Hembusan nafas Jovana lembut berhembus di leher Jean, Jean tak sadar apa yang terjadi namun ketika ia terbangun Jovana erat memeluknya. Detakan jantung Jovana terasa di lengannya gadis ini memeluknya dengan erat, wajahnya gadis ini terlihat begitu tenang dan bahagia. Jean tak bisa berdusta bahwa ia juga ikut merasakan sesuatu, ia tak tau apa yang ia rasakan saat ini. Untuk kali ini ia sejam lebih cepat terbangun dari pada Jovana, berkat obat tidurnya ia selalu bangun tepat waktu.
Mendekap gadisnya, Jean mengusap pipi mulus gadis ini, menyikap rambutnya, ia menatap wajahnya. Ia telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, dulu saat ia masih sekolah bersama Jovana dan Lisa. Jovana memliki tutur wajah yang culun dan lugu, ia adalah anak yang baik dan ramah, aku masih tak menyangka di balik wajahnya yang ramah ia rupa-rupanya adalah seorang pembunuh yang handal.
Namun, apakah semua yang ku percayai ini mungkin salah?
Kau bisa bilang ini adalah firasat seorang polisi, namun aku tidak merasakan niat jahat dari hatinya kepadaku, apakah firasatku tidak setajam yang dulu ataukah ia yang terlalu pintar dalam bermain dan bersandiwara.
Ataukah dirinya adalah kelemahanku, kau bisa bilang aku masih tak tau apa yang harus ku perbuat kepadanya, ku ingin menyakiti hatinya, ku ingin membuatnya tersiksa, ku bahkan ingin membunuhnya, ku ingin membuat darahnya mengalir.
Namun disaat aku hidup bersamanya, akupun mulai merasakan keanehan di dalam dada ini, persaan ini, hati ini raga ini kepala ini, semuanya aku tak mengerti bagaimana aku harus mengekpresikan persaan ini.
Ketika ia menyentuhku, ketika ia menatapku, bersenggama denganku, hingga memeluk ku, aku tak mampu menahan hatiku, dada ini terasa panas, terbakar akan sebuah persaan yang tidak mampu ku jelaskan, oh dewa Mars, dengan keajaiban mu, kumohon berikan aku pentujuk.
Seolah akupun mendambakan dirinya, mengingikan dirinya, aku ingin lebih dari sekedar raganya, aku ingin hatinya, aku ingin memiliki dirinya seutuhnya. Namun, kurasa ia telah terlambat, aku tak dapat tertolong lagi, Jovana sang penyembuh bukan, maafkan aku Jovana, namun aku tidak tertolong lagi, andaikan cerita kita adalah sebuah Novel, aku adalah penjahat di dunia ini, aku bukanlah orang baik-baik, tanganku penuh akan darah, dari yang penuh dosa maupun tak berdosa.
Sesering dan sebanyak apapun aku memberikan persembahan kepada dewaku, ku tau dosaku takan pernah hilang, ku yakin ketika kau tau apa yang telah ku lakukan, kau takkan memaafkan ku wahai Jovana, aku tak tau antara firasatku memang salah ataukah memang benar, namun, namun Jovana bila aku memang salah, dan engkau memanglah tanpa dosa, pergilah dariku, kumohon bebaslah dariku, aku tak mampu menahan diriku dari diriku sendiri. Akupun tak mampu mengontrol emosi ini.
Tak sadarkah engkau niatku kepadamu tidaklah tulus, aku hanya ingin menikmati tubuhmu, niatku memang jahat, apa yang ku perbuat padamu memanglah jahat, namun di hati kecilku ku, ku ingin kau sadar aku adalah penjahat terbesar di dunia ini, ku ingin kau segera pergi dariku, mungkin dengan ku berbuat jahat engkau kan sadar dan pergi dariku. itulah caraku menyelamatkan dirimu dariku, ku ingin kau segera pergi dariku, biarkan aku mati seorang diri.
"kenapa aku begini" Jelas Jean berkacak kepala tersadar, ia tak memahami apa yang baru saja mengontrol dirinya, inikah efek ketika ia tak menggunakan Zat untuk beberapa jam, seolah ia sudah tersadar ke dirinya yang dulu.
"Kumohon lupkan ini semua" Ucapku kepada diriku sendiri, aku merebahkan wajahku kepada Jovana mencoba Melupakan semua ini.
Mengedus-endus leher Jovana, betapa wangi madu bercampur keringat, aku tak mampu menghentikan diriku ketika aku bersamanya, aku ingin terus mengkomsumsi dirinya, layaknya opiate kau begitu candu wahai Jovana.
Ku ingin merebahkan jiwaku kepadamu, aku sudah sangat lelah dan tak mampu untuk terus berdiri, aku hanya tempurung tanpa isi, jiwaku telah lama lari. Meninggalkan raga ini. memeluk erat Jovana menciumi lehernya.
Aroma Jovana begitu ia rindukan, dahulu kala saat mereka masih bersekolah, kilauan rambut pirang gadis Balkan ini begitu menghipnotisnya. Ia begitu Innocent, dulu semua orang menyukainya, tiada pria yang tidak menyukai gadis balkan ini. Mata Emerald hijaunya begitu menghipnotis, membuat orang-orang rela melakukan apapun yang engkau minta, namun karena engkau adalah seorang Jovana, tak pernah terpikirkan bagimu untuk memafaatkan orang lain.
Sekarang semua itu tak berguna lagi, kita telah bersama, namun seseorang telah tiada, Lisa sang pujaan hati ku, dan engkau mencoba mengisi kekosongan di hati ini, apakah engkau bisa dan mampu melakukannya wahai Jovana gadis balkan ku?
