"Vi, aku pulang!" Suara itu terdengar membuat Livia yang berada di dalam dapur segera menyelesaikan minumannya dan kelua dari sana.
Namun, dia sedikit terlambat. Karena Aidan telah bertatap-tatapan langsung dengan kedua orang tuanya. Livia mendekat ke arah sana dan menyimpan nampan di meja dan menghampiri Aidan yang masih berdiri di samping ibu dan ayah Livia.
"Mas, kamu duduk dulu ya, sini tas dan jas kamu biar aku simpan," Livia mengambil tas dan Jas yang ada di tangan sang suami. Livia masuk ke kamar dan menyimpannya dan kini duduk di samping Aidan.
"Ma - Pa, di minum dulu tehnya," Kata Livia tersenyum.
"Silahkan di minum," Aidan juga mempersilahkan dengan senyuman ramahnya.
"Kami tak akan lama di sini, hanya ingin membahas tentang kelanjutan pendidikan anak kami," Ucap Bima dingin. Sejak tadi tatapannya hanya pada Aidan. Dan sorot dari tatapan itu menusuk dan tajam.
"Pendidikan? Maksud Papa apa?" Livia bertanya kebingungan.
"Begini, Nak. Mama dan Papa telah membincangkan soal ini beberapa hari lalu. Kami memutuskan kamu harus melanjutkan pendidikan, berkuliah," kali ini Liana yang menjawabnya.
"So- soal itu ... biarkan aku membicarakannya apada Aidan lebih dulu, Ma. Tapi sebenarnya, Livia sudah memutuskan untuk lebih fokus pada rumah tangga Livia, Ma - Pa," gadis itu mengingit bibir dan menunduk takut ketika sang ayah langsung menatapnya dengan tajam.
"Umurmu masih sangat muda Livia! Tidakkah kamu berpikir lebih jauh ke masa depan? Tidak, Papa dan Mama sudah memutuskan kamu harus berkuliah!" Tekan Bima pada anaknya.
"Aku setuju, Ma - Pa."
Livia langsung menoleh pada Aidan dengan tatapan tak percaya, "Mas ... Kenapa? Bukannya waktu itu aku sudah bilang akan melepaskan semuanya?"
Aidan tersenyum pada sang istri sembari mengelus kepalanya, "Orangtuamu benar, Vi. Kamu harus berkuliah karena memang hal itu yang seharusnya gadis seperti jalani."
"Kamu dengar sendiri kan? Jadi, Papa tak ingin mendengar bantahan."
"Mama akan mendaftarkan kamu kuliah di luar negri, Sayang. Jadi ...."
"Apa? Enggak, Ma!" Potong Livia dengan cepat.
Sementara Aidan juga turut terkejut dengan penuturan Liana yang akan menguliahkan Livia ke luar negri.
"Aku akan berkuliah hanya jika di kampus Aidan. Selain dari itu, Livia tidak setuju. Namun, jika Mama dan Papa memaksa, Livia tak akan mau memutuskan untuk fokus pada rumah tanggaku saat ini saja. Menjadi istri sekaligus sosok ibu."
Aidan diam-diam tersenyum. Tangannya menggenggam tangan Livia, sedikit meremasnya hingga pandangan mereka beradu.
"Jangan bodoh, Livia. Papa ingin kamu kuliah di Amerika, titik!" Bima berdiri dengan emosi yang meledak-ledak.
"Baik, kalau begitu Livia tak mau melanjutkan pendidikan. Papa lupa, Jika Aidan adalah suamimu sekarang. Yang lebih berhak memutuskan adalah dia, Pa." Livia juga berdiri dengan raut wajah kesal.
Aidan singgah berdiri dan mengelus punggung Livia secara teratur, "Tenangkan dirimu, Vi. Ingat mereka tetap orang tuamu, rendahkan suaramu oke. Duduklah biar aku yang bicara pada mereka," ucapnya dengan lembut di telinga itu.
"Livia ... Berani kamu sekarang sama Papa?"
Sementara Liana melakukan hal yang sama seperti Aidan, "Pah, sudah jangan terbawa emosi. Ayo duduk," Liana juga menenangkan sang suami.
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat, "Begini, Pa-Ma " langsung saja atensi semua orang di dalam ruang tamu menoleh pada Aidan, "Aku ingin meminta izin agar Livia berkuliah di tempatku bekerja, setidaknya Livia juga mendapatkan pendidikan yang baik di sana. Kampus itu juga masuk ke dalam urutan kampus terbaik di Indonesia."
