Chereads / Love & Punishment / Chapter 2 - 2 - Desire

Chapter 2 - 2 - Desire

Mengaum kencang, suara Mobil melaju di malam hari, mobil muscle hitam dengan julukan matador ini melaju kencang di jalan tol, menyalip seluruh kendaraan Dengan jago. Jovana terduduk tegang sedari tadi, jemarinya kokoh memeluk erat-erat tubuhnya. Selama ia hidup baru kali ini ia naik mobil seliar ini. Aku tau dia memang jago dalam mengendalikan mobil, tapi tetap saja. liriknya kearah Jean yang dengan tenangnya menyetir, kenapa harus buru-buru seperti ini sih, apa yang di kejar sih pikir Jovana memandang Jean.

Mobil ini kalau di pikir tidak seperti mobil pada umumnya, di dashboard tengah sebuah laptop dan radio serta alat elektronik lainnya terpasang, laptop itu menyala menunjukan arah jalan serta patroli terdekat mobil polisi. Ini sih tidak seperti mobil sipil, interiornya persis mobil kepolisian. Suara radio polisi terdengar samar dari laptop, aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan, namun sepertinya itu bahasa yang tak kukenal. Radio mulai berbunyi nyaring, seperti suara panggilan. Sambil menyetir Jean menekan sebuah tombol di laptop dan mengambil radio.

"Centurion anda sudah sampai dimana?" Ucap suara anonim dari balik radio dengan bahasa latin, bahasa latin adalah bahasa sehari-hari di tempat kerja Jean.

"Aku dalam perjalanan, dan jangan panggil pangkat ku sudah berapa kali ku bilang, kita tidak sedang bekerja"

"Ah, maaf Jean, dan dia sudah menunggu mu!" Ucap suara anonim tersebut gelagapan.

"Biarkan dia menunggu" Ucap Jean menutup komunikasi. Jean meletakan radionya di tempatnya kembali, ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Menghembuskan asapnya Jean menurunkan kaca mobilnya, sambil menyandarkan tanganya Jean merasakan nikmatnya udara dingin yang menyentuh wajahnya, namun ketenanganya terganggu ketika Jovana Bersuara.

"Kamu bisa bahasa Italia ya?" Tanya Jovana tersenyum tulus kepada Jean. Jean terdiam sejenak, ia tersadarkan bahwa Jovana berada disisinya, sebercak kebencian mengalir dari matanya. Sekuat apapun ia berhayal bahwa Jovana tak ada, nyatanya ia berada di hidupnya sekarang.

"Latin" Balasnya.

"Oh latin…." Jovana terhenti sejenak saat berucap, tatapan Jean membuatnya terkejut. Dadanya terasa meloncat, kedua tangannya mencoba untuk tidak panik, menyentuh lehernya yang menegang. Ia berusaha terlihat natural namun tetap saja ia terlihat panik. "Latin ya, hahaha sejak kapan?" Ucap Jovana di akhiri tawa mencoba mencairkan situasi.

"Sejak aku bekerja" Ucapnya dingin, ketika ia berbicara dengan Jovana tidak sekalipun ia menatapnya.

"Oh…." Ucap Jovana semakin pelan, Semakin tertunduk Jovana menyentuh rambut pirang keemasannya, ia menyentuh dan mengusap rambut panjangnnya, ia merasakan salah tingkah hingga tak tau hendak melakukan apa, mungkin dengan menyentuh rambutnya ia bisa menghentikan kepanikan ini. Ia tentu saja tau kalau Jean tidak tertarik untuk berbincang dengannya. Saat mereka mulai tinggal bersama disaat Jovana mengajaknya untuk berbincang, ia selalu membalasnya dingin, membuat Jovana terpaksa menyudahi pembicaraanya. Ia sadar kok Jean selalu menolak untuk berbicara dengannya, namun tetap saja ia mencobannya.

Jovana mencoba menenangkan dirinya, ia mencoba melirik Jean, hari ini Jean terlihat menawan, ia mengenakan kemeja putih dengan celana hitam, dengan tubuhnya yang tinggi dan kokoh.

Kemeja dengan kerah terbuka ini menunjukan Collarbone, dengan pakaiannya yang terbilang ketat menunjukan lekukan tubuhnya membuat Jovana meneguk air liurnya. Sambil menyetir Jean tersadar bahwa ia diperhatikan. Ia menatapku tajam, aku kembali menurunkan pandangan ku. Ia memiliki insting yang kuat ketika di perhatikan. Mata merah itu kembali menatap jalanan, Jovana menghela napas lega. Mata itu begitu membuatnya takut, tatapan merahnya membuatnya membeku di tempat.

Jovana merapikan bajunya, ia masih tak tau kenapa Jean mengajaknya pergi, atau lebih tepatnya ia tidak di ajak, ia di perintahkan. Aku mengenakan Dress hitam sesuai perintah jean. Ia memerintahkan ku minggu lalu, Jovana kembali teringat apa yang terjadi minggu lalu.

"Pakai gaun ini" Perintah Jean, saat itu Jovana baru saja pulang dari kantornya. Saat ia membuka pintu apartemen rumah Jean, ia melemparkan Cover gaun berserta isinya kewajahku. Sambil berkacak pinggang ia merokok menatapku dingin, Jean mengenakan pakaian kepolisiannya Field uniform dengan rompi anti peluru, jemarinya tertutup dengan sarung tangan hitam. Penampilannya membuat ku teringat ketika aku masih di dalam penjara, para sipir penjara itu selalu mengenakan seragam yang membuat ku terintimidasi. Saat itu, belum sempat aku berkata ia sudah memerintahkan ku lagi. "Pakai" Ucapnya dingin.

"sekarang?" Ucapku bingung, aku tak memahami apa yang terjadi saat itu.

"Pakai" Ucapnya semakin jengkel.

"O..oke" Ucapku pelan. Aku lalu hendak masuk kedalam apartemen untuk mengganti pakaian ku. Jean langsung mendorong ku dengan satu tangan hingga diriku terhempas ke pintu. Aku berteriak kaget. Mata merahnya bersinar, Jean sambil mengibaskan rambut hitamnya dengan jemarinya menatapku rendah. Ia kembali berkata.

"Pakai" Ucapnya sama, ia memerintahkan ku mengenakannnya disini. "Jangan sampai aku mengulang ucapan ku lagi" Amarahnya mulai memuncak.

Jovana membeku menatap Jean, ia tertunduk. Oh tuhan pikir Jovana, Demi Api abadi ia menyentuh kalung kacanya, kalung kecil ini tersimpan serpihan abu keagamaan Jovana. Jovana mencoba untuk berbicara untuk terakhir kalinya, mungkin saja Jean bisa membiarkannya mengganti pakaiannya di ruang ganti.

"Bolehkah aku mengganti pakaian ku di ruang ganti?" Pinta Jovana memohon untuk terakhir kalinya.

