Bernyanyi lembut gadis balkan ini di dalam kamar mandi, dengan shower di tangan ia mencurahkan isi hatinya dengan riang gembira, ia sedang senang-senangnya hari ini, rasanya kesehatannya kian membaik. Gadis balkan ini memiliki standar kebahagiaan yang cukup rendah, bisa makan, oh bahagia, cukup tidur, bahagia banget, bisa mengobrol sepatah dua patah dengan Jean, super bahagia!
Ya, berbicara tentang Jean, sejak pertemuan terakhir mereka berdua, Jean tidak datang lagi. Ya dirinya tau kok, dia tak bisa berharap banyak. Jean menunggunya disaat itu sudah membuat dia sangat bersukur. Padahal ia hanya ingin memandang Jean, cukup dengan memandang sudah mengenyangkan hatinya.
Akhir-akhir ini ketika Jovana sedang beristirahat sambil menonton televisi, Ia tak menyangka sebenarnya, namun ia sering melihat Jean dalam acara televisi, tidak sekali ia di bahas, ia di bahas berkali-kali di Chanel Finansial, entahlah aku tak mengerti Jargon mereka tentang keuangan dan investasi. Mereka membahas perihal expansi perusahaan keamanan swasta.
Jovana bukanlah seorang gadis yang suka ikut campur masalah orang lain, bila tak ada hubungannya dengan dirinya, ia takan memperdulikannya, setidaknya itu yang ia coba untuk lakukan. Itulah yang membuatnya mampu bersama Jean, baginya Jean adalah Jean, ia tak memperdulikan apapun yang Jean lakukan.
Jangan salah sangka, ia memang tidak tau apa saja yang Jean lakukan, tapi ia paham apa yang Jean harus lakukan untuk menjadi orang sekaliber itu, sedari dulu ia sangat mendambakan Jean, takan ia biarkan apapun menggangu ambisinya, ia akan tetap maju kedepan.
Mungkin ia tak menyadarinya awalnya, tapi Jean bukanlah orang biasa, ia mulai menyadari bagaimana orang-orang di sekitar Jean menatapnya. Ia merasakan kebencian, ketakutan dan rasa kagum.
Disaat Jean membawa dirinya, ia juga merasakan apa yang orang lain rasakan saat melihatnya, ia merasakan rasa iri dan dengki, itu yang terkadang membuat dirinya tidak nyaman, makanya satu-satunya cara ia mengalihkan pikirannya adalah, dengan memandang pria yang ia sayangi, dengan cara itu ia bisa mengalihkan perhatiannya.
Mematikan showernya gadis ini mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk, rasanya begitu nikmat dipagi hari mandi dengan air hangat, dan juga hari ini April akan mengunjunginya, padahal ia sudah menolaknya, namun April bersikeras ia sudah meminta ijin di kantor.
Ya namanya juga April, ia adalah gadis yang tak kalah keras kepala sepertiku. Keluar dari kamar mandi, Jovana merasakan udara dingin yang menyegarkan, ia membuka kaca jendela kamar ini, mungkin dengan menghirup angin segar ia akan merasa jauh lebih baik. Setidaknya itu yang teman-temannya di balkan sering katakan.
Menuangkan secangkir air hangat ia mencelupkan sekantung teh Jasmine. Bersandar di jendela Kaca Jovana memandang indahnya dan cantiknya lautan, biru sejauh mata memandang, mendengar kicauan burung, jovana melirik ke arah langit, melihat ratusan burung terbang indah. Hingga seekor burung camar mendarat tepat di depannya.
"Seagull!" Teriak Jovana dalam bahasa inggris, ia berteriak antusian hingga mengejutkan burung tersebut, "Tunggu!" Teriak Jovana dalam bahasa Serbia panik. Burung itu langsung kabur terbang tinggi meninggalkan Jovana.
"Padahal aku hendak memberikan mu potongan roti" Jelas Jovana mengunyah sepotong sourdough yang berada di meja.
Pintu kamarnya di ketuk-ketuk beberapa kali, Jovana berbalik memandang pintu kamarnya, ia mempersilahkan siapapun yang mengetuknya untuk masuk, ia juga menunggu April bukan, palingan April.
"Kak!" Jelas April antusias saat membuka pintu, ia mengenakan pakaian kantornya. Dengan cepat ia segera berlari ke arah Jovana dan memeluknya erat.
