Langkah kakinya terdengar dari ujung lorong, Gadis Balkan ini berjalan sambil membaca dokumen, begitu banyak pekerjaan yang ia tinggalkan, dan rupa-rupanya hanya beberapa dokumen yang perlu ia selesaikan, ia harus berterima kasih dengan April karena telah membantunya.
Ia harus membayar april, ya ia harus memberi balasan yang setimpal, apakah April akan menerima pemberian uang Jovana, semua orang suka uang kan, setidaknya itu yang Jean katakan kepadaku. Tapi kalau di pikir, April akan marah kalau aku memberinya uang, ia pernah berkata bahwa ia membantuku bukan karena ingin di bayar, karena aku adalah temannya. Bagaimana kalau aku mentraktir dirinya makan saja?
Setelah keluar dari rumah sakit ia merasakan tubuhnya lebih ringan, rasanya pikirannya tidak berat seperti dahulu. Ia merasa mampu untuk menghadapi apapun yang menghadangnya.
"Dobro jutro!" Ucap Jovana hangat kepada Koleganya saat bertemu di lorong kantor, ia menyapa mereka selamat pagi dengan bahasa Serbia, walaupun bahasa sehari-hari polis Atlantis adalah bahasa Inggris, setiap warganya terkadang mengucapkan selamat pagi dengan bahasa lokal mereka, ini sudah menjadi tradisi.
"Bună dimineața Jovana!" Balas pria tersebut berpapasan dengan Jovana. Orang-orang di kantor ini semuanya begitu ramah, selama ia bekerja di kantor ini, gadis ini tidak pernah mendapatkan masalah apapun, sejujurnya ia malah terkejut dengan perlakuan pegawai disini yang begitu hangat dan kekeluargaan.
Saat pertama ia pindah kesini, Jovana melamar di beberapa perusahaan, saat itu ia masih mencari dimana Jean tinggal. Sedihnya tak ada satupun yang memanggilnya untuk wawancara, karena ia memiliki catatan kriminal. Ia masih ingat, saat itu tabungannya mulai menipis, dan akhirnya ia mencoba pilihan terakhirnya, saat itu sebenarnya sudah tidak terlalu berharap lagi. Namun rupa-rupanya ia di panggil untuk wawancara.
Saat ini ia bekerja di perusahaan yang di miliki oleh seorang Senator, perusahaan ini bekerja kepada pemerintahan atlantis, perusahaan ini bertugas untuk melakukan audit keuangan negara.
Senator bernama Paul ini, tidak seperti orang Atlantis pada umumnya, Paul adalah orang yang ramah dan perduli kepada pegawainya, salah satu alasannya Jovana bisa di terima disini walau ia memiliki cacatan kriminal adalah, perusahaan ini hanya menerima mereka yang memiliki catatan kriminal, Kurasa Paul mencoba membuktikan bahwa dengan membantu dan merehabilitasi kami, kami mampu menjadi orang produktif yang bisa kembali ke masyarakat.
"Halo sayangku" Jelas Jovana memeluk April, mengecup pipinya tiga kali.
"Good morning sis" Jelas April tersenyum manis. "Gimana badan mu udah enakan? " Jelas April sambil berjalan menuju ruang kantornya bersama Jovana.
"Banget, rasanya tubuhku lebih ringan dan lebih fit!" Jelas Jovana terasa berkilauan penuh percaya diri.
"Iyalah, Trinity kan" Jelas April mengomentari rumah sakit Jovana.
"Iya, aku baru pertama kali dirawat di rumah sakit itu, pelayanannya sangat superb"
"hah kamu belum pernah menggunakan jasa Trinity"
"Belum, Jean yang mendaftarkan ku"
"Oh ku kira kau mengambil asuransi itu"
"Tidak lah, memang seberapa besar gajih kita"
"Iya sih, sebulan saja aku membayar asuransinya bisa membuat ku bangkrut" Komentar April nyenggir.
"Oh iya, makasih ya udah ngerjain tugasku, kita ke cafe yuk, aku yang traktir" Komentar Jovana.
"Oh bisa tuh, oh iya, kamu belum menuntaskan janjimu"
"Janji yang mana?" Tanya Jovana bingung.
"Katanya kamu mau menceritakan semuanya kan!"
"Oh…. itu ya" Komentar Jovana tertawa canggung.
"Kau sudah berjanji!" Ucap April serius, ia tak mau tau, ia harus mendengar apa yang terjadi.
"Iya aku tau, tapi bukanya kita harus bekerja dahulu?"
"oh jangan khawatir, aku sudah mengerjakan pekerjaan mu dan pekerjaan ku!" Ucap April bangga sambil membuka pintu ruang kantor, ia memperlihatkan tumpukan dokumen yang sudah di kerjakan.
"Oh April" Ucap Jovana tak percaya ketika ia masuk kedalam ruangan, ia mulai membuka dokumen-dokumennya. "kamu ingin sekali aku menceritakan segalanya ya, sampai repot-repot begini" Jelas Jovana duduk di meja kantornya.
"Jelas lah, makanya aku bela-belain ngerjain pekerjaan mu, sekarang ceritakan!" Jelas April meletakan kaleng cemilan di meja Jovana, ia lalu duduk di depan meja Jovana sudah siap untuk mendengarkan segala-galanya.
"Oh api abadi, ini bakal menjadi hari yang panjang" Jelas Jovana mengeluarkan sebungkus rokok dari tasnya. Menyalakan rokoknya Jovana bersandar sambil memandang April yang mulai tak sabaran. Mengambil asbak dari lacinya jovana meletakannya di atas meja.
"Oke aku tak tau harus memulai dari mana?" Komentar Jovana tertawa sedikit.
