Suara langkah kaki Jovana berjalan di kantor, ia baru saja datang 30 menit lebih lambat dari biasanya, langkahnya berat, ia terlihat lebih pucat dari pada biasanya, sesaat ia terhenti di lorong kantor, bersandar di dinding, Jovana terengah-engah mencari oksigen, kepalanya serasa tak beraturan hari ini.
Ia merasa begitu lelah hari ini, tubuhnya terasa tidak bertenaga sama sekali, harusnya ia meminta ijin untuk libur, namun ia tak terpikir lagi, Hari ini ini nasibnya begitu buruk.
ia kelelahan. belum sarapan, tak membawa bekal, dan ia tak mungkin lagi membeli makanan, sepertinya ia harus kelaparan seharian, oh iya Jovana juga kekurangan tidur, apa pasalnya yang membuatnya menjadi seperti ini, semua berawal dari Jean. Siapa lagi kalau bukan Jean. Ayo tebak apa yang terjadi, benar sekali, berhubungan seks selama beberapa hari ini tampa henti-hentinya.
Jovana ingin menolaknya, namun, apakah ia memiliki pilihan, ia tidak di anggap sebagai manusia bukan, dan kadang tak di anggap sama sekali.
Hubungan ini benar-benar toxic, ku ingin memahami dirimu, ku ingin mengerti dirimu, namun kau membalas semua kelembutan ku dengan teriakan, cintaku dengan kebencian, kasih sayang ku dengan hinaan.
Sekarang aku mulai berpikir untuk berhenti, meninggalkan semua ini, memulai hidupku mulai dari nol, melupakan Jean, melupakan masa laluku, melupakan kenangan kita bersama, ku tau harusnya aku tidak disini, ku akui aku yang salah, aku yang memaksa masuk kedalam hidupmu.
Langkah ku berjalan menuju kursi kosong, aku harus beristirahat untuk sejenak, mengambil rokok dari dalam tasku, aku menyalakannya. Aku mulai tak kuat akan semua ini, rasanya aku sudah di ujung tanduk.
Namun, harusnya aku tidak disini bukan, aku merasakan kekosongan hati Jean, ia mendambakan Lisa, mungkin Lisa sudah tidak ada dalam pikirannya, namun kenangannya masih terus ia rasakan, aku tentu saja tak bisa mengisi kekosongan yang di buat oleh lisa, namun aku tak mencoba menjadi pengganti Lisa, aku ingin menjadi Jovana, aku ingin mengisi hatinya mendampingi dirinya, bukan menjadi seorang pengganti.
Harusnya aku pergi, harusnya aku menghilang, bukankah itu yang ia inginkan, ia tak ingin melihatku sama sekali, ini adalah salah ku memaksakan diriku masuk kedalam kehidupannya. Aku merasa tak sanggup dengan perlakuannya, namun aku tetap bertahan disini bukan, aku merasa tak mampu meninggalkan dirinya, aku tak bisa menyerah.
Ratusan kali terlintas dalam pikiran ku untuk mundur, namun, aku tak mampu melepaskan dirinya, ia adalah bagian dari diriku, aku benar-benar mendambakan dirinya, ku tau, aku benar-benar tau bahwa fantasiku berbeda dengan kenyataan, dahulu disaat aku masih di dalam penjara, aku berfantasi bahwa aku bisa hidup bahagia dengan dirinya, dan ketika ia ada di hadapan ku, ia 100% berbeda, ia kasar, dingin dan emosional.
Namun hasratku untuk bisa bersamanya mempengaruhi pikiran ku, di saat aku bersamanya aku merasa tak mampu untuk melepaskan dirinya, bahkan ketika perlakuannya menyakitkan hatiku, hati ini tak terkontrol lagi, tatapannya, sentuhannya, pelukannya, detakan jantungnya, aku tak mampu, demi api abadi aku bersumpah, aku tak berdaya. Kurasa aku benar-benar sudah rusak, berantakan, kacau.
Aku benar-benar mendambakan dirinya, aku menunggu untuk melihat dirinya, selama sepuluh tahun aku menunggu untuk bertemu dengan dirinya, aku tak bisa mundur begitu saja. Setelah ia berada di hadapanku, rasanya keinginan ku untuk kabur tiada sama sekali.
Di balik kasarnya, dinginnya, bencinya, Jean adalah orang yang baik, Jovana tau, ya dia tau di balik itu Jean adalah orang yang lembut, ia bertahan dari semua ini karena ia ingin mencoba menolong Jean, membuat semuanya menjadi lebih baik, namun bagaimana ia bisa membuat segalanya lebih baik, ia bahkan tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Namun, apakah itu semua setimpal, apakah semua ini akan menjadi lebih baik akhirnya?
Teriakannya.
Hinaannya.
Kebencian.
Rasa sakit ini.
Akhir-akhir ini, ia semakin kasar serta kebencian yang ia tumpahkan kepadaku semakin intens, aku semakin tidak kuat menahan ini semua, haruskah aku pergi, meninggalkan dirinya, melupakan Jean, kembali ke Balkan atau London?
"Aku tak tahan kalau begini terus" Lirihnya tak kuat, ia benar-benar sudah di ujung tanduk, sedikit saja dorongan maka ia akan roboh.
"Apakah cinta akan menyelamatkan kita berdua" Jelas Jovana tersandar, ia mencoba berdiri tegap dengan seluruh tenaganya, ia selalu maju dan maju, selama hidupnya ia selalu mencoba untuk menghadapi apapun yang menghadangnya, mungkin saat ini terlihat buruk, tapi mungkin saja kan semuanya akan menjadi lebih baik.
"Kenapa kak" Jelas seseorang memecahkan kesunyian, gadis dengan warna rambut auntum terpotong pendek ini tersenyum mendekati Jovana. Ia menepuk pundak Jovana khawatir.
"Aku tak apa April" Jelas Jovana tersenyum hangat, ia adalah April salah satu rekan kerja Jovana, ia adalah orang paling ramah di kantor ini, ia selalu mencerahkan suasana yang kelam.