"April" Ucap Jovana tak kalah antusiasnya meleluk erat April, menyerahkan dirinya kepada April, rasanya ketika ia memeluk april rasa lelahnya hilang begitu saja. Kenyal imut dan menggemaskan, andai ia bisa memeluk April setiap hari seperti ini.
"Maafkan aku kak"
"Maaf buat apa?" Tanya Jovana bingung.
"Untuk yang kemarin, aku tak menyangkanya saja, harusnya aku menghubungi ambulans" Jelas April, ia merasa sangat bersalah.
"Tak apa April" Jelas Jovana hangat memeluk April yang gemas-gemas kenyal dan lembut. Jovana lalu mengajak April duduk disofa sambil menghidangkan berbagai macam makanan serta minuman, berbagai macam makanan hingga minuman tersedia di sini, ya bagian dari fasilitas.
"Kak"
"Ya?"
"Ini gak salah pengamanan ruangan mu super sekali ya, bayar berapa perbulannya?"
"Super?"
"Kakak gak ada keluar?"
"Gak adalah April, aku kan sakit" Komentarnya, selagi pula untuk apa ia keluar dari kamar ini, toh di luar mau ngapain juga, mengambil rokoknya di meja, ia lalu menyalakannya.
"Oh iya juga ya, di luar ruangan mu ada beberapa polisi berjaga-jaga" Komentar April.
"Oh demi api abadi, ini pasti kerjaan Jean" Jelas Jovana menggaruk-garuk kepalanya.
"Oh Jean, Jean taggart dia pacarmu yang kemarin bukan, aku melihat namanya di kontak hp mu?" Tanya April sambil memakan cemilan.
"Dia…." Gumam Jovana terhenti sambil menghisap rokoknya. "Bukan pacarku" Tambah Jovana lagi menghembuskan asap rokoknya.
"Hah, dia bukan pacarmu, bohong ah" Komentar April.
"Dia...." Gumamnya lagi mencoba berpikir, selama ini ia tidak pernah terlalu memikirkan apa hubungan mereka berdua, tapi, ya tapi setelah ia pikir. Mereka memang bukan apa-apa, mungkin hanya teman, tapi dia tau betul Jean masih tidak menganggapnya. "Aku hanya, temannya kurasa?" Jelas Jovana dengan raut wajah sedih.
"Jadi kalian bukan pacar atau pasangan gitu"
"Iya April kami hanya teman"
"Lalu kenapa namamu juga Jovana Taggart?"
"Sejak kapan namaku Jovana Taggart!?" Tanya Jovana berbalik kaget. Apri lalu berdiri menuju ranjang Jovana mengambil papan namanya dan melepaskannya, memperlihatkan papan nama Jovana. "Jovana Taggart!" Ucap Jovana terkejut membaca papan namanya.
"Hayo, apa kau cuma teman!" Bentak April songong, seolah ia seorang detektif yang telah memecahkan kasus besar.
"Oh april you sweet summer child….." Gumam Jovana makin puyeng, ia harus menjelaskan apa sama gadis ini, bagi April perkara hubungan ini bukan masalah ribet, antara pacaran atau tidak pacaran, mudah bukan.
"Ayolah buka dong!" Ucap April ngebet, seolah hendak membuka kasus terhebat abad ini.
"Ini rumit April, aku tak tau apa hubungan ku dengan dirinya"
"Jadi kalau begitu kalian apa?"
"Demi Api abadi April, aku tidak tau" Jelas Jovana makin puyeng.
"Ayolah, tinggal bilang pacar atau bukan!"
"Bukan" Jelas Jovana yakin.
"Jadi kenapa namamu sama dengan namanya?"
"Dia menggantinya kurasa?"
"Why?"
"Kau harus tanyakan langsung kepadanya" Jelas Jovana.
"Oh no no no no, aku tak mau mendekati dia" Jelas April menolak mentah-mentah.
"apa yang salah dengan Jean?" Tanya Jovana?
"Yang salah, aku tau masalah besar kalau aku melihatnya, dia mengerikan, aku tak tau bagaimana kau bisa tahan dengan dirinya"
"Sejujurnya aku tidak tahan" Jelas Jovana jujur, ia mematikan rokoknya dan kembali menyalakannya.
