Semua kursi sudah terisi penuh, semuanya memasang wajah tegang, tak ada raut santai seperti tadi ketika menunggu.
Tak seperti yang diinginkan Bagas tadi, tempatnya dan Deva berbeda dan lumayan jauh. Bagas berada di barisan nomor dua dari depan sedangkan Deva bisa dibilang beruntung karena berada di barisan paling belakang.
Setidaknya ia tak akan merasa terlalu berdebar ataupun gugup karena merasa diawasi.
"Baiklah. Selamat pagi semuanya"
Lelaki berpakaian rapi yang berusia sekitar empat puluh tahunan dan berkumis tebal di depan itu memulai pembicaraan. Dengan wajah serius seperti itu ia tampak seperti dosen dengan mata pelajaran yang rumit.
"Kalian semua datang ke tempat ini untuk mengikuti ujian, jadi kerjakan dengan baik dan benar. Soal akan segera saya bagikan, mohon untuk jangan mencontek atau bertanya pada teman yang berada di sebelah kalian.
Deva melihat ke kanan dan kirinya, tak ada satupun dari mereka yang dikenal olehnya. Dan ia menyadari, semakin ia memperhatikan raut gugup mereka semakin ia merasa gugup sendiri. Itu akan berpengaruh buruk untuk dirinya sendiri.
Ia tak boleh gugup, ia harus berkonsentrasi penuh.
***
Satu setengah jam sudah berlalu dan waktu ujian sudah berakhir, ada yang tersenyum lega tapi ada juga yang mengusap kepala dengan kedua tangannya.
Deva sudah tidak menyentuh lagi soal ujian yang masih berada di atas meja tapi matanya masih melihat ke kertas jawaban miliknya. Ragu dan lega menyelimuti perasaannya, ia lega karena berhasil menyelesaikan semuanya tapi ia cukup ragu dengan jawabannya.
Deva melirik kea rah Bagas di depan , ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menyembunyikan kepalanya di antara lengannya.
"Semuanya, silahkan meninggalkan ruangan mulai dari yang paling depan. Tinggalkan saja kertas di atas meja, saya sendiri yang akan mengambilnya"
Dan sesuai dengan arahan beliau, satu per satu orang mulai meninggalkan ruangan termasuk Bagas yang duduk di kursi depan.
Deva tak bisa melihat ekspresi Bagas saat ini karena ia hanya menunduk dan melihat ke depan, tak sedikitpun melihat ke arah Deva seperti di awal tadi.
Saat masuk tadi mereka langsung terpisah karena desak-desakan dengan yang lainnya. Lagipula sepertinya karena keinginan keduanya berbeda, Bagas ingin duduk di depan sedangkan Deva suka duduk di belakang.
Begitu Deva turun ia memperhatikan lelaki pengawas ujian tadi mengambil satu per satu lembar kertas milik peserta ujian.
Wajahnya yang tanpa ekspresi membuat Deva sedikit merinding, orang yang jarang tersenyum seperti itu sering memuatnya kesulitan memahami pelajaran.
Ia berharap semoga saja ia tak perlu bertemu beliau lagi jika ia memang diterima di universitas tersebut.
Depan ruang kelas sudah sepi, banyak dari para peserta yang langsung pulang begitu ujian sudah selesai. Ada sekitar sepuluh orang yang masih berada di depan ruangan.
Beberapa perempuan yang mungkin baru saja berkenalan saat akan ujian tadi seperti Bagas dan dirinya berkumpul menjadi satu, entah apa yang mereka perbincangkan.
Ada juga yang bermain game online karena wifi gratis, ada juga yang bermain dengan laptopnya mengerjakan laporan atau mungkin juga bermain.
Dan disana, di salah satu tiang dekat tanaman hias duduklah Bagas dengan kepala masih menunduk. Tentu saja Deva tau itu Bagas dari rambut, pakaian dan juga ranselnya.
"Kamu kenapa duduk disini? Kursi banyak, lho. Kok malah ambil yang dekat sama tempat sampah". Deva berdiri di depan Bagas yang sepertinya terkejut mendengar suaranya.
Bagas mengangkat kepalanya dan mendongak melihat Deva yang berdiri menjulang di depannya. Deva bisa melihat ujung matanya yang masih basah dan matanya yang lumayan sembab.
"Kamu kenapa?", hanya satu kalimat itu mampu meruntuhkan semua pertahanan Bagas.
"Huaaaa!!!"