"kamu terlihat pucat kak?" Tanya April lagi menyentuh kening Jovana, mencoba merasakan suhu tubuh Jovana.
"Aku gak apa kok" Ucap Jovana mencoba untuk berdiri namun oleng, dengan sigap April segera menangkap Jovana sebelum terjatuh.
"kakak bohong nih" Ucap April, ia tak suka sama sekali kalau di bohongi, ia mendengus kesal. "kakak sakit apa!" Omel April menyentuh leher Jovana merasakan suhu tubuhnya. "badan mu hangat!" Bentak April lagi.
"Aku gak apa April aku cuma kecapean saja" ucap Jovana tersenyum melepaskan tumpuannya dari April. "Gak apa kok baby, aku cuma perlu minum air putih yang banyak dan lanjut bekerja, aku benaran gak apa kok" Komentarnya lagi meyakinkan April.
"Seriusan nih kak kamu gak apa, kalo mau libur gak apa, nanti tugas mu biar aku yang cover" Jelas April tersenyum.
"Gak April, aku serius kok" Balas Jovana memeluk April hangat,
"kalau mau pulang bilang aja sama aku ya biar ku bantu" Jelas April memeluk Jovana hangat.
Jovana lalu berjalan bersama April menuju kantornnya untuk bekerja, sambil bercanda renyah Jovana memaksakan dirinya untuk bekerja, mungkin kalau ia bersama April lelahnya akan segera hilang. Siapa yang tau bukan, rupanya ini akan menjadi salah satu hari terburuk bagi Jovana. Ketika ia bekerja, tubuhnya kembali goyah, bukanya berhenti dan memilih untuk beristirahat gadis ini kembali memilih untuk melanjutkan bekerja, tak mampu untuk menopang tubuhnya lagi, akhirnya ia jatuh pingsan, alih-alih menelepon ambulans seperti yang seharusnya di lakukan April malah menghubungi Jean menggunakan hp Jovana.
Gadis ini terbaring di ruang istirahat, Jovana mulai membuka matanya, kepalanya terasa hendak pecah seribu bagian, ia terduduk mengacak kepalanya, tak sadar ada sesosok mata merah menyala menatapnya penuh kebencian.
"Ahh.. Sakit…" Desis Jovana mengacak kepalanya, ia serasa hendak mati. Jovana oleng untuk sejenak. Ia medengar sesaat suara April ketika menyentuh pundaknya, mengusap kepalanya, ia merasakan tangan lembut itu menyentuhnya, namun telinganya tak mendengar apa yang ia ucapkan.
"tidak apa?" Ucap April tidak jelas, Jovana hanya mendengarkannya setengah saja.
"i... iya, aku tak apa" Ucap Jovana masih bersikeras, belum sempat April berucap Jean mulai membuka mulutnya. Ia semakin duduk tertunduk, kepalanya semakin terasa sakit, bukannya lebih baik ia serasa hendak mati.
"Oh ya" Ucap Jean sarkas, suara pria itu membangunkan Jovana, Jovana terkejut, kepalanya terangkat dan menemukan Jean berdiri di hadapannya, mata merahnya menatap Jovana. Semakin terang menyala. Dengan pakaian kepolisiannya bukannya memberikan aura yang tenang dan hangat, ia terlihat dingin dan sinis.
"Jean!" Ucap Jovana terkejut, Jovana tak mampu menatap dirinya, nafasnya serasa tak beraturan, dadanya berdebar-debar semakin kencang, kenapa ia berada disini. Oh api abadi, wajah Jovana serasa ingin menangis saja saat ini. Suasana serasa begitu dingin.
"Jovana" Jelas Jean dingin, kebenciannya kepada Jovana semakin meningkat, satu hall, cuma satu hall yang ia tak bisa terima, di ganggu saat ia bekerja. Tak taukah si jalang ini bahwa dirinya sibuk bekerja, apa gadis ini tau, seberapa besar kerugiannya saat ia tak bekerja beberapa jam.
Kenapa gadis sialan ini merepotkan dirinya, ia pikir siapa dirinya, seorang putri kerajaan apa!
Ia semakin panik memandang Jean, tatapannya penuh akan emosi, Jovana tau Jean memikirkan ribuan cara untuk menyiksanya, dan serasa hati kecilnya semakin lemah, tak mampu untuk berjalan kedepan.
"April aku sudah gak apa kok" Jelas Jovana tersenyum paksa, ia mulai panik saat ini, suaranya mulai gelagapan dan mulai salah bicara. "aku, gak apa kok, kamu"
"Kamu kenapa kak tumben?" Ucap April bingung melihat tingkah Jovana.
"Aku, di tinggalin aja" Ucap Jovana mulai panik, ia tak ingin April menjadi saksi, atau melihat kekasaran Jean. Namun namanya April ia terlalu lugu dan tidak paham hall seperti ini.
"Gak apa kok, kerjaan ku kan bisa di tinggal, aku gak mungkin tinggalin kamu" Ucap April, Jovana tersenyum sakit, oh april kau adalah gadis paling Innocent dan paling manis. Aku menjauhkan mu karena aku ingin melindungi dirimu.
April tersenyum sambil bercanda renyah kepada Jean, ia ingin mencairkan suasananya yang terasa begitu dingin, bahkan gadis periang ini yang biasanya paling tidak peka akan suatu masalah merasakan kejanggalan. Jovana tak ingin April merasakan rasa canggung ini, makanya ia memaksa April untuk pergi, tapi april malah mengiranya kalau Jovana menyembunyikan pacarnya, padahal lain itu.
Namun alih-alih tertawa seperti harapan April, Jean hanya menatap dingin April tanpa reaksi apapun. Menurut norma masyarakat orang-orang pada umumnya akan tersenyum atau tertawa saja untuk menghargai lawan bicaranya, bahkan tertawa walaupun lawakan lawan bicaranya tidak lucu sama sekali. Namun berbeda dengan Jean, dirinya tidak perduli dengan omong kosong seperti ini. Jean sudah mati rasa dengan hubungan sosial.