"Cara dia melihatmu itu mengerikan, sejujurnya aku khawatir dengan dirimu saat kau pulang kemarin bersamanya, wajahmu benar-benar pucat"
"Oh itu….." Ucap Jovana kembali teringat mimpi buruknya, mengingat itu membuat kepalanya mulai terasa sakit, wajahnya jadi sedikit memucat.
"Kan wajah itu!" Tunjuk April kewajahku.
"Oh...." Jovana makin bingung harus mengelak seperti apa.
"Kau di sekap Jean ya!" Jelas April mulai memucat, ia berusaha menyambungkan garis-garis untuk menyimpulkan sebuah kesimpulan yang tidak jelas. Baginya Jovana saat ini seperti sendang di sekap oleh Jean, dan para polisi itu bawahan yang menyekap Jovana.
"Demi api abadi April, aku tidak sedang di sekap, hubungan ku dengannya rumit, demi Api abadi aku bersumpah, aku tidak di sekap Jean" Jelas Jovana mengomel.
"Lalu apa yang terjadi dengan kalian?"
"kau hendak membuka kotak pandora dengan pertanyaan seperti itu" Jelas Jovana tertawa kecil.
"Oh ayolah, aku benar-benar ingin mengetahuinya, setidaknya ceritakan perihal kemarin"
"Kau senang sekali ya mencari tau hubungan orang lain, oke, tapi tidak sekarang kau harus kerja bukan" Jelas Jovana tersenyum
"Iya sih, aku hanya di beri waktu dua jam" Jelasnya mengomel melihat ke arah jam tangannya.
"Yasudah pergi kerja saja dulu, itu lebih penting, nanti kita bisa mengobrol setelah aku keluar dari rumah sakit"
"Ya itu dia, kuharap aku tak perlu menemuimu di rumah sakit lagi, Aku hendak masuk saja di tanyai macam-macam, mulai alamat rumahku, tempat kerjaku sampai-sampai aku siapamu kak, gila banget mereka, untung mereka tidak menanyakan apa ukuran bra ku!" Komentar April berdiri dari sofa, Akhirnya ia pergi setelah Jovana antar keluar dari ruangan.
Tanpa Jean waktu terasa berlalu begitu cepat, ia mencoba mengisi kekosongan hatinya, namun ia tak bisa, waktu terus berlalu, berlalu, dan berlalu tanpa Jean, ketika malam datang ia memilih untuk tidur saja, dari pada menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Mengenakan pakaian tidurnya ia mulai bersiap untuk tidur, setelah berbincang dengan dokter dan meminum obatnya ia segera beristirahat.
Ruangan ini begitu gelap, Jovana sengaja mematikan lampunya, karena ia tak terbiasa tidur dengan lampu menyala. Namun di sisi lain, pemandangan kota melalui jendela ini begitu indahnya. Ia bisa melihat pantai serta laut biru.
Walaupun gelap cahaya dari jendela sudah cukup, cahaya itu menyinari sosok yang mulai masuk kedalam ruangan ini, gadis ini mulai tersadar dengan kehadiran seorang, ia adalah seorang gadis yang peka, perlahan ia mulai membuka matanya.
"Selamat malam" Jelas Jean melepaskan jaket tebalnya ketika menyadari Jovana terbangun.
"Jean!" Ucap Jovana antusias, kebahagiaan terpancar dari matanya
"Kau bisa melanjutkan tidurmu kalau kau mau" Jelas Jean meletakan pistolnya di meja.
"Kau baru datang?" Tanya Jovana terduduk di ranjang sambil merenggangkan tangannya.
"Bisa di bilang begitu" jelas Jean membuka gorden memperlihatkan kilapan cahaya malam polis Atlantis.
"Sudah datang dari tadi?"
"Iya, aku tadi menemui dokter mu dahulu, katanya kamu sudah bisa pulang dua atau tiga hari lagi ya" Jelas Jean terduduk sejenak di sofa bersandar.
"Ya, dia juga mengatakan hal yang sama kepadaku" Jelas Jovana memandang Jean tersenyum senang, rasanya hatinya begitu gembira bisa bertemu dengan Jean. "Engkau kemana saja beberapa hari ini?" Tanya Jovana.
"Kau ingin tau ya kenapa aku tidak kesini" Jelas Jean datar.
"Ya?"
"Aku bekerja, akhir-akhir ini aku semakin sibuk" Jelasnya sambil mengeluarkan sebuah patung kecil dari kantungnya, ia meletakan patung tersebut di meja. Mars dewa perang orang romawi.
