Tony duduk sendiri di taman yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul. Beberapa murid yang juga berada di tempat itu memilih untuk mengabaikannya. Dengan memegang buku yang selama ini digunakan untuk belajar bersama, Tony tak bisa berhenti memikirkan Nadya yang sudah dua hari ini tak bisa dihubungi.
Di hari terakhir mereka bertemu, tak ada sedikitpun tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia sedang menghindari Tony dan Arsen. Hubungan mereka baik-baik saja. Suasana hati Nadya pun tampaknya selalu ceria, seakan permasalahan keluarganya itu tak pernah ada.
Lalu kenapa tiba-tiba saja ia menghilang tak ada kabar. Hari pertama setelah ia pulang saat itu, nomornya masih tersambung meskipun tidak diangkat olehnya. Lalu di hari kedua, nomor itu sudah tak bisa dihubungi sama sekali.
Berbagai fikiran berkelebat di benaknya, apakah mungkin tanpa ia sadari selama ini ia sudah membuat Nadya terluka hingga membuatnya memutuskan untuk tak pernah mau berteman dengannya? Apakah sebenarnya semua yang terjadi hanya kepalsuan? Atau mungkinkah hubungan keluarganya di rumah menjadi lebih buruk sejak saat itu, tapi ia tak menunjukkannya?
Semua fikiran itu membuatnya tampak sedikit kacau, rambutnya yang berantakan dan baju yang tak sempat ia setrika membuatnya lebih terlihat lusuh.
"AARGH?!"
Sensasi rasa dingin terasa menyetrum begitu kaleng minuman dingin menyentuh pipinya. Dengan cepat Tony berbalik untuk mendapati Arsen yang berdiri tegap di belakangnya, memegang sekaleng minuman bersoda.
"Minumlah! Kau tampak buruk hari ini!", Arsen melemparkan kaleng soda yang langsung di tangkap Tony. Tak bisa menampik dengan ucapannya tentang penampilannya, karena ia sendiri menyadari betapa parah kondisinya.
"AARGH?!!"
Air di kaleng itu langsung menyembur saat dibuka, membasahi kacamata dan juga sebagian seragamnya. Dan semua itu pastinya menambah buruk penampilan Tony saat ini. Beberapa murid yang tadinya acuh kini melihat kea rah Tony dengan kepala yang digelengkan, tampak tak habis pikir.
"Kamu sengaja?", tanya Tony sambil meminum sisa air yang ada di kaleng.
"Setidaknya bersihkan dulu wajahmu, astaga!", Arsen menarik bagian bawah seragamnya untuk kemudian mengelap wajah Tony dengan itu.
"Woek! Bau keringat!", Tony kini berusaha menyingkirkan bau keringat itu dengan tangannya.
"Kan tadi aku baru selesai main basket, Ton", Arsen tertawa melihat Tony yang masih sibuk dengan bau keringatnya ditambah air soda yang mulai terasa lengket di wajah dan seragamnya. Arsen akui, ia memang sengaja melakukannya agar Tony tak tampak murung lagi, setidaknya untuk saat ini. Meski hanya sebentar saja.
Kepergian Nadya dengan tiba-tiba tentu saja membuatnya juga ikut kebingungan, tapi ia sadar bahwa Tony pasti lebih khawatir lagi daripada dia.
"Kusarankan kau untuk mandi sekarang, aku sudah bawa seragam cadangannya di tas"
"Ini…sudah direncanakan?!!", pembicaraan itu berakhir dengan Tony yang berlari mengejar Arsen sampai ke kamar mandi sekolah.
***
Dengan rambut yang masih basah, Tony keluar dari kamar mandi siswa. Beruntungnya tak ada siapapun saat itu di sekitar sana, jadi ia bisa dengan bebas mandi tanpa peduli apa yang dikatakan orang lain. Setidaknya ia jadi tampak lebih segar dari sebelumnya, meskipun itu berkat keisengan Arsen.
"Yo! Udah ngerasa segar?", Tony menatap kesal Arsen yang dengan santainya bersandar di tembok, tepat di depan pintu kamar mandi.
"Kalau bukan karena kamu, aku gak akan mandi di sekolah"
"Hahahaha! Tapi setidaknya kamu bisa memperbaiki penampilanmu kan?". Dengan santai mereka berjalan melewati koridor yang lumayan sepi.
Meski Arsen sudah berhasil mengembalikan sebagian mood nya, tapi sebagian lainnya masih memikirkan tentan Nadya. Benar-benar khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi padanya, tapi ia tidak mengetahuinya dan tidak bisa menolongnya.
