Chereads / Suami impian / Chapter 9 - Perasaan Cemas

Chapter 9 - Perasaan Cemas

Beberapa Minggu berlalu dengan normal. Livia pun telah berani untuk keluar rumah, tentu atas izin dari suami. Hari ini dia berniat untuk bertemu dengan kedua sahabatnya. Sebelumnya mereka telah mengatur janji akan bertemu di tempat biasanya.

Aidan telah berangkat ke kantornya setengah jam yang lalu. Waktu menunjukkan pukul setengah 9, Livia memutuskan untuk pergi bersiap-siap karena mereka akan berkumpul pukul 10 pagi.

Taksi yang ditumpangi Livia akhinya sampai di tempat tujuan. Gadis itu turun dan memasuki sebuah kedai yang merupakan tempat favorit dia dan kedua sahabatnya.

"Hei, Vi! Kami di sini!"

Teriakan itu mengalihkan perhatian Livia yang baru memasuki pintu kedai. Itu Diana yang bersama Kian tengah duduk di pojok ruangan. Livia tersenyum sembari melambaikan tangan dan berjalan ke arah sana.

"Hehe aku telat ya, kalian dari tadi di sini?" Kekeh Livia duduk di kursi.

"Lumayan lah, Vi. Kamu apa kabar?" Tanya Kian cepat.

"Iya, kamu apa kabar Vi?" Kali ini giliran Diana yang bertanya seakan Livia tengah mengalami sesuatu yang yang rumit.

"Hei, kalian pada kenapa sih? Aku oke kok, nggak kenapa-kenapa sehat walafiat." Jawab Livia menatap dua temannya dengan aneh.

"Hehehe, kami hanya khawatir. Barangkali aja kamu tengah punya masalah yang besar, tapi gak di bilang-bilang sama kami." Tutur Kian menatap Diana. Mereka berdua tersenyum kaku.

Livia memutar mata mendengarnya, "Semua baik-baik saja kok, tapi lain kali kalian jangan terlalu khawatir sama aku oke?"

"Iya, Vi." Jawab Kian dan Diana bersamaan.

Ketiga gadis itu pun asik berbincang panjang lebar. Menikmati waktu bersama seperti dulu. Namun, yang membedakan mereka jarang bertemu, tak seperti dulu yang hampir setiap hari berkumpul setalah pulang sekolah. Yah, ada yang membedakan. Dahulu mereka bebas dan punya kesibukan yang sama. Namun, sekarang Livia telah memiliki suami sementara kian dan Diana pasti sangat sibuk dengan kegiatan pendaftaran kampus.

Memikirkan kedua temannya akan berkuliah, ada sedikit rasa iri dalam hatinya. Kedua temannya maish bisa merasakan kebebasan untuk hal pendidikan. Sangat berbeda dengannya yang mungkin tak akan lagi memiliki kesempatan untuk mimpinya itu. Menyesal? Ah, sana sekali tidak. Livia bersyukur akan kehidupan yang dia jalani sekarang.

"Oh, ya. Vi, maaf ya kami berdua harus segera ke kampus. Hari ini pengumpulan berkas data dan dua minggu lagi akan ada Pengenalan kampus mahasiswa baru aaww ...."

Kian memukul tangan Diana yang berada di atas meja. Kemudian dia melototinya yang terlalu jujur di hadapan Livia. Padahal gadis itu tau, jika Livia sangat menginginkan berkuliah.

"Ups, Maaf Vi." Diana menutup mulut dan meminta maaf menyesali perbuatannya.

"Maaf ya, Vi. Kamu pasti jadi sedih?" Kian menundukkan kepala.

"Hais, enggaklah! Aku nggak kenapa-kenapa Diana, Kian. Ini memang takdir aku. Lagi pula itu hanya impianku di waktu sekolah dulu." Jawab Livia membohongi dirinya sendiri.

Kian tersenyum tipis. Sebenarnya dia tau betul jika itu hanya omong kosong belaka. Livia pasti sangat ingin untuk kuliah.

"Eh, ya sudah. Lebih baik kalian segera berangkat. Entar kalian terlambat lagi antar berkas." Livia berdiri dari duduknya, "Ayo!" Kemudian gadis itu berjalan oebuh dulu dan keluar dari kedai.

"Ini gara-gara kamu nih, Livia pasti sedih!" Omel Kian pada Diana.

"Iya iya maaf. Mulutku kan gak ada remnya, Kian. Otakku juga sering lost control, maaflah." Diana meminta maaf.

