Chereads / Cindy Bukan Cinderella / Chapter 3 - Kerja Sama Kakak Adik

Chapter 3 - Kerja Sama Kakak Adik

Drrt drrt drrrt ... ponsel Cindy bergetar sedari tadi. Setelah pesan dari kakaknya diabaikan begitu saja, kini ponsel itu terus bergetar. Cindy akhirnya menyadari ada hal yang penting bila sudah seperti itu. Ia lalu mengecek pesan masuk dan mematung. Terlihat jelas isi pesan itu seperti tanda bahaya.

"Ayah sudah pulang? Harusnya masih dua jam lagi seperti biasnya," ucapnya sedikit panik.

Caca dan Cici- dua saudari kembar yang bersamanya juga ikutan panik. Sudah sangat biasa bila mereka melihat Cindy mulai panik. Itu seperti alarm untuk segera mengantar temannya itu segera pulang bila tak ingin mendapat masalah.

"Aku harus segera pulang," tuturnya.

"Hm ... oke, kita lanjutkan bergosipnya nanti saja, kami akan mengantarmu sekarang, bagaimana?" tawar Caca. Alangkah lebih baik seperti itu dibandingkan memesan taxi online.

"Thanks," balasnya.

Ketiga gadis itu lalu segera membayar makanan mereka dan bergegas menuju parkiran. Caca lalu menghidupkan mesin dan memanasinya sebentar setelah itu mereka menuju rumah Cindy. Grup 'Tiga C' itu juga sudah menyusun sebuah kebohongan bila akhirnya rencana A mereka tidak berhasil.

"Tenanglah, kami akan mengatakan kalau kita berada dalam kelompok yang sama untuk mata kuliah kimia organik," Cici berusaha menenangkan Cindy yang sedari tadi melihat layar ponsel sambil berbalas pesan dengan sang kakak.

"Aku tahu, masalahnya kita sama sekali tidak membawa buku atau apapun itu untuk dijadikan alibi."

"Laptopku ada di ujung sana. Bawalah sebagai bukti palsu kalau-kalau Ayahmu menginterogasimu."

"Lalu ia akan bertanya mengapa aku menggunakan laptopmu? Itu lebih berbahaya. Aku dan Kak Anti sudah merencanakan sesuatu sampai di rumah nanti. Aku harap berhasil. Namun sebelum aku berhasil, kumohon tetaplah di sana. Setidaknya kehadiran kalian akan menyelamatkanku nanti," papar Cindy.

"Oke, siap!" balas Caca dan Cici kompak. Si kembar dengan pembeda lesung pipi itu membalas dengan kompak.

"Jangan lewat sana, akan lebih jauh. Aku akan membimbingmu melewati jalan terdekat. Ikuti arahanku," ucap Cindy. Rupanya gadis itu sudah terlalu biasa menghadapi situasi ini. Ya, bukan pertama kalinya ia pulang terlambat.

Drrt drrt drrt, sebuah pesan masuk lagi di ponselnya. Kali ini dari Sofi, Kakak tirinya.

'Keadaan rumah tidak bisa dikendalikan. Ayah terus berkeliling. Akan sulit bagimu untuk masuk diam-diam. Aku sedang dalam perjalanan menuju Indomaret di dekat rumah. Turunlah di sana.'

Cindy tersenyum penuh kemenangan. Kedua kakaknya benar-benar bisa diandalkan di saat seperti ini.

"Kamu kenapa tersenyum seperti itu?" tanya Caca. "Apa kamu menang lotre?" tambahnya lagi dengan wajah keheranan.

"Masalahku selesai kawan-kawan. Jangan khawatir. Ca, kamu tahu Indomaret yang dekat dengan rumahku? Turunkan aku di sana," kata Cindy sambil menunjuk arah jalan.

"Tidak usah menuntunku sampai seperti itu. Ini bukan kali pertama aku ke rumahmu, tentu saja aku tahu di mana letak Indomaret itu," protes Caca. Matanya masih fokus dengan jalan di depan.

"Cindy, kamu belum menjawab pertanyaanku dan juga mengapa harus di Indomaret," Cici juga tidak mau kalah. Ia juga bertanya dan memprotes Cindy yang mengabaikannya.

"Oke, oke ... jadi, Kakakku, ia menyusun rencana baru. Aku dan dia akan bertemu di Indomaret dan pulang bersama-sama. Ia keluar rumah dan mengatakan akan berbelanja bersamaku pada Ayah, sepertinya begitu," terang Cindy.