"Hei", dengan tiba-tiba Arsen menghentikan langkahnya, membuat Tony ikut berhenti dan menatapnya bingung.
"Aku tau apa yang kamu fikirkan, tapi jika kita hanya menunggu telfon dari Nadya, takkan ada petunjuk apapun", meski tampak cuek dengan apa yang terjadi, mau tak mau Arsen ikut kifikiran juga. Walau bisa dibilang jika ia baru saja menjadi temannya.
"Lalu… gimana kalau kita pergi ke daerah rumahnya?", usul dari Tony membuat semangatnya kembali, seakan tersadar jika harapan pasti masih ada.
"Ayo kita pergi kesana! Kamu pernah anter dia pulang, kan?"
"Pernah. Tapi tak pernah benar-benar sampai ke rumahnya. Dia selalu meminta turun tepat di depan gerbang masuk perumahannya"
"Oke, nggak apa-apa. Kita coba aja datang kesana, dan tanya semua warga tentang dia. Gimana?", Arsen menyuarakan fikirannya dengan begitu semangat hingga beberapa murid yang ada di sekitar menatap mereka.
"Usul yang bagus. Tapi, apa kamu yakin kalau ada orang yang mengenalnya?"
Arsen mengedikkan bahunya, "Entahlah, setidaknya kita harus mencoba"
***
Mereka sudah berada di perumahan tempat Nadya tinggal, dan semua orang yang mereka tanya menunjuk kepada satu rumah kosong yang berada tepat di sebelah perempatan jalan.
Rumput di depan rumah sudah mulai meninggi dan tampak tak terawat, mereka bahkan bisa melihat jika tak ada seorang pun yang tinggal di tempat itu.
"Kamu yakin ini tempatnya?". Tony mencoba masuk ke halaman rumahnya karena gerbang rendah yang ada di depan tidak terkunci.
"Semua orang yang kita lewati bilang kalau memang ini rumahnya. Meski kita tidak tau nama orang tuanya, tapi setidaknya kita punya foto bersama Nadya"
Tok tok tok
"Ada orang di dalam?"
Arsen menggeleng melihat Tony yang sedang mengetuk pintu padahal sudah jelas ada gembok disana.
"Mau ikut aku? Intip lewat jendela?"
Kosong. Rumah itu bahkan tampak seperti tak pernah dihuni sebelumnya. Tak ada baju atau peralatan dapur apapun itu.
Menyerah. Mereka akhirnya memilih untuk pulang.
"Menurutmu kenapa mereka pergi?", Arsen dan Tony berjalan ke tempat motor mereka diparkir sebelumnya.
"Entahlah, kurasa mungkin ini ada hubungannya dengan masalah orang tuanya"
Beberapa anak kecil mencoba menaiki motor Arsen dan Tony yang masih terparkir, dan ada beberapa yang lebih besar sedang bermain bola di sampingnya.
Tiba-tiba Tony mengeluarkan ponselnya dan mendekati anak-anak yang bermain bola tadi. Mau tak mau mereka pun menghentikan permainannya dan berkumpul untuk melihat apa yang ditunjukkan Tony.
"Kalian tau Nadya? Gadis di foto ini?"
Kebanyakan dari mereka langsung menggeleng begitu melihat fotonya, tapi ada beberapa yang saling berpandangan.
"Aku tau. Tapi mereka sudah pindah, kan?", jawab seorang anak berambut cepak.
Arsen yang awalnya berusaha merebut kembali motornya kini beralih ke arah Tony dan anak-anak yang mengelilinginya.
"Apa kamu lihat saat mereka pergi?", tambah Tony penasaran. Ia merasa ada harapan setelah mendengar ucapan anak kecil itu.
Dia mengangguk lalu mengambil bola yang tadi ada di samping kakinya. "Aku main bola sendirian di depan rumah. Kakak itu baru pulang, tapi nggak lama udah pergi lagi sama ayah ibunya"
"Langsung pergi?", anak itu mengangguk lagi.
"Kamu tau nggak kemana?", kali ini anak itu menggeleng kuat.
Harapan yang sempat ada kini kembali hilang. Yang pasti kini mereka tau jika Nadya setidaknya pergi dengan keluarganya.
Masih ada rasa berat saat akan meninggalkan tempat itu, tapi mereka berusaha untuk berfikir positif bahwa Nadya akan baik-baik saja bersama keluarganya.
****