Chereads / Cindy Bukan Cinderella / Chapter 5 - Penyakit Ayah

Chapter 5 - Penyakit Ayah

Dalam perteduhannya, peri itu mulai berpikir sejenak, kira-kira apa yang harus ia lakukan nanti. Bantuan seperti apa yang akan ia berikan pada manusia itu selama seratus hari? Dan juga siapa yang akan ia tolong? Tunggu, bagian ini belum dijelaskan dengan lengkap pada surat. Ini seperti teka-teki pembawa malapetaka. Bagaimana bila ia salah menebak manusia yang akan ditolongnya? salah lagi? Hukuman bertambah.

Peri itu berusaha mengingat kembali isi gulungan kertas hukumannya. Sepertinya ada bagian penting yang terlewatkan, pikirnya. Kemungkinan lain, bagian itu memang tidak dijelaskan.

Hujan perlahan reda. Peri itu melanjutkan perjalanannya dengan mengandalkan pendengarannya. Sinyal tanda pertolongan harus bisa didengarnya dengan baik sekarang. Peri itu memasang betul pendengarannya agar tidak melewatkan tugasnya.

Ia terbang perlahan menelusuri jalan-jalan di kota itu. Sedikit kesal karena belum mendengar sedikit pun sinyal. Lelah, lapar dan juga kesal bercampur dalam bebannya.

"Apa yang salah? Telingaku bermasalah? Atau sebenarnya aku sedang dikerjai?" kesalnya dalam hati. Meskipun begitu, ia tetap melanjutkan perjalanannya.

Ia berhenti di sebuah rumah yang menyimpan bunga dengan aroma berbahaya. Itu adalah tanaman beracun. Ia kemudian berhenti dan memeriksanya.

"Tunggu sebentar, kenapa bunga berbahaya ini ada di rumah penduduk? Apa mereka tidak tahu?" katanya. Ia juga melihat sekeliling tempat itu. Semacam sebuah gudang, pikirnya, namun terlalu bersih untuk dikatakan sebagai gudang.

Ia berhenti sejenak dan memeriksa lagi bunga-bunga beracun itu. Untungnya, sebagai peri bunga malam, racun pada bunga sama sekali tidak akan berfungsi terhadapnya, atau dengan kata lain, peri memiliki antibodi terhadap racun.

Samar-samar ia menikmati pembicaraan sebuah keluarga di sana. Setelah beberapa menit diam di tempat itu, ia juga mendengar sinyal dan tanda cahaya untuk tetap di sana. Ia sedikit tersenyum, setidaknya sudah menemukan rumah tempat manusia yang membutuhkannya. Sekarang sisa menemukan manusia mana yang harus ia tolong.

"Hm ... sup kacang merah, ini benar-benar kesukaanku," ucap sang kepala rumah tangga di rumah itu. Peri itu sudah berada di sana mengamati mereka dari bunga sintetik yang diletakkan di atas meja makan.

"Makanlah sepuasnya suamiku, sangat jarang aku membuatkannya," balas sang istri dengan senyum manis di bibirnya. "Makanlah selagi kamu bisa sayang, aku tahu itu adalah makanan kesukaanmu karena mendiang istrimu sering membuatkannya, bukan?" Itu adalah kata hati yang sesungguhnya.

Peri itu tertawa melihat akting sang istri. "Haha! Luar biasa sekali, hm ... jelas bukan wanita ini yang membutuhkanku. Mari kita lihat selanjutnya. Apa gadis manis ini?" katanya sambil melihat ke arah Sofi.

"Gadis ini memiliki senyum yang manis. Wajahnya juga memancarkan kebaikan."

"Ayah, ini tidak biasa. Tumben sekali Ayah pulang begitu cepat. Bukankah biasanya Ayah melepas rindu pada Ibu?" tanya Cindy pada Ayahnya.

"Hm ... Ayah sedikit tidak enak badan jadi Ayah pulang." Jawaban singkat yang keluar dari mulut sang Ayah. Ia tidak bisa berkomentar banyak, apalagi di sana ada istri barunya. Rasanya tidak baik membicarakan wanita lain di depan istri yang sekarang.

"Ah ... baiklah. Aku juga minta maaf, aku pikir aku akan menemani Ayah hari ini. Ayah pergi tiba-tiba tadi pagi tanpa memberitahuku terlebih dahulu." Protes Cindy.

