Selepas makan malam, ketiga orang itu berbincang-bincang di ruang keluarga.
"Livia ke dapur dulu ya, buatin minum. Tunggu sebentar oke," Livia langsung melenggang pergi menuju ke dapur.
Kini hanya tinggal Kakek Liam dan Aidan yang berada di sana.
"Kakek bangga sama kamu, Aidan. Keinginanmu dulu telah terwujud sekarang," kata Kakek Liam tersenyum pada cucunya.
Kakek Liam sangat tahu seberapa besar keinginan cucunya untuk memiliki Livia. Setiap harinya bercerita tentang gadis itu, bahkan sering kali mendapati cucu ya tersenyum tiba-tiba di saat sendiri.
Namun, nampak raut wajah tak begitu senang dari Aidan, "Tapi, entah kenapa aku merasa bersalah Kek. Aku telah menghancurkan masa depan dan kebebasannya. Seharusnya ini tidak terjadi kan?" Tanya Aidan pada Kakek Liam.
"Hei, kamu ini tidak ada syukurnya sama sekali. Kenapa menyesal? Seharusnya sekarang kamu bahagia telah memilikinya dan .... "
"Kakek, maksud aku ...."
"Nanti dulu! Hais, sejak kapan kamu suka memotong pembicaraan orang tua, hah? Diam dan dengarkan kakek mu ini bicara!" Kakek Liam menatap cucunya dengan tatapan peringatan yang dibuat tajam.
"Maafkan aku, Kek."
Kakek Liam diam sejenak menatap lantai dan wajah Aidan secara bergantian, "pertama Kakek kecewa padamu kerena tak mengundang kakek di acara pernikahan kalian. Kedua, kakek sudah dengar dari Yoan, kalau orang tua Livia tak merestui pernikahan kalian dan sangat membencimu."
"Jadi benar selama ini Kakek mengirim Yoan untuk memata-mataiku, begitu?"
"Hei, anak muda! Aku sudah memperingati mu tadi untuk tidak memotong ucapanku! Dasar, kelakuan anak muda sekarang!" Aidan kembali diam dan memilih mendengarkan, meski dia ingin protes pada sang kakek yang masih bulum melepaskannya hidup mandiri sepenuhnya.
"Ya, kamu benar. Aku mengirim Yoan untuk terus memantau keadaanmu sejak kamu memilih untuk meninggalkan kakek. Itu kakek lakukan semata-mata karena belum membiarkanmu hidup tanpa pengawasan. Yoan juga bertindak sebagai pengawal pribadimu, jika sesuatu terjadi dia akan melindungimu. Jadi ini alasan kakek yang harus kamu terima, Aidan."
"Hah, itu sangat berlebihan Kek. Aku sudah dewasa bukan anak kecil lagi. Tolonglah Kek, biarkan aku mandiri. Aku yakin bisa melindungi diriku sendiri." Mohon Aidan pada Kakek Liam yang sangat menghawatirkannya. Dia tak menyalahkannya, namun cara itu telah salah di mata laki-laki itu.
"Sombong sekali anak satu ini. Baiklah, Yoan tidak akan mengawasimu lagi. Tapi, dia akan menjadi pengawal pribadi menantu kesayanganku, bagaimana?" Mengulurkan tangan pada cucunya, "Ah, kakek tidak perlu persetujuanmu. Lagian Livia adalah menantuku." Katanya dengan menarik kembali tangannya.
"Itu artinya aku tidak ada gunanya menjadi suami Livia. Orang yang melindunginya saja bukan aku melainkan Yoan. Kakek ini apa-apaan, sih?"
"No no no, kakek tetap tidak berubah pikiran. Bedanya kamu dan Yoan apa? Kamu tetap suaminya yang melindungi, memeluk, dan selalu menemani Livia dari jarak dekat, Sementara Yoan melindungi dari jauh. Bedanya sangat-sangat jelas bukan? Intinya keputusan kakek tak bisa di ganggu gugat, titik tanpa koma!" Putus Kakek Liam dengan tegas.
Dan artinya, Aidan tak bisa membantah. Jika kakenya telah berkata demikian.
"Oh, ya. Soal orang tua Livia itu, kakek punya rencana. Kakek sudah tau cara apa yang bisa membuat mereka menyukaimu, Cucuku."
Aidan menjadi terpancing dengan rasa penasarannya dia bertanya, "Cara apa itu, Kek?"