"Kau tidak paham rupanya Jovana" Ucap Jean, ia menghembuskan asap rokoknya tepat di wajahku. "Setelah semua yang terjadi kau tidak memahaminya" Jean mengambil kursi di dekatnya lalu duduk sambil menyilangkan kakinya. Bagi Jean gadis Balkan ini tidaklah menyadari ia bukan dalam posisi yang bisa bernegosiasi. Untuk seseorang bisa bernegosiasi kedua sisi harus sama-sama kuat.

"Ini Bukan Greater London, kita tidak berada di london lagi"

"Ma..maksu" Jovana gelagapan dengan perlakuan Jean kepadanya, ia merasakan ketakutan dari dalam hatinya, belum selesai Jovana berucap Jean memotongnya.

"Maksudnya adalah kau tidak memahami posisimu saat ini"

"Di sini, di polis Atlantis kalau kau tidak menjadi yang teratas kau adalah yang terbawah"

"Kau hanyalah seorang gadis lugu, gadis kantoran yang bahkan tidak memiliki jabatan spesial" Jelas Jean mematikan rokoknya di lantai sambil menginjaknya ia tersenyum manis kepadaku, ketakutan ku membuatnya semakin hidup.

Jean menyalakan rokoknya lagi, Jovana mulai bergetar, kedua kakinya terasa begitu berat. Ketenangan Jean yang terlihat palsu ini membuat Jovana merasakan perasaan yang tak mampu ia jelaskan.

"Kau hanyalah seorang gadis kantoran biasa yang pindah dari London untuk mengejar seorang pria, yang bahkan ia tidak pernah memikirkan dirimu selain rasa benci di dadanya." Ucapan Jean sontak membuat Jovana merasakan rasa sakit yang amat besar. Seolah dadanya terkoyak-koyak tiada ampun.

Jean melepaskan sarung tangan hitamnya dan meletakkannya dengan rapi dan penuh perhatian di sakunya, sambil beranjak dari kursi. Jean berjalan ke meja di dekatnya dan mengambil sebuah apel lalu melahapnya. Jovana masih membeku tak tau harus berucap apa.

"Kita hidup di dunia Libertarian" Jelas Jean berjeda "Dan kau Jovana" Ucap Jean menunjuknya dengan jemarinya. "Selama kau hidup disini aku akan menggunakan mu" Jelas Jean lagi. Ia tidak segan-segan mengatakan apa keinginannya, baginya seorang manusia adalah alat yang bisa ia gunakan, hingga suatu saat nanti Jovana tak berguna bagi dirinya, dengan mudahnya ia akan membuangnya.

"Jean..." Guman Jovana sedih. Jean melempar apel tersebut kelantai dengan mudahnya, layaknya Jovana suatu saat ia akan memakan Jovana sampai habis dan membuangnya begitu saja. Ia takan mampu untuk membunuh gadis sialan ini, namun demi Mars, ia mampu untuk menyakiti Jovana secara mental.

Mata hijau Sapphire nya menatap takut Jean serasa ingin menangis saat ini. Ia mendekati Jovana kedua jemarinya melingkar di leher Jovana. Jovana membeku meneguk liurnya ketika tangan dingin Jean melingkar bak ular.

"Apakah engkau paham posisimu sekarang" Jean menyentuh wajah Jovana yang pucat dan menyeka air matanya. Ia menarik lengan Jovana dan mendorongnya ke sofa. Tak lama dengan takut Jovana mengangguk menatap Jean. Jean duduk di sofa didepanku. Sambil menyilangkan kakinya ia menunggu ku, akhirnya aku menyerahkan diriku kepada dirinya.

Ia kembali tersadar dirinya setelah berhayal tentang apa yang terjadi minggu lalu, ia menghela napas panjang. Saat ini ia tak tau mau dibawa kemana dirinya dan apa yang akan Jean lakukan kepada dirinya. Apakah ini hukuman Jean kepada dirinya?

Apa mungkin ia akan di bawa berkencan atau, oh tunggu, kurasaaaa..... aku berpikir berlebihan tak Mungkin ia akan membawaku kencan. Minggu ini tepat dua Minggu aku pindah ke apartemen Jean bukan?

Jean memang telah berubah, menyilangkan tangannya Jovana mulai berpikir sejenak. Apakah hanya dirinya yang tidak berubah banyak, apakah hanya ia yang kekanak Kanakan atas semua ini. Apakah di balik hatinya saat ini Ia tidak memiliki perasaan apapun kepada diriku, tapi setelah apa yang ia lakukan kepadaku, harusnya ia merasakan sesuatu bukan.

"Melakukan apa" Ucap Jovana kepada dirinya sendiri.

"Itu loh!!"

"Ya apa?"

"Dia mencium mu bodoh!"

Wajah Jovana memerah seketika, ia mengingat apa yang terjadi, ciuman hangat Jean yang kembali membawanya hidup. Ia di berikan kesempatan kedua oleh Jean.

Jemari lentiknya menyentuh bibirnya perlahan, kembali merasakan perasaan hangat tersebut, lembutnya menyentuh bibirnya Jovana mengingat kembali apa yang terjadi, ciumannya begitu membuat Jovana berdebar. Ciuman pertama Jovana, di umurnya yang mendekati 29 tahun ini.

Dan baru saat ini ia merasakan yang namanya berciuman. Dan itupun bukanlah ciuman yang nyata, ia bukan di cium Jean, ia hanya diberikan pernapasan buatan. Jovana menghela napasnya. Bahkan ciuman pertamanya mengecewakan, terkadang ia bingung kenapa nasib buruk selalu saja menimpanya.

Ia memandang Jean, penuh harapan, apakah Jean merasakan perasaan yang sama dengannya, terlebih apakah Jean berpikir bahwa ciumannya di kemarin hari spesial. Namun semakin Jovana memperhatikan Jean, semakin ia menyadari bahwa Jean tidak merasakan apa-apa, bagi Jean ciuman tersebut hanya cpr saja.

"Jovana aku perlu kau mengikuti apa yang ku perintahkan" Jelas Jean dalam bahasa Latin tanpa sadar.

"Hah?" Ucapnya terpaku bingung buyar setelah tersadar dari hayalnya, ia tak mengerti apa yang Jean ucapkan ia hanya mengetahui kalau namanya di panggil.

"Jovana" panggil Jean lagi Ia terkadang terbiasa berbicara dengan bahasa latin saat bekerja, jadinya ia tak sadar tidak semua orang berbicara dengan bahasa tersebut.

"Ya?" Tanya Jovana menatap Jean, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Jalan Jean kembali berbicara.

"Kamu tau kenapa aku membawamu?" Tanya Jean, kedua bola matanya menyala terang dalam kegelapan.

"Makan malam?" Ucap Jovana penuh harapan.

"Tidak" Ucap Jean tanpa basa-basi langsung mematahkan harapan Jovana, pandangan penuh hadapannya sirna.

