Chereads / Love & Punishment / Chapter 3 - 3 - change.

Chapter 3 - 3 - change.

Click clock click

Bunyi pistol Jean saat di bongkar, ia sedang melakukan maintenance pada pistolnya, nyawa seorang polisi bergantung kepada pistolnya, walau ia jarang bekerja di lapangan, ia tetap harus menjaga standar, makanya ia membeli pistolnya sendiri dari pada menggunakan pistol yang di berikan oleh perusahaan, pistol yang ia miliki lebih superior. Tapi tetap ia membawa pistol perusahaan sebagai cadangan.

Walau ia tidak bertugas di lapangan lagi, terkadang ia tetap turun kelapangan untuk melakukan inspeksi rutin, sebagai seorang Centurion, ia lebih banyak bekerja di Police HQ, mengatur anak buah di lapangan dan mengurus dokumen serta kontrak.

Setiap cohort memiliki centurionya sendiri, dan setiap centurion mengatur kontraknya sendiri, karena itu setiap Cohort memiliki daerah yang berbeda-beda untuk di jaga. Tergantung seberapa hebat ia bernegosiasi dengan perusahaan atau perumahan yang ingin Di lindungi.

Cohort yang di pimpin oleh Jean membawahi dua wilayah untuk di jaga, FountainHead dan Atlas, kedua distrik ini menjadi distrik terkaya di polis Atlantis. Dengan menguasai wilayah ini Jean mampu memuaskan anak buahnya.

karena itulah seorang polisi bisa menjadi kaya atau atau tidaknya tergantung oleh sang centurion, kita hidup di dunia kapitalis, Jean bisa menjadi kaya seperti sekarang karena ini tak pernah ragu, keraguan akan membunuhnya.

Sedikit saja anak anaknya mencium aroma kelemahan, ia akan di makan hingga habis, itulah sebabnya ia tak boleh terlihat lemah. Sebelum Jean menjadi seorang Centurion, di saat ia menjadi Optio, Jean mencium aroma kekalahan dari atasannya.

Dengan cepat ia mendominasi atasannya, layaknya serigala Jean memakan hingga habis atasannya. Untuk menang kau harus menjadi rantai tertinggi makanan, engkau harus menjadi predator.

Ia memiliki cohort yang harus di puaskan, kalau ia tak mampu mengisi kantong setiap anak buahnya, maka ia bisa-bisa di turunkan paksa, atau malah di bunuh. Ia secara pribadi pernah mendengar bahwa cohort lain membunuh Centurion nya dikarenakan kontrak yang jelek, pekerjaan berbahaya namun uangnya tak sebanding.

Itulah mengapa Jean bekerja keras untuk memuaskan seluruh anak buahnya, ia rela memotong uang pribadinya untuk loyalitas anak-anaknya, ia juga berhasil mendapatkan kontrak dari perusahaan serta distrik terbaik. Ia rela adu taring dengan perusahaan keamanan swasta lainnya.

Sekarang ia bisa bersantai berkat kerja kerasnya, disatu sisi ia tak pernah lagi menggunakan senjatanya, ia memiliki kolega yang melindunginya. Merapikan kemejanya Jean lalu melanjutkan kegiatannya.

Ia meneguk bir dingin dari botolnya, dingin dan menyegarkan. Sambil menonton televisi atau tepatnya mendengarkan nya saja, ia tak bisa multitasking saat ini. Hari ini ia mengadakan acara kantor di bar untuk merayakan kenaikan pangkat salah satu anak buahnya menjadi Equites, Equites adalah unit khusus kepolisian, mereka menggunakan motor untuk bergerak dan bermanuver di jalan-jalan sempit, mereka juga menggunakan kuda.

Click click click

Bunyi pistolnya saat Jean merakitnya menjadi satu, sekejap mata ia sudah menyelesaikannya. Walau matanya tertutup sekalipun ia masih bisa merakitnya kembali, tapi apa gunanya keahlian seperti itu?

Rencananya ia hendak di rumah saja, dan membiarkan Cato mengurusnya, namun bagaimanapun mereka itu adalah anak buahnya, ia harus tetap muncul, pokonya, Setelah selesai langsung kerumah untuk berisitirahat. Tapi saat ini menyelesaikan maintenance senjatanya itu yang penting.

Sekarang ia tinggal memasukan pelurunya kedalam magasin. Setelah selesai Jean memasukan pistolnya kedalam sarungnya di pinggang, melirik rolexnya, masih tersisa waktu 1 jam lagi sebelum ia pergi, ia masih sempat menyelesaikan laporan keuangan serta laporan lainnya. Setumpuk besar dokumen tersusun rapi di meja, Jean mulai mengerjakannya satu demi satu.

Jean mendengar suara pintu yang terbuka lalu di tutup kembali, tampa mengecek atau melirik kearah pintu Jean sudah tau siapa yang datang dan sejujurnya ia tak perduli dengannya. Walaupun ia menghabiskan malam bersama Jovana ia tak merasakan apapun. Meneguk pilnya Jean menatap kosong Jovana.

"Aku pulang" Ucap Jovana lembut melirik Jean berharap balasannya, ia tau ia tak di hiraukan sama sekali tapi ia boleh mencoba kan setidaknya. Ia membawa sekantong bahan bahan untuk dimasak malam ini, napasnya berembun habis dari luar yang terasa begitu dingin, mengenakan kemeja putih dan rok pendek merah, Rambut pirangnya terikat tapi, ia berpenampilan profesional. Ia baru saja pulang dari supermarket setelah pulang bekerja ia selalu pergi ke supermarket.

"Ya" Balas Jean singkat dan dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari setumpuk pekerjaannya. Jovana terkejut dengan perkembangan ini, apakah ia di anggap ada pada akhirnya?

Meneguk bir dingin Jean bersandar di sofa menatap dingin Jovana yang sedang melepaskan high heels, ia tak tau sejujurnya harus melakukan apa dengan wanita sialan ini. Jean tak menyadarinya tapi tatapannya begitu dingin penuh kebencian ini terpancar dari hatinya. Merahnya matanya menatap Jovana. Mata hijau Sapphire gadis Balkan ini melirik Jean tersadar.

Lirikan ini membuat Jovana merasa tak nyaman, bulu kuduk Jovana langsung berdiri tegap. Ia mencoba menatap Jean namun ia tak bisa ia takut menatapnya, hatinya Takan kuat menghadapi energi negatif Jean. Ia langsung melepaskan high heels dan beranjak kedalam dapur. Siapapun Takan tahan dengan tatapan itu.