"Oh aku tau, bagaimana kalau alasan kenapa hubungan kalian rumit, ya mulai dari situ" Ucap April membuka topik.
"Hubungan kami ya..." Jelas Jovana tersenyum, ia mulai mengingat masa-masa ia bersekolah di london, ketika ia masih mengenakan seragam sekolah anak sma. Kenangan ini kembali membawanya akan kebahagiaan, dan rasa sakit secara besamaan. "Awalnya, hubungan kami berdua tidaklah rumit seperti ini, Dulu aku, Jean serta Lisa adalah tiga sahabat" Jelas Jovana menghisap rokoknya.
"Berapa tahun yang lalu, dan siapa Lisa?"
"12 atau 14 tahun yang lalu rasanya, saat kami masih sekolah" Ucapnya pelan, ia mengurut-urut keningnya yang mulai terasa berat, ia harus kembali mengingat ini, rasanya begitu sakit. Ia kembali melanjutkan ceritanya. "Lisa adalah sahabat kami, dia pacar Jean"
"Kau satu sekolah dengan mereka ya"
"Iya, kami satu kelas"
"Lisa itu gimana orangnya?"
"Lisa adalah….." Ucap Jovana berjeda sesaat. ucapnya mulai murung. "Dia adalah gadis yang manis, hangat dan penyayang"
"Dia terdengar ramah" Komentar April tersenyum sambil memakan cemilan.
"Memang, dia adalah sahabatku, sahabat terbaik ku, dulu saat kami masih bersama, kami bertiga selalu melakukan apapun bersama-sama"
"Aku gak bisa relate ini sayangnya, aku gak punya teman dekat saat masih sekolah" Jelas April tertawa.
"Kami main band bersama, belajar bersama sampai-sampai kadang kami menginap bersama" Jelas Jovana teringat masa lalunya yang indah.
"Jadi dimana dia sekarang?"
"Siapa?" Tanya Jovana bingung.
"Lisa?" Balas April, Jovana kembali terdiam, ia bingung bagaimana hendak mengutarakan hatinya masih terasa sakit, walau sudah terjadi 10 tahun yang lalu,
"Dia di bunuh" Jelas Jovana menyentuh bungkus rokoknya, perlahan ia menutup matanya, mengeluarkan rokoknya dari bungkusnya dan menyalakannya lagi, menghisapnya dalam-dalam merasakan nikotin di dalam tubuhnya. Rasanya begitu sakit, ya sangat sakit ketika ia mengingat kematian Lisa, hatinya masih remuk saat ini, Lisa gadis yang malang, sampai sekarang pembunuhnya tidak di ketahui.
"Di bunuh kenapa, siapa yang membunuh dia?" Tanya April terkejut.
"Menurut kepolisian akulah pembunuhnya"
"Jadi kau membunuhnya?"
"Tidaklah April" Ucap Jovana tersentak . "Lisa adalah sahabatku, teman terbaik ku, untuk apa aku membunuh dia, mengorbankan persahabatan kami, aku mencintai Jean namun aku takan mengambil Jean dari dirinya" Ucap Jovana nada suaranya mulai naik, tidak biasanya ia menaikan suaranya.
"Jovana aku takan marah kalau kau memang membunuhnya, kita semua bekas kriminal disini" Ucap April berkomentar, bagi April menerima kesalahan dan mengakuinya adalah salah satu bagian mendewasakan diri.
"Aku tau April, tapi aku bersumpah" Jelas Jovana masih dengan nada tinggi, ia menarik kalung keagamaan di lehernya, memperlihatkannya kepada April, menggengam erat kalungnya ia bersumpah di hadapan April. "Demi api abadi aku takan berani menyentuh siapapun, menyakiti siapapun. Kenyataanya adalah aku tak membunuhnya, aku tak punya alasan untuk membunuhnya, aku tak suka akan kekerasan" Jelas Jovana emosional.
"Oke Jovana, oke tenang relax, lalu apa yang terjadi?" Komentar April menenangkan suasana, ia menaikan tangannnya ke arah Jovana, refleknya meminta jovana untuk tenang.
"Lalu aku di tuduh membunuh dirinya" Ucap Jovana menyandarkan wajahnya di tangannya, ia tertunduk layu, rasanya ia makin memudar kalau mengingat ini semua. "Saat itu, sponsorku meninggalkan diriku, aku hidup seorang diri saat itu, aku tak memiliki uang untuk menyewa pengacara"
"Senyumannya, kehangatannya, tawanya, oh Lisa" Jelas Jovana, April terdiam tak tau harus berkata apa "Aku masih tak menyangka, di saat-saat terakhir ku bertemu dirinya, aku bertemu dengannya di sore hari, tepat sebelum ia di bunuh, kami membicarakan tentang Jean"
"Apa yang kalian bicarakan?" Tanya April?
"Aku masih ingat, saat itu kami duduk bersama di ruang kelas, dia tiba-tiba Lisa mendatangiku, ia tersenyum lebar saat itu, aku tak bisa melupakan senyumannya, katanya Jean mengajaknya pergi ke paris, Jean ingin membawanya ke tanah kelahirannya." Jelas Jovana dingin.
"Siapa yang tak bahagia di bawa ke Paris, paris adalah kota paling romantis di eropa bukan?" Komentar Jovana mengingat Lisa.
"ia begitu senang, sampai berloncat-loncat tak henti-hentinya" Jelas Jovana, April terdiam mendengarkan.
