Chereads / Suami impian / Chapter 6 - Semua Ada Waktunya

Chapter 6 - Semua Ada Waktunya

Hari ini Aidan telah bersiap-siap untuk ke kampus. Seperti yang diketahui, Aidan adalah seorang dosen Ekonomi disalah satu universitas ternama di kota itu. Tak seperti pagi beberapa hari sebelumnya, ketika Aidan masih berstatus seorang bujangan. Hari ini dia tak sendiri lagi mengurusi segala keperluannya.

Ada sosok gadis- ah ralat. Bidadari cantik yang terlihat sedang di dapan matanya sedang memasangkan dasi ke kerah kemeja Aidan.

"Sejak kapan kamu tau mengikat dasi, Vi?"

Mendengar pertanyaan dari Aidan, Livia mendelik kesal.

"Sejak tadi, saat suamiku mengajariku 5 kali eh salah, 7 kali deh. Akhirnya aku bisa, kan?" Livia menyangga dagunya di tangan memandangi hasil ikatan dasi yang baru dia selesaikan, "Hm, nggak terlalu buruk, ya kan?"

Aidan tersenyum kemudian mengangguk, "Lumayanlah untuk seorang pemula. Aku kasih nilai 2/10."

"Hah? Yak, tadi kamu bilang lumayan? Kok nilainya ...."

"Sebanding dengan kamu buatanmu, Sayang. Belajar lagi yah, semangat!"

Usai mengusap wajah Livia lembut, Aidan melangkah ke sebuah lemari dan bercermin di sana.

"Buatanku sangat buruk, Aidan. Lebih baik buka dan pasanglah sendiri," Ucap Livia dengan suara rendah.

Aidan menghela nafas dan menarik Livia ke dalam pelukannya. Istrinya itu terlihat murung,"Biarkan seperti inj, Vi. Aku akan ke kampus dengan buatan dasi pertama istriku. Biar semua orang tau aku punya istri yang berbakat."

"Berbakat apa? Kamu bisa di tertawai mahasiswa di sana dengan penampilan ini, Aidan. lagipula biasanya kamu selalu berpenampilan rapi, jangan hanya karena dasi itu kerapian mu jadi berkurang. Kamu perbaiki, oke?"

"Tidak akan. Terserah mereka mau apa, Livia. Aku malah bangga padamu."

Terdengar helaan napas kasar dari Livia pertanda dia kesal karena Aidan tak mengindahkan keinginannya. Dengan wajah cemberutnya Livia melepas pelukan dan keluar dari kamar.

"Dasar suami gak mau dibilangin!" Gerutunya sebelum pintu ditutup.

Aidan sempat terkekeh mendengarnya. Istrinya sangat menggemaskan dan bertambah imut ketika dia sedang menggerutu atau kesal. Sekali lagi Aidan mematut penampilannya yang seperti biasanya. Hanya mungkin, kerapiannya berkurang karena dasinya. Yah, itu memang bagian yang di sengajakan. Aidan akan menghargai apapun yang di lakukan Livia untuknya.

Livia sedang ada di ruang makan dan menyiapkan sarapan pagi yang telah dia masak ke atas meja. Livia tersenyum menatap Aidan yang berjalan ke arahnya.

"Ayo duduk, dan sarapan sebelum berangkat," kata Livia pada Aidan.

Aidan pun duduk dan menatap takjub pada masakan istrinya.

"Kamu yang masak nasi goreng dan telur ceplok ini? Wah, kamu memang istri idaman, Vi," puji Aidan membuat Livia malu.

"Jangan memujiku sebelum kamu mencoba rasanya. Bisa saja rasanya tak seenak penampilan, kan?"

"Baiklah, aku akan makan sekarang."

Livia menatap wajah Aidan yang telah menyendokan satu suap nasi goreng ke mulut. Senantiasa Livia mengamati perubahan yang akan timbul dari mimik wajah Aidan.

"Bagaimana rasanya? Asin, manis, pedas?" Tanya Livia cepat. Denahn intens tak melepaskan pandangannya dari wajah Aidan.

"Hm ... Enak banget, Vi," puji Aidan mengangkat kedua jempolnya ke hadapan Livia.

"Serius? Masa sih, aku coba dulu kayaknya," Livia telah menyendok nasi di piringnya dan ketika dia hendak memasukkan ke dalam mulut, tak terjadi karena Aidan langsung merebutnya.

"Nggak boleh di makan, aku mau bungkus dua piring ini ke kampus," katanya membawa dua piring nasi goreng itu ke dalam dapur dengan cepat.

"Yak ... Lah, kok?" Livia mengejar ke dlaam dapur dan melihat sang suami memasukkan dua piring nasi goreng itu ke dalam tempat bekal yang agak besar, "kalau kamu bungkus semua, aku makannya apa?" Tanya Livia dengan poutan bibirnya.