Bukanya ia tak sadar, ia tau dan ia sadar apa yang orang lain rasakan, ia hanya tidak perduli. Awalnya April tersenyum, tapi melihat Jean yang tak bereaksi membuatnya merasa tak nyaman, namun yang membuatnya untuk pertama kalinya berhenti tersenyum adalah tatapan mata Jean yang begitu tajam. Tatapannya begitu kosong dan dingin, tubuhnya yang tinggi dan besar membuatnya menjadi semakin menakutkan, bukanlah polisi harusnya memberikan rasa aman, tapi Jean sebaliknya. Ia mengintimidasi, mata merah ini membuat April membeku takut.
Terdiam April terundur ke dinding, bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia merasa tak nyaman saat ini, melipat tangannya April dengan kaku menyentuh rambutnya. Ia tak tau harus melakukan apa kali ini, gadis yang biasanya mampu mencerahkan suasana, kali ini takluk oleh Jean.
Jovana yang tak mampu membiarkan April tersiksa oleh Jean, ia langsung memaksakan dirinya untuk berdiri, dengan seluruh tenaganya ia berdiri menghadap Jean, hatinya tak kuat dan ia menahan dirinya untuk tidak menangis kalau menghadapi Jean, karena sejujurnya ia benar-benar takut dengan Jean. Tubuhnya bergetar, suaranya serak saat hendak berbicara dengan Jean.
"Sorry Jean aku minta tolong kamu buat mengantarkan ku pulang" Ucap Jovana memaksakan dirinya untuk tersenyum. April merasakan ada yang salah dari semua ini, apakah salahnya memanggil Jean, ia hanya ingin membantu Jovana. Belum sempat Ia mengucapkan kejanggalan dari hatinya. Jovana langsung memotong April, tak ingin April menambahkan masalah lain, apalagi niat April Baik kok walau caranya salah. April adalah gadis paling baik yang ada di dekatnya, ia tak akan membiarkan Jean menyakiti April secara mental.
"Makasih ya April" Ucap Jovana ia tulus mengucapkan ini, ia pergi keluar sambil menarik tangan Jean paksa, Jean akan menyiksanya Secara mental, setidaknya yang bisa ia lakukan adalah. Menerima ini semua dengan lapang dada, semakin cepat ia menerima ini semua semakin cepat ini berlalu. Langkah kakinya berjalan menuju elevator. Ia menahan dirinya untuk tidak memangis, ia sudah di ambang batas. Melihat kepergian Jovana, April merasakan rasa takut, rasa bersalah, seperti ia telah melakukan dosa besar.
Suasana elevator begitu dingin, detakan jantungnya terasa begitu keras saat ini, tubuhnya semakin bergetar hebat, ia berdiri menghadap Jean. Ia tak bisa dan tak kuat lagi, saat Jean menatapnya dengan tatapan matanya, Jovana berusaha untuk tidak melihatnya, namun ini lain tatapannya yang biasanya, layaknya predator Jean menatap Jovana, sudah bersiap untuk menerkamnya, memakannya, dan mengahabisi dirinya.
Jovana kejutnya terundur di dinding elevator. Mata Jean membuat dirinya tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia langsung terjatuh kakinya tak bisa lagi menahan dirinya.
"A..aaaa" Ucap Jovana panik. Tetesan air matanya menetes membasahi wajahnya. Ia tak tahan lagi. Ketika Jean berkata akan menyakiti Jovana ini yang ia maksud. Ia akan menghancurkan Jovana menyakitinya selama yang ia bisa. Ia tak perduli Jovana bisa membuktikan bahwa ia bersalah atau tidak. No no no no, Jean bukanlah orang seperti itu, ia hanya memperdulikan dirinya sendiri.
Hatinya serasa remuk beribu-ribu serpihan Pecah sudah.
Ia menjadi semakin histeris, menangis kencang, air matanya menetes membasahi pipinya. "Kumohon maafkan aku" Tangisnya memohon pada Jean.
"Aku sudah pernah mengucapkannya" Jelas Jean merendahkan tubuhnya sejajar dengan Jovana, tak terkontrol ia mengacak leher Jovana dengan satu tangan."aku akan menyakitimu, selama aku hidup akukan menyakiti dirimu" Ia lalu melepaskan cekikannya.
"Jean, tapi.." Ucap Jovana terisak-isak dan terbatuk-batuk karena tangisannya. "Tapi aku tak melakukannya"
"Mau berapa kali kita bermain permainan ini lagi!"
"Tapi Jean, Lisa itu adalah teman ku, aku tak mungkin menyakiti dirinya" Ucap Jovana penuh tangis.
"Hei jalang!" bentak Jean mengacak wajah Jovana, membuatnya berteriak sakit, Jean tak mampu menahan dirinya lagi. "Berani sekali mulutmu mengucapkan namanya"
"Jean ampuni aku" Ucap Jovana tak kuat akan rasa sakit ini, mata hijaunya berkaca-kaca menatap Jean, pria kesayangannya, ia mencintai Jean, dan ia tak mampu untuk melawan Jean, tidak pernah terpikir di dirinya untuk melawan Jean, ia tak mampu. Untuk sesaat Jean terhenti, melepaskan cengkramannya, tatapan Jovana membuatnya tersadar untuk sesaat, ia kembali ke masa lalu, di saat ia masih sma, betapa lugu dan hangatnya Jovana kepada Jean, tatapan mata itu, Jean terundur terduduk di hadapan Jovana yang juga tersungkur di lantai elevator. Yang tak lama lagi terbuka pintunya mendekati lantai parkir Basement.
"Jean" Ucapnya sedih, gadis balkan ini mencoba menyentuh Jean.
"Jangan sentuh aku jalang!" Bentaknya " Mari hentikan sandiwara ini" Bentak Jean, ia sudah tak tahan lagi.
