Chereads / Tunanganku Arwah Jugun Ianfu / Chapter 11 - Dendam Keturunan 'Jalang'

Chapter 11 - Dendam Keturunan 'Jalang'

"Hentikan perbuatan sesatmu Lina!"

Tama mendengarkan teriakan itu lamat-lamat. Agaknya terjadi sebuah perdebatan hebat di dalam rumah itu. Tapi sayang sekali Tama tidak bisa terlibat. Hanya itu suara dewi yang berhasil di tangkap oleh telinganya, sisanya hanya terdengar suara gumaman yang samar-samar.

Ingin dia mendobrak pintu itu dan menanyakan maksud perkataan Dewi. Apa yang di maksud dengan perbuatan sesat itu adalah membunuh nyawa keturunan jepang yang tidak bersalah? Jadi selama ini bukan hanya dirinya saja yang mengetahui tapi juga Dewi, sahabat Raflina!

Sementara di dalam rumah, terlihat Raflina dan Dewi bersitegang. Bukan karena bertengkar, hanya saja mereka saling berselisih faham. Sorot mata Raflina tajam ke arah Dewi, tapi kemudian dia membuang wajahnya. Dia tidak mau bersitegang terlalu dalam dengan Dewi. Orang yang selama ini menjadi kepercayaannya.

Iya, hanya Dewi yang tahu apa yang ada di dalam hati seorang Raflina. Selain bersahabat sejak kecil, Dewi juga menjadi saksi hidup tentang kehidupan Raflina yang suram. Betapa tidak, di usia sekecil itu dia sudah didoktrin oleh ibunya atas sebuah kebencian masa lalu. Dia harus menanggung dendam yang tertoreh akibat luka yang dialami oleh mendiang Neneknya Wagiyem. Tapi hati kecil Raflina menjerit, seringkali dia menangis di rumah Dewi karena sikap Ibunya yang terlalu memaksanya. Menceritakan semuanya kepada sahabat kecilnya Dewi. Meski pada saat itu Dewi belum mampu mencerna maksud perkataan Raflina. Tapi, dengan mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu, sudah cukup melegakan hatinya.

Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh besar dan harus terpisah oleh kehidupan masing-masing. Dewi dengan keluarga kecilnya, sementara Raflina dengan karriernya di kota. Bersamaan dengan berkembangnya kedewasaan yang membuat mereka mengerti mana yang salah dan mana yang benar. Dewi sekarang memahami apa yang dilakukan sahabatnya itu sama sekali tidak pantas. Penjajahan itu sudah berlalu begitu lama dan para pelaku pemerkosa neneknya sudah meninggal di zaman itu. Generasi sudah berubah. Meski ada sebagian yang memiliki darah penjajah, tapi apakah mereka pantas menanggung dosa dari para pendahulunya?

"Bagiku Mereka yang memiliki ras keturunan penjajah harus di bunuh!" Rahang Raflina gemeletukan. Tangannya mengepal. Dewi menggelengkan kepalanya pelan sambil memandangi sahabatnya sendiri. Kini sangat sulit bagi mereka untuk mengubah pendirian sesat Raflina yang sudah mengakar. Sebagai sahabat, dia tidak mau Raflina terlalu dalam terjerumus dalam kubangan dosa.

"Tolong, hentikan Raflina." ujar Dewi yang begitu memelas. Dia menggeser duduknya lebih dekat ke gadis itu dan memegang tangannya erat. Raflina hanya terdiam. Sebenernya jauh di dasar hatinya dia tidak mau melakukan hal ini, hanya saja hatinya sudah diselimuti hasrat dendam yang membabi buta dan harus segera dilampiaskan.

"Maafkan aku Dewi, aku tidak bisa." Raflina melepas pegangan tangan Dewi tanpa menoleh ke arahnya. Dia tidak kuat jika harus memandang sorot mata sahabatnya yang sangat mengkhawatirkannya itu.

Tiba-tiba dari arah belakang, keluarlah seorang Pria yang bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek. Tubuhnya yang kecoklatan diterpa mentari pagi dengan bekas lumpur yang masih tersisa di kaki. Sepertinya dia baru saja pulang dari sawah.

Melihat kedatangan Raflina, Pria itu marah besar. kilat kebencian terpancar di matanya.

"Ngapain kamu keturunan lonte datang ke sini?" bentak Pria itu yang sukses membuat hati Raflina bergemuruh.