Apa yang engkau bisa lakukan untuk ku, apa yang bisa kau lakukan untuk menyembuhkan diriku, itupun kalau aku memang sakit?
Dan sekarang engkau ada di hadapanku, lemah tak berdaya, ia bisa melakukan apapun yang ia mau kepada gadis ini, kalau aku ingin menyakitimu akupun bisa, bila aku ingin membunuhmu akupun bisa, namun yang ku inginkan saat ini hanyalah menciumi aroma tubuhmu. Semakin mendekap Jovana semakin candu Jean.
Ia membenci gadis ini, demi dewa ia membencinya, namun, ia tak mampu menahan nafsunya, ia mencoba untuk menjauhkan gadis ini, ia mencoba, ia mencoba membuat hidupnya menjadi lebih buruk, mungkin bukan sekarang, tapi ia mencobanya. Ia ingin menyiksa gadis ini sesakit yang ia bisa.
Demi dewa ia membenci gadis ini namun ia tidak bisa menjauhkan dirinya. Ini semua hanya sebuah nafsu semata bukan, ia memerlukan Jovana hanya tubuhnya begitu bukan yang sebenarnya terjadi?
Suara dari alarm berbunyi, memecahkan kesunyian di kamar Jean. Ia mengambilnya lalu mematikannya, tak biasanya ia menggunakan alarm, namun kali ini ia harus terbangun apapun yang terjadi, pagi ini ia akan dirikimi dokumen penting di kantornya. Ia kembali merebahkan tubuhnya memeluk Jovana. Beberapa hari yang lalu ia menyuruh Gadis balkan ini untuk pindah tidur di kamarnya. Kalau-kalau ada tamu yang datang ke rumahnya, akan terlihat tidak profesional kalau ada seseorang tidur di ruang tamu bukan. Dan orang macam apa Jean membiarkan seorang gadis tidur di ruang tamu, ini akan memperburuk citranya. Di sisi lain ia membutuhkan teman seks. Ia rasa ini adalah win win solution.
Layaknya seorang kekasih, keduanya tidur bersama, akhir-akhir ini intensitas hubungan seks mereka semakin sering, namun sayangnya mereka bukanlah kekasih maupun teman. Setidaknya itu yang Jean pikirkan tentang gadis tersebut.
Membuka selimutnya, ia mencoba bergerak perlahan supaya gadis ini tidak terbangun, gadis ini masih tertidur pulas dengan nikmatnya. Remang-remang gelapnya ruangan ini, Jovana terlihat putih pucat berkilau dari sinar bulan yang menembus jendela.
Ia ingin menyentuh tubuh gadis ini lagi, namun kalau ia terus menerus menyentuhnya, pekerjaanya takan pernah rampung lagi. Bergegas ke kamar mandi Jean mencuci mukanya, menggosok giginya dan menyuntikan obat di lengannya.
Setelah merasakan dorongan dari obat-obatan tersebut barulah ia mampu untuk kembali beraktifitas, mencuci mukanya untuk terakhir kalinya, ia mengambil pakaian dari ruang pakaian, semua sudah terlipat rapi.
Mengenakan seragam kepolisiannya, pakaian dengan dominan hitam bercampur merah darah ini terlihat stylish, hari ini ia mengenakan pakaian lapangan, karena ia akan bertugas di luar. Kembali ke kamarnya jean mengambil sebotol bir dingin di kulkas mini. Ia berjalan ke arah pintu teras membukanya, hembusan angin dingin berhembus di tubuhnya, ia begitu menyukai udara dingin. Kelap kelip perkotaan yang hidup 24 jam ini terlihat begitu indah. Ia lalu duduk di kursi teras sambil meneguk birnya ia menikmati betapa segarganya. Merengangkan kakinya di atas meja Jean mulai bekerja dengan membuka laptopnya.
"Jean..." Gumam Jovana menggemaskan dari dalam kamar, mencoba menggapai Jean yang sudah tak ada lagi di sampingnya, melirik Jovana, Jean tersenyum tipis tanpa sadar.
"Jovana" ucapnya penuh kebahagiaan tanpa sadar, ia melanjutkan pekerjaanya.
Waktu berlalu dan terus berlalu, setelah sarapan, dan menonton televisi, Jean akhirnya pergi ke tempat kerjanya. Biasanya saat ia kerja ia menaiki mobil muscle hitamnya, matador. Berjalan di lorong kantor, Jean melewati mess sebelum tiba di kantornya tepat di sebelah Mess makan. Lorong kantornnya terlihat ramai, beberapa Contubernium bersama perwiranya seorang Decanus sedang briefing pagi hari. Jean lalu masuk kedalam kantornya.
"Good Morning Centurion" Jelas seorang Decanus dalam bahasa Latin.
"Morning" Jelas Jean sebelum masuk kedalam kantornya,
Duduk di kursi kantornya, Jean mulai bekerja hari ini ada seabrek dokumen yang harus ia setuju dan ia kerjakan. Mulai dari permintaan cuti sampai bonus yang harus ia berikan kepada beberapa Contubernium. Selama ia menjadi Centurion ia tak pernah sama sekali bisa berlibur, hanya kerja, kerja dan kerja itu yang ia lakukan setiap harinya, bahkan ketika jam liburnya iapun harus bekerja. Sudah beberapa tahun begini dan ia merasa kedepannya takan ada perubahan yang berati dalam hidupnya sendir.
"Aurelia" Jelas Jean membuka sebuah dokumen, hari ini ia baru saja menerima seorang Contubernium, ia suka mendapatkan seorang polisi secara cuma-cuma namun masalahnya adalah, polisi ini adalah pemberian orang lain, tepatnya tidak di beri, tapi di paksa untuk masuk kedalam Cohortnya.
