Tanggal wisuda sudah ditetapkan, hanya tinggal menunggu waktu 2 minggu lagi. Wajah sumringah bahagia tampak dimana-mana, merasakan bahwa mereka akan melepaskan masa sekolah dan mulai melangkah ke arah yang lebih maju.
Seseorang itu masih merasa berat, beban itu masih juga belum hilang. Rasa bersalah karena tak memperdulikannya setelah mereka dekat kini menumpuk begitu saja. Kebahagiaan karena bisa bersama, sibuk dengan ujian di depan mata hingga lupa bahwa masalah mungkin masih ada.
"Kau masih mencoba menghubunginya?", Arsen yang baru datang dan langsung menuju dapur Tony kini bersuara.
Sedikit tersentak, Tony hanya menjawabnya singkat. "Ya"
"Meskipun nomor itu sudah tidak terdaftar lagi?"
Arsen menawarinya snack kentang yang langsung ditolak oleh Tony, "Setidaknya aku mencoba".
"Meskipun kamu tau, itu akan sia-sia?"
Tony menghembuskan nafasnya berat, ditatapnya Arsen yang betah duduk di lantai, tepat di depan kakinya. Tv yang menyala pun tak dipedulikan, entah acara apa yang sedang berlangsung sekarang.
Tak ada yang salah dari kalimat Arsen, justru karena Tony tau benar bahwa apa yang ia lakukan sampai sekarang adalah hal yang sia-sia. Salah satu hal yang mungkin terjadi adalah Nadya memang tak ingin siapapun untuk menghubunginya lagi, ia benar-benar ingin untuk memutus semuanya.
"Kau benar-benar tak mau makan?", Tony hanya menggeleng mendengar tawaran Arsen. Makan pun rasanya sudah tidak bernafsu.
Setidaknya ia bersyukur karena Arsen tetap berada disini bersamanya, meski Arsen suka melakukan sesukanya sendiri saat di rumahnya, ia jadi tidak kesepian dan tidak terlalu merasakan sakit.
Salah satu ponsel yang diletakkan di meja berbunyi, Arsen yang sedang duduk menghadap tv pun melihat nama yang tertera di ponselnya. Tanpa menunggu lama Arsen langsung mengangkat panggilan itu.
"Halo, ayah". Sebuah bantal melayang ke arah Arsen dengan keras.
"Itu ponselku!", dengan cepat Tony merebut ponsel yang tadi di genggam Arsen.
Tony bisa mendengar dari seberang telefon ayahna sedang tertawa terbahak-bahak. Bukan hal asing baginya jika sahabat anaknya itu suka sekali mengerjai anaknya. Watak mereka yang bisa dibilang bertolak belakang justru membuat mereka tetap erat sampai sekarang.
"Halo, ayah. Maaf karena kau harus mendengarkan suara mengerikan itu dulu"
"Hei! Tidak sopan!!", Arsen mengambil bantal yang tadi dilemparkan Tony untuk balas memukulnya kali ini.
Setelah memukul Tony sekali kini Arsen ikut duduk disampingnya, ingin ikut berbicara dengan ayah Tony tentu saja.
"Astaga! Kalian itu, dari dulu kecil sampai sekarang selalu berantem. Tapi lucunya, kalian tak pernah benar-benar bertengkar seakan ada magnet yang membuat kalian selalu berbaikan"
Tony dan Arsen saling menatap dengan aneh setelah mendengar perkataan ayah Tony itu, kemudian sama-sama merasa geli sendiri.
"Ayah, sudahlah. Arsen itu yang selalu lengket padaku". Bukannya marah, Arsen justru tertawa mendengar hal itu, mungkin karena sebagiannya benar.
"Maafkan ayah. Ayah hanya berfikir bagaimana nanti Arsen saat kau tinggal kesini? Apakah dia tak akan mencarimu lagi?"
Benar. Setelah lulus sekolah, Tony akan melanjutkan ke perguruan tinggi di London, mengikuti ayahnya. Ia hampir lupa fakta itu. Pergi ke London berarti ia tak akan ada disini dan tak akan bisa mencari keberadaan Nadya.
Kini Tony punya satu hal lagi yang ia cemaskan.
Bagaimana jika ia meminta ayahnya untuk melanjutkan sekolah disini saja? Apakah itu terlalu egois mengetahui bahwa ayahnya sudah merencanakan pendidikannya sejak lama.
"Tony?"
Senggolan dari Arsen membantu menyadarkannya dari lamunannya sesaat tadi.