"Kau hendak berdoa?"
"Ya kalau tidak keberatan" jelas Jean mempersiapkan belatinya, Jean lalu menyalakan beberapa buah lilin di sekitarnya.
"Silahkan" Jelas Jovana tak hendak menahan Jean.
Jean mulai berdoa dalam bahasa latin, ia mulai menyalakan lilin dengan ritualistik, mengeluarkan belatinya dari sarungnya, Jean menyayat jempolnya, memandikan Mars dengan darahnya. Setelah itu ia menutupi lukanya dengan perban yang sudah ia siapkan.
"Kau mempersembahkan darah ya?" Komentar Jovana.
"Iya"
"Kupikir kau hanya menjadi pagan karna tuntutan pekerjaan?"
"Awalnya" Begitu senyum Jean tipis sambil menyalakan rokoknya dan kembali duduk di sofa.
"Awalnya?"
"Aku seorang polisi Jovana, dewa yang ku sembah adalah dewa perang, ku rasa kau akan memahami korelasinya" Jelas Jean.
"Soal tadi" Ucap Jovana lagi mengganti topik.
"Soal apa?"
"pekerjaan mu?"
"Apa yang ingin kau tau?"
"Tidak, aku hanya ingin kau tau, tumben saja kau sesibuk ini?"
"Kau tau mayor Damien?" Tanya Jean sambil meneguk pilnya tanpa air.
"Aku tau, kenapa memangnya dengan dia?"
"Dia ingin mencurangi Cohort ku, dia ingin mempermainkan kontrak, ia ingin polisiku bekerja tanpa di bayar" Jelas Jean.
"Kukira itu illegal" Jelas Jovana.
"ini sudah biasa, sudah bagian dari pekerjaanku, dari awal aku sudah tau akan begini, sudahlah tak usah di bahas" Jelas Jean. "Kau sudah makan?" Tanya Jean lagi.
"Sudah kenapa memangnya?" Tanya Jovana.
"Aku membeli sandwich, kau ingin?" Tanya Jean.
"Boleh" Balas Jovana antusias, kapan lagi ia bisa makan bersama Jean, dan ini pertama kalinya Jean membelikan dirinya makanan. Jean membawa sekotak sandiwch dan meletakkannya di atas ranjang Jovana, Jean lalu duduk disebelahnya.
"Kau ingin daging babi panggang atau sapi panggang?" Tanya Jean membuka bungkusnya memperlihatkan dua buah sandiwich, aromanya begitu menggugah selera.
"Kau mau yang mana?"
"Aku tak masalah yang manapun" Jelas Jean.
"Babi panggang kalau begitu" Jelas Jovana sudah terliur melihat sandiwchnya.
"Pilihan bagus" Jelas Jean datar memberikan Jovana sandiwichnya, tanpa tunggu ia langsung melahapnya. Merasakan saus serta potongan daging bercampur acar membuat Jovana merasakan flavor bomb yang begitu bombastis, terpancang kebahagiaan dari matanya. Jean hanya terdiam menatap Jovana, hati kecil Jean tersenyum tipis menatap Jovana.
"Kau menyukainya?" Komentar Jean lagi.
"Rasanya begitu enak, makanan macam ini pasti lama sekali menunggunya!" Jelas Jovana antusias melahapnya lagi.
"Tidak juga" Jelas Jean memotong sandwichnya menjadi dua, menaruh tisu di pangkuannya supaya serpihannya tidak mengenai bajunya, barulah ia menyantap sandwichnya.
"Kau membayar mahal?"
"Tidak juga" Jelas Jean sambil menggunyah. "Aku hanya langganannya saja"
"Kau sudah sering makan ini ya?"
"Dulu, saat aku baru tiba di kota ini, makanan yang pertama ku makan adalah Sandwich ini, dulu sekali tempatnya masih sangat sepi, padahal makanannya enak" Jelas Jean teringat masa lalunya.
"Kenapa bisa sepi"
"Karena dahulu distriknya masih di kuasai oleh anggota geng dan mafia"
"Lalu apa yang terjadi?"