Jean tak suka orang yang tidak di kenalnya masuk, Cohort ini secara pribadi di atur oleh Jean sampai detail terkecil, ia tak suka orang luar masuk begitu saja. Tapi kali ini ia tak memiliki wewenang untuk menolaknya, ini adalah Favor dari Legate, tepatnya mantan Legate, dulu ia pernah di bantu oleh Legate tersebut, jadinya ia tak bisa menolak permintaan ini. Jean menekan sebuah tombol di mejanya. Tak pakai lama Optio Cato mengetok dan masuk kedalam kantornya.
"selamat pagi Centurion" Jelas Cato dalam bahasa Latin.
"Selamat pagi Optio" Balas Jean.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk anda Centurion?" Jelas Cato.
"Kau tau Aurelia, Cucu dari mantan Legate Sulla?" Tanya Jean sambil membaca berkas-berkas Aurelia.
"Iya centurion saya mengetahui siapa dirinya, ia sekarang saya taruh di dalam unit yang di pimpin Decanus Anna, apa ada yang salah Centurion?"
"Tidak, tiada yang salah, aku hanya tidak menyukai orang luar masuk begitu saja"
"Anda ingin dia saya pindahkan ke cohort lainnya?" Tanya cato bingung.
"Tidak usah, awasi saja dia" Jelas Jean melanjutkan pekerjaanya.
"Siap Centurion"
"silahkan keluar Optio" Jelas Jean. Akhirnya cato keluar dari ruangan kantor Jean, ia lalu memutar dokumen ini dalam mode suara. Berjalan menuju meja minuman Jean menuangkan segelas Whisky dengan soda di gelasnya. "Sarapan sang juara" Komentarnya sebelum meneguknya
Dokumen ini menjelaskan profil Contubernium Aurelia, saat ia menjadi lulusan terbaik di akademi kepolisian. Seorang wanita, berumur 20 tahun, baru saja lulus, dan dari profilnya ia keras kepala dan juga tegas, memiliki pendirian yang kokoh.
"kurasa dia akan menjadi Polisi yang bagus" Komentar Jean mematikan dokumennya, ia lalu kembali Menuangkan Whisky Soda. Tak lama tanpa ijin, Cato membuka pintu kantorku dan memasukan Rita secara paksa.
"Apalagi" Omel Jean memandang keduanya.
"Jelaskan kepada Centurion apa yang terjadi" Perintah Optio Cato kepada Decanus Rita.
"Tapi Cato?" Ucap Rita ragu.
"Optio Cato!" Jelas Jean omelnya kepada Rita, ia tidak suka ketika bekerja sok akrab, kau harus tetap profesional. "Panggil dia dengan pangkatnya, sudah berapa lama kau menjadi Decanus masih tidak paham" Omel Jean.
"Maafkan saya Centurion" Jelas Rita menunduk.
"Jelaskan, ada apa engkau kesini, masalah apa lagi?" Tanya Jean memandang Rita, Rita terdiam memandang Jean, ia merasa ragu dan tak berani untuk berucap.
"Jelaskan kepadaku" Bentak Jean kali ini semakin tidak sabar, mengetuk-ngetuk pundak Rita dengan tongkat komandonya, atau di sebut Vitis dalam bahasa latin.
"Salah satu Contubernium yang saya pimpin kembali berulah, Centurion…." Jelas Rita ragu.
"Oh ya, apa yang dia lakukan?" Tanya Jean.
"Mencuri"
"Lagi!" Bentak Jean.
"Iya Centurion apa yang harus saya lakukan Centurion?"
"Hajar dia hingga mampus Decanus!" Komentar Jean sambil meneguk Whisky soda.
"Tapi centurion" Ucap Rita mulai tegang.
"Tapi apa hah, kau berani meragukan perintah ku!" Bentak Jean menghempaskan gelas whisky diwajah Rita. Menghempaskannya hingga menggores pipinya berdarah, pecahnya gelas itu berhamburan di lantai. Ia tak bisa menerima sedikit saja anak buahnya menaikan suaranya, Cato berkacak pinggang di sebelah ku, ia tak kalah marah dengan Rita. Alasan Cato membawa Rita tak lain dan tak bukan adalah karena Rita tak bisa lagi di atur.
"Tidak bang" Ucapnya kelabakan, ia merasa takut.
"Bang, sejak kapan aku abang mu, Aku centurion, panggil aku dengan pangkat ku!" Bentak Jean.
"Maafkan saya Centurion" Ucap Rita memaksa berdiri tegap, ia tak ingin di marahi, ia sudah merasakannya dan tak ingin merasakan lagi.
"Kau benar benar perwira paling bebal di Cohort ini" Bentak Jean.
"Sudah kubilang jangan akrab dengan anak buahmu" bentak Jean emosi.
"Sudah berapa kali hah anak buah dalam kepemimpinan mu ketahuan mencuri!" Bentak Jean. '
"Ti… tiga Centurion" Ucapnya pelan.
"TIga!" Bentak Jean marah. "Kau menutupinya, sudah tiga kali, kalau ada dalam kepemimpinan ku sekali saja mereka mencuri dari sesama polisi sudah ku disiplinkan!" Bentak Jean marah.
"Optio pasti sudah memberi tahukan mu berkali-kali" Tanya Jean marah.
"Su.. sudah Centurion" Ucap Rita menunduk.
"Optio" Ucap Jean menatap Cato.
"Saya sudah memberikan dia perintah berkali-kali Centurion, namun tampaknya ia tidak mendengarkan saya, inilah kenapa saya membawanya kepada anda, supaya anda yang langsung menjelaskan kepada dirinya" Jelas Cato lalu kembali mundur.