"Sandiwara apa lagi Jean, kau tau sejak dahulu aku tidak bisa sandirawa!" Ucap Jovana memberanikan dirinya, tanganya tertahan mengacak dadanya.
"Berhenti berbohong, berhenti bersandiwara, akui bahwa kau membunuhnya jalang!" Bentak Jean, emosinya kembali meluap Jean mengacak kerah baju Jovana, ia tak cukup menyiksa mentalnya seperti yang ia pikirkan dulu, rupanya ia harus menyiksa fisik Jovana juga.
"Kenapa kau melakukan ini semua!" Bentak Jovana tak tertahankan lagi.
"Lex talionis, Mata di bayar mata!" Bentak Jean Mencengkram wajah Jovana dengan kedua tangannya, tangan Jean bergetar ingin menyakiti Jovana, namun ia masih mencoba untuk menahan nafsunya.
"Mata di bayar mata akan membuat dunia ini buta!" balas Jovana berusaha menyadarkan pria kesayangannya.
"AKU!" Bentak Jean mengacak kerah baju Jovana.
"SUDAH!"
"BUTA!" Bentaknya penuh kemarahan menghempaskan Jovana ke dinding, Jovana berteriak terkejut bercampur sakit.
"Kau pikir apa yang terjadi denganku selama ini!" Bentak Jean, Jovana mungkin tak mengerti, namun Jean memang sudah benar-benar buta akan segalanya, hatinya sudah terkunci, tertutup tak bisa merasakan berbagai macam perasaan.
"Tapi Jean, ini bukan dirimu yang sebenarnya. Kau dulu tidak begini"
"Dengar brengsek, semua orang berubah!" Hina Jean jengkel.
"Jean, ku yakin di balik dinginnya dirimu, ada kehangatan mu, dulunya kau tidak seperti ini, kau baik dan hangat, apa yang terjadi?"
"Jalang!" Bentak Jean emosi. "Apa yang terjadi kau bilang, apa yang terjadi, semuanya terjadi, semuanya memakan diriku itu yang terjadi!"
"Kalau begitu biarkan aku membantumu, biarkan aku memperbaikimu!" Ucap Jovana berusaha menggapai Hati jean.
"Aku tidak rusak Jovana, apa yang sebenarnya ingin kau perbaiki hah!"
"Buka hatimu Jean, jangan biarkan kebencian masuk kedalam hatimu"
"Fucking Bitch, Sudah ku bilang berapa kali jalang, untuk diam, mulutmu itu sangat-sangat lancang" Jelas Jean menarik Kerah Jovana paksa hingga gadis itu berteriak kesakitan, saking kerasnya ia menarik Jovana kancing bajunya terlepas. Ia membawa Jovana kedepan mobilnya lalu membuka pintu mobilnya, dan melempar Jovana masuk kedalamnya dengan kasar, menghempaskan pintu mobilnya dengan kasar. Jovana sekarang semakin takut, ia tak tau apa yang akan terjadi dengan dirinya, Jean semakin emosi, ia semakin menangis tak tertahankan.
"Kau benar-benar lancang" Jelas Jean membuka pintu mobilnya penuh emosi, ia langsung masuk menyalakan mobilnya.
"Dengar!" Jelas Jean mengacak kerah baju Jovana kencang, menariknya mendekatinya. Gadis ini sudah tidak berdaya, ia sudah terisak-isak menangis tanpa henti sampai-sampai tak bisa berbicara lagi.
"Kau adalah perempuan paling menjijikan di dunia ini, tiada hall yang paling ku benci selain dirimu, ku harap engkau mati, dan ku harap engkau mati sebelum aku membunuh mu!"
"Jangan kau pikir aku takut untuk membunuh mu, aku sudah ribuan kali menutupi pembunuhan!" Bentak Jean mengacak kerah baju Jovana semakin kencang.
"Alasan ku membiarkan dirimu hidup bersamaku adalah, aku ingin menggunakan mu, jadi jangan pikir kau spesial, jangan pikir kau diinginkan!" Bentak Jean melepaskan cengkramannya.
"Kau ingin membuat ku bahagia bukan, Dengar Jalang, kalau kau saat ini mati, aku akan sangat-sangat dan sangat bahagia, kau akan membuat diriku tersenyum selama sepuluh tahun lamanya" Jelas Jean mengeluarkan pistolnya dari dalam sarung pingangnya. Jovana terkejut takut bukan main melihat Jean mengeluarkan pistolnya apakah saat ini benar-benar sudah ujung hidupnya?
"Bunuh dirimu sendiri jalang" Jelas Jean meletakan pistolnya di pangkuan Jovana, mata hijau gadis ini tak mampu mempercayai apa yang ia lihat, Jean Taggart pria yang paling ia sayangi di dunia ini menyuruhnya untuk mati saja.
Entah kenapa Jean malah tersenyum lebar, ia tertawa untuk sesaat, ia tak mampu menahan rasa bahagianya mampu untuk menyiksa Jovana, rasa sakit Jovana adalah penyembuh dirinya. Air matanya semakin tak terhenti, ia menangis keras melihat Jean.
Entah bagaimana dan apa yang terjadi, semuanya berlalu, semua pasti berlalu seperti yang Jovana ucapkan, ia terbaring di kamar, tubuhnya serasa hendak mampus, serasa seluruh organnya hendak mampus, ia benar-benar terpuruk saat ini. Ia tau apa yang terjadi, tapi setelah mengantarnya Jean langsung meninggalkannya begitu saja. Sedari tadi hpnya tiada henti-hentinya berdering, ratusan kali April menghubunginya, pesan singkat, lalu telephon. Ia benar-benar panik. Oh april kau memang gadis yang baik, mungkin nanti Jovana akan mengirimkannya pesan karena sejujurnya ia tidak sanggup saat ini.