"Melihatnya bahagia, membuat hatiku ikut bahagia juga, bagaimana tidak, kebahagian keduanya adalah kebahagian ku"
"Aku tak ingin keduanya menjadi sedih, dan selagi pula apa hak ku menggangu kebahagian mereka, mereka pantas untuk bahagia"
"Namun, aku tak bisa berdusta, hatiku tetap membara, cintaku kepada Jean tetaplah kuat"
"Akhirnya kami berpisah untuk terakhir kalinya, setelah itu aku pulang ke arsramaku"
"Paginya aku mendengar kabar bahwa ia telah tiada, rasanya hatiku remuk saat itu juga, rasa tak percaya, aku benar-benar tak mempercayai apa yang ku dengar, awalnya aku kira ini hanya gurauan yang buruk"
"Nyatanya..."
"Nyatanya ia telah pergi"
"Aku menghubungi Jean saat itu juga, namun ia tak mengangkatnya"
"Kurasa, ia tak mampu untuk menerima ini semua, siapapun takan mampu"
"Keadaan sekolah menjadi gaduh selama beberapa hari, aku mencari Jean, ya aku mencari dirinya saat di sekolah, namun dia tidak bersekolah, dia bolos beberapa hari"
"Tak biasanya ia bolos, ia bukan tipikal orang seperti itu"
"Hingga akhirnya rumor bahwa aku membunuh Lisa mulai menyebar"
"Aku sama sekali tak tau siapa yang menyebarkan rumor ini"
"Seluruh orang mulai memusuhiku, ketika mereka mendengar rumor itu, tiada satupun yang ingin mendekatiku, semua orang menyukai Lisa, mereka marah, sangat-sangat marah"
"Hingga akhirnya saat itu tiba, aku di datangi polisi, dan disitulah mimpi buruk ku dimulai, anak-anak sudah beranggapan bahwa aku memanglah pembunuhnya ketika mendengar aku di datangi polisi"
"Dua hari lagi aku akan di bawa ke kantor polisi, ya itu yang mereka katakan, dalam waktuku yang tak banyak itu"
"Aku memilih untuk menemui Jean, aku ingin melihatnya untuk terakhir kalinya, dan terakhir kalinya aku melihatnya. Ia telah berubah"
"Auranya, pandangannya, tatapannya, ekspresi wajahnya membuatku takut, ia terdiam seribu bahasa, ia hanya menatapku kosong, seolah bertanya-tanya kenapa aku melakukan ini semua"
"Aku mencoba berbicara padanya untuk terakhir kalinya, mencoba aku hanya ingin mendengar suaranya. Namun ia diam, ia tak berbicara apapun, hingga akhirnya ia meninggalkan diriku seorang diri"
"Aku tak tau apa yang terjadi denganku, rasanya kepalaku melayang-layang, aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi, rasanya segalanya terjadi begitu cepat, aku di penjara begitu saja, aku tak mengerti, namun aku merasa telah di jebak, aku merasa telah di korbankan"
"Aku tau semuanya telah berlalu, namun rasanya, aku masih tak kuat kalau mengingat masa-masa aku di penjara"
"10 tahun hidupku terlewat, rasanya aku ingin mati saja saat itu"
"Namun….."
"Cintaku kepadanya"
"keinginganku bertemu dengan dirinya"
"Aku tak mampu, aku tak mampu melepaskan dirinya, hanya harapan bertemu dirinya, melihat dirinya yang mampu untuk membuatku tetap hidup, dan selama itulah aku mencoba bertahan, ketika aku merasa sedih, ketika aku ingin semuanya berhenti, aku mengingat dirinya"
"Disaat aku mengingat dirinyalah aku bisa kembali untuk maju"
"Kurasa..."
"kurasa aku tak mampu melepaskan Jean" Jelas Jovana kembali menyalakan rokoknya.
"Kurasa ini yang membuat hubungan kami menjadi rumit, ia mengira bahwa aku adalah pembunuh Lisa"
"Setelah aku keluar dari penjara, aku sudah memiliki diploma, selama di penjara aku berkuliah, aku bekerja, aku mengumpulkan uang"
"mungkin aku bisa pergi, memulai hidup baru, namun aku malah memilih untuk mencari dirinya"
"Jadi karna dirinya kamu kesini kak?" Jelas April angkat bicara.
"Iya, karena Jean, karena dirinya, hanya dirinya yang menjadi alasan ku untuk hidup saat ini"
"Lalu, apa yang terjadi ketika kau menemuinya?" Tanya April penasaran.
"Ia menghajarku" Jelas Jovana tertunduk, suaranya kian memberat.
"Oh Jovana…." Jelas Apri menyentuh tangan Jovana, ia shock tak tau harus berucap apa. "lalu kenapa kau bertahan bersamanya"
"Karena aku merusak dirinya!" Jelas Jovana menatap April, ia mengucapkannya dengan tegas.
"Karena aku merusak Jean, kau tak tau apa yang ku lihat, ia emosional, ia begitu sedih, rusak itu bukan lagi dirinya, kau tau, sampai-sampai ia menggunakan obat-obatan, candu dengan alkohol, aku ingin ia menjadi lebih baik dari ini, ini tanggung jawabku makanya aku bertahan!" Jelas Jovana.
"Jadi itu kenapa kau membiarkan dia menyiksa dirimu?" Tanya April shock.
"Ya….." Jelas Jovana.
"Berati kemarin dia menyiksamu!" Jelas April.
"Iya….."
"Kau tau bukan ini tidak baik, kau seharusnya tidak melakukan ini semua!"
"Aku tau…."
"Kalau begitu"
"Aku tak bisa pergi meninggalkan dirinya April!" Bentak Jovana menatap April serius.
"Tapi dia tak semestinya memperlakukan dirimu seperti itu, bagaimana dia bisa tidur dengan tenang di malam hari ketika ia memperlakukan dirimu seperti itu." Omel April keras di ruang kerja. Untungnya hanya mereka berdua yang mendengar perbincangan ini mereka pikir, namun betapa salahnya Apri, seorang mata merah sedang mengintai keduanya.