"Iya? Maaf ayah, aku tadi melamun"
"Melamun? Apakah ada sesuatu yang memberatkan fikiranmu atau mungkin kamu merasa nggak enak badan?". Ia melihat ke arah Tony yang mencoba memberinya kekuatan dengan menepuk pelan pundaknya.
"Tidak ayah. Aku hanya baru ingat jika aku harus pergi ke London, aku belum kefikiran mau masuk ke kampus yang mana", sedikit berbohong rasanya mungkin tak apa.
"Ah! Untuk hal itu tak perlu di fikirkan! Ayah sudah mendaftarkanmu ke universitas terbaik disini dan ayah yakin kau akan menyukainya. Jadi kau tak perlu pusing memikirkannya, ayah sudah mempersiapkan semuanya. Tenang saja".
Suara ayahnya yang terdengar begitu tegas dan menyiratkan kebanggaan atas tindakannya membuatnya tak tega jika ia sampai meminta untuk tetap tinggal disini. Ayahnya tampak bangga karena ia sudah melakukan hal yang dikhawatirkan anaknya dengan baik.
"Iya ayah. Terimakasih atas semuanya". Akhirnya Arsen bisa melihat Tony tersenyum juga setelah beberapa minggu.
"Sama-sama nak. Oh iya, bagaimana jika Arsen ikut juga berkuliah di London? Sepertinya Tony akan kesepian tanpamu nanti, hahaha"
Arsen tertawa melihat Tony yang baru saja mengerutkan keningnya sekaligus menggeleng kuat, "Tidak perlu paman. Ibuku bisa marah jika aku pergi, lagipula belajar dengan serius sama sekali bukan diriku".
Percakapan mereka berlangsung cukup lama, tentu saja karena Arsen yang dengan cerewetnya menanyakan segala hal yang dilakukan orang tua Tony selama di London.
Tony bahkan sudah melepaskan ponselnya dan memberikannya pada Arsen. Ia tau ayahnya itu sangat suka mengobrol dengan Arsen, mereka bisa mengobrol lama bahkan sampai lupa waktu. Dan Tony tak ingin terjebak di antara mereka hingga ia memilih untuk meninggalkannya.
Selagi mengambil makan siang di dapur, ia masih memikirkan tentang Nadya. Ia berharap bahwa sampai saat ini ia dalam kondisi baik-baik saja bersama keluarganya.
***
Semua siswa berada di penampilan terbaik mereka hari ini. Mereka semua mengenakan riasan, para siswi mengenakan kebaya dengan rambut yang tampak ditata di salon. Sedangkan para siswa kompak mengenakan jas.
Acara wisuda yang dilaksanakan di sebuah hotel itu kini dipenuhi oleh para murid dan juga wali murid. Setelah acara selesai, semua siswa masih sibuk berfoto bersama teman-teman dan orang tua mereka. Sambil memakai toga mereka berpose di sekitar aula dan juga halaman hotel yang tampak begitu asri.
"Kenapa kamu tidak berfoto?", lagi-lagi Arsen berbicara dengan nada yang sedikit mengejeknya.
Pasalnya, sejak awal mereka datang, Arsen sudah langsung terpisah darinya. Beberapa gadis menariknya untuk foto bersama, beberapa teman bermainnya juga mengajaknya untuk berfoto kelompok. Tony sudah sangat terbiasa dengan pemandangan itu.
"Apakah aku harus berfoto dengan tanaman?", tanya Tony cuek.
"Kau memilikiku, bung", Arsen menepuk dadanya bangga.
Dan tanpa banyak bicara, Arsen langsung mengeluarkan ponselnya dan merangkul Tony. Mengajaknya berfoto selfi.
"Hei, bisakah kau tersenyum sedikit? Foto ini akan aku kirim ke ayahmu nanti."
Dengan berat hati, akhinya Tony mengikuti saran Arsen. Tak mungkin ia membiarkan ayahnya melihat dia yang berpenampilan buruk dan tidak tersenyum. Ayahnya pasti akan tau jika ada sesuatu yang membebani fikirannya.
Tak hanya sekali, Arsen mengambil foto hampir sampai sepuluh kali dengan berbagai pose, tentu saja Tony hanya mengikutinya.
Ketika Tony mulai merasa lelah itulah, ponsel di saku jasnya bergetar. Ponsel sengaja ia buat dalam keadaan senyap karena acara wisuda yang khidmat tadi.
"Oh! Apakah itu paman?"
****