Chereads / Suami impian / Chapter 7 - Kontrak Perjanjian

Chapter 7 - Kontrak Perjanjian

Waktu menunjukkan sore hari menjelang malam. Langit pun telah berawarna kuning kemerahan pertanda matahari akan terbenam. Namun, sosok laki-laki baru saja keluar dari ruang kerjanya. Dia tak lain adalah Aidan. Kini dia berjalan ke parkiran umum dan melihat masih ada beberapa kendaraan yang tersisa di sana. Aidan mengira jika yang paling terakhir keluar adalah dirinya, tapi ternyata masih ada yang lembur daripada dia. Jika mahasiswa itu terlalu nihil, pastinya mereka Dosen sama seperti Aidan.

Aidan menggelengkan kepala ketika dia teringat pesan Livia yang menyuruhnya cepat pulang karena ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan padanya. Aidan mengendarai mobilnya meninggalkan kampus.

Di perjalanan Aidan merasa aneh dengan mobilnya yang tak seperti biasanya. Dan benar saja, kendaraannya kini mogok di tempat yang belum terlalu jauh dari kampus.

'Kenapa, ya? Padahal mobil ini telah di bawah ke bengkel beberapa hari yang lalu.' Pikir Aidan aneh.

Diapun turun dari mobil untuk melihat masalah yang terjadi. Sekarang dia di sini memeriksa mesin depan untuk mencari tau sumbernya. Namun, seketika mulut dan hidung Aidan di bekap dengan sebuah sapu tangan. Aidan mencoba untuk memberontak namun, dia tak bisa bertahan karena saat ini tubuhnya lemas.

"Cepat angkat dan bawa ke mobil!"

Samar-samar Aidan mendengar suara itu dengan tubuhnya yang seperti melayang karena diangkat. Hingga akhirnya kesadaran lumpuh total.

"Huuft, Aidan kemana, kok jam segini belum pulang?" Gerutu Livia mondar mandir di depan pintu rumah menunggu kedatangan sang suami yang telah berjanji akan sampai rumah sebelum magrib. Tapi, sekarang jam telah menunjukkan pukul 9 malam namun, tak ada tanda-tanda Aidan pulang atau setidaknya memberi dirinya kabar.

Segala kemampuannya telah dikerahkan termaksud mencoba menghubungi ponsel Aidan, menelfon dan SMS berkali-kali. Tetap saja tak dibalas. Pukul 10 malam Livia berjalan menuju dapur dan memandangi kue ulangtahun yang dia telah pesan. Yah, hari ini adalah hari ulang tahun Aidan dan rencananya Livia akan memberi kejutan. Tapi wacana tak sesuau kenyataan, terpaksa -kue ulang tahun itu dia masukkan ke lemari pendingin agar tetap bertahan.

Livia menuju sofa dan berbaring di sana untuk tetap satu tujuan- menunggu Aidan pulang. Tapi, ternyata kantuk matanya mengalahkan dirinya sehingga Livia ditarik paksa ke dalam mimpinya. Dia tertidur pulas di sofa.

Menjelang pagi, tersentak bangun dari tidurnya karena bermimpi buruk tentang Aidan. Dia duduk dan lihat ke sana kemari kemudian memanggil-manggil nama suaminya namun, tak ada respon. Dia yakin Aidan tak pulang sejak semalam.

Dengan langkah cepat, Livia bersih-bersih dan menukar pakaiannya. Yah, dia akan mencari Aidan. Ini sudah pasti ada yang salah, Aidan sedang tak baik-baik saja.

"Halo, Vi?" Sapa dua gadis di sebrang sana lebih dulu. Saat ini Livia menghubungi lewat Vidio call yang terhubung pada dua sahabatnya, Kian dan Diana.

"Hai," balas Livia mencoba tersenyum namun, nampak sangat tidak alami karena di paksa.

"Ada apa? Kami ada masalah atau ... Terjadi sesuatu, ya?" Tebak Diana secara cepat. Orang yang paling peka terhadap tingkah laku dan eskpresi sudha pasti Diana orangnya.

"Hm, aku terbangun karena mimpi buruk tentang Aidan, " kata Livia menuduk.

"Oh, mimpi itu hanya bunga tidur, Livia. Yang penting sekarang kan kalian sedang berduaan, ehkm!" Goda Kian.

"Tapi, Aidan tidak pulang sejak semalam."

"Apa!!" Kian dan Diana sontak berteriak.

"Dia nggak kabari mau kemana gitu? Siapa tau dia ada pekerjaan ... Tambahan maybe?" Tanya Diana tak yakin juga dengan ucapannya. Memang ada ya tambahan pekerjaan dosen selain memberi materidan memberi nilai? Ada lagi?

"Nggak, aku udah coba hubungi Berkali-kali tak ada balasan. Aku sangat khawatir," Keluh Livia pada sahabatnya.

"Uh, kalau gitu kamu tunggu di rumah biar kami susul ke sana. Kami akan bantu kamu cari Aidan. Kamu tetap tenang ya?" Kata Kian pengertian.

"Iya, terima kasih."

