memelas. "Diet sangat tak cocok untukku. Aku perlu bertahan hidup."
"Alasan yang sangat masuk akal." Cindy bersadar di dinding sambil mulai menegak air putih. "Apa aku boleh mendapatkan sedikit?" tanyanya.
Sofi menoleh sebelum menjawab, "Bagaimana ya? Aku sudah susah payah membuatnya."
"Berilah padaku sedikit …." Cincy mulai memelas. "Aku akan memakannya dengan sangat baik."
"Hahaha! Memangnya apa yang tidak kamu makan dengan baik? Ada-ada saja. Kalau mau silakan goreng sendiri." Sofi masih sibuk meniris gorengannya. Ia tersenyum manis lalu mengambil piring. "Tidak usah memandangiku, kalau mau … kamu bisa menggorengnya sendiri. Di dalam sana sudah ada risoles mayo, nugget dan lain-lain." Sofi lalu membawa kudapan yang sudah siap itu dan juga sebotol cola. Ia lalu meninggalkan Cindy di dapur seorang diri.
"Aku pikir ia mau memberikan padaku. Ha … aku terlalu malas untuk menggoreng, tapi … aku lapar."
Cindy lalu mulai melihat isi freezer. Ia memandangi satu per satu isi freezer sembari memutuskan apa yang sebaiknya ia makan di jam seperti ini. Jelas ia tidur sedikit lambat hari ini karena ada sebuah tugas yang harus ia kerjakan.
"Ini, ini … ah … ini juga." Cindy mengambil semuanya yang ia mau. Setelahnya, ia menyalakan kembali kompor dan menunggu sebentar sebelum menggoreng. "Mungkin juga aku hanya kelaparan hingga mulai berhalusinasi, hohoho." Cindy berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan membuat banyak. Besok tidak ada kuliah, aku bisa begadang hingga pagi." Gadis cantik itu sudah merencanakan hal-hal yang akan ia lakukan.
Ia mulai menggoreng satu per satu kudapan malamnya. Tidak memakan cukup waktu hingga sesi pertama selesai. Ia tak yakin dengan jumlahnya. Ia melanjutkan lagi gorengan selanjutnya. Ini seperti persiapan bertempur. Cindy juga menuju rak piring dan memilih piring yang sangat besar untuk menaruh risoles dan kawan-kawannya. Sesekali ia bersenandung memecah keheningan.
"Hm … kelihatannya enak …." Anti datang dari kamarnya dan langsung mengambil satu risoles dan memakannya tanpa izin. "Satu lagi ya? Eh dua deh."
Cindy tak bisa berbuat banyak. Ia tahu hanya pertikaian yang akan terjadi bila ia melarang atau bahkan sekedar memberi wajah marah. Ia berusaha menenangkan diri.
"Satu lagi yah …." Tanpa segan, Anti sudah meletakkan hingga lima di atas piringnya. Ia lalu membuka kulkas dan mengambil satu kaleng minuman bersoda. "Lihat apa? Lanjutkan menggorengnya." Setelahnya, Anti meninggalkan Cindy dan kembali ke kamarnya.
"Padahal aku sendiri menunggu dengan sabar hingga selesai … huft! Kenapa juga aku tak berani menegurnya? Bodoh!" gerutu Cindy.
Meski kesal, Cindy tetap melanjutkan kegiatannya hingga selesai. Ia sudah benar-benar siap dengan kudapan malam yang akan menemaninya hingga pagi. Ia segera meninggalkan dapur sebelum Anti datang lagi dan mengambil makanannya. Lengkap dengan sebotol minuman kola dan juga air mineral, ia kembali ke kamarnya.
Peri Ella yang menunggi di sana tersenyum menyambut kedatangan Cindy. Bukan waktu yang lama tadi. Itu kira-kira dua puluh menit.
"Rupanya ia kelaparan … padahal tadi hanya mengatakan hanya untuk menggambil air minum," ucapnya pelan kali ini.
Cindy mulai memberi tempat untuk piring berisi kudapan dan dua botol minuman yang dibawanya. Meja belajar yang tidak terlalu besar memaksanya untuk menaruh buku di lantai. Ia lalu kembali fokus pada email yang dilihatnya. Ia membacanya sekali lagi sebelum mulai dengan tugas yang diberikan. Sesekali, ia menegak minuman dan juga mengambil satu gorengan yang dibawanya.
"Aku akan bertambah gemuk jika terus seperti ini. Tapi … kalau aku tidak makan, aku tidak berpikir. Jadi, apa ada solusi lain?" Ia bergumam sendiri.
Peri Ella ingin sekali menanggapi dengan lantang. Ia hanya takut gadis itu bisa pingsan saat mendengar suaranya tengah malam seperti ini. belum lagi, Peri Ella sudah disamakan dengan hantu. Ugh! Sungguh hal yang sangat menyebalkan sekali.
"Aku bosan … entah mengapa pelajaran ini benar-benar memberikan rasa kantuk yang luar biasa. Kalau bukan karena dia, aku tak mungkin memilih jurusan ini. Aish!"
Pikiran Cindy kembali saat masa SMA-nya. Dulu, ia memiliki seorang kekasih. Kekasihnya itu sangat pintar. Berbeda dengannya, Cindy adalah anak IPS. Kegigihan dan kerja kerasnyalah yang mengantarnya hingga masuk di jurusan ini. Siapa yang menyangka bila Cindy bisa lulus SNMPTN jurusan ilmu gizi? Bahkan keluarganya pun heran.
Kegembiraannya hanya sementara, setelah masuk kuliah, ia benar-benar mulai merasa tersiksa. Ia harus menghadapi kuliah yang berat itu seorang diri tanpa bantuan Ando-sang mantan. Padahal … keduanya telah berjanji untuk saling membantu. Nasib berkata lain, Ando berkuliah di kota lain. Hubungannya akhirnya renggang dan mereka memutuskan untuk berpisah. Kadang terbesit penyesalan namun juga rindu. Sosok laki-laki yang membuatnya menjadi gadis yang 'sedikit' lebih cerdas pada masanya.
"Seandainya dulu aku tidak nekat memilih jurusan ini … Cindy, apa yang sudah kamu lakukan dengan masa depanmu?"