"Aku pesankan delivery ya?"

"Nggak mau! Aku maunya itu ..." Jawab Livia cepat.

"Kalau gitu aku belikan dua bungkus bakso tempat biasa? Kamu pasti gak bisa nolak, kan?"

Aidan menarik turunkan dua alisnya menggoda Livia.

"Mau! Yaudah bakso dua bungkus ya, janji?"

Yah, gadis itu memang tak bisa menolak bakso. Menu jajanan kaki lima yang banyak dijumpai. Makanan sederhana favorit Livia juga tentunya.

"Janji, yaudah aku berangkat ya. Nanti aku ke sini lagi antar pesanan kamu."

Livia mengangguk dan mengikuti Aidan berjalan di belakangnya seperti anak kecil.

"Kamu ngapain ikutin aku? Udah masuk rumah," sedikit terkejut kala berbalik mendapati Livia mengekorinya hingga di teras rumah.

Bibir Livia mayun, "Kalau kamu lupa sekarang aku istrimu, Aidan ...."

"Iya, kamu memang istriku, Livia. Aku gak pernah lupa," jawab Aidan mengelus kepala Livia yang wajahnga bertambah kusut.

"Aku jelasin ya? Tugas seorang istri selain bersih-bersih rumah, memasak, temani suami dan masih banyak lagi. Dia juga harus mengantar suami saat mau kerja tau?" Menoel hidung Aidan dengan gemas, "Sekarang mana tangan kamu? Siniin cepat," langsung merebut tangan kanan Aidan lalu menyalaminya.

"Hati-hati di jalan suami, semangat kerjanya oke?"

Tingkah laku Livia saat ini mengundang senyuman tulus dari Aidan. Dia terenyuh melihat Livia ternyata tau tentang hal ini. Padahal gadis itu baru berusia 18 tahun.

"Eh?" Seketika Livia membeku ketika pipi kanannya kini di kecup oleh Aidan. Cukup singkat namun, Livia sangat di buat malu saat ini.

"Kamu juga ya, Istri. Hati-hati di rumah, kalau ada sesuatu telfon aku. Assalamualaikum ..." Kembali mengelus kepala itu lalu beranjak masuk ke mobilnya.

Sebuah klakson mobil dari Aidan masih tak mampu membuat Livia sadar dari keadaan patungnya. Hingga bunyi klakson kedua membuatnya sedikit tersentak.

"Cepat masuk ke rumah, Vi!" Titah Aidan.

"Iya, aku akan masuk," malambai seiring langkah kaki Livia yang mundur dan akhirnya masuk ke rumah.

Sekarang tak terlihat lagi suaminya, Livia menutup pintu rumah.

"Astaga ... Apa yang aku pikirkan!" Memukul-mukul pelan kepalanya karena kejadian tadi masih saja terulang di ingatannya, "Huh, aku rasa jantungku menggila di dalam sana. Untuk pertama Kalinya Aidan menciumku, bahkan selama pacaran pun tak pernah."

Menutup wajahnya yang sudah memerah tomat.

'Drrrt Drrrt'

Suara deringan ponsel dari dapur membuat Livia bergegas mengambilnya. Dia melihat nama sahabatnya tertera di sana.

"...."

"Yak! Kau membuatku kaget dengan teriakanmu itu, Kian!" Pekik Livia karena baru saja mengangkat telepon, suara teriakan Kian membuatnya tuli.

"...."

"Yayaya, aku maafkan. Kenapa kamu malah bertanya tentang itu? Yak, otakmu itu!" Kesal Livia kala Kian malah bertanya hal aneh.

"...."

"Ah, sudahlah. Kalau kamu tetap memaksaku aku akan mematikan telfon!"

"...."

"Hm, aku kayaknya belum bisa keluar rumah dan bertemu dengan kalian. Soalnya kamu tau sendirikan orang tuaku pasti ..." Yah, di luar sana masih belum aman. Livia takut bodyguard orangtuanya akan memaksa dirinya untuk pulang ke rumah. Dan di saat itu terjadi Livia takut tak akan bertemu dengan Aidan. Makanya dia tak berani pergi-pergi untuk saat ini.

"...."

"Terima kasih, kamu memang sahabatku yang pengertian. Oke, nanti aku kabari kapan bisanya ya?" Setelah Kian menjawab, Livia pun pamit untuk menutup telfon.

Saat ini Livia duduk di sofa dengan nafas yang selalu berhembus berat. Semua masih belum baik-baik saja. Entah sampai kapan akan seperti ini.

"Hah, cepat atau lambat semua akan indah pada waktunya. Yah, kamu benar Livia, bersabarlah sedikit."

-Bersambung....