Tangan Bima mengepal di bawah meja. Niatnya ingin memisahkan Livia dan Aidan tak semudah yang dia pikirkan. "Baik, kamu bisa berkuliah di sana," putus Bima akhirnya.
Senyum dan raut wajah terkejut muncul pada Livia. Dia menoleh pada Aidan lalu memeluk sang suami dan melepaskannya.
"Terima kasih, Mama -Papa!" Livia bangkit dan ikut memeluk ayah dan ibunya bergantian.
"Itu semua agar kamu mau melanjutkan pendidikan. Ingat fokus pada kuliahmu nanti!" Tegas Bima ketika Livia melepaskan pelukannya.
"Siap Pa, Livia pasti akan berusaha sebisa mungkin. Sekali lagi terima kasih."
Saat ini kedua orang tua Livia telah pulang ke rumah. Livia mengapit tangan Aidan berjalan menuju kamar mereka dengan senyum yang belum juga luntur.
"Kamu senang sekali?" Tanya Aidan mengusap-usap kepala gadis itu.
"Hm, aku sangaaat senang. Tapi ... " Senyum Livia tiba-tiba menghilang dengan langkah yang tertahan di depan pintu kamar, "Apa Mas tidak marah jika aku kuliah? Padahal waktu itu aku sudah bilang untuk tidak akan melanjutkan pendidikan. Maafkan aku, Mas ...."
Kedua pipi gadis itu di cubit pelan oleh Aidan, "Kenapa berpikir begitu? Aku malah senang kamu berkuliah. Istriku harus pintar untuk siapa nantinya?" Mengangkat satu alisnya tuk menggoda gadis itu.
"Anak-anak kita. Aku akan menjadi ibu sekaligus guru pertama untuk mereka. Terima kasih, Mas ..." Menubruk tubuh Aidan memeluknya dengan erat. Suara isakan tangis kecil mulai terdengar di sertai getaran tubuh Livia.
"Husst, sudah jangan menangis marmut. Oh, sampai lupa!" Aidan memukul keningnya membuat Livia melepaskan pelukannya.
"Lupa apa?" Tanyanya. Tangisannya tiba-tiba saja berhenti melihat wajah Aidan
"Kantong yang tadi, kamu bawa kemana?" Tanya Aidan.
"Oh, kantong itu aku taruh dalam kamar di atas meja, Mas. Memangnya ada apa?"
"Ayo kita lihat," ajaknya menarik tangan Livia masuk ke dalam kamar. Aidan mendudukkan gadis itu ke temoat tidur dan dia mengambil kantong plastik yang cukup besar dmberada di atas meja, "Ini untukmu," mengulurkannya ke arah Livia.
"Apa ini?" Livia menerima dan langsung mengeledah untuk mencari tau isinya. Setalah dia tau, suara pekikan senang terdengar, "Aaah, lucu banget. Aku kira kamu beli boneka marmut? Kok bawa marmut beneran?" Tanyanya masih tak mengalihkan perhatian dari marmut imut yang berada dalam kandangnya.
Marmut itu ada sepasang, Coklat tua dan putih keabuan.
"Aku pikir boneka marmutmu sudah terlalu banyak, jadi aku pilih marmut hidup ini supaya kamu gak bosan, suka?"
Yah, Livia adalah pecinta boneka hewan mungil itu. Bukan hanya marmut, hampir senua binatang lucu Livia suka. Tapi, dia tak memiliki pernah hewan karena orang tuanya melarang Livia memelihara hewan. Tapi, sekarang Livia tinggal bersama sang suami, tentu semuanya atas dasar kemauan Aidan mengizinkan atau tidak Livia memelihara hewan.
"Boleh tidak, aku memelihara hewan lainnya? Kelinci, kucing atau semacamnya?" Mengedipkan mata berkali-kali. Hal itu membuat Livia semakin menggemaskan di mata Aidan.
"Tentu saja boleh. Mereka bisa menemanimu jika bosan sendirian di rumah."
Jawaban Aidan menambah sorakan senang dari Livia, "Jadi bagaimana kalau kita buat rumah ini jadi kebun binatang aja, Mas? Aku kepengen sekali!"
"Sayang ... Itu namanya keterlaluan. Aku takut kamu tak bisa mengurus mereka semua," Jawaban Aidan lucu, Livia tertawa puas. Sebenarnya tadi itu dia hanya bercanda.
-Bersambung....