"Luar biasa! Kalian memang saudara yang sangat kompak. Lalu bagaimana dengan tas ini?" tanya Caca sambil menunjuk tas tenteng milik Cindy.

"Ah, itu mudah. Aku bisa memasukkannya dalam kantong plastik belanjaan, fufufu."

"Kau benar-benar licik, kawan. Aku suka gayamu, hahaha!"

Caca menjadi kesal mendengar dua orang yang tertawa bagaikan wanita tua.

"Diamlah, aku sedang berkonsentrasi!"

Cici dan Cindy hanya saling berpandangan dan tertawa kecil hampir tanpa suara. Ia mengerti mengapa Caca seperti itu. Gadis itu baru saja menerima SIM setelah mengikuti kurus mengemudi dua bulan. Bagi pengendara baru, tentu masih belum terbiasa. Bisa dikatakan, Cici dan Cindy adalah penumpang pertama Caca.

Sepuluh menit berlalu, mereka tiba di tempat yang dikatakan Kak Sofi. Bergegas, Cindy keluar dari mobil dan menemui sang Kakak. Ia tak lupa mengucapkan terima kasih pada Caca dan Cici yang sudah mengantarnya.

"Selamat datang di Indomaret," sapa kasir di sana dengan sangat ramah.

Cindy lalu melihat Sofi sedang berada di depan etalase makanan kaleng. Ia menepuk bahu Sofi pelan.

"Oh, kamu sudah datang? Lain kali jangan seperti ini lagi. Bukan hal yang mudah untuk membohongi Ayah, kamu tahu, 'kan?" Sofi-sanga kakak tirinya langsung mengomelinya begitu melihat Cindy.

"Ihihi, aku tahu. Untuk itulah aku membutuhkan kalian. Terima kasih sudah menolongku," balasnya dengan suara manja. "Kak Sofi mau beli apa?" tanya Cindy.

"Hm ... aku juga tidak tahu tapi sepertinya aku akan membeli banyak di sini. Ambil keranjang di sana," suruh Sofi pada Cindy. Cindy menuruti perintah kakaknya dan bergegas kembali.

"Kak ... aku mau es krim," kata Cindy lagi. Kali ini dengan tatapan yang dibuat-buat.

"Astaga, kamu bisa membelinya sendiri. Uang jajanmu lebih banyak dari aku, 'kan?" balas Sofi sekaligus menyindir adik tirinya itu.

Cindy lalu menatap Sofi sedikit kesal.

"Ahahaha, aku bercanda. Ambillah yang kamu mau," ucap Sofi sambil mencubit pipi Cindy.

Mereka lalu berbelanja di sana. Sungguh tidak sesuai dengan rencana Sofi. Awalnya, Sofi hanya akan membeli sebuah barang untuk alibi mereka, tanpa di sadari saat keluar dari sana, mereka sudah membeli sebanyak dua kantong. Sofi sedikit menyesali keputusannya untuk menolong adiknya itu.

"Ini bukan sekedar alibi, ini sangat nyata. Tunggu, kenapa aku membeli barang sebanyak ini?" Sofi bertanya sendiri.

"Ehehehe, jarang-jarang, kan Kak Sofi mentraktifku. Aku anggap ini hadiah."

"Tapi tidak sebanyak ini juga. Ah, uang jajanku," keluh Sofi. Tentu saja ia hanya berpura-pura.

Mereka kemudian berjalan menuju rumah sambil bersenda gurau. Beberapa kali Cindy juga melontarkan beberapa candaan garing yang tidak dipahami sang kakak. Cindy melihat wajah Sofi yang berubah. Ia tertawa kecil. Ia lalu membuka tas dan mengambil dompetnya sebelum masuk ke dalam pagar rumah mereka.

"Kak," panggilnya pelan. Sofi menoleh. Cindy lalu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dompetnya. "Untuk Kakak, belanjaan ini dan bantuan Kakak."

Sofi mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu memberiku uang?"

"Terima kasih sudah membantuku. Aku tahu uang jajan Kakak lebih sedikit dariku. Rasanya tidak adil bila sekarang Kakak mentraktirku, ini untuk Kakak, aku tulus memberikannya."

"Apa ini sebuah sogokan? Hahaha."

Cindy mengambil inisiatif dan langsung menaruh uang itu dalam tas milik Sofi. Ia tahu Sofi tidak akan menerimanya begitu saja.

"Hei!" teriak Sofi agar Cindy menghentikan aksinya itu.

"Untuk Kakak, barang yang sudah diberikan tidak bisa dikembalikan." Cindy lalu berjalan santai masuk rumah. "Aku pulang!" teriaknya sangat ceria.