"Oh.." Ucapannya pelan penuh kekecewaan. Ia menyilangkan tangannya sambil tersenyum paksa, tapi Jean membawa dirinya berati ia memerlukan sesuatu bukan. Dan di perlukan Jean cukup membuatnya bahagia, selagi pula mungkin dengan membantu Jean bisa membuat hubungannya kembali normal.

"Malam ini aku ada acara kantor, kamu tau apa pekerja ku?" Tanya Jean, Pop suara kecil dari tutup botol obat. Satu tangannya menyetir dan satunya mengeluarkan beberapa butir pil putih dari kotaknya. Ia meneguknya sebiji tanpa meminum air, ia terlihat sudah terbiasa.

"Polisi?" Ucapnya, melirik Jean yang meminum obatnya ia penasaran Jean sakit apa sampai-sampai minum obat, ia tau ini bukan urusannya tapi mau bagaimana lagi dia memang orang yang mudah penasaran dan tidak mampu menahan rasa penasarannya. Rasanya ia sering banget liat Jean minum obat?

"Kamu minum obat apa Jean?" Tanya Jovana.

"Diam" Ucap Jean singkat sambil meneguk obat keduanya, ia benci orang cerewet yang banyak bicara.

"Ma.. maaf" Ucap Jovana tertunduk kebawah, sedikit saja kemarahan Jean sudah membuatnya takut, ia tak berani menatap wajah Jean, ia sampai teringat apa yang terjadi kemarin, ia sampai lupa tapi Jean sanggup menyakitinya. Ia tak ingin berada di sisi buruk Jean.

"Ini sangat simple, aku perlu kau mewakili ku"

"Mewakili dirimu?" Ucap Jovana bingung.

"Kau cukup duduk manis dan gak banyak bacot" Perintah Jean dengan nada tegas.

"I.. iya" Ucap Jovana tersenyum palsu, pertanyaan Jovana tadi tidak di jawab Jean, inginnya ia bertanya tapi Jean tak mau menjawabnya, entah tidak mau atau tidak perduli kurasa keduanya.

"kalau acaranya sudah selesai kau bisa mendatangiku di kamar hotelku" Jelas Jean.

"Dimana Jean?" Ucap Jovana pelan, ia masih takut.

"Datangi resepsionis, dan tanyakan dimana kamar Jean Taggart"

"Sekarang kau diam, dan biarkan aku fokus menyetir" Ucap Jean memotong semua interaksi, Jovana bahkan belum sempat bertanya, kalau sudah begini Jovana hanya bisa terdiam.

Mobil hitam ini masuk kedalam salah satu hotel bergaya Eropa. Jean berhenti di depan pos penjaga. Seorang polisi keluar dari posnya memberi hormat kepada Jean.

"Selamat malam Centurion" Jelas polisi tersebut dengan bahasa latin. ia mengenakan seragam kepolisian berwarna hitam dan merah, ia membawa perisai ala Romawi.

"Selamat malam Contubernium, dimana Optio Cato?" Tanya Jean dalam bahasa latin.

"Optio Cato sedang menuju kesini Centurion"

Tak lama menunggu, orang yang Jean tunggu datang, Jean keluar dari dalam mobilnya, ia bersandar di kap mesinnya. Jovana melihat seseorang datang, pakaian kepolisian Jean mirip dengan baju jirah romawi ya, bedanya dengan sentuhan modern. Pria tersebut Berbadan tinggi dan berhidung mancung dengan rambut pendek berwarna silver berkulit pucat ia berdiri di hadapan Jean. Aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan dari bahasanya saja sudah membuatku pusing.

"Selamat malam Centurion" Ucap Cato dengan bahasa latin.

"Optio, sudah kau selesaikan bukan" Ucap Jean, ini bukanlah sebuah pertanyaan dari nada bicaranya, ia memastikan masalahnya sudah selesai tanpa ia harus turun tangan.

"Sudah Centurion, saya sudah menugaskan Frumetarri"

"Dimana dia?" Ucap Jean mengganti topik, membahas orang ketiga, ia sengaja tak mengucapkan namanya, ia harus berhati-hati, karena pria ini sangatlah penting, tiada orang yang boleh tau siapa yang mereka bicarakan.

"Di ruangan hotel anda Centurion"

"Sudah kau pastikan tiada yang mengikuti dirinya bukan?" Tanya Jean menyalakan rokoknya.

"Sudah Centurion, sesuai perintah anda"

"Kalau begitu masuklah ikut dengan ku, kau harus hadir" Jelas Jean menunuk ke kursi belakang.

"Siap Centurion"

Pria anonim ini lalu duduk di kursi belakang. Serasa berdiri bulu kuduk Jovana disaat Pria asing ini melirik ku menggunakan kaca depan, Jovana terdiam apakah ada yang salah dengan ku?

Jovana menyentuh lehernya, ia merasa tegang. Jean lalu menjalankan mobilnya, ia memarkirkan mobilnya masuk kedalam parkir di lantai bawah hotel.

"Keluar" Ucap Jean kepadaku. Perlahan aku membuka pintunya, udaranya terasa begitu dingin, rasanya aku seorang diri saat ini di kelilingi orang yang tak ku kenal di tempat yang tidak ku ketahui. Bahkan oleh Jean, aku merasa ia begitu asing.

Jean lalu duduk di kap mesin mobilnya. Ia terduduk menghisap rokoknya ia hendak menghabiskan rokoknya sebelum masuk kedalam. Ia menghembuskan asapnya di wajahku. Tak lama pria anonim tersebut berdiri di hadapan Jean menunggu perintah. Cato Dubois namanya, seorang Optio yang menjadi bawahan Jean, ia memiliki wajah campuran Eropa dan Amerika.

"Siapa dia?" Tanya Cato melirik Jovana dalam bahasa latin. Jovana terdiam, ia merasa sedang di bicarakan saat ini.

"My bitch" Jelas Jean, Ucapan Jean terasa tak enak di telinga Cato, apalagi Jovana sama sepertinya, namun ia tak berani mempertanyakan Jean.

"Tumben anda membawa seseorang" Tanya Cato bingung.

"Well well well, Cato kau cerewet sekali ya sekarang"

"Maafkan saya Centurion" Ucap Cato tegas, ia langsung mundur setelah salah berbicara.

"Aku tak perduli dengan maaf mu" Jelas Jean.

"Siap Centurion" Ucapnya lagi, Jean hanya mengangguk, Jean lalu mematikan rokoknya dengan menginjaknya di lantai.

"Kau pergi duluan, acara harus segera di mulai, kau buka acara setelah itu aku akan datang, aku harus berbicara dengan dirinya" Jelas Jean mengusir Cato.

"Siap Centurion"

Setelah Cato meninggalkan mereka berdua, suasana semakin terasa dingin, Jovana berdiri di hadapan Jean terpaku bingung tak tau apa yang harus ia lakukan, ia masih tak mengerti kenapa ia di bawa kesini.