Kian hanya menghela napas dan bangkit berjalan keluar kedai. Tak lama Diana mengikut dengan setengah berlari-lari kecil.

"Kalian hati-hati ya!" Lambai Livia pada kedua temannya yang telah berada di dalam mobil milik Diana.

"Iya, Vi. Kamu yakin gak mau kami antar ke rumah dulu?" Tanya Kian kembali, khawatir terjadi sesuatu pada Livia.

"Iya, Vi. Kami antar ya?" Bujuk Diana.

"Nggak usah, kalian harus secepatnya ke kampus, kan? Aku pulang bisa naik taksi kok, tenang aja." Livia mencoba menenangkan kedua sahabatnya. Melihat kian hendak bersuara lagi, secepatnya Livia berucap. "Sana pergi! Aku juga mau pulang nih, naik taksi."

Dan akhirnya, mau tak mau dia gadis itu meninggalkan Livia atas keinginan gadis itu sendiri. Setelah mereka pergi Livia berjalan sendirian di pinggir jalan raya dengan tatapan sendu. Dia berbohong mengenai akan pulang ke rumah. Sekarang gadis itu berada di sebuah taman tak jauh dari lokasi kedai sebelumnya. Dia duduk di sebuah ayunan dan memainkannya, mengayunnya dengan cukup kencang. Sedikit senyum muncul di wajah gadis itu.

Livia berucap dalam hati, 'Hahaha ... Aku gak seharusnya menyesal dong. Sekarang aku bahagia dengan keputusanku kan? Karena aku sudah memiliki Aidan, untuk apa memikirkan masa mudaku lagi?' Tawanya secara lepas.

Pikiran gadis sedikit tenang dari sebelumnya. Keirian pada dua sahabatnya seakan sirna begitu saja. Sewaktu tempo hari meminta Aidan menikahinya, Livia telah berjanji tak akan menyesali semua.

Livia sekarang menunggu di pemberhentian bus umum. Dia memilihnya karena ingin mengingat kebiasaannya setalah pulang sekolah dulu, yang lebih memilih naik bus daripada di jemput oelh supir pribadi orangtuanya.

Dan desahan kasar keluar dari mulut Livia saat melihat tak ada lagi kursi yang tersisa untuknya. Namun, sedetik kemudian senyum kembali muncul di wajahnya. Akhirnya dia berdiri dengan memegang tali pegangan. Bus telah bergerak.

Livia merasakan ponselnya bergetar, secepatnya Livia mengambil benda itu di tas samping miliknya.

"Oh, kenapa dia harus repot-repot begini sih? Tapi ... Uh, dia snagat kyuuut," Tanyanya pada diri sendiri.

Di layar ponselnya dia melihat Aidan sedang berfoto bersama dua boneka marmut berwarna coklat dan biru muda. Laki-laki itu bertanya pada Livia warna apa yang dia sukai.

Livia mulai mengetik untuk membalas, "Hm, terserah kamu saja, Mas (Tak lupa striker love)."

"Oke, kamu mau apa lagi?" Kembali Aidan bertanya.

"Nggak, Mas."

"Baiklah istriku, sampai jumpa di rumah (Emoticon senyum)."

Dan Livia hanya membalas senyum Emoticon sama seperti Aidan. Percakapan pun berakhir. Livia tak sabar untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan sang suami.

Livia telah berada di rumah dan memilih untuk memasak makanan malam sembari menunggu Aidan pulang. Pukul 4 sore bunyi bel pintu teedengar, membuat Livia mematikan kompor dan sedikit merapikan rambutnya yang berantakan sebelum berlari ke pintu.

"Mas sudah pul ...."

Ekspresi wajah Livia langsung berubah ketika mendapati bukan sosok Aidan yang ada di hadapannya melainkan ...

"Mama -- Papa?" Sebut Livia menormalkan raut wajahnya. Gadis itu berusaha untuk tersenyum tipis, "Ayo masuk Ma, Pa?"

Membuka pintu, mengizinkan kedua orang tuanya masuk ke rumah. Detak jantung gadis itu sangat tidak karuan, berdebar cepat dengan perasaan yang campur aduk. Takut, cemas, khawatir yang tinggi.

"Kenapa wajahmu seperti itu, Nak? Apa kamu gak senang mama dan papa datang ke sini?" Tanya Liana, sang ibu.

"Eh, enggak ko Ma. Duduk dulu ya, Ma - Pa. Livia buatkan minum." Gadis itu berbalik dan pergi ke dapur masih dengan perasaan yang sama.

'Ya Tuhan, ada apa lagi ini?'

-Bersambung....