"saat aku bekerja di Legion, waktu itu pangkatku hanya seorang Contubernium, yang ku bantu adalah kedai sandwich itu, dia orang yang ramah dan baik, mungkin karena itu aku membantunya" Jelas Jean. "Untungnya Centurion ku saat itu, mengambil kontrak untuk mengamankan distrik itu"
Sambil mendengarkan cerita itu Jovana tak sadar bahwa mulutnya celemotan macam bocah tk. Tak tahan melihatnya Jean mengelap pipi Jovana dengan tisu. Jovana hanya bisa tersenyum tersipu-sipu malu di manjakan seperti ini. Tidak biasanya Jean memperlakukan dirinya seperti ini.
"Kenapa kau pindah kesini?" Tanya Jovana penasaran, ia lalu mendekatkan duduknya di sebelah Jean, memperpendek jarak di antara mereka.
"Uang, setelah ku sadari, bekerja enam bulan disini gajihku lebih besar dari pada bekerja selama dua tahun di london" Jelas Jean.
"kupikir ada alasan lain"
"Alasan terbaik apa selain uang?"
"Cinta, ideologi, kepercayaan?"
"Kau terlalu banyak berkhayal" Jelas Jean tertawa kecil.
"Tidak, aku hanya tak memahaminya saja kenapa kalian begitu tergila-gila dengan uang"
"Orang-orang atlantis begitu tergila-gila akan uang, mereka rela bekerja siang malam hanya untuk uang, aku punya bawahan, ia seorang Contubernium, semacam polisi jalanan, kerjaanya hanya patroli. Dia pemegang rekor tertinggi di cohortku, dia tidak pernah berhenti bekerja selama 5 tahun ini" Jelas Jean sambil meminum bir dingin lalu melanjutkan makan.
"5 tahun, tanpa henti bekerja maksudnya?"
"Ya itulah maksudnya, dia menggunakan dopping, dia tak pernah tidur, tak pernah istirahat kecuali waktunya, ia hanya bekerja, bekerja dan bekerja, dengan bantuan obat kau tak perlu tidur, ia hanya ingin uang, entah kemana uangnya pergi aku tak tau, yang pasti dia selalu mencari uang dimanapun, terkadang dia juga mengambil duit sampingan, ia terlihat sederhana, aku tak tau uangnya lari kemana" Jelas Jean.
"Itu, itu sangat mengerikan" Jelas Jovana.
"Mungkin bisa kau bilang mengerikan, tapi dia tidak sendiri, banyak orang hidup seperti itu" Komentar Jean menghabiskan sandiwchnya. "Mereka selalu ingin menjadi John Galt, namun kenyataanya dunia tidak seperti ini"
"Uang dan uang, seperti sudah agama saja"
"Memang, disini apapun ras mu, apapun agamamu, kami menyembah tuhan yang sama yaitu uang" Jelas Jean meletakan kotak sandiwichnya di meja, lalu ia kembali duduk di sebelah Jovana. Jovana begitu asik memakan sandwichnya hingga habis juga, ia merasa sangat-sangat kenyang dan puas bisa makan bersama Jean.
Rasa kebahagiaanya begitu memuncak, akhirnya yang ia tunggu-tunggu bisa tercapai, cukup bisa makan dengan Jean bisa membuat ia bahagia.
"Makanmu benar-benar berantakan ya kadang" Jelas Jean mengelap mulut Jovana.
"habisnya sangat enak!" Jelas Jovana senang menyentuh tangan dingin Jean, mata sapphirenya memandang Jean, tatapan merah Jean yang penuh kekosongan terasa kembali hidup ketika ia memandang Jovana.
"Jean" Ucap Jovana pelan, ia menarik lengan Jean, mengundang Jean untuk tinggal disini lebih lama. Mata Sapphire lembut ini menggoda iman Jean menggoyahkan keingingannya untuk segera pergi.
Goyah, Jovana mampu menarik Jean lebih dekat, lebih dalam kedalam ranjangnya. "Aku merindukan mu, apakah kau ada pulang kerumah?" Tanya Jovana menarik baju jean dengan kedua tangannya, mencium aroma tubuhnya yang maskulin, aroma keringat Jean bercampur cologne, itu tercium begitu mencolok dan dewasa.
"Aku tak sempat pulang kerumah" Jelas Jean memeluk Jovana, mencium kepalanya.
"Kenapa" Pandang Jovana.
"Aku di panggil mayor, beberapa kali ke kantor pemerintahan" Jelas Jean menciumi leher Jovana.