"Ini yang aku perlukan dari dirimu" Jelas Jean. "Aku perlu kau tersenyum dan diam tanpa suara" Jelas Jean. Tanpa menunggu Jovana langsung tersenyum kaku.

"Bukan sekarang bodoh" Hina Jean.

"Ah maaf" Ucap Jovana terdiam.

"Ikut denganku" Jelas Jean berjalan meninggalkan Jovana. Setengah berlari Jovana mengikuti Jean di belakang tak berani bersanding di sebelahnya, Jean menekan tombol elevator menunggunya terbuka, setelah terbuka ia menarik tangan Jovana untuk masuk kedalam elevator bersamanya.

Jean menghela napasnya panjang, sekarang gilirannya untuk bersandiwara. Ia berjalan mendekati kaca didalam elevator, menatapnya mencoba tersenyum. Namun ia tak mampu. Ia mencoba tersenyum sebisanya, terlihat begitu Canggung dan kepalsuannya begitu nampak.

Jovana menatapnya melalui kaca, keduanya bertatapan untuk sesaat, disaat tatapannya menyatu, Jovana merasakan apa yang Jean rasakan untuk sesaat.

kesedihan Jean bocor mengenai Jovana. Bagaikan ombak yang membara menghancurkan dirinya, ia ditarik kedalam kekosongan abadi, Bagaikan Void, hatinya terasa begitu kosong. Walau hanya sesaat Jovana meraskan efeknya, ia meraskan kehampaan. Harusnya ia menyembuhkankan Jean bukan.

"Aku Jovana sang penyembuh bukan" Pikirnya layu, namun ia tak mampu menyelamatkan Jean saat ini. Bukankah aku berkata bahwa aku kan memperbaiki segalanya, namun lihat ini, aku tak mampu melakukan apapun.

"Jangan lihat aku!" Bentak Jean tersadar akan perhatian Jovana, tiada hall yang paling ia benci selain di perhatikan gadis sialan tersebut. Sembari berkacak kepala, ia meraskan sakit kepala teramat sakit kembali, kenapa di saat seperti ini, sejak kedatangan gadis Balkan ini Jean sering merasakan sakit kepala yang teramat sakit. Jean menghempaskan tangannya di tombol stop elevator, Jovana membeku. Ia kembali terteror dengan prilaku Jean yang tidak stabil.

"Demi Mars" ucapnya mengacak kepala, meletakan beberapa butir pil putih dan biru di mulutnya Jean mengambil botol besi berisi alkohol dari kantongnya dan meneguknya obat tersebut bersama Alkohol. Ia meneguknya sampai habis. Ketergantungannya terhadap obat-obatan suatu saat akan merugikan dia, namun ia yakin sebelum itu terjadi ia sudah mampus. Ia mencoba untuk tersenyum kali ini, dan akhirnya ia bisa kembali tersenyum, baginya apapun masalahnya, kalau tak bisa di selesaikan dengan uang atau kekerasan, ya bisa di selesaikan dengan drug. Jovana ingin sekali bertanya, sebenarnya ia sakit apa, karena ia tak pernah memahami kenapa Jean selalu meneguk pil-pil tersebut sebelum memulai harinya. Namun ia seorang pengecut yang tak berani melakukan apapun.

Jean menekan tombol elevator melanjutkan jalannya kembali, ia mendekati Jovana. Melingkari jemarinya di wajah Jovana, perlahan mengangkat dagunya. "Aku ingin melihat senyum mu" paksa Jean. Dengan kaku Jovana tersenyum palsu. "cukup bagus" Ucap Jean. Jean tau senyuman Jovana tidaklah seperti ini, ia tau, tapi ia tak perduli lagi, baginya ini cukup bagus, ia ingin sekali melihat senyuman tulus Jovana sebenarnya, namun itu tidak penting lagi.

Jean berdiri di sebelah Jovana dan menggengam tangannya, Jovana memandang Jean, ia membeku sesaat, kenapa tangannya di pegang, tentu ia tak keberatan, hanya saja ini mengejutkannya.

Saat pintu elevator terbuka, Jovana di sambut dengan ramainya suasana puluhan orang di aula utama saling bercengkrama mengobrol riang, semuanya mengenakan pakaian formal, dan hanya beberapa yang mengenakan pakaian kepolisian. Jean mengandeng Jovana, hari ini Jean bersandiwara kalau ia memiliki pasangan, ia ingin terlihat normal untuk kali ini, bagaimanapun ia memiliki bawahan yang harus di buat terkesan. Semua mata tertuju kepada mereka berdua. Beberapa orang langsung menyambut Jean.

Mereka menundukan kepalanya untuk sesaat, sambil menggandeng tangan Jovana, Jean membawanya masuk kedalam ruangan serba guna, berbicara dengan tugasnya, ia melaksanakan dengan sempurna, Jovana akhirnya tersenyum natural, ia begitu senang bergandengan tangan dengan Jean, bahkan setelah apa yang Jean lakukan kepadanya, hatinya tak mampu untuk terus takut, sedikit saja ia di berikan kebaikan oleh Jean, ia akan menerimanya. Ia begitu harus akan kasih sayang Jean.

"Selamat datang Centurion" Jelas seseorang tersenyum menyambut Jean, membukakan pintu ruangan serba guna, megah menawan dan penuh keagungan, estetika romawi yang begitu kental. Puluhan meja bundar serta panggung di ujung ruangan, Jovana tak paham acara apa malam ini sepertinya hanya makan malam saja.

Jean menarik ku menuju meja yang sudah di sediakan, terdapat kertas nama di atas meja bertuliskan Centurion Jean Taggart, oh ini meja kita berati ya. Ia melepaskan tanganku dan menarikan kursi untuk diriku duduk.

"Terima kasih" Ucapku tersenyum, rupanya Jean masih baik kepadaku. Aku tersanjung, namun tersadar ia melakukan ini bukan karena ia mengharagaiku, ia melakukan ini karena ia ingin di lihat orang.

Jean duduk di sebelah ku sambil menunggu acara untuk di mulai. Merogoh koceknya jean mengambil rokoknya, meletakan di mulutnya. "Kau mau?" Tanya Jean menyodorkan rokoknya.

"Ya" Ucap Jovana pelan, Jean tak ingin aku banyak bicara bukan, makanya ia memilih berbicara seadanya. Ia mengambil sebatang rokoknya. Mungkin merokok akan menghilangkan ketegangananya.

Sambil menghisap rokoknya Jean bersandar Rilek, tak lama orang yang tadi bersama Jean sudah berdiri di muka podium. Ia mulai membuka acara sepertinya. Orang-orang mulai masuk dan duduk di meja masing-masing.

"Acara apa ini ?" Tanya Jovana, ia tak mampu menahan rasa penasarananya. Jean ingin sekali gadis ini diam tanpa suara, ia benci ketika ia berbicara, namun karena ia di tempat umum dan di perhatikan banyak orang Jean memilih untuk menjawab pertanyaanya.