Ia masih tak menyangka Jean teman semasa sekolahnya dulu bisa berubah seperti ini, dia dulunya begitu lembut dan ramah, Sekarang ia menjadi dingin dan rusak, apakah di hatinya masih ada kehangatan tersebut. Meletakan bahannya di meja Jovana mulai menyiapkan diri untuk memasak makan malam.

Ia mengenakan apron dan mulai memasak seperti biasa. Jovana mencoba untuk melupakannya Jean untuk sesaat, ia tak bisa terus-menerus memikirkannya, akan buruk untuk hatinya. Ia sudah berjanji akan memperbaiki semua ini kepada Jean bukan. Ia menguap sesaat, sambil meregangkan tangannya ke atas Jovana menguap lagi, ia sangat lelah sebenarnya.

Ia memiliki jadwal yang padat, ia bangun dini hari bertepatan Jean terbangun, jam empat pagi tepatnya. Kalau hari libur barulah ia bangun 7. Biasanya kalau Jean bangun, ia memakan masakan yang ku masak tadi malam.

Saat Jovana bangun yang pertama ia lakukan adalah berdoa pagi lalu membereskan ranjangnya, setelah itu ia segera beranjak untuk mandi.

Setelah mandi Jovana memasak sarapan untuk dirinya dan Jean. Biasanya waktunya sudah mepet ia tak sempat sarapan disini, jadi ia membawanya sebagai makan siang saja. Jadi sarapannya biasanya hanya roti vanilla dari toko keluarga yang biasa ia beli. Sambil pergi kerja di perjalanan itulah yang ia makan. Sorenya saat ia pulang kerja, ia pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan untuk di masak esok.

Malamnya ia pulang ke apartemen dan memasak untuk dirinya dan Jean, dan setelah memasak ia menonton televisi tak lama ia tertidur pulas, dan terulang kembali esoknya. Bisa di bilang monoton mungkin, tapi lebih baik seperti ini, setidaknya ia bisa bebas bergerak, ketika di penjara ia tak bisa melakukan apa-apa.

Tapi ia bisa tersenyum hari ini, ia merasakan perubahan besar baginya, ia di anggap ada oleh Jean. Ini begitu berati baginya.

Ia masih tak tau apa yang akan terjadi, apa yang masa depan simpan untuk dirinya. Tapi ia harap ia bisa untuk menghadapinya.

"Jean" Ucapnya pelan, ia ingin sekali hubungannya menjadi lebih baik dan demi api abadi ia akan mencobanya. Sekarang saatnya ia memasak, ia membuka kancing baju lengannya, dan menariknya melipatnya menjadi lengan pendek, mengambil hp nya dari tasnya dan menaruhnya di meja dapur, ia hendak mendengarnya lagu saat ini. Dia dulu hoby bernyanyi, sampai sampai memenangkan lomba sekolah. Sekarang ia tak begitu sering bernyanyi lagi, ia sendiri tak memahami kenapa. Ia rasa itu juga yang terjadi dengan Jean, ia tak menyentuh pianonya lagi.

Ia pemain musik yang paling ahli di antara kami, gairahnya dalam musik membuat ku ikut terlena saat ia memainkan pianonya. Sekarang ia bahkan tak menyentuh sama sekali pianonya, hanya tergeletak berdebu di ruang tamu.

Ia menaruh dua piring makanan di meja, di ujung meja untuk dirinya, di ujung untuk Jean. Ia berharap saat ini Jean mau untuk makan bersama dirinya. Ia tak ingat lagi kapan ia bisa makan bersama-sama dengan Jean. Ia tau Jean tak suka sekali melihat atau dekat dengan dirinya, mungkin ia Takan mau makan bersama Jovana tapi ia boleh berharap kan.

Jovana meletakan peralatan makan, sendok garpu dan gelasnya di dekat piring Jean berharap agar keinginannya terkabul.

Setelah mempersiapkan peralatan makan Jean, barulah ia menaruh piring nya sendiri di ujung meja berhadapan-hadapan. Menaruh sendok makan dan peralatan lainnya barulah ia siap untuk makan. Setelah selesai Jovana duduk sendiri di meja makan menatap kursi kosong dengan lirikan sedih.

Ia lalu menyalakan lilin di tengah meja dan mulai berdoa, sambil menyentuh lembut kalung keagamaannya. Ia mengangkat tangannya kearah lilin sambil berdoa.

"Wahai api abadi" Ucapnya hikmat kebijaksanaan tuhan akan melindungi dirinya dan doanya, ia harap harapannya akan terkabul dari doa yang ia lemparkan ke bintang. Ia mematikan lilinnya, dan mulai makan.

Sambil makan ia melirik kepiring Jean, ia tak bisa terlalu banyak berharap kan, Jean membiarkannya tinggal disini saja sudah membuatnya bersukur, ia tak bisa terlalu berharap banyak. Rasanya makanan ini terasa kurang, padahal ini makanan kesukaannya, tapi rasanya kurang, selalu kurang.

"Aku selalu makan sendiri bukan, jadi apa bedanya?" Jelasnya sambil meneguk red wine, selama ini ia di penjara ia tak pernah makan bersama siapa-siapa. Kenapa ia berharap sesuatu yang berbeda setelah keluar dari penjara.

Setelah ia selesai makan, Jovana mengambil piring Jean dan menutupnya dengan plastik makanan, supaya makanannya tetap awet ia memasukan kedalam kulkas, biasanya Jean memanaskannya sendiri dengan microwave. Padahal makanan paling enak kalau di makan panas-panas setelah di masak. Ia mengambil asbak lalu menyalakan rokoknya.

Mengambil bir dalam kulkas Jovana duduk sejenak, meneguk bir dingin, ia perlu rilek untuk sejenak setelah apa yang terjadi. Sudah sebulan sejak hubungannya dengan Jean, ia rutin meminum pil KB sejak saat itu, bila ia teringat akan kejadian itu ia mejadi getir dan sedih.

"Aku bernafsu dengan pembunuhan pacarku sendiri"

Ucapan Jean menyakitkan hatinya, ia bukanlah orang yang kuat, selama ini ia kuat hanya karna ia berkhayal bisa bersama Jean, disakiti Jean secara langsung akan menggoyahkan jiwanya.

Ia tak tau selama apa ia bisa bertahan di perlakukan Jean seperti ini, ia sudah hampir gila di penjara, harapan bersama Jean yang membuatnya tetap waras, dan sekarang setelah ia bertemu Jean, ia di perlakukan seperti ini kalau ini terjadi terus menerus dinding yang ia bangun akan roboh. Menghisap rokoknya Jovana terdiam menatap lilin yang masih menyala.

Ia kali ini sudah merasakan berciuman dengan Jean, namun ia tak mampu membohongi dirinya, itu bukanlah ciuman kasih sayang, itu adalah ciuman penuh nafsu.

