Seperti emosi yang tertumpah ketika tak cukup lagi ditahan, langit semakin menurunkan air matanya. Petir bergemuruh diluar sana, angin bertiup kencang hingga menggoyangkan pohon besar di kediaman Adikara. Kilatan cahaya menjadi penerang dimalam yang gelap. Cakrawala seolah marah, pada tuduhan tak berdasar yang keluar dari bibir Adikara.
"Karena Mela lebih bisa dipercaya daripada anak pembawa sial sepertimu," balas Adikara atas pertanyaan Nia.
Bagai disambar petir, tubuh Nia kaku saat itu juga. Wajahnya yang sedari tadi mendung, kini semakin basah oleh air mata. Hatinya semakin teriris oleh perkataan ayahnya yang seperti pisau. Bagaimana bisa seorang ayah kandung menghina anaknya sebagai pembawa sial? Tak adakah hati nurani dihati ayahnya untuk Nia walau hanya setetes? Begitu salahkah kehadiran Nia di dunia ini? Lantas untuk apa dirinya terlahir? Jika kehadirannya hanya membawa rasa sakit pada orang tuanya sendiri.