"Saturnalia"

"Saturnalia?" Tanya Jovana bingung.

"Ya Saturnalia, kami semua pagan disini"

"Oh…" Jelas Jovana. "Jadi kau pindah kepercayaan?"

"ya" Ucap Jean lagi ingin menutup permbicaraan, Jean menuangkan Wine ke gelas, ia serasa harus banyak berbicara dengan Jovana.

"Lalu apa yang kita lakukan di acara ini?"

"Kalau kau cukup duduk manis dan berpura-pura sebagai pasangan ku, sedangkan aku, aku harus memberikan persembahan" Jelas Jean sambil meneguk wine.

"Oh, bagaimana dengan mereka semua?" Tanya Jean.

"Mereka semua adalah bawahan ku, mereka cukup menikmati acara"

"Oh begitu, ini kantormu ya yang menyelenggarakan acara?" Jovana semakin senang bisa mengobrol dengan Jean. Sebaliknya Jean semakin jengkel sebenarnya, di balik wajah datarnya ia ingin cepat-cepat selesai.

"Bukan" Jelas Jean.

"Bukan, lalu siapa?"

"Kau selalu ingin tau ya" Jelas Jean menyandarkan kepalanya di telinga Jovana berbisik pelan, ia menuangkan segelas penuh Wine dan meneguknya sampai habis. Malam baru saja di mulai tapi ia sudah minum-minum, Jean terkenal akan ketahanannya akan alkohol, jadi segini saja takan membuatnya mabuk. "Oke akan ku beri tahu, kau lihat disana" Bisik Jean menunjuk namanya di salah satu pilar romawi.

"Ya?" Tanya Jovana sambil mematikan rokoknya.

"Aku yang menyelengarakan acara ini, karena ini adalah tugasku sebagai Centurion, dan tentu saja ada beberapa Donatur yang tak ingin di sebutkan namanya" Jelas Jean, membuka rahasia kecilnya. Tak lama orang-orang bertepuk tangan saat Cato selesai memberikan pidato pembuka.

"sekarang bertepuk tanganlah, karena tugasmu adalah membaur" Jelas Jean bertepuk tangan. Tanpa tanya Jovana melakukan apa yang di perintahkan Jean. Seseorang mengenakan toga berjalan di panggung ia mebawa seekor sapi putih jantan. Semua orang sontak berdiri disaat kedatangan pria tersebut. Jovana hendak ikut berdiri disaat Jean berdiri dari kursinya.

"Jangan berdiri kau bukan pagan" Ucap Jean menahan Jovana yang hendak berdiri.

"Aku hanya duduk?"

"Ya" Jelas Jean meninggalkan Jovana di kursinya, sebenarnya Jovana tak mengerti apa yang mereka semua ucapkan, mereka bersorak-sorak dengan bahasa latin. Mereka semua menggunakan bahasa latin tiada satupun orang yang berbicara bahasa inggris.

"Selamat malam Pontifex Maximus" Jelas Jean.

"Semua sudah siap Centurion, anda bisa memulainya"

"Terima kasih Pontifex" Jelas Jean, ia lalu berdiri di belakang altar di tengah panggung. Semua orang terdiam. Setelah aku memperhatikan, rupanya hanya beberapa orang yang tidak berdiri, Rupanya aku tidak sendirian.

Jean mengucapkan beberapa doa dalam bahasa Yunani kuno, Cato berlutut di sebelah Jean sambil memberikan Pugio sebuah belati Romawi Kuno. Menuju ke ujung panggung di depan, Pontifex Maximus membawa sapi jantan tersebut, Jovana mulai panik, ia mulai memahami apa yang Jean maksud dengan persembahan, hatinya tak kuat melihat hall seperti ini.

Dengan satu tangan, Jean kokoh memegang tanduk sapi tersebut. Cato memegang di sampingnya. Jean langsung menyayat leher sapi dengan mudahnya, ia sudah terbiasa melakukan ini, setiap kali ada operasi kepolisian dimana ia akan mengerahkan Cohortnya Jean selalu melakukan persembahan. Jovana menutup matanya tak mampu menatap apa yang ada di hadapannya. Darah segar membasahi panggung dan mengalir di lantai. Mereka sengaja membiarkan darahnya mengalir membasahi. Dengan tangan bersimbah darah, ia mengangkat tanganya tinggi ke langit sambil memegang erat Pugio, Jean lalu berteriak.

"ROMA" Teriaknya di ikuti oleh seluruh orang sambil mengangkat Pugionya ke atas langit.

"INVICTA" Teriak Jean mengakhirinya.

"Roma invicta" Mereka mengucapkannya berkali-kali. Setelah ini mereka tinggal mabuk sampai mampus seperti biasanya pikir jean.

"Roma Invicta, Centurion" Jelas Cato mengangkat pugionya.

"Roma Invicta, Cato" Jelas Jean tersenyum dingin, "Ayo kita pergi Cato"

"Siap Centurion"

Jovana terbingung-bingung disaat ia di tinggalkan Jean, rupanya ia memang akan di tinggalkan seorang diri, ya ia tak bisa berharap banyak bukan. Ya sekarang ia harus menyelesaikan janjinya, bertahan disini hingga acara ini selesai, seorang diri bersama orang-orang yang tidak dikenal. Jovana menghela napas mencoba menikmati acara ini, hei setidaknya makanan dan alkohol yang berlimpah.

Setelah acara berlalu Jovana berjalan di lorong hotel seorang diri, ia baru saja menanyakan dimana ruangan Jean kepada resepsionis. Rupanya ia tinggal di suite, mungkin Jean masih bekerja atau apalah, katanya kalau acara selesai aku bisa pulang bukan, ini jam berapa sih. Jovana melirik ketangannya dan melihat rupanya sudah jam 12 dini hari, lagi pula kenapa dia harus ikut disitu sih setelah di pikir-pikir, dia benar-benar gada ngapa-ngapain selain makan.

Orang-orang juga gak ada yang memperdulikan dia jadi untuk apa ia disana, rupanya hanya sebagai pajangan bukan, tapi gimanapun dia udah janji sama jean bukan, ya bukan janji juga sih, disuruh tepatnya. Jovana akhirnya sampai di ruangan Suite milik Jean, ia langsung membukanya tanpa perduli, Jovana sudah agak mabuk saat ini.

"Ahh sorry" Ucap Jovana ketika membuka pintu, diruang tamu suite tersebut, pencahayaanya remang-remang ia tak tau siapa saja yang berada di sana. Jean duduk di kursi bersama beberapa orang yang tidak Jovana kenal. Jean terlihat serius. Saat pintu terbuka Jean langsung mengarahkan pistolnya kepada Jovana, Jovana reflek mengangkat kedua tangannya, apa yang ia pelajari di penjara rupanya berguna, atau mungkin masih membekas. sampai sekarang ia masih terbiasa.