"Demi Mars Decanus" Omel Jean menuangkan segelas whisky ke gelasnya, ia lalu meneguknya.
"Decanus, Engkau ku pindahkan dari unit Contubernium mu dulu saat aku menaikan pangkat mu menjadi Decanus ada sebabnya. Seorang perwira Legion, kau di larang untuk bersosialisasi dengan bawahan mu, kau cuma boleh bersosialisasi dengan sesama perwira!" Jelas Jean lalu meneguk whisky.
"Para bawahan mu itu untuk di pimpin, mereka bukan teman mu, keterikatan mu dengan bawahan itu berbahaya, akan mempengaruhi penilaian mu!"
"Maafkan saya Centurion" Ucap Rita layu.
"Decanus, sudah berapa lama kau jadi Contubernium, 4 tahun bukan, kalau bukan karna aku yang melihat bakat mu, kau akan menjadi Contubernium selamanya. Kau tau aku bekerja disini selama delapan tahun, dan aku sudah menjadi Centurion, memimpin Cohortku sendiri dalam waktu delapan tahun"
"Kalau kau ingin menjadi Optio seperti cato, maka ikuti perintahnya, jadilah yang terbaik dari yang terbaik, tunjukan padaku bahwa kau lebih baik dari pada Cato!" Jelas Jean.
"Kalau kau tak bisa maka aku akan menurunkan mu sebagai calon" Komentar Jean memandang Rita.
"Tapi" Jelas Rita mulai angkat bicara.
"Tak ada tapi" Ucap Jean mengetuk tongkat komandonya di dada Rita. "Kau tau apa yang harus kau lakukan bukan?" Tanya Jean
"Iya Centurion"
"Kalau begitu lakukan aku ingin melihatnya." Jelas Jean.
Rita lalu kembali mengangkat kepalanya, setelah apa yang Jean ucapkan membuat dirinya mampu untuk mengangkat kepalanya ke atas, Jean mampu membuat bawahannya mengerjakan apapun yang ia perintahkan.
Mereka berjalan ke ruang Mess, Jean berjalan paling depan di ikuti oleh Rita dan Cato, saat Jean masuk kedalam ruangan Mess makan, seluruh mata anak buahnya tertuju kepadanya, mereka semua langsung berhenti makan dan berdiri di tempat. Memberikan Hormat, mereka paham berati ada sesuatu ketika Jean masuk kedalam ruangan ini, karena tidak biasanya ia kesini.
"Selamat pagi" Jelas Jean berdiri di tengah ruangan, Jean menjadi pusat perhatian,
"Selamat Pagi Centurion!" Jelas mereka semua secara bersamaan.
"Decanus" Ucap Jean menatap rita di sebelahnya. Tanpa pikir panjang Rita segera berjalan mendatangi salah satu meja dimana bawahannya sedang berdiri tegap. Ia lalu menariknya dan menghempaskannya ke lantai, tanpa pikir lagi Rita langsung menghantam wajahnya dengan tinjuannya. Keadaan Mess langsung ribut, beberapa terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, namun mereka semua tak berani bergerak dari tempatnya.
Contubernium yang di hajar oleh rita berteriak kesakitan, ia tak bisa dan tak sempat untuk menutupi wajahnya yang lebam di pukuli oleh rita. Ada beberapa yang mencoba untuk merelai, mereka adalah anak-anak baru, Jean langsung menghadang mereka, menutupi jalannya dengan tongkatnya. Mereka terdiam mundur Mereka lalu mulai memahami bahwa tak boleh mengganggu. Kalau Jean sudah turun tangan berati memang parah.
"Ini adalah hukuman kepada mereka yang mencuri dari kepolisian, orang bodoh mana hah yang mencuri dari kepolisian, jangan kalian pikir karena kalian seorang polisi jadi kalian berhak menindas sesama!" Bentak Jean bergema di seluruh ruang mess.
"Kalian pikir siapa yang mengurus ketika kalian membuat masalah, tiada instansi pemerintahan yang ikut campur disini tiada, aku yang mengurus kalian ketika kalian membuat masalah, jangan lagi aku mendengar masalah apapun dari kalian" Bentak Jean lalu berjalan pergi membiarkan rita menghajar habis-habisan anak buahnya.
Akhirnya ia pulang, Jean lalu membuka pintu apartemennya, waktu sudah menunjukan pukul 8 malam, ia bekerja dari pagi hingga malam, hampir setiap hari seperti ini, terkadang ia merasa ingin mati saking lelahnya, namun karena ia menggunakan obat-obatan ia mampu untuk bekerja lama.
shift ini begitu melelahkan jiwanya, ia merasa cukup sedih, inginnya ia tak merasakan ini semua, namun dari waktu ke waktu dinding tebal yang ia bangun berhasil di tembus. Ia terkadang merasa bersalah, ia terkadang merasa harusnya semua ini tak seperti ini, namun, namun ia tak bisa menahan dirinya sendiri.
Dibalik wajah datarnya ia begitu murung saat ini, Jean masih mengenakan seragam polisinya, biasanya setelah ia pulang bekerja ia langsung mengganti pakaiannya, namun saat ini ia terlalu lelah dan tidak memiliki tenaga untuk melaksanakannya.
Jean membuka pintu kamarnya perlahan, tak ingin membangunkan Jovana, sekarang Jean tidak tidur sendiri lagi, ia tidur bersama Jovana sekarang, gadis Balkan ini mudah terbangun dari tidurnya makanya ia harus pelan kalau bergerak.