Suara tangis yang nyaring di lorong kampus membuat siapapun akan terkejut, tak terkecuali Dave dan beberapa orang yang masih berada di depan kelas tadi.
Dave melihat ke sekeliling meminta maaf pada orang-orang yang melihat mereka dengan risih, meski ada beberapa orang yang akhirnya lebih memilih untuk pergi.
"Hush..eh! Kamu kenapa sih ini?"
Bagas tak peduli pada Deva yang kini duduk di depannya kebingungan, ia masih ingin meneruskan tangisnya yang entah kenapa tak bisa berhenti.
Deva hanya bisa menghela nafas berat di tengah kepanikannya itu, ia mencoba untuk memperlakukan Bagas seperti ia memperlakukan adiknya ketika ia menangis.
Ia mengelus rambut Bagas yang ternyata begitu licin saat disentuh, memintanya untuk lebih tenang.
Setelah sekitar lima menit menangis tanpa henti kini tangis Bagas sudah mereda. Dan begitu berhenti ia langsung berdiri dan berlari menjauh dengan menutupi wajahnya, meninggalkan Deva yang mau tak mau mengikutinya.
Ia takutnya jika sebenarnya Bagas memiliki masalah rumit yang membuatnya depresi, dan takutnya lagi jika larinya Bagas saat ini adalah untuk bunuh diri. Semoga saja semua yang ia takutkan tidak terjadi.
Hm?
Bagas tiba-tiba berhenti kemudian berbelok tajam, masuk ke kamar mandi. Deva mengikutinya dari belakang dan ikut masuk, melihat Bagas yang berada di depan kaca.
"Oh. Hai Deva! Mataku bengkak ini gimana?!"
Bagas melihat Deva yang baru masuk melalui pantulan cermin. Raut sedih yang sejak tadi terlihat kini sudah hilang berganti dengan dirinya yang ceria, seperti awal mereka bertemu hari ini.
"Cuci muka aja dulu sana"
Deva yang sudah terlanjur panik tadinya kini menjadi lega, dan memilih untuk ikut mencuci tangan sekalian.
"Kamu kenapa sih tadi?"
Pertanyaan Deva dijawab dengan keheningan, tak mungkin jika Bagas tak mendengar pertanyaan yang diucapkan tepat disampingnya. Bibirnya ditekuk ke dalam seakan tak ingin berkomentar.
"Cari tempat lain aja ya kalo mau cerita. Disini sumpek"
Bagas lagi-lagi pergi lebih dulu, membuat Deva bertanya-tanya dalam hati. Tapi kemudian ia tersadar dari lamunannya saat Bagas memanggilnya dari pintu yang belum ditutup olehnya.
"Mau ngobrol dimana ini?"
Deva bertanya pada Bagas yang sekarang juga sedang melihat-lihat sekelilingnya, mencari tempat sepia tau tempat yang setidaknya cocok untuk bercerita.
"Keluar aja yuk. Makan bakso sekalian, aku lapar gara-gara nangis tadi"
Pandangan Bagas pada Deva seperti meminta persetujuannya. Deva sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa sebaik ini pada Bagas yang notabene nya baru ia kenal hari ini.
Seperti teman sendiri.
"Yaudah. Ayo kalo mau makan. Kalau mau traktir aku sekalian juga malah bersyukur akunya"
Bagas tertawa dan mengiyakan ucapan Deva. Bisa dianggap jika ini untuk membalas budi atas kebaikan Deva yang menanggung malu karena tangisannya tadi.
Tempat pedagang bakso yang ada di depan kampus ramainya bukan main. Meski ada beberapa tempat makan yang lain, hampir semuanya sudah penuh juga.
Tapi mau bagaimanapun, meski ditawari makanan yang lainpun tujuan Bagas tak berubah. Ia tetap ingin bakso yang ada di depan kampus, ia bilang karena bakso itu pernah viral.
Setelah menunggu antrian selama sepuluh menit, akhirnya tiba juga giliran mereka yang pesan.
"Pak, pesan dua porsi yang komplit dan dua es teh ya pak"
Deva yang berada di samping Bagas bertanya-tanya, tak menyangka jika porsi makan Bagas sebanyak itu. Sedangkan Bagas yang langsung berlalu hanya berucap tanpa suara pada Deva bahwa ia sudah memesankan miliknya.
"Kok nggak tanya aku dulu? Hey! Aku juga pingin krupuk pangsitnya, Gas!"
***
Bersambung