Gadis itu masih terus mencari asal suara yang sangat diyakininya berasal dari ruangan yang sama. Matanya menoleh ke sana dan kemari. Ia bahkan menelusuri sudut-sudut ruang.
"Katakan sekali lagi," ucapnya lalu diam dan fokus menunggu balasan.
"Aku di sini."
Jantung Cindy berdebar kencang. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Apa ada makhluk halus di kamarnya atau arwah ibunya. Tidak, ia bahkan tak mengingat lagi bagaimana suara ibunya. Itu adalah hal tersedih yang ia punya.
"Ibu, apa itu kamu?"
Peri Ella hampir saja jatuh dari vas bunga karena terkejut dengan tanggapan Cindy yang begitu polos.
'Apa ini? Apa gadis itu sedang menyamakanku dengan hantu? Aish, yang benar saja! aku jauh lebih mulia dari makhluk tak kasat mata itu!'
"Jawablah aku, tolong …."
"Aku di sini. kemarilah dan lihat aku baik-baik. Hm … di vas bunga. Apa yang kamu lihat? Aku tidak berada di sudut ruang seperti kuntilanak yang kamu takutkan setiap malam! Hei!"
Cindy langsung kabur dari ruangan dengan segera. Ia sangat ketakutan. Ia bahkan tak berpikir panjang dan masuk ke dalam kamar Anti. Anti yang sedang bermain dengan kucing manis itu terkejut dan juga kesal. Ada seseorang yang masuk begitu saja di ruang pribadinya seenaknya bahkan tanpa mengetuk terlebih dulu.
"Heh! Apa yang kamu lakukan di sini?! Keluar!" bentaknya.
Alih-alih keluar, Cindy malah naik ke tempat tidur dan menutupi dirinya dengan selimut. Tindakan nekat itu jelas membuat Anti menjadi murka.
"Shit! What are you doing hah?!" serunya. Ia juga membuka selimut itu dengan kasar. "Keluarlah sebelum aku lebih marah!" Wajah Anti sudah merah padam.
"Jangan … aku ta-takut."
"Takut?"
"Ada hantu di kamarku."
"Hahaha! Palingan itu arwah Ibumu yang belum rela meninggalkan anaknya yang merepotkan ini," ejek Anty.
"Bukan!"
"Aku tidak mau tahu, pokoknya sekarang kamu harus keluar dari kamarku!" Anti memaksa Cindy untuk keluar, namun Cindy menggenggam tangan Anti sangat kuat. "Lepaskan tanganku!"
"Temani aku sebentar di atas, Kak …."
"O?"
"Aku takut."
"Awas ya kalau tidak ada apa-apa di kamarmu." Anti berkacak pinggang.
Cindy mengangguk, akhirnya mereka bersama-sama kembali ke kamar Cindy yang terletak di lantai dua.
Anti membuka pintu kamar dengan sangat kasar. "Mana? Mana yang mengganggumu?!"
Peri Ella menutup telinganya dari teriakan Anti yang sangat menggelegar.
"Gadis ini, apa ia tak bisa berbicara dengan halus?"
Lagi, Cindy mendengar keluhan sang peri dengan sangat jelas. Ia segera memberitahukan Anti tentu saja. Namun yang terjadi adalah Anti bahkan tak memedulikan dan menganggapnya mengada-ngada.
"Hentikan omong kosongmu itu. Aku tidak mendengar sama sekali apa-apa di sini. Sepertinya kamu terlalu banyak menonton drama Korea dan mulai berhalusinasi. Kamu harus mulai berhati-hati dengan isi kepalamu itu." Anti melipat tangannya di depan dada lalu duduk di kursi depan meja belajar Cindy. "Hm … kamar ini jelas jauh lebih besar dari kamarku. Kalau kamu mau sih …."
Anti memiliki ide lain yang sangat brilian. Bila Cindy takut dengan kamarnya, maka ini adalah kesempatan yang baik untuk menukar ruangan. Tentu saja itu tak akan masalah bila Cindy juga menginginkannya.
"Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" Suara peri itu terdengar lagi. Kali ini jauh lebih jelas.
"Kamu dengar itu? Ia berbicara lagi," Cindy berusaha meyakinkan Anti. "Kakak Anti dengar, kan? Ia bahkan membalas perkataan Kakak tadi."