Jean masuk kedalam kamarnya, cahaya lampunya remang-remang, Jovana sudah tertidur lelap. Jean duduk di kursi sebelah ranjang dan mulai melepaskan sepatunya, ia meletakkan pistol dan dompetnya di meja.
Kenapa aku memintanya untuk tidur disini?
Wahai Jovana, kenapa kau selalu menarik ku?
Aku tak tau kenapa diriku begini.
Seolah kau adalah jawaban dari segala masalah ku.
Dan sekarang aku akan menggunakan dirimu kembali, Ucap Jean dalam hatinya, Jean merangkak ke ranjangnya, ia merebahkan tubuhnya di sebelah Jovana dan membenamkan wajahnya di pelukan Jovana, ia memeluk Jovana erat, semakin menenggelamkan wajahnya di dada Jovana. Kau datang di saat diriku mulai rapuh dan hancur. Perlahan kau menyembuhkan rasa kosong ini. Apakah ada alasan kenapa engkau datang?
Aku mencari sebuah alasan, alasan kenapa engkau disini.
Sesaat Jovana terbangun, ia menemukan Jean yang erat memeluknya, ia bingung apa yang terjadi mengucek matanya Jovana berpikir ini masih mimpi, tak mungkin Jean memeluknya. Tapi saat ia menyentuh Wajah Jean, ini terasa begitu nyata. Apakah ini bukan mimpi semata.
"Jean" Ucap Jovana mengusap wajah Jean. Ini pertama kalinya Jean memeluknya Tampa membangunkan dirinya dahulu.
"Ya" Ucap Jean pelan.
"Kau ingin seks?" Tanya Jovana. Yang biasanya Jean perlukan darinya hanya seks bukan?
"No"
"Kau tak ingin tubuhku, apakah engkau lapar?" Tanya Jovana bingung.
"No"
"Ah, oke, jadi apa yang kau inginkan?"
"Tak usah hiraukan aku"
"Ah, baiklah" Komentar Jovana bingung, Jean semakin erat memeluknya, tak menyisakan ruang 0gerak lagi. Apakah ia memang hendak memeluknya saja, Jovana tidak keberatan sama sekali ia hanya terkejut saja. Bukankah Jean menggunakan dirinya hanya untuk tubuhnya saja, bukankah ia hanya sebagai objek seks saja. Namun kenapa Jean memeluknya, apakah ada sesuatu yang terjadi?
Jemarin Jean merayap masuk kedalam pakaian Jovana, ia terkejut sesaat ketika jemari Jean menyentuh punggungnya, ia masih tak terbiasa di sentuh jadi sedikit terasa geli. Ia pikir Jean akan menyentuh payudaranya, rupanya Jean hanya menyentuh tubuhnya, memeluknya semakin erat. Menikmati cengkraman tersebut.
Menikmati saat-saat ini Jean merasa semakin tenang, terbawa suasana gadis ini ikut menyentuh tubuh Jean, ia memberanikan diri untuk menyentuh Jean, Jean pasti tak suka kan kalau ia di sentuh, tapi bolehkah ia menjadi egois dan mencobanya, kalau Jean menolaknya ia akan mundur. Perlahan menyentuh pundaknya, turun dan mulai turun ke punggungnya, Jovana merasakan memeluk Jean, betapa hangat dan lembutnya tubuhnya. menunggu reaksinya, namun alih-alih menolaknya Jean menyambut pelukan Jovana.
"Ah…" Desah Jean perlahan, ia menjatuhkan dirinya di pelukan Jovana membiarkan dirinya terbawa oleh kasih sayang. Sentuhan gadis ini mebuat Jean merasa lebih baik, seolah ia kembali mampu untuk menatap hari esok, apakah engkau benar-benar penyembuhku. Ataukah ini hanya sebuah ilusiku semata.
Menyentuh rambut hitam Jean, Jovana menciumi keningnya yang hangat. Memeluk Jean membuatnya ingin melindungi pria ini dari siapapun yang hendak menyakitinya, mungkin ia tak kuat secara fisik, tapi mentalnya ia rasa cukup kuat untuk melindungi Jean.
Pria ini memiliki hari yang berat, dan sentuhan Jovana membuatnya lupa kepada masalahnya untuk sesaat. Dan akhirnya Jovana melihat wajah cemberut Jean untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Mengusap-usap rambut Jean, jovana angkat bicara memecahkan kesunyian ini.
"Ada apa Jean?"
"Tak usah hiraukan aku"
"Ayolah, tak biasanya engkau begini Jean, apakah sesuatu menggangumu" Jelas Jovana menyentuh wajah Jean dengan kedua tangannya.
"Aku tak apa" Lirihnya memejamkan matanya, tak mampu menatap tatapan Jovana yang penuh perhatian.
"Aku tau kau berdusta, seperti engkau tau ketika aku berdusta" Jelas Jovana mengecup pipi Jean.
"Aku tak apa" Jelas Jean kembali berdusta.
"kalau begitu biarkan aku mencintaimu" jelas Jovana mengangkat dagu Jean, mata hijaunya emeraldnya memandang pria kesayangnanya penuh kasih, memandang tatapan Jean yang penuh harap membuat hatinya berdebar-debar kencang, tatapan pria ini layaknya kryptonite baginya ia lemah tak berdaya di hadapan Jean. Menyerahkan dirinya kepada Jovana pria ini lemah tak berdaya, ia terbawa arus kasih.
"Aku mencintaimu, aku benar-benar mencintaimu" Jelas Jovana mencium bibir Jean, menghangatkan dirinya yang dingin. Mungkin ia mencium prianya dengan kikuk dan kaku, namun bukan itu yang membuat Jean terlena, kasih Jovana yang begitu terasa di jiwanya saat ini.