"Ini bukan yang ku inginkan?" Lirihnya.

"Bersanding dengan Jean?"

"Cinta akan memperbaiki ini semua bukan...."

"Jean" Lirihnya, ia meneguk birnya sampai habis, setelah ini tinggal mandi dan mencuci baju Jean dan dirinya, mungkin Jean tak menyuruhnya untuk melakukan ini, tapi ini adalah bayarannya untuk tinggal disini. Mematikan rokoknya ia beranjak dari meja.

Keluar dari kamar mandi ruang tamu sudah kosong, Jean sepertinya keluar rumah pergi ke bar. Dari yang ku dengar saat sedang mandi tadi temannya menghubungi dirinya memanggil untuk segera menuju bar. Masih mengenakan handuk di kepalanya Jovana duduk di sofa sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Ruang tamu ini pekat dengan aroma Rokok dan alkohol. Tubuh Jean juga memiliki aroma yang tak jauh beda, ia berbau mesiu dan aroma rokok yang pekat, kurasa wajar sih, dia merokok tampa henti, chain smoking itu tak sehat sebenarnya. Tapi kurasa dia tak perlu pusing memikirkan kesehatan, kalaupun aku memberitahukan kepada dirinya, ia takkan menghiraukan ku.

Jovana sudah siap tidur dengan baju tidur berwana putih dengan motif kelinci kesukaannya. Ia sudah lelah sebenarnya tapi ia harus mencuci baju dahulu.

Pergi ke ruangan baju ia menyalakan mesin cuci, memasukan deterjen dan pewangi kedalam kotaknya lalu memasukan bajunya. Baju Jean benar-benar bland ya, tidak berwarna sama sekali.

Ia hanya mengenakan pakaian yang berwarna hitam atau abu-abu saja. Pakaiannya juga semuanya sama saja, kemeja hitam celana jeans hitam, kaos hitam celana pendek hitam.

Lalu ia menemukan pakaian kerja Jean, seragam polisinya. Ia menyentuhnya, warnanya hitam dengan sedikit kemerahan, ia bekerja di perusahaan penyedia jasa keamaan bukan, kalau tidak salah Legion Veritas. Mereka memiliki estetika Romawi. Jovana membaca nama Jean di seragamnya, lalu ia melihat di balik bajunya ada tulisan Jean Taggart Centurion V Century II Cohort, Legion Veritas. Ia mencoba memahami apa yang ia baca, sepertinya ini adalah struktur organisasi, itu hanya tebak Jovana saja. Ia memasukan seragamnya dan mengambil seragamnya yang lain lagi.

Jovana terkejut melihat seragam kerjanya. Seragam ini penuh darah, walau darahnya sudah mengering tapi baunya masih segar. Jovana meletakan pakaian ini di atas mesin cuci. Ia tak tau bagaimana memproses ini. Apa yang sebenarnya terjadi saat ia sedang bertugas, apakah saat ia sedang bertugas sebahaya ini?

Tentu ia khawatir kalau pekerjaan Jean sebahaya ini, tapi ia tak punya hak untuk berbicara kepadanya jadinya ia cuma bisa diam saja. Ia melirik sedih sambil memasukan seragamnya kedalam mesin cuci. Ia lalu mematikan Lampu ruangan cuci baju dan meninggalkan mesinnya bekerja. Besok bajunya sudah bersih dan rapi terlipat. Walau waktu menunjukkan jam 8 malam Jovana sudah terlalu lelah. Ia menarik sofanya untuk mengganti modenya menjadi mode ranjang.

Memasang sprei putih Jovana meletakan bantalnya dengan rapi, sambil meletakan selimut Jovana lalu menyalakan lilinnya di meja untuk berdoa malam sebelum ia tidur.

"Ku lemparkan doaku ke langit" Lirihnya pelan lalu mematikan lilinnya dan lampu ruang tamu. Ia akhirnya bisa tidur juga. Merebahkan tubuhnya di ranjang Jovana memeluk bantal putihnya. Besok mungkin akan berbeda itu yang ia harapkan walau ia tau itu takan terjadi berharap itu tidak apa bukan?

Entah berapa jam berlalu Jovana terbangun tengah malam karena suara pintu yang terbuka, Jean baru saja pulang, Jovana tak ingin menganggu Jean jadi ia mencoba untuk tidur kembali menutup matanya. Jean melepaskan jaket hitamnya meletakannya begitu saja di lantai, Jean baru pulang dari bar, rencananya dia tidak minum alkohol sebanyak ini, tapi buktinya ia tak tahan kalau sudah di bar ia harus minum banyak.

Ia berjalan pelan mendekati ranjang Jovana, ia hendak melihat Jovana tidur, liriknya menatap Jovana yang terbaring, tubuh putihnya membuat Jean tergoda untuk menyentuhnya, rambutnya yang berkilauan indah akan sangat lembut kalau bisa di sentuh. Jovana yang belum tertidur sadar Jean mendekatinya. Aroma tubuh Jean begitu pekat dengan aroma tembakau, tentu ia akan sadar kalau Jean mendekatinya.

Jean memandangi tubuh Jovana, gairah dalam jiwanya mulai membara. Selama hidupnya ia mencoba melupakan masa lalunya, mencoba melupakan kebenciannya kepada Jovana, bagaimana ia membunuh Lisa, tak pernah bisa melupakan kebenciannya, namun ia belajar mencoba untuk melupakannya, ia pikir ia bisa. Ia pikir ia mampu. Namun ketika Jovana kembali, kebencian itu kembali lagi, semua perasaan yang ia simpan dalam hati ini terbuka begitu saja memakan jiwanya.

Perlahan Jean duduk di ranjang, ia tak mengeluarkan suara tak ingin membangunkan Jovana. Pandangannya menatap Jovana. Dadanya selalu membara tak kala memandang Jovana, apakah ini pengaruh dari alkohol atau ini memang perasaannya dari hatinya, dan ia tak tau apa jawabannya.

Jean mengosongkan isi kantongnya diatas meja ruang tamu, Pistol, dompet, hp dan pisau lipat. Sambil membuka kancing kaos polonya untuk membiarkan udara dingin mendinginkan tubuhnya yang semakin terasa panas. Ia semakin tak terkendali ketika bersama Jovana, nafsunya mengontrol dirinya, ia harus mengkonsumsi Jovana, Merogoh kantung celananya ia mengeluarkan sebutir pil dan meneguknya.

Secara tak sadar ia sudah merangkak menuju Jovana, berada di atasnya menatap Jovana, layaknya singa menatap mangsanya. Ia mendekatkan wajahnya ke tubuh Jovana, mengendus-endus tubuhnya.