"Aku tidak tidur" Jelas Jean dingin, April terkejut ketika mengetahui Jean berada di belakangnya, ia mengacak dadanya terkaget-kaget. Ya secara teknis dia tidak tidur dengan natural, dia menggunakan obat tidur. Jovana juga terkaget-kaget saat jean membuka pintu ruangannya, masih lengkap menggunakan pakaian polisinya Jean datang kesini, Jean di ikuti oleh Rita dan Cato, mereka berdua menunggu di luar ruangan. Layaknya bodyguard mereka menjaga Jean kemanapun Jean pergi, keduanya adalah kaki tangan kepercayaan Jean.
April membeku menatap Jean, mata merah itu membuat April membeku tak berdaya, jangan kira Jean tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, ia memiliki telinga yang peka, ia memiliki telinga cybernetic. Namun alasannya kesini bukan hendak meneror April maupun Jovana, tidak ia akan meneror orang lain saat ini.
"Bonjour Jovana" Jelas Jean mengucapkan selamat pagi dalam bahasa prancis kepada Jovana.
"Dobro jutro Jean, ada apa kau kesini jean?" Tanya Jovana.
"Aku ada urusan"
"Oh begitu" Jelas Jovana tersenyum menatap Jean, setelah puas melihat Jovana yang rupanya sehat-sehat saja, Jean menutup pintu kantor tersebut dan berjalan pergi meninggalkan Jovana.
Berjalan menuju elevator, Jean di ikuti oleh kedua anak buahnya, keduanya tak memahami kenapa Jean mendatangi Jovana, namun tidak biasanya Jean seperti ini. Tentu saja keduanya merasakan keanehan-keanehan setelah Jean tinggal bersama Jovana.
"Waktu kita tidak banyak mari bergegas" Jelas Jean, merogoh koceknya ia mengeluarkan sebotol kotak obat.
"Dia bekerja disini ya?" Tanya Rita membicarakan Jovana dalam bahasa latin.
"Iya sebagai pegawai kantoran biasa" Jelas Jean terhenti sejenak sesaat saat hendak meneguk pilnya.
"Apa dia yang memberikan anda informasi?" Tanya Cato, Cato penasaran apakah Jean menggunakan Jovana sebagai mata-mata disini?
"Masuk" Jelas Jean memerintahkan kepada bawahannya masuk kedalam elevator, sebelum masuk elevator ia meneguk beberapa Pil.
"Dia tidak ada hubungannya atas semua ini" Jelas Jean kepada bawahannya, Jean lalu masuk kedalam elevator dan menekan tombol.
"Oh....." Cato terdiam sejenak. Ia tak menyangka saja, ia pikir karena Jovana bekerja disini ada sebabnya, rupanya hanya kebetulan saja.
"Jovana...." Jelas Jean tanpa sadar sambil tersadar di dinding dingin elevator, tatapan anak buahnya begitu berbeda saat ini, karena tak biasanya Jean begini.
Cato menatap Jean penuh tanya, namun dirinya tak mampu dan juga tak berani bertanya kepadanya. Jean merasakan apa yang Cato pikirkan. "Mampus aku" Pikir Cato membeku.
"Katakan" Jelas Jean, melirik Cato. "Katakan apapun yang mau kau katakan kepadaku" Ucapnya berjeda sesaat. "Aku memberikan mu satu kesempatan saja, setelah ini lupakan segalanya" Jelas Jean.
"Siapa dirinya?" Tanya Cato tanpa pikir panjang, kalau ia di berikan kesempatan ia pasti akan langsung mengambilnya.
"Dia" ucap Jean berjeda. "Dia teman masa remaja ku" Komentarnya lagi, Jean merogoh kantung celananya mengambil sebungkus rokoknya lalu menyalakan rokoknya, ia tidak menghiraukan larangan merokok, baginya larangan hanya untuk orang biasa, bukan untuk orang sekaliber dirinya.
"Saat ini ia tinggal bersamaku" Komentar Jean, Cato dan Rita terdiam mendengarkan Jean.
"Aku tinggal bersamanya, di apartemen ku, aku tak mengerti kenapa ia kembali setelah sekian lama?"
"Harusnya aku melupakan dirinya" Tambah Jean suaranya terasa menyakitkan, Cato merasa membuka sesuatu yang ya seharusnya tidak ia buka.
"Ia membunuh Lisa" Jelas Jean mengacak dadanya. "Dan sekarang aku berhubungan seks dengan orang yang dulunya membunuh pacarku" Jelas Jean semakin emosional.
"I'm a mess, I'm such a fucking mess" Jelas Jean. Keduanya membeku, ia tak tau harus bereaksi apa, ini pertama kalinya ia melihat atasannya meltdown.
"Kenapa kau tinggal bersamanya?" Tanya Cato memberanikan dirinya.
"Entahlah, itu keinginannya, kurasa ia ingin memperbaiki hubungan ini" Jelas Jean. "Ia ingin membantu ku"
"kurasa ia ingin memperbaiki segalanya"
"Bagiku sudah terlambat, namun ia tetap mencobanya"
"Tak pernah ada kata menyerah bagi Jovana"
"Sayangnya semua sudah terlambat" tatap Jean kosong. Tangannya sudah kotor akan darah, tiada yang bisa menyelamatkan dirinya. Tiada yang mampu, dan ia tak mengharapkannya. Jean menghabiskan rokoknya lalu mematikannya
"Apakah anda mencintai dirinya?" Ucap Cato bertanya.
"Cinta?" Balas Jean bingung.