Dan akhirnya sebuah cobaan berlalu bagi Jovana sebelum cobaan lainnya datang, di saat ia hendak ke dapur tubuhnya kembali oleng, harusnya ia kerumah sakit, namun ia memaksakan untuk di rumah saja, dengan sukses ia kembali terjatuh dan pingsan.
Jean merasa begitu lelah sehabis pulang bekerja hari sudah malam, tadi pagi ia sempat berdebat dengan Jovana, ia pikir, ya ia pikir takan berimbas kepada perasaanya, rupanya ia salah besar, saat ini ia tak mau mengakuinya sama sekali, tapi kepalanya terus membayangkan gadis balkan tersebut. Perasaan bersalahah bercampur aduk dengan perasaan bahagia, ya dia bahagia telah menumpahkan kebenciannya, namun, tatapan gadis itu terus terbayang, mata hijaunya memandang lurus kedalam hatinya.
Jean terhenti di depan pintu apartemennya, tanganya serasa kaku, untuk pertama kalinya hatinya mulai berteriak, ia merasakan teriakan yang berbeda, entah apa yang ia rasakan ia tak mampu menjelaskannya.
Nafasnya serasa berat, ia merasa tak mampu untuk menatap Jovana, ia selalu mencoba menutup hatinya, menutup perasaanya, ia tak perlu memikirkan apapun, tidak ada gunanya menggunakan hatinya, kenapa, kenapa gadis ini membuatnya menggunakan hatinya kembali, apa yang ia inginkan, tak sadarkah dirinya, aku tak bisa terselamatkan. Ia terhenti sejenak, merogoh koceknya, mengambil sebotol obat dan menumpahkan beberapa butir obat di tangannya.
"Hal bodoh apa lagi yang ku pikirkan" Jelas Jean meneguk obatnya, ia merasa sedikit tenang, suara hatinya kembali terdiam, semakin mengecil hingga ia tak menyadarinya lagi.
Ia membuka pintunya, terdiam, ia membeku, lampu rumahnya masih gelap, padahal biasanya ketika ia pulang malam hari, Jovana sudah menyalakannya, apakah ia pergi keluar?
Namun kenapa aku sangat memperdulikan ini semua, aku terbiasa hidup sendiri bukan, kalau ia tak ada berati tak masalah bukan, bukankah itu yang ku inginkan, aku ingin ia pergi, aku yang mengusirnya bukan. Namun kenapa rasanya aku membuat kesalahan terbesar dalam hidupku, bukankanya kesalah terbesar dalam hidupku adalah tidak membunuhnya saat kami bertemu?
Namun kalau ia pergi, kurasa tiada lagi sentuhan lembutnya, kasihnya, cintanya, dan ucapan sayangnnya saat kami bersetubuh, tiada lagi. Ya tiada lagi dirinya. Mungkin, aku harus mengakuinya, aku tidak terlalu memperdulikan tubuhnya, aku ingin hatinya.
Kenapa begitu susah bagiku melepaskan dirinya, seberapa pentingnya dirinya, ia tidak membantuku secara finansial, bahkan aku mengeluarkan uang ku untuk dirinya, membelikan dirinya baju, alat make up, memberikan dirinya kartu kredit ku, walau yang terakhir ia tidak menggunakannya sama sekali.
Kenapa ia begitu susah untuk ku lepas, rasanya ia mengisi sebuah tempat di hatiku, tidak, ia tidak mengisi kekosongan Lisa, ia memiliki tempatnya sendiri. Aku merasakan kekosongan amat besar kalau ia meninggalkan diriku. Diriku terhenti di ruang tamu, Aku menyalakan mata Cybernetic ku menggantinya dengan mode Night Vision. Aku terlalu lelah dan tak bertenaga hingga aku tak perduli untuk menyalakan lampu apartemenku.
Aku menangkap seseorang tengah terbaring di lantai, aku segera menyalakan lampu apartemen ku, mataku terbelalak, menemui Jovana sudah terbaring di lantai, ia hanya mengenakan kemeja kantornya setengah telanjang dan mengenakan celana dalamnya, Jean terduduk memeluk tubuh Jovana, ia langsung meletakan tangannya di dada Jovana, jantungnya masih berdetak, dari apa yang di analisa oleh mata cybernetic, Jovana masih hidup namun suhu tubuhnya benar-benar tinggi.
Saat Jean menyentuh tubuhnya ia merasa terbakar, tidak secara literal tentunya. Namun itu benar-benar panas. Jean mengambil hpnya, ia segera menekan tombol ambulans.
"Selamat malam, Tim Trinity Healthcare sedang menuju ke tempat anda, karena anda adalah pemegang kartu eksekutif, Tim paramedic akan tiba dalam waktu kurang dari satu menit, terima kasih" Ucap operator ambulan sebelum mematikan telepon.
Jean langsung menggendong Jovana, memeluknya erat, ia langsung menuju ke teras kamarnya, membukanya. Tak lama sebuah mobil terbang melayang di hadapannya, ia harus menutup wajahnya hembusan anginnya begitu kencang. Mesin jet itu berbunyi begitu kencang. Pintunya terbuka beberapa orang keluar dari dalam mobil membawa Stretcher. Mereka meletakan stretchernya di lantai di hadapan Jean.
"Apakah dia pasiennya?" Ucap salah satu dokter tersebut.
"Ya" jelas Jean Meletakan Jovana di stretcher.
"Maaf tuan Taggart, tapi dia bukan pemegang kartu Trinity Healthcare, kami tidak bisa membawa dirinya" Ucap salah satu dokter tersebut.
"Kalau begitu daftarkan dia" Dengan tenang balas Jean, namun dibalik wajahnya yang tenang ini ia begitu panik dan emosional, andai ia tidak dalam pengaruh obat mungkin emosinya sudah keluar saat ini.
"Baiklah, kalau begitu paket apa yang hendak anda daftarkan?" Tanya Dokter tersebut mengeluarkan alat pembayaran kartu kredit portable dari tasnya.