Jean menyentuh rambut panjang Jovana, lembutnya belaian Jean membuat Jovana bingung, ia masih berpura pura tertidur, ia tak tau kalau Jean menyadari bahwa ia terbangun. Menyentuh rambut pirangnya Jean menciumi rambutnya, wanginya tak pernah berubah ia masih menggunakan shampo yang sama, wangi Madu, aroma ini membawa Jean kembali ke masa SMA saat masih bersekolah bersama. Ia boleh kan sesaat melupakan ini semua. Mendekatkan tubuhnya Jean memeluk jovana yang tertidur membelakangi dirinya. Ia menekankan tubuhnya, memeluk lembut pinggang Jovana.

"Jovana" desah Jean nafasnya memburu di leher Jovana, Jean menciumi leher Jovana membuat Jovana tak bisa menahan, kalau begini ia bisa ketahuan kalau ia berpura-pura tidur.

"Aku tau kau berpura pura tertidur" Bisik Jean perlahan lahan memasukkan jemarinya kedalam pakaian Jovana. "Jangan kau pikir aku bisa di bohongi" Bisiknya lagi, sejak sekolah Jovana sering tertidur di sekolah, Jean bisa membedakan apakah Jovana benar-benar tertidur atau tidak.

Aroma alkohol dan tembakau pekat tercium dari nafasnya, Jovana tak bisa pura lagi, terlebih Jean sudah tau bukan, ya bodohnya dia berpura-pura di hadapannya, sejak ia bersekolah bersama hanya Jean yang mampu mengetahui dirinya.

"Jovana" Panggil Jean lagi, memeluknya erat, menyatukan mereka berdua, Detakan jantungnya semakin terasa. "Jovana" Bisiknya lagi menciumi leher Jovana membuat Jovana tak berdaya. Semakin Jean menyentuhnya semakin hangat tubuhnya.

"Jean" Balasnya seraya berbalik menghadap Jean, ekspresi wajah Jean yang datar membuat Jovana tak berdaya. Datar dan dingin. Apakah di baliknya masih ada sosok hangat yang dulu ia kenal?

Tatapan dingin ini selalu membuat Jovana diam seribu bahasa, ia tak pernah bisa membaca ekspresi wajah Jean, apa yang ada di pikirannya, Jovana tak pernah bisa mengetahuinya, apakah karena dirinya seorang polisi hingga mampu menyembunyikan perasaannya, Jovana Takan pernah memahaminya.

"Jovana" bisik Jean menatapnya, jemari Jean lembut mengusap pipinya, menyentuh lembut bibirku dengan penuh kasih sayang. Mata kami bertemu pandang, aku mencoba untuk memahami dirinya, kata orang mata adalah jendela dari jiwamu, namun yang ku tangkap hanyalah dinginnya jiwamu. Tak bisakah aku menghangatkan dirimu?

Jemariku mengusap wajah Jean, mencoba memberikan cintaku padanya, mencoba melelehkan hatinya. Jean perlahan memejamkan matanya mencoba untuk menikmati sentuhan yang begitu candu ini. Jean membuka matanya perlahan, tatapannya begitu dingin, begitu menusuk, matanya yang merah membuatku tak berdaya, semakin aku menatapnya, semakin terbawa arus emosional, matanya yang bening membuatku terbawa kesedihan dan aku mengetahui apa yang ia rasakan. Aku mendengarnya dan aku menjawabnya. Menarik wajahnya aku menempelkan bibirku yang hangat, merasakan dinginnya bibirnya. Aku ingin menghangatkan jiwamu, aku tau kau hanya menggunakan diriku saat ini untuk memuaskan nafsu mu saja, tapi aku akan melakukan apapun untuk bisa bersamamu.

Aku tau ini tak baik untuk hatiku, tapi aku mencintaimu, menutup matanya Jovana membiarkan dirinya terbawa arus emosi. Bersama Jean saat ini adalah anugerah baginya, ia akan membiarkan dirinya digunakan. Asal Jean senang itu sudah cukup.

Jean melepaskan ciumannya, kelembutan bibir Jovana memanjakannya, mengusap penuh kasih jemari Jean menyentuh tubuh Jovana, tatapan manisnya, Jean memasukan tangannya kedalam baju tidur Jovana, menyentuh pinggangnya yang ramping, Jovana menutup setengah wajahnya dengan kedua tangannya, ia menutupi reaksinya wajahnya yang merah merekah.

Dari pinggangnya jemarinya melenggang mendekati dadanya, Jean seksama memperhatikan reaksi Jovana. Jovana merah wajahnya seketika. Jean membuka kancing baju tidur gadisnya, memperlihatkan dadanya pucat, Jean mencium leher gadisnya, memeluknya erat. Merasakan hangatnya, bagaikan penyembuh, dinginnya hatinya terasa hangat ketika bersama Jovana.

"Perasaan apa ini?" Ucap Jean bingung tak mengerti.

"Ada apa Jean?" Tanya Jovana menyentuh wajah Jean, mengusapnya perlahan-lahan, menikmati setiap sentuhannya.

"Tak apa lupakan" Jelas Jean.

Ia kembali mencium dada Jovana melepaskan branya, menengelamkan wajahnya di dada Jovana, lembutnya dan kenyalnya. Ia merasa merebahkan wajahnya di tumpukan marsmellow, ia memadang dan menyentuh dada Jovana, ia tertawa kecil karena geli. Betapa menggemaskannya pikir Jean, andai saja ia bukan seorang pembunuh.

Jean menyentuh dan memainkan Arerola pink Jovana, tak tahan hanya menyentuhnya Jean akhirnya mengikuti nafsunya, ia menjilatinya. Jovana mengacak rambut Jean, tak tahan dengan sensasinya. Semakin bercengkrama semakin panas juga tubuhnya, Jean melepaskan celana Jovana dengan mudah serta langsung melepaskan celana dalamnya juga, ia tak ingin menunggu lagi, ia ingin cepat-cepat mengkonsumsi gadisnya.

"Aku sudah lama menunggu ini" Ucap Jean menatap tubuh Jovana penuh nafsu. Saat mereka berhubungan seks, Jovana juga tak mampu menahan dirinya, ia mulai berani meminta.

"Jean" Ucap Jovana mencoba menggapai Jean. "Cium aku" Pintanya manja. Andai saat ini ia tak berhubungan seks dengan Jovana jangan harap Jean mau mendengarkan permintaanya. Namun karena mereka sedang berhubungan seks, Jovana bisa berucap apapun yang ia inginkan. Jean menyentuh wajah Jovana, memeluknya erat, ia merasakan detakan dada Jovana yang berdebar kencang.