"Ya cinta, kita semua merasakan yang namanya cinta, anda pasti merasakannya bukan?" Tanya Cato.
"Orang-orang seperti ku tidak bisa merasakan cinta, kau dan Rita mungkin masih bisa merasakannya, namun tidak untuk ku" Jelas Jean menyadari kenyataan hidupnya.
"Semua sudah terlambat" Komentar Jean tanpa sadar. Tatapan Jean Kembali dingin, Cato memahami bahwa Atasannya telah kembali. Secara bersamaan pintu elevator terbuka, Jean berjalan ke luar di ikuti oleh anak buahnya, ruangan ini begitu berisik suara dari bilik kerja. Di ujung ada sebuah ruangan dengan dinding kaca, ruangan itu terlihat berbeda.
Jean berjalan di ikuti oleh anak buahnya, mata para pegawai memandang mereka, rasa benci dan takut berbaur menjadi satu, Jean sadar tiada yang menyukai kedatangan mereka disini. Kantor senator paul, tulisan terebut terlihat megah menandakan ruangan kaca tersebut. Berdiri di hadapan serkertaris senator Paul, Jean akhirnya angkat bicara.
"Good Morning" Jelas sekertaris tersebut kepada Jean.
"Good Morning, Saya Centurion Jean Taggart dari Legion Veritas, saya harus bertemu dengan Senator Paul" Jelas Jean tersenyum lebar.
"Maaf tuan Taggart namun senator Paul sedang tidak menerima tamu" Jelas sekertaris tersebut tersenyum ramah kepada Jean.
"Oh ya" Jelas Jean tersenyum kosong. "Cato" Jelas Jean tersenyum menatap Cato. Cato berjalan ke arah pintu kantor senator Paul dan bersiap membukanya.
"Tunggu tuan, tapi dia tak bisa di ganggu" Ucap Sekertaris tersebut panik menahan Cato. Dengan santainya Rita langsung menarik serkertaris tersebut, ia sangat berani, ya serktertaris ini sangat berani melawan polisi, tak taukah kepolisian di atlantis ini takan segan-segan bila kau berani melawan. Rita langsung menarik dan mendorongnya melemparkanya di kursi, membuatnya terduduk paksa.
"Centurion kami tidak meminta anda, dia memerintahkan anda, dan anda harus mengikutinya" Jelas Rita tersenyum kepada sekertaris tersebut, serkertaris yang panik langsung menekan tombol polisi. Tak pakai lama beberapa polisi berlari menuju kesini. Beberapa polisi yang bersenjata lengkap berdiri memutari Jean berserta anak buahnya.
Suasana kantor menjadi semakin gaduh. Sekertaris tersebut masih berusaha melepaskan dirinya dari Rita, ia terdiam ketika lehernya di kacak oleh Rita dan dengan mudahnya rita menghempaskan tubuhnya di meja.
"Kau!" Bentak Rita kasar. "Kau tak mengerti posisimu sekarang ya!"
"Selamat pagi Cohort ku" Jelas Jean dalam bahasa latin kepada anak buahnya, serkertaris ini tidak menyadarinya, namun yang menjaga gedung ini adalah Cohort milik Jean.
"Centurion" Komentar mereka secara bersamaan menatap Jean.
"Silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing" Jelas Jean tersenyum, para polisi tersebut meninggalkan Jean seorang diri, serkertaris itu mulai memahami apa yang terjadi, ia menatap Jean dengan horor. Orang yang di tunggu-tunggu akhirnya masuk dalam panggung pertunjukan, Paul membuka pintunya tak memahami apa yang terjadi di luar, pria dengan rambut silver dengan wajah timur tengah ini tertegun, mencoba memproses apa yang sedang terjadi
"Taggart!" Ucap Paul kaget. "Ada apa ini!"
"Kita harus berbicara" Jelas Jean mendorong Senator Paul masuk kedalam kantornya, Jean lalu menutup dinding kaca dengan gorden supaya tiada yang melihat apa yang sedang terjadi di dalam sini.
"Duduk" Jelas Jean memaksa Paul, mau tak mau Paul terpaksa duduk di kursinya, "Bagaimana kabarmu Paul, sudah lama kita tidak bertemu" Ucap Jean bergurau, mendengar komentar Jean, Paul tidak bisa menghentikan kemarahannya.
"Kabarku sangat-sangat baik, apalagi kau datang kesini Tuan Taggart hariku serasa semakin sempurna" Jelas Paul sarkas.
"Kau susah sekali ya untuk di panggil, kita harusnya bertemu kan minggu lalu?" Jelas Jean tersenyum. "Kenapa kau tidak datang Paul" Jelas Jean berjalan mendekati meja bar milik Paul, menuangkan segelas whisky untuk dirinya dan Paul, Jean berulah seolah ia yang memiliki tempat ini.
"Karena aku tak ingin bertemu dengan mu" Jelas Paul dengan jengkel menatap Jean.
"Oh ya, jangan khawatir aku sudah tau kok" Komentar Jean. "Aku tau tiada yang ingin bertemu denganku"
"Namun sayangnya orang-orang tidak memiliki pilihan, ketika aku memanggilmu engkau wajib datang" Jelas Jean meletakan segelas whisky di meja Paul. Duduk di kursi depan Meja Paul, jean mengangkat kakinya, meletakannya di meja Paul. Dengan santainya Jean meneguk whiskynya. Ia lalu mengeluarkan pistolnya dari sarungnya, Paul terkejut memegang dadanya, apakah ia akan di bunuh saat ini, Paul semakin panik.
Meletakan pistolnya di atas Meja, sambil memegang pistolnya Jean mengarahkan pistolnya tepat ke arah dada Paul, Paul menatap Jean keringat dingin mengucur membasahi wajahnya. Ia mulai panik, namun rasa takutnya membuatnya tak bisa bergerak.