"Eksekutif" Jelas Jean membuka dompetnya mengeluarkan kartu kreditnya.
"Oke akan kami akan memasukan datanya, Wanita berumur 28 tahun, golongan darah B+, Nationality Republic Belgrade, dan namanya adalah Jovana bukan" Jelasnya mengisi dokumen dengan tabletnya.
"Tidak" Jelas Jean memotongnya.
"Apa ada yang salah Tuan Taggart?" Tanya Dokter tersebut.
"Ganti namanya, Jovana Taggart" Jelas Jean memotong.
"Baiklah Tuan Taggart" Jelasnya menyelesaikan dokumennya. Jovana masih terbaring di stretcher ia terlihat begitu sengsara, namun para dokter ketika mendengarkan ia akan di masukan kedalam asuransi langsung mengurus Jovana. Apapun harus kau bayar di kota ini, bahkan ketika kau mati sekalipun. "Oke, pembayaran bulan ini 10.000 Dollar, silahkan" Ucapnya memberikan alat pembayaran, Jean langsung menggesekan kartu kreditnya. Tak lama sudah keluar kartu khusus untuk Jovana.
"Oke Tuan Taggart, Karena Nona Jovana adalah pemegang kartu Eksekutif, dia akan menjadi prioritas utama kami, terima kasih sudah mempercayakan keluarga maupun kerabat anda kepada kami" Ucapnya membawa Jovana dengan stretchernya.
Jean terduduk di ranjang, melihat kepergian gadisnya, menyalakan rokoknya Jean berkacak kepala. Kenapa jadi seperti ini, kenapa ia terkejut dengan apa yang terjadi. Ia bukan yang meperlakukan Jovana seperti ini, andai ia memperhatikan dirinya, mungkin ia bisa membawa gadis ini ke rumah sakit, namun ia malah menyiksanya, seharusnya ia bahagia bukan dengan ini semua. Ya, harusnya ia bahagia. Namun sebaliknya. Ia merasakan rasa sakit yang amat besar dalam dadanya.
"Aku tak yakin obat-obat ku akan menyembuhkan rasa sakit ini" Jelas Jean menatap botol obatnya, rasanya ia benar-benar mau mampus. Rasa sakit hatinya tidak terkira kalau Jovana memang menghilang ataupun terluka. Rupanya ia memang benar, dari awal ia memang tak mampu membunuh Jovana. Namun Sekarang rupanya ia juga tak begitu mampu menyakiti gadisnya secara mental.
Jean hanya bisa tertawa cemas, bukankah, harusnya ia bisa menyakiti Jovana, kenapa sekarang ia malah panik. Memang sedari tadi wajahnya terlihat tenang, namun di baliknya ia merasa begitu tegang. Melangkahkan kakinya menuju meja bar, Jean menuangkan segelas Whisky kegelasnya, namun alih-alih menuangkan sedikit, ia mengisi setengah gelas dan langsung meneguknya sampai habis.
"Mungkin kau benar Jovana, aku memang orang yang rusak dan hancur" Jelas Jean mengomentari dirinya, "Aku tak mungkin bukan membiarkan dirinya sendirian di sana" Jelas Jean mengambil kunci mobilnya di dalam kantong celananya.
Gadis balkan ini terbangun setelah sekian lama pingsan, ia tak tau apa yang terjadi namun saat ia membuka matanya ia sudah berada di rumah sakit, ya sepertinya rumah sakit?
Ranjang empuk, pendingin ruangan yang super top, aroma aromatik dari esential oil yang begitu menenangkan pikirannya, di saat ia bangun, rasanya tubuhnya benar-benar segar, ia tak memahami apa yang baru saja terjadi, ia masih mengedip-ngedipkan matanya. Mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Rasanya ia hendak membuat teh, namun kok dia malah kerumah sakit begini?
Sebenarnya apa yang terjadi, ruangan ini begitu luas ya, televisi, dan hiburannya juga bermacam-macam, bahkan ada ruang tamu dan aku bisa memanggil perawat kapanpun aku mau.
Dan rupa-rupanya apakah aku pingsan, kalau begitu siapa yang membawaku ke rumah sakit apakah Jean, kukira ia memang menginginkan diriku untuk mati, namun kenapa ia malah menyelamatkanku, aku terkadang tak mengerti jalan pikirannya. Jovana terduduk dari tidurnya, di tangannya terpasang beberapa infus, ia tak tau apa saja yang terpasang di tubuhnya.
Jovana celingak-celinguk menatap dekorasi ruangan ini, terlihat berkelas dan megah, modern pastinya, berapa ia harus membayar semua ini, demi tuhan ia tidak punya uang, setahun saja ia bekerja belum tentu bisa membayar biaya rumah sakit disini, ia memang punya asuransi, namun asuransinya tidak akan mengcover ini.
Saat ia melihat kesampingnya, ia terkejut saat menemukan Jean terduduk di sofa sambil mengerjakan pekerjaanya, ia pikir Jean takan ada disini, ia pikir Jean takan mendatanginya sama sekali, apa yang membuat pria ini kesini?
Jean terduduk rapi dengan laptop di pahanya, ia mengerjakan pekerjaanya sambil menunggu Jovana terbangun, kalau ia bekerja selalu ada yang bisa ia kerjakan, jadi jangan anggap ia memiliki waktu untuk beristirahat. Puluhan kaleng bir serta piring makan tersusun di depan meja tamu.
Ia tidak tertidur sama sekali sejak malam tadi, entah jam berapa sekarang, harusnya ia berada di kantornya, namun ia ingin melihat Jovana terbangun sebelum ia pergi ke kantor. Wajahnya tidak terlihat lelah sama sekali walaupun ia bekerja tanpa henti, namun tentu saja, bukan Jean namanya kau tidak menggunakan dopping dengan obat-obatan.
"Jean" Sapa Jovana mencoba memanggilnya, Jean mengangkat satu jarinya, memberi isyarat ia tau Jovana memanggilnya, namun ia sedang bekerja, mungkin sebentar lagi ia akan mengurus Jovana.
