Hujan kembali turun, padahal baru beberapa menit lalu dua anak kembar itu menyapaku. Apakah mungkin mereka masuk karena mereka tau bahwa hujan akan turun lagi? Entahlah.
Aku sudah selesai mandi dan sekarang hanya tinggal menunggu dipanggil saja. Ayah bilang akan naik ke atas dan menjemputku, aku sudah melarang tapi ayah menolak. Sudah hampir setengah jam tapi tak juga dipanggil, aku yakin pasti ada banyak sekali yang disediakan di atas meja nantinya.
TOK TOK TOK
Akhirnya!
"Hey, jagoan! Ayo turun, kita makan bareng masakan buatan ibu", ayah hanya memanggilku dari luar, pastinya untuk menjaga kesopanan juga. Meski aku adalah anaknya sendiri, ayah selalu mencontohkan hal itu padaku melalui tindakannya sendiri.
"Iya!", dengan perasaan bersemangat aku lari ke pintu dan langsung membukanya. Ayah tersenyum melihatku yang bersemangat, mungkin yang dilihat justru aku yang kelaparan. Apakah terlalu kentara?
Bau wangi masakan ibu menyapa hidungku begitu aku menuruni tangga. Benar seperti dugaanku tadi, ada begitu banyak yang dihidangkan di atas meja membuatku menganga. Ayam rica, buah, telur dadar, dan ada juga kue serta biscuit, aku tiba-tiba merasa kenyang.
"Kenapa berhenti di tangga? Sini, ayo makan", ayah yang berjalan di depanku langsung berhenti dan berbalik untuk melihatku yang berhenti di tempat.
Seperti membaca fikiranku, ibu yang tadi tampak kebingungan kini justru tertawa.
"Tenang saja, sayang. Makanan ini tidak akan kupaksakan untuk masuk ke perutmu semuanya. Aku juga ingin membaginya dengan tetangga kita"
Oh, tentu saja.
***
Dengan makan seperti ini membuatku lupa bahwa aku sedang berada di luar negeri. Aku juga bersyukur aku tinggal dengan kedua orang tuaku hingga perutku tidak akan merasa aneh saat makan dari tempat baru.
Setelah beberapa bulan tanpa makanan buatan ibu akhirnya kini bisa merasakannya lagi, hingga tanpa sadar makananan untukku jadi habis tak tersisa. Tentu saja, makanan yang akan dibagikan dengan tetangga tak ikut ku makan.
Aku tidak serakus itu.
Semua piring dan peralatan masak yang tadi digunakan sudah ku cuci bersih, meski tadi sempat dilarang ibu. Toh aku juga bukan tamu disini, jadi setidaknya aku harus bantu cuci piring, kan?
Ibu meletakkan teh hangat di depanku, karena udara cukup dingin terkena hujan, jadi ini cukup untuk menghangatkan tubuh. Sangat tradisional.
Masih duduk di meja makan, meski sudah lumayan kosong. Hanya ada beberapa makanan untuk di berikan pada tetangga dan juga teh hangat untuk kami bertiga. Ibu masih mengiriskan buah apel di dapur dan ayah duduk di sampingku menikmati secangkir teh hangat miliknya.
"Ini buahnya~", ibu meletakkan buah itu tepat di depanku.
Belum sempat tanganku menggapai buah menggiurkan itu, sebuah pelukan hangat dari ibu kurasakan di sebelah kiriku.
"Anakku!!", ibu memelukku dengan erat, menggesekkan pipinya di kepalaku dan menggoyangkan tubuhnya sampai aku ikut bergoyang juga.
Aku memanggil ayah untuk minta pertolongan. "Ayah!"
Setelah meletakkan cangkir yang sejak tadi dipegangnya, kini ayah berbalik menghadapku. Ayah berdiri dan berusaha melepaskan tangan ibu.
SALAH!
Ayah justru ikut memelukku hingga kini badanku terjepit di antara keduanya. Rasanya sedikit sesak, tapi aku mencoba menikmati cinta yang coba ditunjukkan oleh kedua orang tuaku.
"Tony, kamu masih bisa bernafas, kan?", ayah bertanya tanpa melepaskan pelukannya dariku.
"Masih. Tapi bisakah lepaskan aku dulu"
Yap! Akhirnya mereka merenggangkan pelukannya dan aku bisa bernafas lega.
Cup
"AAARGHH!!"
Astaga! Apa-apaan itu tadi?! Kututup wajahku karena malu, bisa-bisa wajahku terlihat memerah sekarang.
"Hahaha! Sudah kubilang dia akan bereaksi seperti itu?!", ayah kembali duduk di kursinya dan menyeruput kembali teh yang sudah hampir habis.