"Hm ... Ayah juga tidak berencana hari ini. Entahlah, rasanya Ayah hanya ingin ke sana. Sudah, tidak perlu membahasnya lagi. Sekarang, ayo ceritakan kegiatan kalian hari ini," balas Ayah dan juga mengalihkan pembicaraan.

Anti langsung menimpali, "Tidak ada yang istimewa, kami hanya di rumah dan melakukan aktivitas seperti biasa."

"Anti, kapan kamu akan mencari pekerjaan lagi? Atau kamu ingin buka usaha saja? Katakan pada Ayah, siapa tahu Ayah bisa membantumu."

"Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Sebulan ini aku terus berpikir apa tujuan hidupku," balas Anti pada Ayahnya. Tentu saja, Anti sedang menikmati masa istirahatnya. Setelah ia tidak bekerja lagi sebagai sekretaris di perusahaan Bima Jaya, ia memutuskan untuk menikmati sejenak masa-masa di rumah.

"Waow, dalam sekali. Ayah sama sekali tidak menyangka kamu akan menjawab seperti itu. Jadi sampai kapan kamu akan mencari jawaban atas pertanyaanmu?" Kali ini wajah Ayah sedikit serius. Sebagai orang yang pekerja keras, tentu saja alasan semacam itu tidak bisa diterima begitu saja.

Anti menelan salivanya, ia juga memutar otaknya dan mulai mencari alasan yang tepat. Akhirnya ia memberanikan diri menjawab lagi, "Aku sudah mengirimkan beberapa CV ke perusahaan-perusahaan tujuanku. Tinggal menunggu respons."

Anti bersaha menghilangkan rasa canggungnya atas pertanyaan yang berhasil dijawabnya. Segelas air putih diteguknya sambil menenangkan diri. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang tidak ingin ia dengar.

"Ah baiklah, Ayah senang mendengarnya. Ayah harap kamu akan lebih sukses di tepat kerja yang baru. Atau kalau kamu mau, Ayah akan membantumu masuk ke dalam perusahaan Ayah, bagaimana?" tawar Ayah.

"Terima saja, Nak. Perusahaan Ayah adalah perusahaan besar di kota ini," bujuk sang Ibu.

"Apa aku langsung mendapat posisi yang bagus?" tanya Anti sedikit khawatir.

"Tentu saja tidak. Ayah memperlakukan semua karyawan dengan sama. Jadi ... kamu akan mulai dari bawah."

Anti sedikit kesal dalam hatinya. "Bisa-bisanya aku diperlakukan seperti ini. Pak tua ini rupanya memang tidak mengharapkan aku bekerja di perusahaannya," ucapnya dalam hati. Wajah Anti masih nampak dengan senyum manisnya dari luar walau hatinya penuh dengan rasa kesal.

Peri yang masih berada di sana langsung terkejut. Betapa mengerikannya sifat dua orang di rumah ini. Setelah Ibu kini anaknya yang bernama Anti. Lain di mulut dan lain di hati, seperti itulah kini yang dipikirkan sang peri.

"Ayo, tambah lagi makanannya, Ibu sudah masak banyak hari ini. Anti dan Sofi juga membantu Ibu memasaknya," kata Ibu tak lupa menekankan pada 'siapa' yang membantunya. Sangat jelas menyindir Cindy yang tidak membantu tadi.

Cindy hanya terdiam, ia tahu saat ini perkataan itu tertuju padanya. Ia melanjutkan makannya dengan tenang sambil sesekali menatap wajah ayahnya.

"Dengarkan aku baik-baik. Saat ini kondisi Ayah sedang tidak baik," kata kepala rumah tangga itu. Ibu, dan tiga putrinya langsung menyimak perkataannya. "Ayah sudah memeriksakan ke dokter dan ada sebuah penyakit yang menyerang Ayah," tambahnya lagi.

"Apa itu Ayah? Ayah sakit? Kapan Ayah ke dokter? Kenapa tidak memberitahukan pada kami?" beruntun pertanyaan langsung keluar dari mulut Cindy.

"Jantung Ayah sedikit bermasalah. Rasanya sesak yang tidak biasa. Paru-paru Ayah juga tidak baik."

"Bagaimana mungkin? Ayah sangat rajin berolahraga dan juga makan makanan yang sehat. Ayah juga tidak merokok. Ayah perlu memeriksakannya ke dokter yang lain. Siapa tahu diagnosa di tempat itu keliru."

"Lalu ... apa kamu meragukan kemampuan dokter itu?"