Memandang tatapan penuh harap Jean, membuat Jovana tersadar, ia harus menjawab rasa sepi ini. Ia merasa tak mampu dan takan bisa meninggalkan Jean seorang diri. Ia tau Jean ingin Jovana meninggalkan dirinya, namun dari tatapan itu ia paham sebaliknya Jean juga meminta pertolongannya.
"Bagaimana kalau kita berpelukan saja malam ini" Tanya Jovana bersemangat.
"Mungkin" Ucap Jean setengah sadar, ia seolah hendak tertidur, ia mencoba memejamkan matanya.
"oh, yaudah mari kita tidur selama engkau bisa saja" Jelas Jovana memeluk orang paling di cintainya.
Tak sempat waktu berlalu Jean kembali tersadar, selain ia tak bisa tertidur tanpa bantuan obat, ia juga tak bisa tertidur karena ia harus bekerja sebentar lagi. Ia harus bertemu dengan seseorang.
"Aku harus pergi jam 10 ini" Jelasnya melepaskan pelukannya dari Jovana, ia masih setengah sadar. Ia belum menggunakan obatnya hingga ia terasa tidak bertenaga.
"Jean" ucap Jovana belum sempat menggapai pria kesayangannya Jean sudah meninggalkan dirinya ke kamar mandi. Setelah mandi dan menyegarkan tubuhnya Jean keluar dari kamar mandi, mata merahnya kembali terang, menatap Jovana, gadis ini kembali membeku terdiam ia sadar Jean sudah kembali. Dingin dan kosong. Andai saja matanya bukan cybernetic mungkin akan memperlihatkan pupilnya yang menggunakan obat-obatan.
"Ikut denganku" perintah Jean tegas sambil meneguk obatnya.
"Kemana?"
"Pakai Dress" jelas Jean tak menjelaskan apa-apa.
Dalam elevator Jean tersandar, ia mengenakan pakaian yang biasa ia kenakan Kemaja hitam dengan celana Jean. Matanya terlihat begitu kosong, dalam waktu kurang dari satu jam kami sudah pergi dari apartemen, seperti biasa ia adalah orang yang terburu-buru tak ingin membuang waktunya.
Menggandeng Jovana, Jean menghembuskan nafasnya terasa begitu dingin elevator ini. Sampai-sampai Jovana mengigil kedinginan. Sebenarnya gadis ini sudah lelah, karena seharian bekerja, namun ia rela melakukan apapun untuk Jean, selelah apapun ia akan mencobanya. Itu yang di namakan cinta bukan.
Red star Bar & Cafe, sebuah tulisan kelap kelip terlihat ketika pintu elevator terbuka, seperti biasa Jovana mulai tersenyum itu bukan yang Jean inginkan darinya, berpura-pura bahagia dan diam tampa bicara sepatah katapun.
"Tuan Jean Taggart?" Ucap penjaga di depan pintu masuk.
"Ya" Jelas Jean.
"Silahkan masuk, dan kolega anda Tuan Sulla sudah menanti anda"
Tanpa balas Jean segera masuk kedalam ruangan, Cafe serta bar bergabung menjadi satu, biasanya orang kesini hanya untuk duduk bersantai bersama kerabat atau membaca buku seorang diri. Di sebuah meja dekat jendela, Jean menemukan koleganya, Pensiunan Legate. Ia terduduk santai sambil meneguk kopi membaca bukunya seorang diri.
"Jovana" Ucap Jean terhenti memandang gadisnya.
"Ya?"
"kau duduk disana aku harus mengobrol dengan mantan atasan ku" Komentar Jean, ia lalu membuka dompetnya. "Ini kartu kreditku, belilah apapun yang kau mau"
"Tapi aku punya" Jelas Jovana hendak menjelaskan ia punya uang sendiri.
"jangan banyak omong gunakan saja" Jelas Jean memberikan kartu kreditnya. Meninggalkan Jovana seorang diri Jean pergi mendatangi Sulla, mantan atasannya.
"selamat malam Legate" Ucap Jean dengan bahasa latin menyapa atasannya dengan pangkatnya yang lama.
"Malam Tuan taggart, dan santai saja engkau tak perlu memanggilku Legate, aku hanya seorang pensiunan sekarang" Jelasnya tersenyum.
"Kurasa kebiasaan lama tidak bisa mati" Jelas Jean sambil duduk di kursi.
"Bagaimana dengan Legion sekarang Tuan Taggart?" Tanya Sulla.
"Saya rasa kita menjadi lebih baik, Cohort saya sudah melakukan ekpansi kebeberapa distrik" Jelas Jean, tak lama seorang pegawai datang dan menaruh secangkir kopi di gelas Jean.
"Ya, aku ada membaca laporan tahunan" Jelasnya tersenyum, ia memiliki sahan dan ikut andil dalam perusahaan ini, tentu ia penasaran dengan apa yang terjadi. "Jadi Taggart bagaimana dengan kinerja aurelia" Tanya Sulla lagi.
"Aurelia, saya rasa ia adalah anak yang pintar, aku tak bisa berkomentar banyak tentang cucu anda sejujurnya, tapi sepertinya ia memiliki pendirian yang teguh"
Di lain tempat Jovana terduduk seorang diri, ia sudah memesan segelas kopi. Ia memandang Jean dari Jauh, ia terlihat serius saat ini, apakah Jean tidak ada waktu istirahat, setiap hari ia hanya keluar, keluar dan keluar, tidak pernah ia kulihat beristirahat, kadang di waktu istirahatnya ia malah bekerja. Tak lama kegaduhan mulai terjadi, beberapa pria yang mabuk di bar mulai berisik, Jovana mulai mengalihkan perhatiannya, ia baru saja teringat tempat ini memiliki bar. Inginnya ia pergi ketika ada masalah. Namun ia tak bisa pergi kemana-mana tanpa Jean.