Ibu yang masih bertahan di sampingku mengacak-acak rambutku dengan gemas, mereka tau aku akan merasa malu saat dicium, memang sejak dulu aku begitu.
Tidak. Bukan aku malu karena yang menciumku adalah orang tuaku, hanya saja…
Aku merasa ini sedikit geli.
Entah, adakah orang lain yang merasa sama sepertiku?
"Teh nya sudah habis, kan? Ayo, kita ke rumah tetangga. Ibu nggak sabar mau kenalin anak ibu ke mereka. Rasanya iri banget tiap hari liat sekeluarga bareng, sekarang anakku sudah disini!"
Astaga! Aku tak tau ibu akan sebahagia ini. Aku melihat ke arah ayah yg tampak tersepona melihat ibu.
"Jangan heran dengan sikap ibu, ya. Sejak kita datang ke Inggris,tiada hari tanpa ibu tidak merindukanmu", ayah berdiri dan mengajakku untuk ikut berdiri juga. Ibu membagikan beberapa piring makanan itu padaku dan ayah.
Aku membawa kue, ayah membawa nastar, dan ibu tentu saja hidangan utama malam ini, ayam rica-rica. Untuk kue, tentu saja ibu membelinya saat di perjalanan tadi. Nastar? itu ibu bawa dari Indonesia. Entah kapan ibu membelinya. Yang pasti, ibu penuh persiapan malam ini.
Kami melewati jalanan yang cukup sepi, selain karena sudah malam, mungkin juga karena tempat tinggal kami berada di belokan yang penghuni tak seberapa.
Ibu memencet bel rumah, cukup sekali dan hanya menunggu beberapa detik sebelum seorang anak laki bernama Eric membukanya dengan bersemangat. Melihatku yang berdiri di balik pintu, Eric berteriak memanggil orang-orang di rumah.
"Ayah! Ibu! Ini tetangga baru kita!"
Seorang wanita muncul dari balik ruangan, kutebak usianya tak begitu jauh dari ibu. Rambutnya bergelombang sebahu dan berwarna coklat gelap.
"Hai Rika! Kau datang bersama keluargamu! Masuklah!", sepertinya wanita itu sudah bersahabat dengan ibu, dengan ciuman di pipi kanan dan kiri mereka membuatku dan ayah jadi sedikit janggung.
"Astaga! Inikah anakmu! Tampan sekali!"
Wanita itu kini menyalamiku, membuatku memindahkan roti di tangan kiriku. Ekspresinya yang ceria mengingatkanku dengan si anak kembar, Eric.
"Hey, Bos!"
Seorang pria bertubuh gemuk dan besar kini muncul dari ruangan dan langsung menyalami ayah, kemudian ibu. Begitu melihatku, kufikir dia juga akan menyalamiku hingga aku pun menyodorkan tanganku.
Tapi bukannya menerimak uluran tanganku, dia justru mengacak rambutku dulu sebelum menyalamiku. Astaga! Ayah ternyata memiliki kesamaan dengan orang ini.
"Wah! Jagoan Pak Irwan kini sudah datang!", ayah ikut tertawa bersama lelaki besar di depanku ini, sementara ibu kini sudah hilang entah sejak kapan.
Dua anak kembar itu ada di belakang sana melambaikan tangan mereka sambil menatapku. Lelaki besar itu sepertinya menyadari arah pandanganku, hingga berbalik dan melihat anaknya ada di belakang. Akhirnya ia mengajak kami untuk masuk lebih dalam ke rumah mereka.
Aku melihat ibu ada di dapur bersama wanita tadi, jadi ku ambil saja toples nastar di tangan ayah dan kubawa ke dapur untuk diserahkan pada ibu.
Dua anak kembar itu menungguku kembali ke ruang tamu, keduanya mengajakku berkenalan lagi. Kurasa aku tak akan menyadarinya sampai pulang, jika saja Eric tidak menarikku ke sebuah kursi di pojok ruangan.
Gadis itu ada disana, duduk di sofa besar sambil menulis entah apa di buku jurnal yang ada di tangannya. Dia melihatku dengan datar, sama seperti yang kulihat dari jendela sebelumnya.
Di ruangan yang cukup ramai seperti ini, bagaimana dia bisa tidak muncul sama sekali?
"Kak, namanya Tony"
Eric langsung mengenalkanku padanya yang tampak tak tertarik. Aku ingin tertawa, sepertinya akan sia-sia juga karena dia tampak muak padaku. Tapi kemudian, tangannya terulur ke arahku.
"Bella"
****
tbc