"Aku mencintai mu Jean" Ucapnya sesaat sebelum dicium oleh Jean, gadis Balkan ini memeluk erat tubuh Jean. Jovana mendesah, menyentuh tubuh Jean jemarinya tak terkontrol menyentuh dada Jean, jemari lentiknya masuk kedalam pakaian Jean. Jemarinya menyentuh dinginnya tubuh Jean.

"Aku tak bisa bernafas" Ucapnya ketika Jean menciumnya tanpa henti. Ia terengah-engah ketika melepaskan ciuman Jean. Jean berdiri dari ranjang. Ia melepaskan bajunya, ia merasa sedikit canggung di kala Jovana melirik tubuhnya. Ia tak suka ketika kelemahannya terlihat.

Walau ia tau Jovana Takan memanfaatkan dirinya, ia tetap saja tidak menyukai ini, tunggu dulu, Takan memanfaatkan ku, dari mana aku tau ini, sejauh yang ku tau ini bisa saja hanya sandiwara saat ini.

"Apa kau rajin meminum pil mu?" Tanya Jean tentang pil kontrasepsi.

"Iya seperti perintah mu" Jelas Jovana memandang tubuh Jean, ia tak begitu fokus ketika menjawab pertanyaan Jean, vaginanya sudah basah.

Jovana duduk di pangkuan Jean, indahnya lekukan punggung Jovana, ia menyukai punggung pucatnya, menjilat pundaknya membuat Jovana terkejut geli, ia tertawa kecil tak kuasa menahan sentuhan Jean.

Penisnya yang keras, tertempel di pinggang gadis Balkan ini, ia tentu tak sabar untuk mengkonsumsinya, tapi ia harus sabar, menurunkan tangannya, Jean menyentuh vagina Jovana yang terasa begitu hangat.

"Jean...." Lirih Jovana, matanya memandang, berkata mau dan mau.

"Kau sudah tak sabar lagi ya?" Ucap Jean memeluk dari belakang sambil memainkan Vagina Jovana.

"Ahhh. Lebih dalam" desahnya ketika Jean memasukan tangannya.

"Hanya penis ku yang boleh masuk lebih dalam" Balas Jean mencium bibir Jovana. Ia memasukan jemarinya, memainkannya mencubit lembut klitoris gadisnya, desahannya penuh irama. Di saat Jovana hendak klimak barulah, barulah, barulah ia berhenti.

"Je Jean...." Desahnya tak kuat.

"Ku bilang hanya penisku yang boleh lebih dalam" Ucap Jean mencium Jovana yang sampai terliur-liur saking menikmati seksnya. Berganti posisi Jean berebah di bawah sementara Jovana duduk di pahanya.

"Aku mau" Ucap Jovana memandang Jean, gadis ini memberanikan diri menggesekkan vaginanya di paha Jean.

"Kalau begitu memohon padaku"

"Aku... Aku ingin" Lirihnya pelan Jovana menutup wajahnya karna malu, ia tak tau harus mengucapkan apa, otaknya tak mampu berpikir lagi.

"Hanya begitu?" Ucap Jean hendak mendorong Jovana, Jovana terkejut ia tak ingin ini berhenti bergitu saja.

"Jangan, tubuhku sudah tak tahan, aku ingin penismu Jean, aku ingin dirimu aku ingin penismu" Ucap Jovana penuh nafsu, untuk pertama kalinya ia mengucapkan hall memalukan seperti ini, padahal tadi Jean hanya mengertak rupanya bekerja.

"Itu yang ingin ku dengar" ucap Jean. Jovana berpegang tangan dengan Jean, saat ini ia menaikan pinggulnya hendak memasukkan penis Jean kedalam Vaginanya, cairan vaginanya basah membasahi penis Jean yang berdiri tegak. Jovana meneguk air liurnya, saat Penis Jean masuk.

"Ma masuk ah ahhhh..." Ia tak mampu mengontrol dirinya, Jovana bergoyang, karena ia yang berada di atas Jean ia menentukan sendiri ritme seksnya. Kemarin ia tak bisa menikmati seksnya karena ia masih perawan, sekarang ia bisa merasakan penisnya dan menikmati hubungan seksnya dengan Jean sepenuh hatinya inginkan. Menggoyangkan pinggulnya ia merasakan dorongan penis Jean. Ia begitu berantakan kalau bersama Jean. Sampai sampai rambutnya berantakan tak mengaruan.

Tak tahan dengan Jovana Jean Menarik dan memeluknya, Jean mengigit lengan Jovana, ia harus merasakan tubuh Jovana yang kenyal dan wangi, gigitan manja itu membuat Jovana berteriak kaget.

"Kaulah kelemahan ku" Jelas Jean mendesah, ia menggigit ketek Jovana, pundak, lengan dan jemari. Ia ingin meninggalkan bekasnya di seluruh tubuh Jovana.

Saat Jean mengecup leher Jovana, gadis ini menggoyangkan pinggulnya semakin bertenaga, menghajar Penis Jean. Terkejut Jean ia mendesah tak terkontrol. Membuat Jovana semakin kencang bergoyang. Gadis ini mencium bibir Jean. Ia memeluk kencang Jean, dan menggoyangkan pinggulnya merasakan kenikmatan yang semakin memuncak Sensasinya tak tertahankan lagi. Ia orgasme bersama Jean, orgasme ini membuat Jovana bergetar tak beraturan dalam pelukan Jean, ia tak mampu menahan orgasme yang liar ini.

Setelah berhubungan seks, Jovana tertidur lelap dalam pelukan Jean, sambil memainkan hpnya Jean membaca berita sedari tadi. Ia harusnya juga tidur, ini sudah pukul 12 malam. Beranjak dari ranjang, Jean berjalan sambil telanjang menuju lemari buku, ia membuka bukunya menunjukkan kotak obat di baliknya, kotak obat rahasia. Ia menyembunyikan obatnya disini, salah satunya tepatnya.

Ia mengambil obat tidur dari dalam buku palsu lalu berjalan menuju meja bar. Menuangkan segelas air, Jean meneguk obatnya, ia sangat jarang meminum air putih, biasanya ia meneguk obatnya dengan alkohol. Ia begitu ketergantungan dengan berbagai macam zat.

Efeknya langsung bekerja, ia sudah merasakan kantuk. Sempoyongan ia berjalan mendekati Jovana, satu selimut bersama Jovana, jean memberikan dirinya kepada Jovana saat ini. Ia masuk kedalam pelukan hangat Jovana. Seperti sebuah kedipan mata Jean sudah terbangun lagi jam 4 dini hari. Ia langsung mendorong Jovana. Gadis ini masih tertidur tanpa sadar, ia begitu kelelahan, dan untungnya ia sedang libur hari ini, kalau tidak biasanya ia bakal bangun juga.

