Chereads / Back 2 You / Chapter 23 - Deva

Chapter 23 - Deva

Ruangan yang cukup luas dibandingkan dengan kamar pada umumnya. Tapi terlihat begitu simpel tanpa perabotan yang tak berarti atau hiasan dinding dan semacamnya.

Dengan kasur queen size di tengah kamar dan meja belajar tepat disebelah kirinya, jendela berukuran 1 x 1 meter yang menghadap langsung bagian kiri kasur. Lalu disebelah kiri jendela lemari buku yang penuh dengan koleksi semua komik dan dvd film kesukaannya.

Kringg!!

Deva terbangun dari tidur nyenyaknya di kasur empuk milik Tony, sahabatnya. Ya, kalian tidak salah, di kasur Tony. Sejak tadi malam Deva sibuk mengerjakan beberapa contoh soal untuk persiapan masuk ke universitas negeri favorit.

Selain karena wifi yang masih menyala dan terlalu sia-sia kalau tidak digunakan, buku catatan mulik Tony sangatlah lengkap bahkan melebihi apa yang pernah diajarkan di sekolah. Tapi meski begitu, belajar tanpa ada seseorang yang mengajarkan tetaplah hasilnya berbeda.

"Hoaahmm.. Rasanya begitu membosankan sendirian seperti ini, lebih baik aku langsung pulang ke rumah"

Deva mengambil ponselnya dulu sebelum berdiri, yang awalnya hanya berniat untuk mengecek pesan kini malah menjalar ke social media. Setelah memutuskan untuk berhenti melihat-lihat isi instagram dan tiktok, matanya malah terpaku pada game ular yang ada di layar depannya.

Maka begitulah tiga puluh menit berlalu tanpa disadari.

Deva

Sejak kapan kamarmu seperti rumah hantu begini ?

Tony

Bawa keluargamu buat nginap disana juga nggak apa-apa lho, bro

Deva

Okelah, nanti bakal aku pakai buat party

Tony

Hahahaha… silahkan..silahkan..

Deva melemparkan ponselnya ke kasur dan bangkit untuk mandi.

***

"Aku pulang.."

Deva sudah mengetuk pintu tapi tak ada sahutan dari dalam rumah meski pintu terbuka lebar. Biasanya adik perempuannya akan berlari keluar dengan memakai daster dan rambut yang dikucir berantakan. Sangat tidak ada manis-manisnya.

Dengan bertelanjang kaki seperti biasa karena sandal harus dilepas di luar, ia masuk ke rumah menapaki lantai bersih yang dingin karena baru selesai di pel. Ruang tamu yang ia lewati tertawa rapi, tak ada jejak orang yang mencuri.

Pintu kamar pertama terbuka setengah, memperlihatkan sedikit apa yang ada di dalamnya. Deva iseng mengintip ke dalam kamar adiknya yang terbuka dan melihat bahwa adiknya sedang melakukan video call dengan seorang lelaki.

Seorang lelaki. Kalimat itu berputar di kepala Deva sebelum ia bertindak.

Brakk!!

Pintu kamar kini terbuka lebar membuat melati, adik Deva terkejut bukan kepalang. Yang ia tau kakaknya itu sedang berada di rumah sahabatnya, dan biasanya itu akan berlangsung sampai dua hari satu malam. Sedangkan ini baru saja satu malam.

Dengan terburu-buru ia langsung memutus sambungan telefon dan mematikan ponselnya, sadar betul sumber dari kemarahan kakaknya. Ia langsung turun dari kasur dan buru-buru menghampiri Deva yang masih berdiri dengan amarah terpendam di depan pintu.

"Siapa itu tadi?! Bukannya kakak sudah bilang kalau ada laki-laki yang berani dekati kamu suruh dia buat ketemu kakak dulu!! Ka-"

Dungg!!

Aaargh!!

Suara yang nyaring terdengar bersamaan, antara suara teriakan Deva dan pukulan panci ibu yang langsung datang begitu mendengar suara marah-marah Deva yang bikin pusing.

"Kamu baru pulang kenapa sudah berisik aja sih? Udah sana buruan makan, ibu sudah bikin tumis kangkung sama laukk tempe di dapur. Melati juga! Dari tadi bukannya bantuin ibu malah hilang nggak tau kemana"

Tanpa mengeluarkan bantahan apapun kedua kakak beradik itu langsung bergegas pergi ke dapur. Menghindari omelan ibu yang mungkin tak akan ada habisnya.