Ketika tersadar rupanya Jovana yang datang Jean menurunkan pistolnya.

"Enyahlah" Perintah Jean. Belum sempat Jovana membalasnya, pintunya segera ditutup oleh seseorang.

"Tadi siapa" Jelas lawan bicara Jeam dengan bahasa Perancis yang sedikit kaku, Suaranya serak-serak berat milik pria anonim bertubuh besar duduk di hadapan Jean, sambil menghisap cerutunya ia memandang Jean.

"My bitch, itu tidak penting jangan urusi dia" Komentar Jean membalasnya dengan bahasa Perancis dengan logatnya yang kental, walau sudah lama tidak pulang kampung ia masih jago berbahasa Perancis. Sambil menghisap rokoknya Jean melanjutkan pembicaraan mereka.

"Sampai mana tadi?"

"Eksekusi" Ucap Jean tersenyum palsu.

Jovana berdiri di depan pintu yang baru saja di tutup, ia membeku, dan tak memahami apa yang baru saja terjadi. Ia menghela napasnya panjang, mencoba menenangkan dirinya. Setelah di manfaatkan Jean ia cuma bisa tersenyum pahit. Ia cuma ingin istirahat saja malam ini, ya sudahlah, Jovana berjalan pergi, ia tadi melihat ada Ruang umum dimana ia bisa duduk beritirahat sambil menunggu Jean.

Jovana mengambil sebungkus rokok dari tasnya, menyalakan rokoknya Jovana, merasakan nikotin Jovana merasa sedikit rilek.

Perlahan-lahan ia merasakan terperangkap kembali, perasaan ini membuat bulu kuduknya berdiri. Sambil merokok Jovana celingak-celinguk, entah kenapa ia merasakan sedang di perhatikan oleh seseorang dari tadi.

"Predator" Gumamnya tak sadar.

Ia merasakan perasaan yang sama ia rasakan ketika di perhatikan oleh Jean, seolah ia adalah kelinci kecil tak berdaya, ia merasa seperti hewan buruan.

Namun ini perasaan yang begitu berbeda, ia menoleh kebelakang dan menemukan asal tatapan tajam tersebut. seseorang dengan rambut merah bersandar di dinding, sambil merokok ia memandang Jovana. Rambut merah mata merahnya, begitu berbeda. Jovana berjalan langsung menjauhi ini semua, ia tau ini adalah sebuah masalah apapun itu ia tak mau masuk kedalamnya.

Ia menemukan ruangan umum, duduk di sofa Jovana meletakan tasnya, menyalakan rokoknya lagi, rasanya hall tadi tidak asing lagi, namun tidaklah sama juga.

Berbeda dengan Jean, Jean begitu Bold, Jean mampu mendominasi dan menjadi seorang alpha, ia mampu menghancurkan lawannya dengan mudah, namun tatapan tadi terasa begitu berbeda, bahkan ketika ia juga seorang predator seperti Jean. Tatapan pria anonim itu begitu halus, seolah siap menusuk dari belakang.

"Tuhan" Komentar Jovana, dunia di luar tak ada bedanya seperti di penjara. Setelah sekian lamanya diriku berada di dalam penjara, aku memiliki insting yang kuat, aku tau bagaimana cara untuk menghindari orang-orang jahat. Namun kemanapun aku pergi, tak ada habisnya.

"Tapi kau tidak seperti itu kan Jean?" Gumam Jovana berandai-andai. ia tak tau berapa lama ia menunggu, tapi ia sudah menghabiskan sebungkus rokoknya. Ia benar-benar merasa lelah saat ini.

"Kenapa aku di bawa kesini sih?" pikir Jovana menyesal, ia menyalakan rokok terakhirnya. Hpnya lalu bergetar seseorang menghubungi dirinya, siapa yang menghubunginya semalam ini?

Merogoh tasnya ia langsung mengangkat teleponnya. "Halo?" Ucap Jovana tanpa mengecek.

"Kau bisa masuk kedalam kamar hotel" Ucap Jean lalu menutup telepon.

"Dari" Ucapnya belum selesai berbicara, padahal Jovana ingin bertanya dari mana Jean mendapatkan nomornya. Ah sudahlah dia polisi bukan, tunggu bukanya ini illegal, namun alih-alih memikirkan ini Jovana sudah kelewat lelahnya, ia memilih untuk istirahat sajalah.

Berjalan menuju kamar, Jovana membuka pintunya perlahan, ia masih ragu untuk masuk, bagaimana kalau rupanya Jean, ah sudahlah Jovana dia juga kan yang memanggilmu.

Jovana membukanya, Jean terduduk dengan senyuman yang lebar, di dekatnya, ada cato, dan seorang wanita duduk di dekatnya. Mereka cato dan gadis tersebut sedang menghitung uang. Sambil meminum whiskey Jean meneguk sebutir obat lagi. Jean berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Jovana menyentuh tangannya.

"Jovana" Ucap Jean menatapnya dingin, walaupun ia tersenyum lebar tatapannya kosong tanpa arti.

"Ya, ya?" Ucap Jovana gelagapan melihat Jean.

Disaat aku berjalan masuk di tuntun jeam kedalam, teman-teman Jean melirik ku, namun mereka kembali melanjutkan menghitung uang. Ruang tamu ini betapa megahnya, untuk sekilas Jovana melirik di meja ruang tamu berserakan puluhan botol Obat-obatan. Jovana terhenti sejenak memandang.

"Masuk kedalam kamarmu" Ucap Jean menunjuk kearah pintu. Jean menuntun Jovana, ia lalu membukakan pintu kamar dan mendorong Jovana masuk.

"Masuk" Bentak Jean memandang Jovana, matanya bersinar merah merekah memandang Jovana. Jean langsung menutup pintu menghempaskannya di muka Jovana. Ia sudah cukup melihat lihat.

"Aneh?" Jawab Jovana, semua yang terjadi begitu aneh. Ia tak tau bagiamana harus memproses ini semua. "Sudahlah yang penting aku bisa istirahat" langsung melemparkan tubuhnya di King size bed. Betapa empuk dan nikmatnya, kalau setiap hari tidur begini sih, pasti enak banget. Jovana melemparkan sepatunya di lantai lalu ia masuk kedalam selimut beguling-guling nikmat.

"Eh ada teras!" Jelas Jovana kegirangan, membuka pintu kaca geser, merasakan dinginnya angin malam yang memanjakan dirinya. Pemandangan yang indah kota Atlantis dari atas sini.

Jean kembali duduk di kursi melihat anak buahnya menghitung uang.

"Bang" Tanya Rita, gadis berambut pendek tersebut, dengan wajah indonesia yang kental. Ia menghitung uang lalu menaruhnya kembali di koper.

"Ya" Balas Jean.

"sudah di hitung bang" Tanya Rita melirik kearah obat-obatan, dan beberapa kotak di dekat kursi.