Bangun dengan segar Jean beranjak dari ranjangnya, meregangkan tangannya Jean merasa begitu berenergi. Ia menyukai obat tidur ini, selain tidurnya cepat ia juga bangun dengan segar dan yang terpenting jam tidurnya hanya 4 jam saja.

Mendekati meja Bar Jean menuangkan secangkir whisky untuk dirinya, meneguknya sekali teguk ia merasa bisa memulai hari. Berbeda dengan Jovana, Walau hari libur Jean tetaplah bekerja, karena ia orang sibuk waktu istirahatnya tidaklah banyak, tentu ia bisa beristirahat hari ini tapi uang takkan menunggu mu.

Selesai mandi, Jean berdiri seorang diri di depan kaca di ruang tamu, setengah telanjang ia melihat pundaknya, ia mengambil suntikan dan menusuknya di tempat yang sama. Napasnya terasa berat untuk sesaat dan tak lama, ia terasa begitu ringan. Ia siap untuk kembali bekerja. Biasanya ia bekerja di ruang kerja, tapi ia sedang malas jadinya bekerja di ruang tamu saja. Duduk di sofa di seberang Jovana. Ia sudah menyiapkan cemilan dan bir, keperluan utamanya kalau bekerja di rumah. Ia juga sudah memanaskan makanan Jovana. Sambil menyuap makanan yang di masak Jovana Jean mulai bekerja dengan laptopnya.

"National Biocorps" Ucap Jean membaca berkas di laptopnya, sambil bersandar di sofa ia menyalakan rokoknya. Ia merasa ada yang tak beres.

"Seharusnya ia memperpanjang kontraknya untuk lima tahun kedepan" Gumamnya.

"Oh atau" ucap Jean, Jean membuka pasar saham, ia melihat seluruh saham perusahaan keamanan swasta di Atlantis. "Oh begitu rupanya"

Tepat jam 5 hari ini Jean harus menarik unit kepolisian yang ia pimpin kalau kontrak tidak di perpanjang oleh perusahaan ini. Tanpa menunggu lagi Jean mengambil hpnya dan menghubungi CEO dari National Biocrops.

"Selamat pagi Mikhael" Ucap Jean dengan sopan. "Saya Jean Taggart, dari Legion Veritas"

"Halo, ya aku mengetahui kalau ini dirimu" Ucapnya angkuh. Jean merasa ia tak di perlukan lagi dari nada bicaranya. Ia tak suka yang namanya di remehkan.

"Apa engkau akan memperpanjang kontrak untuk lima tahun kedepan?" Tanya Jean mencoba untuk tetap sabar dan tak terpelatuk.

"Oh itu, aku Takan memperpanjang kontraknya" Ucapnya masih angkuh.

"Oh jadi begitu, Aku hendak memastikan, sesuai kontrak yang sudah kita tanda tangani tahun lalu, tepat jam 6 seluruh unit kepolisian ku akan mundur" Jelas Jean. "Dan kalau kau tertarik untuk memperpanjangnya akukan memberikan diskon 25%" Jelas Jean memberikan kelonggaran. Ia mulai naik pitam saat ini.

"Aku sudah tak memerlukan Legion mu" jelas George menutup telepon secara sepihak.

"Bajingan" Bentaknya emosi Jean tak bisa menerima penghinaan ini. Namun bukan Jean namanya kalau bukan brutal, ia harus menunjukkan siapa bosnya dalam bisnis ini, di dunia kapitalis ini kau haruslah menjadi predator teratas dari yang teratas.

Jean Kembali menghubungi orang lain, kali ini ia akan menunjukan Mikhael apa resikonya kalau tidak menggunakan jasa keamanannya.

"Apa yang kau mau pig" Ucapnya menghina Jean tidak tanggung-tanggung. Suara pria ini terdengar serak dan berat.

"Kudengar perusahaan Farmasi National Biocorps mengehentikan kerja sama dengan Legion" Jelas Jean sambil menghisap rokoknya, ia mengurut-urut kepalanya dengan jempolnya.

"Oh ya, mulai kapan?"

"Saat ini" Jelas Jean.

"Hoo anjing kepolisian seperti mu, kupikir aku tidak tau rencana mu ya!" Bentak pria ini lebih keras sambil tertawa lepas.

"Oh ya, hibur aku" Jelas Jean tersenyum dingin.

"Kau ingin aku menyerang Biocrops bukan, lalu kau membujuk CEO tersebut untuk memberikan kau kontrak lagi, kau menawarkan ku keuntungan dengan aku mengambil barang-barang di perusahaan tersebut bukan, lalu kita berpura-pura bertempur dengan kau mengusir anak buahku, begitu bukan!" Jelas kepala gang tersebutan percaya diri.

"Hahahaha" Tawa Jean keras, ia tertawa sampa-sampai mengeluarkan air matanya. "Bagus kau memang sempurna" Jelas Jean.

"Tapi ini kesalahan kau, aku bukan sebuah pion yang bisa kau gunakan begitu saja"

"Oh ya"

"Tepat sekali, aku ingin komisi yang kau dapatkan 70:30 70 untuk ku!"

"Oh ini menarik, kau ingin bagian dari yang ku dapat ya"

"Tak usah banyak omong, deal atau tidak"

"Deal" Jelas Jean mematikan rokoknya dan hpnya. Menuangkan air putih di gelas Jean meneguknya perlahan. Ia mendatangi Jovana.

"Bangun" Jelas Jean menyemburkan air putih di wajah Jovana memaksakan dirinya untuk terbangun, Jovana terkejut ketika di bangunkan paksa oleh Jean.

"Je...Jean, ada apa?" Ucapnya dengan kepala masih melayang, ia baru saja terbangun belum sempat mengumpulkan nyawanya.

"Mandi, ikut dengan ku pagi ini kau libur kerja kan hari ini"

"I..iya" ucap Jovana ragu takut di marahk Jean.

"Kalau gitu cepat bergegas mandi" bentak Jean, Jovana langsung bergegas setengah mengantuk. "Dan pakai pakaian yang bagus"

Suasana pagi ini begitu ramai di distrik Atlas, Jean mengendarai mobilnya secepat kilat. Walau masih pagi suasana sudahlah ramai, orang-orang ada yang tidak libur dan masih bekerja bahkan ketika hari libur seperti ini. Distrik ini adalah salah satu distrik penghasil uang terbaik. Ia mulai menghentikan mobilnya di depan kantor National Biocrops. Di depan kantor ini para anak buah Jean sedang mengeluarkan barang-barang mereka. Mereka sudah siap untuk kembali ke Police HQ.

"Tunggu aku disini" Jelas Jean kepada Jovana yang masih mengantuk.

"Iya" Jelas Jovana Tersenyum, ia serasa melayang-layang, masih kelelahan bekas berhubungan tubuh Dengan Jean.