"Oh jangan khawatir Paul, takan ada orang yang membunuh dirimu, nyawamu aman bersamaku" Jelas Jean melepaskan pistolnya meletakannya di atas meja. "Anggap ini sebagai peringatan ku kepadamu Paul, lain kali kalau kau tidak datang"
"Apa, apa yang terjadi" Ucap Paul mencoba angkat bicara.
"Kau akan tau nanti" Jelas Jean tersenyum
"Aku sudah disini apa yang kau inginkan" Jelas Paul.
"Selamat Paul, ku dengar kau hendak masuk dalam pemilihan mayor" ucapnya meneguk whisky.
"Dari mana kau tau!" Jelas Paul terkejut. Mendengar jawaban ini Jean tertawa lepas.
Di luar ruangan Cato dan Rita menjaga pintu masuk, mereka di perintahkan tidak boleh membiarkan siapapun masuk untuk menggangu. Cato Berdiri di depan pintu masuk, sambil melirik Rita yang asik memakan permen karet duduk di atas meja sekertaris sambil membaca majalah, sekertaris tersebut enggan bergerak. Ia tak berani menatapnya hanya mampu terdiam duduk di kursi.
"Lihat Cato" Jelas Rita memperlihatkan majalah kecantikan itu kepada Cato, Rita memperlihatkan harga alat kecantikan yang harganya sangat fantastis tersebut.
"400$ buat lipstik???" Jelas Cato bingung.
"Iya bukan, ini dari brand ecek-ecek, mentang-mentang mereka branding, mereka pikir akan membuat kualitas barang mereka membaik" Balas Rita.
"Aku tidak tau kalau itu hobimu" Komentar Cato.
"Well kamu gak pernah bertanya"
"Untuk apa aku menanyakan hal seperti itu sih?"
"Oh ayolah, memangnya kamu tidak pernah punya teman apa, kadang berbicara memang random seperti itu!"
"Ya, temanku tidak ada yang seperti kamu, cerewet"
"Oh aku tak secerewet itu kali" ucap Rita tertawa lepas.
"Kau, harusnya memanggil ku Optio, dan juga harusnya kita gak gitu akrab!" jelas Cato mengelengkan kepalanya.
"Oh ayolah, kau tidak seperti Centurion Jean, kau tak bisa mencoba menjadi dirinya, sekuat apapun kau mencoba kau sama saja seperti ku"
"Demi Dewa, siapapun tak ingin di samakan dengamu!" Komentar Cato.
"Oh ayolah cari cheer up" Jelas Rita sambil menyalakan rokoknya.
"Anyway...." Jelas Rita memandang Cato dengan senyuman penuh arti.
"Oh.... hentikan" Jelas Cato mengangkat jarinya kemulut menunjukkan isyarat kepada Rita untuk Diam. Cato tau apa pun yang Rita Katakan selanjutnya akan membuat masalah di kemudian hari.
"Oh ayolah aku belum mengucapkan apapun"
"Apapun yang akan engkau ucapkan, akan menjadi masalah besar!!!"
"Ah Cato kau melebih-lebihkan"
"Rita demi Dewa" Ucap Cato jengkel, kadang cato menyesal kenapa dia bisa akrab dengan Rita, harusnya ia mengikuti perintah Centurion Jean dengan benar, namun masalahnya adalah Rita terlalu mudah mengakrabkan dirinya. "Apa kau tak jera di hukum oleh Centurion" Tambah Cato mengingat tentang kejadian di mess hall.
"Please" Ucap Rita sambil memohon menggunakan tangannya.
"Fineeeeee" Jelas Cato menyerah melihat puppy eyes Rita yang manis. Sambil bersandar Cato meliriknya.
"Menurutmu apakah Jean menyukai Jovana?"
"Sudah kuduga" Ucap Cato berkacak kepala. "Dia memerintahkan kita untuk melupakan ini" Ucap Cato khawatir pembicaraan ini akan berakibat fatal baginya.
"Oh ayolah, apakah kau menyadari wajah Centurion saat ia menatap Jovana, ia tak pernah menatap wanita lain seperti itu, bahkan aku yang cantik ini tidak di pandang seperti itu" Jelas Rita kepedean
"Rita, demi tuhan, kami tau kau cantik, tapi kau bodoh!"
"Hahaha fuck you Cato" Jelas Rita tertawa palsu.
"ia memandang dirinya seperti apa memangnya?" Tanya Cato mulai ikut penasaran.
"Penuh harapan mungkin?" Balas Rita berpikir sejenak.
"Harapan?"
"Ya harapan, entahlah kurasa itu???"
"Apaan sih Rita, emang dia perlu harapin apa dari Jovana, mereka sudah tinggal bersama, dan selagi pula kalo Jean mau sama Jovaana, Jean tinggal minta. Jovana bakal berikan dirinya"
"Dari mana Lo tau emang?"
"Dari caranya melihat Jean lah!" Jelas Cato bangga, itu dari intuisinya. Tiba-tiba Cato teringat, harusnya ia tak membicarakan Centurion Jean, ia benar-benar terjebak oleh Rita. "Demi tuhan kenapa kita membahas hubungan atasan kita" Ucap Cato panik. Tiba-tiba Jean membuka pintu, keluar dari ruang kantor Paul, Rita dan Cato kelabakan terkaget-kaget melihat Jean.
"Sudah puas membicarakan tentang diriku?" Tanya Jean.