"Kelola perusahaan Kakek, maka mereka akan menyukaimu. Mereka hanya memerlukan statusmu yang seorang dosen itu bisa menjadi pengusaha kaya raya. Hanya itu caranya, Aidan. Percaya sama kakek," katanya mengedipkan sebelah mata.
Raut wajah Aidan yang semula penasaran kini betubah menjadi datar, "Tidak! Terima kasih tawarannya, Kek. Tapi aku rasa otot dan otak kakek masih sangat bugar. Atau tidak, serahkan saja pada cucu kakek yang lain?"
"Hanya kamu cucuku Aidan. Yah, mungkin saat ini aku masih bisa mengolahnya, tapi siapa yang tau nanti. Kakek rasa semua penyakit perlahan menyerangku dan tak lama lagi aku akan pergi."
"Dan yah, sekarang Kakek sudah mulai bercanda. Candaan yang sangat tidak lucu. Mari hentikan pembicaraan ini," Aidan meletakkan jati telunjuknya di bibirnya agar mereka berdua mengakhiri percakapan itu di karenakan sosok Livia yang datang dengan membawa nampan.
"Ini teh jahe hangat untuk Kakek," Meletakkan cangkir ke hadapan kakek Liam lalu selanjutnya, "kopi dengan gula sedikit untuk, Mas. Silahkan di minum." Meletakkan cangkir kopi d hadapan Aidan.
Livia ikut diam kala kedua laki-laki itu tak ada yang meresponnya. Kepala Livia diam namun, matanya bergerak menatap mereka secara bergantian.
"A- apa ada yang salah? Kenapa kakek dan Mas saling tatap begitu? Kalian sedang marahan ya?" Tanya Livia.
"Oh, nggak ada kok, Vi. Mana mungkin aku marah sama kakek, ya kan kek?" Aidan mengkode dengan kedipan mata pada kakeknya.
"Haha iya, ada-ada aja kamu, Cuk. Kakek coba teh jahe buatan kamu ya," menyeruput dengan pelan, "Wah, rasanya selalu sama seperti biasa. Menantu idaman," puji Kakek Liam memberi jempol.
Livia kembali tersenyum karenanya, begitupun dengan Aidan.
"Kalian berdua bermalamlah di sini. Temani kakek yang sudah tua ini," kata kakek Liam membujuk cucu dan menantunya.
"Maaf, kek. Mungkin lain kali. Aku kerja sementara Livia harus kuliah. Kami akan usahakan untuk tinggal beberapa hari di sini." Kata Aidan.
Mereka telah berpamitan pulang sebelumnya.
"Aku gak bisa bicara kek. Soalnya semua keputusan ada sama, Mas Aidan. Maaf ya kek," Livia menunduk sedih.
"Hahaha ... Itu namanya istri yang penurut dan mendengar kata suami, Lebih tepatnya istri Sholeha. Ya sudah, kalian pulanglah ini sudah malam dan kalian harus istrahat. Hati-hati di jalan ya," memeluk Livia lalu menepuk bahu cucunya, "Jaga menantu kakek baik-baik, Aidan." Katanya dengan senyum.
"Pasti kek, kami pamit pulang ya. Assalamualaikum," menyalami kakeknya lalu di susul Livia.
Mereka berdua pun melangkah pergi dari rumah tersebut dan masuk ke mobil. Mesin menyala dan kendaran pergi dari halaman rumah itu.
"Hidup begitu berarti, Aidan. Jadi jangan menyesal untuk hal yang sudah terjadi, ingat itu."
***
Kendaraan terparkir di dalam bagasi mobil. Aidan baru saja sadar jika sejak tadi dia berbicara sendiri karena ternyata Livia telah tertidur. Laki-laki itu tertawa dan keluar, mengitari mobil lalu membuka pintu Livia. Dia mengangkat tubuh mungil itu di gendongannya.
"Pak, Jon. Tolong ambilkan tas di dalam mobil ya?" Pintanya pada penjaga gerbang rumahnya.
"Baik, Den."
Dia membawa masuk istrinya ke rumah dan langsung menuju ke kamar. Denga. Sangat perlahan membaringkan tubuh Livia ke tempat tidur agar tidurnya tak terganggu.
"Selamat tidur, Ratuku. Jangan lupa mimpi yang indah, oke." Memberikan sebuah elusan singkat di pipi chubby itu.
-Bersambung....