"Harusnya kau menyempatkan untuk pulang dan tidur di rumah, beristirahatlah"
"kurasa ada alasan lain aku tak pulang" Jelas Jean menarik Jovana, memeluknya erat tak ingin melepaskan cengkraman ini.
"Apa?" Ucap Jovana bertanya penuh harapan.
"Aku merindukan mu" Jelas Jean lemah.
"Aku juga, aku sangat merindukan mu Jean, aku tak mampu melepaskan dirimu" Jelas Jovana menyentuh, mengusap, mendambakan Jean, akhirnya Jean dalam jangkauannya, ini bukan yang ia tunggu-tunggu.
"Jovana" Panggilnya pada Jovana, menciumi lehernya, menyentuh rambutnya, hingga payudaranya, Jean tak mampu menahan dirinya terus menerus. Ia ingin mengkomsumsi Jovana, namun. Ia tak bisa, Jovana masih sakit, ia tak ingin menyiksa Jovana, ia tak kuat lagi menyakiti gadis ini.
"Cium aku" Jelas Jovana mengusap rambut Jean.
"Aku tak tau, apakah engkau memamfaatkan diriku saat ini" Ucapnya mengusap pipi Jovana "Namun aku tak mampu menahan diriku untuk tidak mencium dirimu" Ucap Jean mengecup bibir Jovana. Hangat dan lembut, betapa nikmatnya mencium Jovana. Kepala Jean terasa berkunang-kunang tak mengaruan ketika ia bersama Jovana.
"Aku mencintai dirimu, aku sayang dengan mu Jean" Jelas Jovana saat melepaskan ciumannya dari bibir Jean.
"aku tau" Jelas Jean merebahkan kepalanya untuk sesaat di pundak Jovana, terdiam Jovana berbalik memeluk Jean, seolah waktu terhenti Jovana menikmati setiap detik bersama Jean, rasanya ia ingin hidup abadi, bisa bersama dengan Jean selama-lamanya. Tidak setiap hari ia bisa bercengkrama bersama Jean. Ia tak tau apa yang terjadi dengan Jean, namun ia merasakan sebuah perubahan kecil dari Jean, ia tak mengerti dan tak memahaminya, namun ia merasa ini adalah perubahan yang bagus.
"Jovana aku harus pergi" Jelas Jean mengecup pipinya.
"Kemana, tak bisakah kau tinggal disini lebih lama?" Ucap Jovana memohon.
"Tak bisa, Mayor Damien benar-benar ingin bertemu denganku" Jelas Jean turun dari ranjang.
"Yah…." Guman Jovana kecewa, baru saja ia bisa menyentuh Jean, ia kembali pergi.
Kembali mengenakan jaketnya Jean juga mengambil pistolnya, ia mengecek lalu mengisi magazine pistolnya. Meletakan pistolnya kembali di sarungnya, Jean menatap Jovana yang memandangnya murung.
Berjalan menuju pintu Jovana mengikutinya, "Setidaknya aku bisa mengantarmu pergi" Ucap Jovana tersenyum kepada Jean yang berdiri di depan pintu, mendengar itu Jean terhenti. Ini pertama kalinya seseorang hendak mengantarnya, sebelumnya ia selalu sendiri bukan.
Namun saat ini, ia merasakan, entah apa yang ia rasakan, mungkin senang mungkin bingung ia tak tau, yang pasti ia tersenyum tipis saat ini.
"Selamat malam Jovana" Ucap Jean memeluk Jovana erat.
"Hati-hatilah saat bekerja Jean" Ucap Jovana menciumi pipi Jean, namun Jean membalasnya dengan mencium bibir Jovana, hatinya mulai tak bisa melepaskan Jovana, seolah kedua hati ini mulai terkunci satu sama lainnya, keduanya merasakan kekosongan besar ketika terpisah. Ketika Jean melepaskan ciumannya, ia menatap mata Sapphiere Jovana yang indah, murung dan sedih ia melepaskan Jean.
"aku pergi dulu" Ucap datar, namun hatinya terasa begitu berat ketika harus melepaskan Jovana, kenapa baru sekarang ia merasakan perasaan ini, apa yang terjadi dengan dirinya, apa kah dewa sudah mengutuk dirinya, hingga ia jatuh cinta dengan pembunuh pacarnya sendiri, Jean terdiam setelah meninggalkan Jovana. Kehidupan ini tidak pernah memberikan jawaban pasti akan sebuah masalah.