"Mampus aku" Pikir Cato dan Rita secara bersamaan, Jean menatap kedua anak buahnya, ia tak banyak komentar, sudah salahnya memberitahukan rahasianya, harusnya ia tutup mulut saja. Namun sudahlah semua sudah terjadi. Berjalan di ikuti anak buahnya Jean menekan tombol elevator lalu masuk bersama Rita dan Cato.
"Jadi bagaimana, apakah rapat anda dengan Senator Paul sudah selesai?" Tanya Rita.
"Untuk saat ini"Jelas Jean bersandar di Elevator, mengeluarkan sebotol pil dari kantungnya, Jean meneguk beberapa butir.
"Apa anda ingin kami menyingkirkan dia?" Tanya Rita mengenai sang senator.
"Jangan" Balas Jean singkat, membuka bungkus rokoknya, menyalakannya di dalam elevator.
"Kenapa" Tanya Rita.
"Kita memerlukan dia" Balas Jean singkat.
"Tapi centurion bukankah akan lebih mudah kalau dia mati, Dia akan langsung menang tanpa ada lawan" Komentar Rita, mendengar ini Jean langsung menghantam tombol stop, secara instan Elevator ini langsung berhenti secara mendadak. Rita dan Cato tergoncang di dalam elevator, mereka berdua terdiam Rita telah berkata salah. Rita mulai pucat, melihat tatapan penuh amarah atasannya.
"Kalau Paul mampus kau pikir dia akan memerlukan kita hah!" Bentak Jean naik pitam, sedari tadi anak buahnya terus bertanya tanpa henti, ia tak suka terus menerus di tanya, kenapa anak buahnya ini tidak sekali-sekali menggunakan otaknya untuk berpikir.
"dengar aku, takan boleh ada yang menyentuh paul, paul harus hidup dan dia wajib hidup, kalau ia mampus, aku secara pribadi yang akan menghidupkannya!" Bentak Jean emosi.
"Pikir Rita" Bentak Jean menunjuk kepala Rita. "Kalau paul mampus, apa yang membuat dia memerlukan kita, dia akan menang pemilihan mayor begitu saja, dia itu memerlukan kita, karena ada paul. Ingat setelah pemilihan mayor berakhir, kontrak Cohort ini kepada pemerintahan akan berakhir, satu-satunya cara kontrak ini di perpanjang adalah memenangkan dia!"
"Jadi kau paham sekarang!" Bentak Jean terakhir kali menekan tombol elevator, Rita hanya menganggukan kepalanya tak berani banyak berucap. Jean kadang bingung kenapa ia punya bawahan seperti Rita, dia jago sayang dia sangat tolol dan bodoh.
Pintu elevator akhirnya terbuka, rasanya begitu lama menunggunya, Rita dan Cato duluan keluar. Mereka ingin buru-buru bekerja lagi, rasanya terjebak dengan atasannya yang sedang marah sangat menakutkan.
"Tinggalkan saja aku" Jelas Jean kepada Cato.
"Anda tidak kembali ke kantor?" Tanya Cato.
"Tidak, ada yang harus ku urus lebih dahulu, kau dan rita pergi lebih dahulu saja"
"Baiklah Centurion" Jelas Cato pergi meninggalkan Jean.
Berjalan seorang diri, entah kenapa, ia tak tau apa yang terjadi, serasa dirinya di kontrol, ia mengetuk pintu kantor Jovana, biasanya ia selalu masuk begitu saja, namun ia ingin lebih lembut kepada gadis ini untuk saat ini.
"Silahkan masuk" Ucap Jovana sambil mengerjakan dokumennya, ia tak tau siapa yang mengetuk pintunya. Jovana lalu memandang kearah pintu, mendapati Jean masuk kedalam ruangannya.
"Ngapain kau kesini!" Bentak April mengomel dari meja kerjanya ia melemparkan kotak jus ke arah Jean dengan reflek, dengan mudahnya Jean menghindari kotak Jus tersebut, April telah tau seluk beluk Jean, jadinya ia tak perduli lagi, pokonya ia tak suka dengan Jean.
"Aku ingin berbicara denganmu Jovana" Jelas Jean tak memperdulikan April, ia menganggap april tak ada saat ini.
"Fuck off" Bentak April jengkel kepada Jean, ia tak mau jean disini, Jean tak hanya terdiam mematap Jovana menunggu jawabannya.
"April, maukah engkau meninggalkan ku sebentar?" Jelas nya tersenyum kepada April.
"Tapi!" Ucap April.
"Jangan khawatir baby" Jelas Jovana tersenyum.
"Baikalah" April meninggalkan Jovana seorang diri bersama Jean. "Aku mengawasimu baguette" Jelas April menghina Jean, entah kenapa Jean tak bisa menahan senyuman tipisnya, hinaan itu sebenarnya cukup lucu.
"Ada apa Jean?" Tanya Jovana berdiri dari mejanya. Jovana tersenyum mendekati Jean, ia selalu bahagia ketika bersama Jean. Setelah apa yang Jean lakukan, ia masih memaafkan Jean.
"Kurasa…." Jelas Jean menyentuh pinggang Jovana. "Aku merindukan tubuhmu" Bisiknya menyentuh leher Jovana, ia berdusta, alasan ia kesini bukanlah ia ingin mengkomsumsi Jovana, ia hanya ingin menatap Jovana, ia ingin bersama Jovana. Ia terlalu sibuk bekerja hingga, ya hingga ia tak bisa bertemu Jovana bahkan ketika ia pulang bekerja, di saat ia pulang bekerja Jovana sudah tertidur lelap.
"Aku juga merindukan mu" Jelas Jovana merebahkan wajahnya di pundak Jean, ia menjadikan Jean sandaran hatinya.