"Bawa uangnya, kalian sudah tau siapa yang harus kalian sogok"

"Siap Centurion" jelas Cato refleks.

"Kita tidak sedang bekerja Cato berhenti memanggilku seperti itu"

"Maaf Jean"

"Sudahlah, gunakan juga obat yang berada di kotak ini untuk menyogok kalau perlu" Jelas Jean menunjuk ke arah kotak. "Yang di atas ini milik ku jangan di Sentuh"

"Oke bang" Jelas Rita. "Dia memberikan kita banyak sekali obat-obatan serta uang, baru kali ini aku ikut transaksi politik"

"Ini belum ada apa-apanya" Jelas Jean membuka dompetnya mengeluarkan dua buah kartu meletakkannya di meja. "Ambil" jelas Jean.

"Apa ini bang" tanya Rita bingung.

"Bonus untuk kalian" Jelas Jean meneguk whisky.

"Whoa" Rita berteriak senang, ia habis mengecek saldonya. "Ini setara gajihku selama 5 tahun" Teriak Rita semakin girang.

"Enjoy it" Jelas Jean mengangkat gelasnya.

"Aku harus istirahat" Ucapnya merenggangkan kedua tangannya, Jean lalu mengambil sebotol obat dan mengecek isinya.

"Tentu bang" Jelas Rita, bersiap-siap untuk keluar bersama Cato.

"Desire?" Ucap Jean mengecek label obatnya.

"Oh desire" Jelas Cato.

"Kau tau apa ini?" Tanya Jean menunjukan pil pink.

"Itu untuk seks, biasanya di gunakan oleh Doll untuk membuat hubungan seks kliennya terasa begitu intens" Jelas Cato, ia pernah bertugas di Red district.

"Kau bisa menggunakan bersama gadismu bang" Jelas Rita sambil meneguk whisky.

"Hmmm...." Gumam Jean memasukan pilnya kedalam botol kembali.

" Segarnya" Komentar Jovana sambil tersenyum, ia bersandar di pagar teras, masih memandang pemandangan. "Andai bisa setiap hari seperti ini"

"Bisa kalau kau tak miskin" Jelas Jean tiba-tiba sudah berada di belakangnya bersandar di pintu geser, sambil meneguk cocktail Jean memandang Jovana.

"Demi tuhan, kau mengejutkan Ku Jean" Jelas Jovana menyentuh kalungnya. Jovana memandang balik Jean, hembusan angin menerpa keduanya lembut, rambut pirangnya yang berkibar indah. "Apa ada yang salah denganku?" Tanya Jovana bingung di pandang Jean.

"Ya, semua yang salah, ada padamu" Jelas Jean, wajahnya kian memerah, setelah semua alkohol yang ia konsumsi, efeknya semakin terasa kepada Jean.

"Aku tak tau harus berbuat apa padamu"

"Ku akui engkau adalah bagian dari diriku"

"Kecantikan mu, begitu menggodaku layaknya cocktail ini, begitu manis dan menyegarkan"

"Hingga ku tersadar layaknya cocktail terlalu banyak maka akan termuntahkan"

"Kita semua seharusnya berubah, namun hanya dirimu yang tidak berubah" Jelas Jean menatap, Jean beranjak ke teras meletakan pistolnya, botol obatnya serta belati di atas meja. Menghabiskan seluruh cocktail di dalam gelasnya sebelum meletakan.

"Kau masih saja polos, tanpa dosa, entah kau terlalu jago dalam bersandiwara atau kau memanglah tidak berdosa atas semua ini"

"Aku tak membunuhnya Jean" Jelas Jovana tak tertahankan lagi.

"Aku tak perduli" Jelas Jean. "Kau tak bisa membuktikan apapun" Jelasnya lagi, mendekatkan dirinya Jean mengusap lembut pipi lembut Jovana, efek alkohol dan obat membuatnya semakin ingin untuk mengkonsumsi Jovana, memakan dirinya, menikmati tubuhnya. Memakan seluruh jiwanya hingga Jean puas ia lalu akan membuang gadis ini begitu saja.

"Bukankah begitu?" Tanya Jean.

" iya....." Gumam Jovana merasakan rasa ini, "aku tak bisa membuktikan apapun" Jelasnya menatap Jean sedih.

"Dosaku sudah sangat besar hingga aku tak bisa menghentikan pikiran ku untuk mengkonsumsi dirimu" Jelasnya.

"Mengkonsumsi diriku?" Tanya gadis tersebut pelan ia tak memahami apa yang pria tersebut katakan, Ia menggapai tangan Jean yang berada di wajahnya mengusapnya lembut. "Aku tak mengerti apapun, namun biarkan aku menghangatkan tanganmu" Jelas Jovana menggenggam tangan Jean yang begitu terasa dingin. Untuk sesaat merasakan kelembutannya, ia merasa meleleh dalam kasih sayang Jean, walaupun ia tau ini hanya sentuhan tanpa cinta.

"Aku hanya ingin mencoba membuat dirimu merasa lebih baik" Jelas Jovana. "Aku menyayangimu" Lirihnya pelan tak terdengar oleh Jean.

"Hahaha....." Tawa Jean memecah suasana. "Entah kenapa aku tak bisa berpikir betapa lucunya, aku benar-benar sudah terkutuk" Ucapnya dengan senyumannya yang begitu rusak. "Aku bernafsu dengan pembunuhan pacarku sendiri" Jelas Jean. Tanpa menunggu, Jean mendekatkan wajahnya mempertemukan bibirnya, mencium bibir Jovana, merasakan lembutnya, manisnya aroma tubuhnya. Gadis Balkan ini tentu terkejut ketika ia terpojok di pagar teras.

Ciuman Jean begitu hangat dan liar, Jovana pasrah ketika Jean menciumnya, ia hanya bisa pasrah ketika Jean mendominasi. "Keluarkan lidahmu" Jelas Jean.

Dengan sungkan Jovana menjulurkan lidahnya, wajah gadis Balkan ini memerah layaknya tomat masak. Ia semakin terlena akan ciuman Jean, tak mampu berpikir lagi.

"Akan ku mendewasakan dirimu" Bisik Jean ditelinga Jovana, menjulurkan lidahnya Jean meneteskan air liurnya, rasanya begitu hangat, membuat tubuhnya terasa begitu membara. Jovana mendesah erotis disaat ia kembali di cium, jemari Jean menyentuh tubuh Jovana, menikmati setiap lekuk tubuhnya.

"Jean...." Desah Gadis ini, wajahnya memerah. Jean mengusap wajah Jovana, menggigiti lehernya, merasakan wanginya rambut pirangnya, wangi Madu yang sangat tidak asing.

"Jean" Desah Jovana, ia semakin meleleh akan sentuhan Jean.