Anti menaikkan satu alisnya. Kini ia semakin yakin bila Cindy hanya sedang mencobainya.
"Kalau kamu berharap aku akan keakutan dengan keisenganmu itu … lupakan saja. Aku terlalu tua untuk percaya dengan takhayul. Menjengkelkan sekali …." Anti lalu berdiri dari tempat duduk dan keluar. "Jangan mencegahku atau aku akan menamparmu," ancam Anti yang sudah tak lagi menahan emosinya. Ia merasa telah dikerjai oleh Cindy.
Gadis muda itu tak bisa berbuat banyak. Ia juga tak ada bukti kuat untuk tetap menahan kepergian saudari tirinya. Wajah ketakutan masih ada. Ia melihat sekeliling, lalu masuk dalam selimut. Peri Ella yang berada di sana memilih untuk diam saja sampai Cindy terlihat lebih tenang. Ia khawatir, bukan lagi lari, gadis itu mungkin bisa kena serangan jantung.
'Mau bagaimana lagi … sekarang aku hanya bisa menunggunya lebih santai. Ah, gadis ini ternyata sangat penakut. Merepotkan sekali. Semua ini karena tayangan tv yang sama sekali tidak bermutu.'
Ddrrttt … drrt … drrttt ….
Ponsel gadis itu bergetar. Ia segera bangun dan mengambilnya dari dalam tas. Ada sebuah pesan yang membuatnya sedikit terkejut. Ia memutuskan tak membalas dan langsung menghubungi sang pengirim pesan itu.
"Halo, Ca … aku sedikit bingung dengan isi pesan yang kamu kirimkan. Bisa kamu jelaskan padaku?" Tanpa basa-basi, Cindy menanyakan inti alasan ia menghubungi Caca.
"Bagian mana yang belum mengerti? Kayaknya sudah cukup jelas aku menerangkannya," protes Caca dari seberang. "Yah beginilah kalau isi otaknya cuma untuk kabur dari rumah, hahaha!"
"Ca … aku serius loh ini. Bisa kirimkan contohnya di emailku?" pinta Cindy.
"Itu sama saja aku memberikan jawabanku padamu. Apa kamu pikir aku ini bodoh?"
"Kapan aku menyontek tugasmu?"
Caca diam sesaat sebelum membalas. "Tidak pernah sih … hm …."
"Kirimkan saja padaku, aku jamin aku tak akan menyonteknya. Aku janji padamu."
"Bagaimana kalau aku kirimkan saja contoh pengerjaannya?" Caca masih menawar.
"Ah baiklah, aku tunggu sekarang, ya … aku ingin mengerjakannya dengan segera." Setelahnya, Cindy menutup panggilan itu dan mulai membuka laptopnya. Ia benar-benar menunggu kiriman email dari Caca. Seorang gadis yang sangat tidak sabaran.
Sembari menunggu email dari Caca, ia mengulang kembali materi yang ia pelajari tadi pagi. Itu sedikit berat mengingat ia sudah berada di semester tiga dan mulai berkutat dengan mata kuliah yang meujuk pada jurusannya. Peri Elle tersenyum melihat gadis yang gigih itu. Sesaat ia melupakan bahwa Cindy adalah gadis yang sama dengan seseorang yang ketakutan saat ia berusaha menerangkan keberadaannya di kamar ini. Mata Cindy masih terfokus pada sebuah gugus fungsi molekul.
"Aku benar-benar benci pelajaran ini. Kenapa aku bisa masuk di jurusan ini, sih?"
Wajar bila Cindy sedikit mengeluh. Ia adalah lulusan IPS saat SMA. Menjadi mahasiswi dengan mata kuliah seperti ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dipahami.
Beberapa menit kemudian, email yang ditunggu Cindy tiba. Ia membukanya dengan segera dan membaca isinya dengan sangat teliti. Itu sangat membantu. Ia harus membalas kebaikan Caca.
"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu." Peri Elle yang sedari tadi di sana akhirnya berbicara lagi.
Wajah Cindy kembali panik. Suara Elle benar-benar membuatnya ketakutan.
"Berhentilah takut! Aku bukan orang jahat!"