***

"I mess this up

I spend my weekend..

Lalalala… Hm.. hm…"

Melati yang baru keluar rumah karena disuruh ibu beli sabun cuci di toko sebelah langsung dihadapkan dengan suara nyanyian kakaknya yang aneh. Bukan karena suaranya tidak bagus, tapi karena lirik yang terdengar sangat berbeda, mirip dengungan lebah.

"Nyanyi apa sih kak?"

Deva yang sedang mengelap motornya agar terlihat seperti baru itu tak juga berhenti meski ditanya oleh Melati. Ia tetap menjawab meski tak berbalik.

"Lagunya lewat terus di tiktok, tapi aku nggak tau liriknya"

Melati berencana untuk mengejek Deva, karena itu ia berjalan menjauh sebelum berkata, "Bilang aja kalau nggak bisa bahasa Inggris"

Takk!!

Benar saja, Deva langsung melemparkan barang yang ada di tangannya ke arah Melati yang sudah berlari. Tanpa ia sadari bahwa yang baru saja ia lempar adalah ponsel yang ia gunakan untuk memutar lagu tadi.

"Aargggh! Ponselkuuu! Adik kurang ajar!"

***

Masuk ke universitas negeri tidaklah mudah, apalagi jika tidak lulus SNMPTN. Maka dari itu Deva akan berjuang mati-matian di ujian penerimaan kali ini. Ia masih bertekad ingin masuk ke universitas negeri agar tak terlalu membebani orang tua.

Pakaian yang ia kenaan kali ini pun adalah pakaian khusus. Kemeja putih pemberian Tony, celana hitam pemberian Tony dan jam tangan yang kembaran dengan milik Tony.

Mereka bukanlah pasangan kekasih yang menyukai barang kembar dan saling berbagi hadian atau kado. Hanya saja orang tua Tony yang sering mengajaknya keluar bersama saat mereka berbelanja ataupun pergi rekreasi sering meminta Tony untuk membelikan Deva juga.

Dan Deva sendiri juga berharap agar kejeniusan Tony bisa menular padanya. Maka Deva sendiri sadar bahwa ia juga tidsak bodoh, setidaknya ia bisa berharap pada keberuntungannya.

Lembaran kertas yang ada di depannya dengan tulisan yang sejenak tak bisa terbaca. Entah kemana perginya semua hasil belajarnya semalam, bahkan tulisan di depannya pun menolak untuk bisa dipahaminya.

Inilah sebabnya dulu Tony melarangnya untuk belajar menjelang ujian. Karena Tony selalu belajar setiap hari dan di setiap ada kesempatan, meski sedikit ia tetap membuka bukunya untuk belajar.

Ketika kita memaksa otak kita untuk belajar melebihi kapasitas yang kita miliki, besar kemungkinan kalau semuanya akan menghilang karena panik dan hafalan yang bertumpuk.

"TInggal tiga puluh menit lagi"

Deva berdo'a dalam hati, berharap apa yang ia lakukan kali ini bisa membawanya menuju keberhasilan. Ia akan menggunakan kancing kemejanya untuk memilih jawaban, meski itu adalah pilihan akhir. Ia akan pasrah pada keputusan takdir dan keberuntungannya.

Lelaki di depannya terlihat lebih panik dari padanya, badannya yang bergerak dengan gelisa dan rambut rapinya yang kini sudah acak-acakan. Terkadang Deva juga mendengar ia menggumam atau berbicara sendiri.

"Yang ini bukan, ya? Kalau yang ini sepertinya akan salah, tapi caranya bagaimana? Sepertinya aku hanya harus menebak"

Ya. Kondisi mereka sendiri sebenarya tak berbeda jauh. Hanya saja Deva masih sadar untuk tidak berbicara seperti itu ketika ujian.

"Baiklah. Semuanya, letakkan alat tulis di meja dan silahkan keluar. Dimulai dari yang paling ujung depan"

Masih ada satu nomor yang belum ia isi. Dengan curi-curi pandang pada pengawas ujian ia berusaha untuk tetap memberi jawaban meski dengan diam-diam. Entah apakah jawabannya benar atau salah, ia sudah pasrahkan semuanya pada Tuhan.

Lembar jawaban yang semula kosong itu kini sudah penuh terisi. Tiga puluh persen hasil dari belajar, dua puluh persen hasil menjawab acak karena bergantung pada keberuntungan dan sisanya biar Tuahn yang turun tangan.

***

Bersambung