"Selamat pagi centurion" Ucap Cato menyapa Jean.

"Pagi Optio" Jelas Jean berjabat tangan.

"Kami sudah siap untuk kembali, apa anda ingin kami kembali Sekarang?" Tanya Cato, bagi Cato kalau diminta sekarang ia akan menyelesaikannya dalam waktu lima menit saja. Kalau tidak mereka akan bekerja dengan Santai.

"Tak usah bergegas, suruh mereka berlambat-lambat" Jelas Jean tersenyum kepada Cato.

"Maaf centurion, bukankah lebih bagus kami bergegas?" Tanya Cato hendak menunjukkan keahliannya dalam memindahkan pasukan.

"Did I fucking stutter Cato?" bentak Jean menatapnya.

"Siap Centurion, kami akan mengerjakannya sesuai perintah anda" Jelas Cato memberikan hormatnya, ia tau ia salah, dengan cepat ia langsung mengatur nada bicaranya.

"Baguslah, aku akan sarapan di restoran di depan gedung ini"

"Siap Centurion" dengan tegas, ia tak berani mempertanyakan perintah atasannya.

"Dan Cato, mode siaga dan aktifkan tactical combat unit"

"Siap Centurion!" Jelas Cato mulai panik, ia tak tau apa yang kan terjadi, tapi yang ia tau, kalau ia di perintahkan untuk mengaktifkan unit khusus, berati seuatu yang amat berbahaya akan terjadi.

"Keluar" Ucap Jean membuka pintu mobil di hadapan Jovana, tanpa banyak tanya gadis ini mengikuti perintah Jean, ia mengenakan dress yang amat elegan, Jean tadi menunjukkan lemari yang amat penuh dengan Dress mahal. Jovana tak tau Jean memiliki lemari seperti ini.

"Ayo sarapan" Jelas Jean menggandeng tangan Jovana. Ia tersenyum lebar, menatap Jean, menggenggam tangannya penuh kebahagiaan. Di lihat orang-orang dirinya bersama Jean membuatnya semakin bahagia, Gadis ini begitu mudah untuk bahagia, padahal baru tadi ia di perlakukan tidak mengenakkan oleh Jean.

Duduk bersama di restoran dengan pemandangan tepat di depan kantor, Jean duduk di meja bersama Jovana. Akhirnya sarapan yang Jean pesan sudahlah datang. Jovana memesan pancake karena ia suka makanan manis di pagi hari, sedangkan Jean hanya memesan kopi dan wine.

"Kau tidak makan Jean?" Tanya Jovana.

"Tidak aku kenyang" balasnya memandang kantor tersebut, Jovana tak memahaminya, bagi Jovana Jean seperti menunggu sesuatu untuk tiba.

"Kau ingin pancake ku?" Tany Jovana ingin sekali menyuapi Jean.

"Tidak" Jelas Jean langsung mematahkan harapan Jovana. Jean menyalakan rokoknya.

"Oh baiklah" ucap gadis ini kecewa, perlahan ia memotong pancake nya lalu memakannya perlahan. Walau ia tidak bisa menyuapi Jean, ia akhirnya bisa makan bersama Jean. Betapa bahagianya dirinya saat ini, momen ini benar-benar sempurna, rupanya hari esok akan berbeda seperti yang ia pikirkan semalam. Dan Jean mulai berubah bukan. Pikir Jovana kegirangan.

"Hari ini akan menjadi hari yang sempurna" Jelas Jean kepada Jovana Tersenyum. Jovana tak memahami apa yang Jean maksud. Namun namanya Jovana ketika Jean tersenyum ia ikutlah tersenyum hangat. Jean lalu Menyentuh tangan Jovana, pria ini tersenyum kosong.

"Jean..." Jovana menjawab, hatinya terasa hangat, apa Jean juga mencintai dirinya. "Aku menci" Saat gadis ini hendak mengucapkan isi hatinya.

BOOOOM

Ledakan kencang menggelegar mengejutkan seisi cafe, orang-orang terkejut panik, mereka berhamburan keluar. Jovana ikut berteriak panik. Namun ia tak berlari keluar seperti orang lain, sebaliknya ia terduduk di kursi karena Jean menggenggam tangannya. Sentuhan tangan Jean membuat Jovana menjadi tenang. Seolah berkata semuanya akan baik baik saja.

Berbeda dengan orang lain reaksi Jean tidak terkejut sama sekali, sebaliknya ia begitu tenang dan santai. Ia meneguk winenya memandang kantor tersebut, di lantai atas kantor tersebut sebuah asap tebal bekas ledakan dengan api berkobar-kobar kencang. Setelah Jovana mulai tenang barulah Jean melepaskan genggamannya.

genggamannya tadi karena sayang bukan. Bukan alasan lain bukan?, pikir Jovana penuh harapan, kedua tangannya menyentuh dadanya, Dadanya berdebar bukan main dengan apa yang baru saja terjadi.

Jean mengangkat hpnya, Cato menghubungi dirinya.

"Unit taktis sudah siap Centurion"

"Stand by" Jawab Jean menutup hpnya. Jovana melihat ke ujung, di depan kantor Beberapa polisi Legion veritas bersantai sambil merokok dekat gedung. Mereka seolah tak perduli sama sekali, bukankah seharusnya mereka masuk dan melakukan sesuatu saat ini?

"Bukankah mereka harusnya melakukan sesuatu?" Tanya Jovana kepada Jean, ia tidak lagi menyentuh sarapannya, selera makannya langsung hancur begitu saja. Seharusnya hari ini hari dimana ia sarapan dengan Jean, hari ini harusnya berbeda.

"Karena kami habis kontrak" ucap Jean tersenyum kepada Jovana.

"Tidak bisakah kau membantu mereka?" Tanya Jovana khawatir melihat apa yang terjadi di luar sana. Di saat suara tembakan mulai terdengar Jovana mulai mengacak dadanya mulai panik. Ia pernah terjebak di kerusuhan dalam penjara, dan mendengar suara tembakan membuatnya takut. Ia tau bagaimana rasanya terperangkap dengan orang-orang bersenjata. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut Jean hanya tersenyum meneguk winenya.

Tidak lama hp Jean berdering, Jean melirik siapa yang menghubunginya, rupanya adalah Mikhael. CEO National Biocrops. Dengan santai Jean meminum winenya tanpa heran, menikmati setiap tegukannya karena ia tau Mikhael saat ini sedang panik, dan ia merasakan nikmat yang begitu luar biasa ketika tau seseorang sedang kesakitan. Hpnya berhenti berdering, dan langsung berdering kembali ia begitu panik hingga menghubunginya langsung.

"Jean hp mu berbunyi" Ucap Jovana bingung.