"Aku akan mendominasi mu tanpa henti" Jelas Jean melepaskan kancing bajunya, menunjukkan tubuhnya, penuh bekas luka, di sekujur badannya, bagaikan benda Jean menggunakan tubuhnya tanpa perduli, terlempar, terhempas, dihajar, dan di salahgunakan itulah yang Jean lakukan pada tubuhnya.

menunjukkan tubuhnya menurut Jean adalah menunjukan kelemahannya, tidak semua orang pernah melihat tubuh ini, walaupun sudah lama berlalu bekas luka ini tidaklah hilang, walaupun pengobatan jaman sekarang mampu menghilangkan bekas luka ini, Jean tidak mampu menyembuhkannya, ini adalah pengingat apa yang terjadi selama ia bertugas. Luka luka ini adalah pengingat bahwa ia masihlah seorang manusia, ia mampu dan bisa untuk mati kapanpun. Jovana terkejut melihat tubuh Jean, bekas biru yang tak kunjung hilang, bekas sayatan di berbagai bagian tubuhnya, membuat Jovana sedih. Ia tak mampu untuk melakukan apapun.

Menyentuh pundaknya, Jovana merasakan bekas-bekas suntikan, yang terlihat sudah menjadi bekas karena saking seringnya di suntik. Jovana mulai mengerti, apa yang terjadi pada Jean.

"Kau tidak sakit bukan semua obat yang kau ambil?" Ucap Jovana menyentuh tubuh Jean.

"Ha-ha-ha, siapa kau berkomentar kau ibuku" Jelas Jean, ia mengambil pil pink, desire, ia ingin merasakan sensasi Seks dan sekarang ia akan mencobanya.

"Jean tap" Belum selesai Jovana berbicara Jean menutup mulu Jovana dengan ciumannya, ia memainkan lidah Jovana, gadis Balkan ini meraskan, rasa manis di lidahnya, Jean rupanya memasukan pil Desire di mulutnya sebelum mencium Jovana, membuat keduanya merasakan nafsu yang mulai memuncak.

Jean memeluk Jovana erat, menciumnya liar, menyentuh dan menciumi tubuhnya, terasa begitu panas Jean melepaskan Dress Jovana dengan liar. Menarik tangannya Jean mendorong Jovana ke ranjang.

"Jovana" desah Jean, hubungan ini berdasarkan nafsu Jean, ia menciumi selangkangan Jovana, mencium vaginanya dari balik pakaian dalam yang masih terpasang. Jovana menggigiti jarinya, rasanya membuat tubuhnya terasa begitu panas.

Membuka sedikit Jean menjilati Vaginanya, wanginya membuat Jean semakin bernafsu. Jovana mengacak selimut, tak mampu menahan sensasi yang luar biasa ini, ini adalah hubungan seksnya untuk pertama kalinya namun ia tak bisa memungkiri, ada yang salah rasanya, namun ia tak bisa menolaknya ia tak ingin. Hatinya juga mengatakan bahwa ia menginginkan Jean. Semakin memuncak Sensasinya, Jovana mendesah nikmat.

"Belum" Jean menghentikannya, terlalu cepat, ia ingin Jovana orgasme dengan penisnya, Jean melepaskan pakaian dalam Jovana, branya serta cd-nya. Jovana baru saja bermain sudah kehabisan tenaga, selain kelelahan ia juga tak cukup tidur. Namun itu tidak menghentikan Jean. Sambil mencium Jovana, Jean menyentuhkan penisnya di vagina Jovana, memasukkannya perlahan, ia keluarkan lalu ia masukan lagi.

"Jean...." Lirih Jovana erotis. "Condom?" Tanya Jovana.

"Kau tak perlu kondom besok kan ku berikan pil" Jelas Jean menggesekkan Penisnya yang panas di luar Vagina Jovana.

"Aaa..aaahhhh Jean" desahnya, gadis ini menggeliat, memeluk Jean, mencium tubuhnya, layaknya terhipnotis ia menjadi beranj menyentuh tubuh Jean tanpa henti, mencari kepuasan seksual darinya.

Mencium bibir Jovana, Jean menggerakkan pinggulnya, memasukan penisnya, membuat Jovana merasakan seperti sebuah objek memasuki Vaginanya untuk pertama kalinya didalam hidupnya, serasa sakit dan rasa tajam masuk menusuknya, Jovans merasakan hymennya di robek, gadis ini memeluk Jean semakin erat, membenamkan wajahnya di dadanya, mencari perlindungannya.

"Jean..... sakit...." Ucapya, ketika hangatnya darah menetes dari vaginanya. Membasahi ranjang. Jovans melirik vaginanya yang berdarah-darah.

"Jean...." Lirihnya.

"Aku tau" Jelas Jean, dengan lembut ia menggoyang pinggulnya, mencoba membuat hubungan ini enak untuk keduanya, bukan karena ia adalah pria yang baik, melainkan kalau ia bermain kasar, tak akan terasa nikmat bahkan untuk dirinya juga.

Menciumi dadanya, lehernya, pundaknya, Jean menikmati keindahan Gadis Balkan ini, sahabat dimasa remajanya, tak disangkanya gadis ini rupanya, ia memang sudah gila dan terkutuk. Berhubungan seks dengan pembunuhan pacarnya.

Jovans masih tak bisa menikmatinya, rasanya masih saja sakit, namun dengan lembutnya Jean membuatnya bahagia, bisa bersama Jean saat ini membuatnya sangat senang. Ini yang ia inginkan bukan, namun rasanya ada yang salah ia tak mengetahuinya, perlahan ia ikut menggoyangkan pinggulnya. Meraskan penis Jean yang hangat dan besar menggedor-gedor vaginanya.

Menggigiti lehernya, Jovana merasakan lehernya berbekas panas, tubuh Jean yang hangat, aromanya yang begitu maskulin, membuat Jovana orgasme.

"Jean...."lirihnya penuh kasih. Jean semakin mempercepat ritme goyangnya, semakin cepat, semakin Jovana merasakan rasa cinta. Dadanya bergoyang imut disaat Jean menggoyangkan pinggang Jovana.

"Jovana" Jelasnya menatap gadisnya, menciumi bibirnya yang lembut, mengusap keningnya. Dengan sekali goyangan Jean mengirimkan sperma panas didalam Vagina Jovana, ia mengeluarkan spermanya di dalam vaginanya.

"Jeaaaann..." Teriak Jovana orgasme, ia menyentuh vaginanya merasakan hangatnya sperma Jean, tanpa tunggu Jean langsung mencium Jovana menjadi penutup malam Jovana.

Setelah berhubungan seks, Jovana langsung tertidur tak mampu menahan kantuknya, Jean terduduk di pinggir kasur, ia meneguk whisky sambil melirik Jovana. Ia tetidur tanpa dosa, sangat cantik dan anggun.

Jean juga harus beristirahat ia harus kerja esok hari, mengambil pilnya untuk penutup malam ini Jean meneguknya dengan alkohol, ia tidak bisa tidur dengan normal, hanya pil tidurlah penyelamat dirinya.