"Oh.... ok" Ucap Jovana terdiam menatap Jean, gadis ini masih tak tau harus bagaimana memproses ini semua, setelah apa yang terjadi dengan dirinya dan Jean. Rambut hitamnya, mata merahnya, wajah eropanya, ia terdiam tersandar di Headboard ranjang rumah sakit.
Ia terlihat tampan dengan sinar matahari yang mengenai wajahnya, aku ingin kami bisa bersantai bersama, aku ingin kami bisa berbicara dari hati ke hati untuk pertama kalinya, namun ia selalu sibuk, ia selalu bekerja, ia selalu bergerak.
Tidak pernah kulihat dirinya beristirahat, ketika ia pergipun hanya untuk bekerja, semua orang memerlukan dirinya, sudah beberapa kali aku di bawa ke berbagai macam tempat, restoran sushi ternama, bar bintang lima, restoran termahal di negara ini, dan bahkan acara pemerintah, dia tak pernah berhenti.
Aku tak pernah melihat dirinya berhenti sejenak untuk bernafas, berhenti untuk berpikir, ia selalu bekerja. Aku tak pernah memiliki waktu untuk bisa bersamanya dan itu membuat diriku sedih, entah kenapa ini membuat air mataku kembali keluar. Apakah ini sia-sia, aku cuma ingin sekali dalam hidupku, untuk kami berhenti dan berbicara bersama.
Aku cuma tak ingin bertikai, tak ingin berdebat, aku cuma ingin kami duduk berdua, saling memperhatikan tanpa ada gangguan siapapun, dan saling bertukar pikiran.
Jean terhenti, suara tangis Jovana membuatnya terhenti secara instan, ia memalingkan wajahnya, mendapati Jovana meneteskan air matanya, seluruh wajahnya memerah, gadis balkan ini tak sadar apa yang terjadi, namun ia memandang Jean dengan penuh kesedihan, Jean tergerak ia terpanggil, ia bukan yang di inginkan Jovana?
Ia berjalan berdiri di depan ranjang Jovana, wajahnya datar dan dinding, namun dirinya mulai bergejolak, "Jova" Jelas Jean hendak menyentuh gadisnya namun ia terhenti, bukankah ia sebab Jovana menangis saat ini.
Bukankah ia sebab rasa sakit gadis ini, namun bukankah gadis ini juga yang menjadi sebab rasa sakitnya, namun kenapa aku merasa bahwa aku yang salah saat ini. Mata tidak pernah berdusta bukan, ya setidaknya itu yang ku perlajari saat aku menjadi polisi, firasatku berkata ia tak berdosa bukan.
Itu yang ku pelajari dari melihat matanya, aku bisa mengetahui perasaan seseorang, itu juga sebabnya aku tak suka ketika di lihat oleh Jovana, walaupun mataku cybernetic, masih tiada bedanya dengan mata biasa, masih mampu menunjukan pandangan sedihku.
Aku tak ingin ia mengetahui apa yang kurasakan, aku tak ingin ia tau bahwa aku sedih, aku tak ingin ia mamfaatkan, aku menunggu demi tuhan aku menunggu, aku menunggu ketika ia membuka sandiwara ini, aku ingin ia membuka sandiwara ini mengakui bahwa dirinya memang pembunuh Lisa, mengakui bahwa ia memamfaatkan ku, namun dimana, aku menunggunya, tiada kunjung datang.
Jadi siapa yang sebenarnya bersandiwara, aku atau dirinya.
Apa yang sebenarnya aku coba lakukan, ya aku ingin menyakiti Jovana, aku ingin menyiksanya, namun setelah itu apa, apa yang ku dapat dari semua ini.
Aku akan kehilangan dirinya bukan, ya, aku akan kehilangan dirinya, aku mulai merasa tak sanggup bila lepas dari dirinya, aku merasa tak mampu melepaskan Jovana. Namun aku juga tak mampu bersamanya, hatiku sudah kental akan kebencian.
Aku tak bisa menyelamatkan dirinya dari diriku, karena aku tak mampu, aku menariknya, ya aku sadar, bahwa alam sadarku menarik Jovana, membuat dirinya bertahan, seolah aku meminta pertolongan, namun ketika ia bertahan aku menyakitinya, betapa kejamnya diriku.
Aku mengingat kembali yang ku balas dari kasih sayang Jovana, seumur hidupnya sejak dari sma dan saat ini, ia selalu memberikan ku kasih sayang, jangan harap aku tak sadar, sedari dulu aku sudah menyadari, ia memperlakukan ku begitu berbeda. Penuh kasih dan harapan.
Dan sekarang bagaimana aku membalas semuanya, aku telah menyakiti Jovana tanpa guna, aku menyakiti orang yang berusaha menolong ku, aku menyakiti orang yang berusaha mencintai diriku. Selama ini tiada yang mencintaiku selain Lisa, dan iapun telah hilang. Sekarang tinggal Jovana, ya Jovana, ia berada di hadapanku, selama ini ia mencoba menolong ku, mencoba menyelamatkanku, namun aku membalas semuanya dengan rasa benci.
"Jovana" Ucapku, aku tentunduk kaku, ia tak merespon, ia masih menatapku dengan wajah merah dengan tangisannya. Aku menghela napasku, duduk di ranjang dekatnya. Kurasa wajar, wajar kenapa ia menangis, setelah apa yang ku lakukan kepada dirinya, aku menteror dirinya, menyiksa dirinya, menyakiti fisiknya, aku menggunakan tubuhnya, memakainya tanpa henti, layaknya barang. Kurasa ia sudah di ujung tanduk.
"Jean" Lirih Jovana, ia tersandar memeluk lututnya, ia melirik Jean tak berdaya.
"ya" Ucap Jean pelan.