"Oh ya" Ucap Jean tersenyum, ia mendekatkan wajahnya lalu mencium bibir Jovana. Ciuman ini begitu nikmat bagi Jean. Namun bagi Jovana begitu salah, ia tak bisa menikmati ketika tau orang lain sedang terluka tau sakit, rasanya momen ini tidaklah pas.

"Tunggu aku disini Jovana" Jelas Jean mengangkat hpnya, Jean berjalan menjauhi Jovana supaya gadisnya tak mendengarkan percakapannya. Ia tak ingin Jovana mengetahui sisi lain dari hidupnya.

"Halo" ucap Jean tersenyum tulus memandang gedung pencakar langit Biocorps semakin terbakar. Suara tembakan juga semakin besar.

"Aku butuh kau!" Ucap Mikhael tanpa basa-basi, suaranya sangat dan sangatlah panik.

"Butuh aku, bukanlah kita sudah tidak berbisnis lagi?" Ucap Jean dengan tenang.

"Mereka menghancurkan perusahaan ku"

"Lalu?" Tanya Jean tersenyum lebar menatap ledakannya. "Sejak kapan ini adalah masalah ku?"

"Mereka membunuh orang-orang ku" Teriaknya semakin panik, sepertinya ia sedang kabur, karena suaranya yang terengah-engah.

"Oh ya, aku mengenal rumah kremasi yang top, kau mau nomornya?" Tanya Jean.

"Jean kumohon kirim polisi mu" teriaknya memohon.

"Oh ya" Ucap Jean begitu saja.

"Kumohon Jean, aku mohon"

"Ini bisnis tak ada yang gratis" Ucap Jean. "Bicara dengan uang" ucap Jean mulai serius.

"Ya tentu Jean, tentu aku kan memperpanjang kontraknya, 5 tahun, seperti yang kau bilang diskon 25% bukan" jelasnya masih ngos-ngosan. Mendengar jawaban ini membuat Jean tertawa, usahanya hendak hancur dan dia masih saja bernegosiasi harga.

"Kurasa kau tak pah posisimu" Jelas Jean.

"Hah, Jean maksudnya" Ucapnya tak paham. Ia tak mampu lagi berpikir antara harus kabur dan berpikir, ia memilih kabur. Saat ini ia di kejar beberapa anggota gang.

"Kau tidak dalam posisi dimana kau bisa bernegosiasi dengan ku" Ucap Jean.

"Ok Jean sebutkan kau mau berapa"

"Bayar kontrak ini dengan kenaikan 25%"

"Jean kenapa ini 25% lebih mahal demi tuhan kau akan membuatku bangkrut.

"Omong kosong, aku mengetahui catatan keuangan perusahaan mu" jelas Jean.

"Itu illegal Jean" bentak Mikhael terpelatuk.

"Oh ya, lalu kau mau apa?"

"Arrrgghhh, kirim polisi mu sekarang" jelasnya hati Mikhael serasa remuk.

"Tidak bisa" jelas Jean santai ia meneguk winenya sambil menonton pertunjukan.

"hah tidak Bisa, tapi Jean aku sudah menyetujuinya, aku menyetujui kontrak mu, demi Tuhan Jean!"

"komisi sebesar 5 juta dollar"

"Biaya tambahan apa lagi ini" teriak Mikhael.

"Jean kau benar-benar membuat ku bangkrut" ucapnya memohon. Tapi apa perduli Jean, kalau perusahaan ini hancur ini bukan masalahnya.

"Oh ya"

"Fine" Bentaknya. Tak lama kemudian Jean menerima pembayaran kontrak untuk 5 tahun kedepannya.

"Senang berbisnis dengan mu

"Cepat Jean!!!?" Ucapnya, Jean lalu mematikan Hpnya. Jean lalu kembali duduk di kursinya, bersama Jovana yang memakan sedikit pancakenya, ia tidak bernafsu untuk makan sama sekali. Selera makannya benar benar hancur. Mengangkat hpnya Jean menghubungi Cato.

"Optio, kontrak sudah di perpanjang"

"Siap centurion" ucap Cato, terdengar Cato memerintahkan polisi taktis untuk masuk menghancurkan seluruh anggota gang.

"Dan Cato"

"Ya Centurion?"

"Hancurkan semua anggota geng tersebut"

"decimate?"

"Tepat" Jelas Jean mematikan Hpnya, ia kembali menyalakan rokoknya.

"Kenapa, kau tidak berselera ya" Tanya Jean kepada gadisnya, Jovana hanya mengangguk tak tau harus berbuat apa, ia begitu sedih mendengar suara tembakan dan mengetahui seseorang mati di dalam sana.

Tak lama hpnya kembali berdering. Jean mengangkat hpnya, seseorang langsung meneriaki dirinya. Suara serak ini kembali datang. Siapa lagi kalau bukan kepala geng yang tadi bersekongkol dengan Jean, ia saat ini harusnya berada di dalam gedung bukan, dan kemungkinan Cato sedang adu tembak dengan anak buahnya.

"KENAPA KAU TIDAK MENGHUBUNGI KU" Teriaknya dengan seluruh energi. "DAN KENAPA ANAK BUAH MU MENEMBAKI ANAK BUAH KU, SEHARUSNYA KAU MEMBIARKAN KAMI KABUR"

"Oh ya, sejak kapan aku berucap seperti itu!"

"JEAN APA YANG KAU LAKUKAN, PENGECUT BRENGSEK, KAU BIADAB" Ucapnya penuh hinaan setelah tersadar Jean mengkhianati dirinya, ia tak menyangka akan di gunakan oleh Jean, bukannya uang yang ia dapat, ia akan di hancurkan oleh Jean. Yang Jean sukai adalah, ia tanpa perlu kesusahan bisa menghancurkan satu organisasi geng dalam sekali operasi kepolisian.

Karena kepala geng bodoh itu membawa seluruh anak buahnya. alih-alih membayarnya Jean lebih memilih untuk menghancurkannya, menyelamatkan perusahaan dan menghancurkan salah satu gang ternama di Atlantis, akan membuatnya untung besar apalagi dengan hancurnya gang tersebut Jean akan dapat uang hadiah dari pemerintah. Seperti membunuh dua burung dengan satu batu.

Mendengar suara Kepala gang tersebut berteriak saat ia di tembak membuat Jean tersenyum besar, ia mematikan Hpnya dan memasukkannya kedalam sakunya, Jean memesan champagne untuk merayakan. Jovana tak mengerti kenapa Jean terlihat bahagia seolah apa yang terjadi barusan tidak berefek kepadanya. Jovana melirik Jean yang tersenyum lebar. Apakah ia telah kehilangan Jean yang dulu?