"Mas? Kamu enggak pantas berbicara seperti itu dengan Raflina."

"Diam kamu!" Bentaknya dengan nada suara yang sudah meninggi maksimal sehingga membuat Dewi tersentak.

"Sudah kubilang berapa kali sama kamu, jangan berhubungan lagi sama dia! dia itu keturunan lonte penjajah! Dia itu hanya aib di kampung ini!" Tandas Pria itu bagaikan petir yang siap meluluh lantakan hati Raflina sampai ke kepingan paling kecil. Raflina tampak tegar di luar, tapi batinnya menjerit kesakitan.

"Cukup Mas! Yang lalu biarlah berlalu! Lagian aku heran sama Mas dan seluruh warga di desa ini! kenapa kalian begitu membenci Raflina setengah mati, hanya karena Mbah Wagiyem dulu pernah menjadi budak seks serdadu Jepang! Dia menjadi seperti itu bukan karena keinginannya sendiri Mas!" sahut Dewi tak kalah sengit, dia tidak mau sahabatnya itu diinjak-injak oleh suaminya

"Berani kamu melawan suamimu sendiri gara-gara perempuan jahanam ini!"

"Sudah Dewi sudah, biar aku pergi dari sini." Bisik Raflina sambil mengelus-elus lengan Dewi, mencoba menenangkan sahabatnya yang masih diliputi oleh kemarahan itu.

"Bagus! lebih baik sekarang kamu pergi dari sini! Kalau perlu pergi jauh-jauh dari desa ini. kedatanganmu hanya mengotori desa ini, sama seperti Ibumu dan nenekmu!" Tukasnya tanpa merasa berdosa sama sekali. Dewi tidak kuasa ingin menampar wajah suaminya itu tapi Raflina mencegahnya. Dia tidak mau keberadaannya malah akan menjadi penghancur hubungan Dewi dan suaminya.

"Sayang, Ayo kita pulang sekarang!" kata Tama yang membuka pintu utama, lantas merengkuh tangan tunangannya itu. Sejenak dia memandang ke arah Dewi dan suaminya bergantian. Tapi tatapannya terhenti kepada suami Dewi yang tersenyum miring sinis.

Hati Raflina menjadi tidak enak sekaligus hancur melihat kemarahan kedua orang terdekatnya Dewi dan Tama. Dengan menahan air mata yang menggenang, dia menarik tangan Tama supaya cepat keluar dari ruangan itu dan bergegas menuju mobil. Terlihat Suami Dewi mencecarinya dengan kata-kata kasar.

"Pergi yang jauh kau keturunan lonte!" pekiknya.

Ibu-ibu yang sedang berbelanja di depan rumahnya juga melirik tajam ke arah Raflina. Bukannya membela Raflina. mereka juga iku mengatai-ngatainya dengan sebutan anak Jalang, yang membuat telinga Tama memanas. Ingin rasanya dia mengampar wajah semua orang yang ada disana. Tapi dia mengurungkannya, dia melihat ke arah Raflina yang tampak terpukul.

Begitu di dalam mobil, Tama segera menjalankan mobilnya dan pergi jauh-jauh dari desa itu. Baru beberapa meter meninggalkan desa itu, Airmata Raflina tumpah ruah. Sepertinya dia tidak kuasa menahan gejolak yang begitu menyesakkan hatinya. Dia menangis sesegukan.

Tama sangat iba melihat penderitaan tunangannya. Rupaya dia tidak saja menanggung beban dendam dari leluhurnya saja, melainkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari warga desa dimana dia berasal. itulah alasan kenapa Raflina menjadi sosok yang dingin. Perasaannya telah mati, terbunuh oleh kenyataan hidup yang begitu pahit. Ketidakadilan itu yang membuatnya menjadi sosok yang memberontak dan yang hanya bisa dilakukan hanyalah dengan meneruskan insting sesatnya.

Tapi apapun alasannya, Tama tidak mau Raflina melakukan insting sesatnya itu. Dia tidak mau semakin banyak orang yang tidak berdosa mati ditangannya. Dia yakin kedekatannya dengan Raflina bukan semata-mata karena kebetulan, melainkan karena takdirnya untuk bisa menarik Raflina dari lembah yang begitu nista.

Tama melirik ke arah spion dalam. Dari pantulan spion itu, terlihat kardus yang terikat rapi. Kardus itu harus di musnahkan, begitu batinnya