"Aku harus tau....." Lirih Jovana menyentuh Jean, menarik lengan bajunya. "Apakah dengan menyakiti diriku membawa kepuasan kepadamu?" Ucapnya penuh harapan akan jawaban. Ia berkaca-keca menantikan rasa sakit lagi, menantikan kekecewaan lainnya. Jovana menatapnya, mata hijaunya berkilau, berkaca-kaca penuh rasa sedih. Merahnya mata Jean dan Hijaunya mata Jovana bertemu, bertabrakan.
"Aku, merasa kosong" Balas Jean dingin, ia merasa kalah dengan pandangan Jovana, hatinya menjawabnya secara otomatis.
"Apakah kau ingin melakukannya lagi?"
"Aku tak mampu menahan diriku sendiri"
"Kita belum pernah berbicara berdua, hati ke hati, aku tau kamu orang yang sangat sibuk Jean, jadi, kumohon berikan aku waktu dua menit saja" Jelasnya sambil melepaskan pegangannya di tangan Jean.
"Saat aku mengucapkan perasaan ku, adalah saat kau menyiksaku, dan saat kita seks, sekarang kurasa, adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan persaan ku lagi, aku ingin waktu dimana aku benar-benar bisa mengatakan perasaan ku"
"Jadi Jean" Ucap Jovana mendekati Jean, terduduk di hadapannya.
Belum sempat Jovana mengucapkan, tiba-tiba cato langsung membuka pintu, ia sepertinya hendak melaporkan sesuatu kepada Jean. "Centurion ada yang harus saya laporkaaa….." Jelas Cato, namun belum sempat ia berkata lebih, Jean sudah menatapnya tajam. Cato langsung menutupnya kembali.
Jovana terdiam, takdirnya memang buruk ya, sampai-sampai ia saat ia memiliki waktu bersama Jean hampir saja terpotong.
"Bolehkah aku melanjutkan?" Tanya Jovana, Jean membalasnya dengan anggukan.
"Aku berusaha menggapai hatimu, mencari waktu untuk mencurahkan isi hatiku, dalam hidupku, aku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran, aku tidak pernah merasakan prom night, maupun acara sekolah serta perpisahan sekolah" Jelasnya.
"Sebelum aku merasakan itu semua, aku sudah di penjara" Jelas Jovana tersenyum pahit. "Dan kau tau itu bukan?"
"Aku menyesali semuanya, namun yang ku sesali adalah, aku tidak pernah mengungkapkan perasaan hatiku"
"Sekarang ijinkan diriku mengungkapkan perasaan ku sekali lagi" Jelas Jovana menarik lengan baju Jean.
"Jean" Jelas Jovana Grogi.
"Walau hidupku terasa berat, penuh rintangan, aku berterima kasih kepada Api abadi, dengan ijinya aku bisa bertemu dengan dirimu" Jelasnya tersenyum dengan wajah merah penuh bekas tangis. Matanya masih membengkak.
"Sejak aku bertemu dengan dirimu, aku gak bisa mengontrol hati ini, senyuman mu, sentuhan mu, suaramu membuat aku semakin jatuh cinta"
"Walau aku harus menunggu sepuluh tahun, cintaku tidak berubah Jean"
"Kau tetaplah sempurna"
"Apapun yang engkau lakukan kepadaku, aku akan menerimanya, karena ku yakin ini takdirku"
"Aku mencintaimu, aku ingin kau menjadi kekasihku, menjadi bagian dari diriku sepenuhnya" Jelasnya memerah, ini pertama kalinya ia bisa mengucapkan ini, akhirnya ia bisa mengutarakan perasaan hatinya sebagaimana mestinya. Ia akhirnya bisa tersenyum lagi.
Jean mencoba menahan kokohnya hatinya, mencoba mengunci hatinya, mencoba, ia mencoba sangat keras saat ini. Menatap Jovana jean tak mampu memberikan jawaban, ia tertunduk, terdiam, sejenak memandang gadisnya.
"Aku tak tau apa yang kau harapkan" Jelas Jean tersenyum dingin. "Aku, tak tau harus menjawab apa" Jelas Jean memandang Jovana. Ia memiliki dinding yang kokoh melindungi hatinya, namun hanya Jovana yang mampu menggedornya, membukanya secara paksa.
"Aku tak mengerti, bagaimana aku seharusnya menjawab ini semua" Ucap Jean lemah.
"Aku tau" Jelas Jovana tersenyum. "Hatimu sudah lama tertutup"
"Aku tau dirimupun sama sepertiku, belajar bagaimana caranya menerima diriku, dan begitupun diriku, aku belajar bagaimaan menerima dirimu" Ucap Jovana.
"Aku tau kau memerlukan waktu untuk memproses semua ini, jadi aku hanya ingin menanyakan satu hall kepadamu" Ucap Jovana.
"Ya?" Balas Jean.
"Bisakah kita mencoba untuk hidup bersama, kita tak bisa melepaskan satu sama lainnya bukan?"
"Jovana" Jelas Jean tertunduk mengacak kepalanya, gadis ini bertanya, dan mengucapkan berbagai macam hall membuat hatinya berloncat kesana kemari, ia tak tau bagaimana harus memproses semua ini. "Terserahmu" Jelas Jean berdiri dari ranjang Jovana. Tanpa perduli Jean segera kabur meninggalkan Jovana.
Ia tak bisa menatap sama sekali gadisnya, ia tak kuat, ia tak kuat, rasanya dinding tebal yang ia bangun serasa hendak hancur. Ia masih tak mampu untuk menerima Jovana, ya ia tak tau bagaimana dan apa, ia tak tau apa-apa ia sangat bingung dan bimbang hingga otaknya tak mampu berpikir lagi.
Jean tersandar di depan pintu kamar Jovana. Ia tersandar, berkacak kepala, rasanya kepalanya begitu sakit, seperti hendak pecah, ia teringat, ini rasa sakit kepala yang sama, sama seperti saat ia bertemu Jovana, saat ia hendak membunuhnya. Ya rasa sakit yang sama.
Apakah ini rasa sakit yang merubah dirinya?