Setalah itu panggilan video call pun terputus. Livia duduk di sofa dengan memijat pelipisnya, kepalanya tiba-tiba sakit terlalu banyak berpikir buruk.

Di tempat lain.

Byur!

Sebuah siraman air membuat mata laki-laki terbuka paksa. Tak butuh waktu lama dia mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Mengingat terakhir kali dia di bekap dan di bawa entah di mana tempat ini?

"Kalian orang suruhan Pa Bima, kan?" Tanya Aidan memastikan beberapa pria berbadan tegap itu adalah anak buah Bima- ayah Livia. Dia telah menduganya karena telah terpikir ini akan terjadi pada dirinya.

'Prok! Prok! Prok!'

Sebuah tepukan tangan terdengar nyaring dalam ruangan itu. Aidan menoleh ke arah pintu dan melihat sosok Bima sedang bertepuk tangan dengan senyuman evilnya.

"Kau cukup pintar ya, Pak Dosen? Kau juga pasti memiliki IQ tinggi? Tapi, kepintaran anda masih tak sebanding denganku, hahahah ...." Memuji dan menjatuhkannya di akhir. Itulah yang di lakukan Bima pada Aidan.

"Aku menjadi sedikit pintar karena guyuran air ini, Pa. Terima kasih sudah membangunkanku," balas Aidan tersenyum lalu melihat seluruh pakaiannya basah total. Aidan tak bisa bergerak karena dua tangannya terikat di kursi.

"Aku rasa cukup bercandanya!" Bima berjalan ke hadapan Aidan dan duduk di kursi tepat di depannya. Bima langsung membuang cukup kasar map biru yang dia pegang sejak tadi ke depan meja.

"Tanda tangani surat kontrak perjanjian ini!" Tekan Bima menatap Aidan tanjam dengan menunjuk map tersebut.

"Surat perjanjian apa, Pa?"

Brak!

Bima memukul meja di depannya denagn keras, "Sekali lagi kau memanggilku dengan sebutan itu, wajahmu itu akan hancur di tanganku," ucapnya memberi peringatan.

Aidan tersenyum tenang dan mengangguk paham, "Baiklah aku tidak akan mengucapkannya lagi. Tapi ... Bisakah anda bacakan surat perjanjian itu lebih dulu?" Aidan melihat perubahan wajah mertuanya yang sangat cepat. Pertanda amarah Bima akan meledak.

"Jangan salah paham dulu. Tanganku terikat, aku tak bisa membaca surat perjanjian itu. Sebenarnya anda tidak perlu mengikatku seperti ini, aku tidak akan kabur kemampuan ... Anda boleh percaya padaku."

Bima menatap intens pada Aidan untuk beberapa saat. Hingga dia mengkode salah satu bodyguardnya untuk membuka ikatan itu.

"Terima kasih," dengan sopannya pada sang mertua Aidan menunduk.

"Tidak usah banyak bicara cepat baca surat itu lalu tanda tangani secepatnya!" Tekan Bima.

Aidan mengambil surat itu lalu membacanya dengan tenang. Hingga beberapa saat kemudian dia telah selesai.

"Maaf, aku menolak 2 dari 5 isi perjanjian ini," ucap Aidan menaruh kembali map itu di meja.

"Aku tak butuh sanggahan. Kau hanya bisa membacanya lalu tanda tangani. Tak ada hakmu untuk menolak isi kontrak perjanjian ini!" Kembali Bima memukul meja dengan mata yang memerah.

"Syarat terciptanya dua kedamaian adakah semua pihak merasa di untungkan. Sepertinya anda lebih paham dengan hal ini, karena anda sendiri memiliki perusahaan dan jalinan bisnis yang luas. Maaf, bukan maksud aku menolak semuanya. Aku hanya ingin dua perjanjian itu di ubah."

Bima sedang menahan amatah dalam kepalan tangannya, "Cepat katakan maumu!"

Dalam hati Aidan tersenyum lega karena Bima masih berperasaan. Kontak perjanjian itu mengenai pernikahannya dengan Livia di mana Aidan sebagai pihak kedua dan Livia sebagai pihak pertama.

Isinya seperti ini :

Kontak perjanjian pernikahan!

1. 1 tahun waktu pernikahan pihak pertama dan kedua. Setelah habis mereka harus berpisah tanpa ada hubungan lagi di masa mendatang.

2. Pihak kedua harus memberikan warisan sebesar 50% dari harta yang dia miliki setelah berpisah nanti. Namun, tidak untuk sebaliknya.

3. Tak ada larangan dari pihak kedua jika sewaktu-waktu, pihak pertama akan menikah maka perceraian harus di percepat!

4. Pihak kedua tak berhak mengatur keinginan orangtua pihak pertama untuk mengatur hidup anaknya. Dalam artian hak pihak pertama masih pada [Orang Tuanya]

5. Pihak pertama tak boleh hamil dari anak pihak kedua.

"Kau terlalu banyak membuang waktuku! Cepat katakan apa yang tidak kau terima itu!" Kata Bima lagi karena Aidan langsung terdiam sejenak.

Aidan menghembus napas pelan, lalu menjawab, "Aku tak menerima isi nomor 1 dan 4."

-Bersambung....