"Mari lakukan disini" Tanya Jean memandang Jovana, ia menyentuh pinggangnya, menarik Jovana mendekatinya, memeluknya lembut, ia ingin kembali merasakan kasih sayang Jovana, hatinya sudah terlalu haus, ia tak mampu menahan rasa ini lagi, hingga ia rela mengkomsumsi gadis balkan ini disini.
"Tapi Jean kalau ada yang datang"
"Aku tak mampu menahan ini" Jelas Jean berat, Jovana tersenyum tipis memandang Jean.
"Tapi sayang, kita di kantorku, kalau ada yang masuk bagaimana" Bisiknya menyentuh wajah Jean mengusap telinganya.
"Tapi aku menginginkan dirimu" Jelas Jean.
"Akupun begitu, akupun tak mampu menahan diriku, aku ingin dirimu, aku ingin kau menyentuh ku, aku ingin kau dominasi" Jelas Jovana menciumi pipi Jean.
"Kalau begitu biarkan aku mengkomsumsi dirimu" Bisiknya, hembusan nafas Jovana memburu ketika Jean menurunkan tanganya, masuk kedalam Rok gadisnya, menyentuh selangkangannya.
"Ah… Jean tapi" Jelas Jovana terhenti di saat Jean menyentuh Vagina Jovana, yang sudah basah, ia sendiri memang tak mampu menahan nafusnya ketika ia bersama Jean.
"Tapi kamu sendiri sudah basah kan" Tanya Jean berbisik, Jemarinya mulai masuk dengan lembut kedalam Vagina Jovana.
"Jean… Ahhh…. Jean….." Desahnya, merah wajah gadis balkan ini, tak mampu mengontrol ekpresi wajahnya, ketika Jean menyentuhnya.
"Kumohon…." Ucapnya mencoba, namun Jean memainkan Vaginanya tanpa henti, membuatnya tak bisa melanjutkan ucapannya. "Jean ahhh…." Ucapnya, rasanya begitu, nikmat namun Jean mengeluarkan tangannya dari vagina Jovana.
"Jean…." Desahnya, ia kecewa. Jean menjilati jemarinya, merasakan tubuh Jovana, aroma vagina Jovana begitu pekat di tangan Jean.
"Aku ingin….." Bisik Jovana. "Tapi kita tidak bisa Jean…." ucapnya memaksakan dirinya.
"Relakan dirimu dengan nafsu Jovana, relakan tubuhmu" Bisik Jean lagi.
"Tapi Jean, ini tempat kerjaku" Bisik Jovana memandang Jean terengah-engah.
"Kalau begitu, ciumlah aku setidaknya" Bisik Jean, tampa pikir panjang Jovana langsung menarik wajah Jean, menciuminya, ia tak mampu menahan nafsunya, tapi setidaknya ia bisa mencium Jean. Memainkan lidah Jean, untuk pertama kalinya, Jovana yang memimpin permainan ini, memainkan ritmenya.
Jovana memerah layaknya tomat, setelah melepaskan ciumannya, Jean terlihat sedikit puas, sayangnya ini tidak ada apa-apanya bagi keduanya, nafsu keduanya kian memuncak, namun kesibukan keduanya benar-benar tak terelakan lagi.
"Kalau begitu, mungkin lain waktu saja" Jelas Jean mengecup bibir Jovana, mengantarkan Jean ke depan pintu, Jovana memandang ketika pria yang ia sayangi pergi meninggalkan dirinya seorang diri. Hatinya terasa tak tertahankan lagi, rasanya ia ingin meleleh saja, ia di inginkan oleh Jean, rasanya membuatnya begitu bahagia.
"oh boi…. jangan bilang kalian ngefuck di kantor!" Jelas April langsung masuk mencoba mengendus-endus aroma-aroma aneh.
"Stop it April" Jelas Jovana kelabakan.
"Iya kan!" Jelas April mengamuk ia telah mencium aroma aneh. "Aku bakal ngambil pewangi ruangan" omel april pergi meninggalkan Jovana yang memerah malu.
Tak bisa menahan dirinya, Jovana malah tertawa melihat kelakuan April, rasanya Jean semakin berubah, ia tak tau apakah perubahan ini baik kepadanya ataukah buruk, namun ia selalu berharap, apapun yang terjadi, ia ingin bisa bahagia bersama Jean.
Tersandar di luar kantornya Jovana menyalakan rokoknya, sepersikian detik ia merasakan keanehan, rasanya ada sepasang mata yang memandangnya, rasa itu, ya rasa itu, ia kenal dengan perasaan ini, rasanya ia pernah di perhatikan oleh orang ini, melihat kekiri dan kanannya, Jovana berusaha mencari siapa pemilik pandangan tersebut, hingga akhirnya ia menemukannya.
Mata itu, dari ujung lorong kantor yang ramai ini, Jovana menemukannya, pria tersebut, pria dengan rambut merah itu. Jovana mengucek matanya, mencoba meyakinkan pengelihatannya. Rasanya ketika ia di bawa Jean ke hotel untuk pertama kalinya, ia melihat pria tersebut bukan, namun saat ia mengucek matanya, pria tersebut telah hilang, rasanya dadanya tak bisa berhenti berdebar, kemana dia pergi.
"Kak?" April mengejutkan Jovana.
"Ehhh!" Ucap Jovana berteriak kaget memegang dadanya.
"Kau kenapa kayak melihat hantu aja" Omel April.
"Gak, aku cuma…" Ucap Jovana menatap kembali ke tempat yang sama, namun pria tersebut sudah menghilang. "Gak apa, kayaknya aku cuma salah lihat" Ucap Jovana membawa masuk April kedalam ruang kantor. Mulai saat itu, hati Jovana mulai tidak tenang ketika ia bekerja, seolah sepasang mata secara terus menerus memperhatikan dirinya.