Saat Jovana tersadar ia di datangi tiga orang yang setengah mabuk, tampa tunggu mereka langsung duduk di sofa dengan Jovana.
"Halo ada apa ya bang" Ucap Jovana mencoba untuk ramah, ia tau bagiamana tabiat orang yang sedang mabuk, mereka benar-benar membawa masalah. Namun tampa sempat Jovana berucap, tanganya sudah langsung di sentuh.
"Jadi begini Legate, saya rasa dengan ekpansi distrik ini yang akan menjadi masalah" Ucap Jean, ketika mendengar teriakan Jovana jauh di ujung ruangan. Suasana ruangan mulai gaduh, Jean menghela napas panjang, harusnya tempat ini bisa mengatur para pelanggannya kenapa orang mabuk di biarkan saja.
"Maafkan saya Legate, sepertinya ada yang harus saya urus" Jelasnya, Jean mampu mencium dikala ada masalah, selama ia hidup masalah selalu ada, dan ia memiliki berbagai macam cara untuk menghadapinya, dan semuanya adalah kekerasan.
Andai Jovana tidak datang bersamanya maka ia takan membantu Jovana, tapi masalahnya Jovana adalah bagian dari dirinya, ketika Jovana di rendahkan secara otomatis orang itu juga merendahkan dirinya. Jean berjalan dengan pelan menuju orang-orang yang menggangu gadisnya, melipat lengan bajunya Jean berdiri tepat di belakang kedua orang tersebut.
Jovana berkaca-kaca ketika tanganya di pegang erat, beberapa pelanggang yang lain hanya terdiam tak berani menggangu. Ia semakin mengacak tangan Jovana hingga Jovana berteriak, makin merah dan makin sakit. Jean memandangnya dengan rasa kasihan, orang-orang ini tak tau apa yang akan menimpannya.
"Enyahlah" Ucap Jean masih mencoba untuk tenang.
"Memangnya kau siapa" Ucap pria yang mengacak tangan Jovana,
Mereka adalah pegawai kantor, biasanya seorang pegawai kantor yang kelelahan, di penghujung hari libur, akan menghabiskan waktunya untuk mabuk tanpa kontrol, fenomena seperti ini, di kota ini sangatlah wajar, dalam karirnya di kepolisian sudah ratusan kali ia berhadapan dengan orang seperti ini. Bila ia bekerja sebagai kepolisian, biasanya ia takan menghajar orang begitu saja, ia akan bernegosiasi, namun sayangnya, ia saat ini sedang tidak bekerja, dan kau tidak mau berurusan dengan Jean di saat ia tidak bekerja.
"Jean" Lirihnya menatap Jean, ia begitu takut tak tau apa yang akan terjadi.
Dengan cara pengecut, salah satu orang yang bersembunyi di belakang Jean menghempaskan botol bir tepat di atas kepalanya, membasahi baju Jean dengan air bir, tetesan darah membasahi wajahnya. Jean menjilat darahnya saat tetesannya lewat di wajahnya. Ia sedikit terundur dan tertunduk, ketika menerima serangan tersebut.
Jean paling benci dengan permainan kotor ala jalanan seperti pengecut, namun kalau ia di tantang dengan cara sepert ini ia akan meladeninya. Tetesan darah membasahi lantai, ketiga orang kantoran brengsek ini malah tertawa senang ketika melihat Jean bersimbah darah.
Jovana semakin panik dan panik melihat Jean, ia mulai tak mampu menahan air matanya, karena ia tak bisa melakukan apapun. "Jean….!!!" Teriaknya panik.
Ia tidak terkejut dengan pertarungan ala jalanan seperti ini, tidak memiliki aturan, kalau ini yang mereka mau maka itu yang akan ia berikan.
"Pertarungan ala jalanan ya" Jelas Jean mengeluarkan expandable baton dari kantongnya, Suara expandable Baton ini begitu Khas, pria yang menghantam Jean dari belakang terkejut ketika Jean mengeluarkan senjatanya. Pertarungan ala jalanan adalah pertarungan tanpa kerhormatan dan tanpa aturan. Jean berbalik dengan mudah dan menghajarnya dengan tendangannya di perut. Lalu ia menghempaskan Batonnya di kepalanya membuatnya berkucuran darah. Sekali dua kali hantaman Jean sudah menaklukan dirinya.
"Maxwell!" Teriak sahabatnya lalu berlari ke arah Jean bersiap menghantamkan botol birnya. Menghindar dengan mundah Jean mengirimkan tinjuannya di perutnya berkali-kali, dan dengan sekali pukulan di wajah langsung mematahkan tulang hidungnya. Menginjaknya Jean mengunci orang tersebut di lantai tak bisa bergerak.
"Aku tak suka perkelahian ala jalanan, Takan adil untuk kalian" komentar Jean tersenyum tipis.
"Lepaskan Jovana" komentar Jean. "Atau ku patahkan lengan kawan kau" ancam Jean. "Tiada tapi-tapi"
"Tunggu" ucapnya hendak bernegosiasi. Ketika ia berucap tunggu Jean langsung mematahkan lengan kawannya, mengirimkan teriakan besar ke penjuru ruangan. Teriakan pria itu membuat seluruh orang yang berada di ruangan tersebut ketakutan.
"Demi tuhan" teriaknya ketika Jean melepaskan kunciannya. Pria yang menahan Jovana akhirnya melepaskan genggamannya, ia terkejut, seharusnya malam ini tak menjadi seperti ini.
"Sudah ku bilang lepaskan" Ucap Jean, Jean tak suka mengulang ucapan yang sama, ketika ia mengucapkan sesuatu orang harus langsung mengikutinya. Ketika pria itu terundur dan hendak kabur.
"Kau tak boleh lari" Bentak Jean langsung menangkap pria tersebut, berani-beraninya ia menyentuh Jovana, siapapun yang merendahkan seseorang yang bersamanya, berati juga merendahkan dirinya.
Jean mengacak leher orang tersebut, mengangkat kerahnya dengan satu tangan Jean menghemapaskannya di dinding bar, botol minuman serta botol-botol lainya langsung berjatuhan ketika terkena hempasan badan pria tersebut, bartender tersebut langsung berlari keluar dari bar. Ia berteriak kencang ketika pecahan kaca menusuk kaki dan tubuhnya.
"Kau pikir kau bisa menganggu gadis ku hah" Ucap Jean naik dan melewati meja bar mendatangi pria yang tersungkur di lantai tersebut.
"Tunggu, tunggu" Ucapnya. Jean tak perduli dengan apa yang ia katakan, Jean langsung mengirimkan tendangan serta tinjuannya tepat di wajahnya. Jean benar-benar tidak bisa di tahan oleh siapapun lagi ketika sudah emosi seperti ini. Yang ia tau hanya menyakiti dan menyakiti saja, dan demi tuhan ia akan menyakiti si bangsat ini.
"Demi" Ucap Jean menginjak wajahnya.
"MARS"
"KAU TAU" Setiap ucapannya tinjuan dan hantaman Jean melayang kewajahnya.
"AKU SEDANG RAPAT DENGAN ATASAN KU"
"DAN"
"KAU DATANG MENGGANGGU" Bentak Jean menghempaskan wajahnya di meja bar.
Jovana langsung berlari, ia tak bisa membiarkan Jean menyakiti orang yang sudah tidak berdaya lagi. "Demi api abadi Jean, jangan!" Ucapnya memohon kepada Jean, saat Jean hendak meninju wajah pria tersebut, Jovana berdiri di hadapan pria dan jean menjadi pembatas supaya Jean berhenti. Tanganya langsung berhenti meninju pria tersebut, ketika Jovana berada di hadapannya.
"Kumohon Jean, hentikan ini, kumohon" Ucap Jovana dengan suara bergetar. Ia memeluk Jean erat, menahannya supaya tak menyakiti pria ini lebih jauh.
"Kumohon hentikan ini Jean" Ucap gadisnya memeluk Jean semakin erat, orang-orang menatap Jean penuh ketakutan.
"Kau tak apa?" Tanya Jean tersadar mengecek lengan Jovana. Ia sangat marah melihat tangannya yang berbekas merah.
"Membiarkan mereka, setelah apa yang mereka lakukan kepadamu!" Ucap Jean mulai emosi, ia tak bisa membiarkan penghinaan ini begitu saja.
"Tidak apa Jean tidak apa" ucap Jovana menyentuh Jean mencoba untuk menenangkannya.
"Tuan Taggart" Ucap Legate tersebut berdiri di meja bar tersenyum tipis.
"Ya legate" Ucap Jean langsung merapikan rambutnya tersenyum memandang mantan atasannya.
"Saya harus pulang, mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi"
"Tentu saja Legate" Ucap Jean ramah, dan lama Legate tersebut meninggalkan dirinya.
"Maafkan saya tuan Taggart" Jelas seseorang baru saja mendatangi Jean ia menunjuk malu, ia adalah manajemen dari tempat ini.
"Simpan permintaan maaf mu" Bentak Jean
"Tunggu Tuan Taggart" Ucapnya menahan Jean yang hendak pergi.
"Kami akan menggantinya mohon maafkan kami" Jelasnya, ia tak ingin macam-macam dengan Jean Karena ia tau perusahaanya menyewa jasa pengamanan Jean. Kalau Jean tak suka Jean bisa dengan mudah membuat sebuah kecelakaan di tempat ini, dan manajemen ini tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
"Mohon permintaan maaf kami, selanjutnya kami akan memberikan pelayanan terbaik kepada anda tuan Taggart" Jelasnya menunduk.
"Oh ya, kita lihat saja nanti" Jelas Jean meninggalkan tempat ini. Masuk kedalam elevator Jean lalu mengelap wajahnya dengan tisu, sambil menyeka bekas lukanya, ini tidak ada apa-apanya layaknya makanan sehari-harinya sebagai seorang polisi.
"Terima kasih Jean tapi kau tak perlu membelaku" Ucap Jovana mulai angkat bicara memandang Jean penuh rasa sedih melihatnya sampai terluka.
"Aku melakukan ini bukan untuk mu, aku melakukan ini semua untuk ku, aku mempunyai reputasi untuk di jaga." Bentak Jean jengkel.
"Oh, maaf....." Ucap Jovana menunduk.
"Kau pikir aku melakukannya untuk dirimu hah?"
"...." Jovana terdiam tak bisa menjawabnya.
"Aku melakukan ini semua untuk diriku, kau pikir apa yang akan terjadi kalau aku membiarkan dirimu terluka!"
".….." Jovana terdiam bingung tak bisa menjawab.
"Kalau mereka melihat kau terluka, mereka akan mengira kalau aku lemah, tak mampu melindungi orang di sekitarku. sekali saja aku terlihat lemah semua orang akan memakan ku" Ucap Jean memelototi Jovana.
"Jadi kumohon jangan banyak bacot dan belajarlah untuk diam seperti Perintah ku" Bentak Jean menutup malam ini.