Kepala Tama terjedot kayu tatkala mendengar suara teriakan Raflina. Dia mengelus-elus kasar dahinya yang sakit. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menyadari bahwa dirinya berada di bawah kolong tempat tidur.
"Kamu ngapain disitu?" tanya Raflina dengan pandangan keheranan. Gadis itu membantu kekasihnya itu untuk keluar dari kolong tempat tidur. Pria itu sekarang duduk di tepi ranjangnya sembari mengelus-elus jidatnya. Gadis itu tanggap, dia bergegas kebelakang. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Dengan penuh ketelatenan, gadis itu menyeka dahi Tama yang lecet dan mengeluarkan darah
"Aw..." pekik Tama yang merasa perih.
"Tahan dulu." Ujar Raflina gemas. Pria itu sengaja meringis kesakitan supaya gadis itu lebih perhatian dengannya. Jarang-jarang dia mendapatkan perhatian lebih dari gadis itu.
"Kamu kok bisa di kolong tempat tidurku sih?"
"Bukannya kamu yang membukakan pintu kamar dan menyuruhku untuk tidur di samping kamu." jawab Tama sambil menaikkan satu alisnya.
Raflina terdiam sejenak. Dia sangat yakin kalau semalam sehabis dia mengunci pintu dia tidak membuka pintu sama sekali. Malah dia tidur dengan sangat lelap. Dia mencurigai ini pasti ulah iseng dari Mahluk halus yang dia yakini sebagai arwah Wagiyem yang penasaran. Tapi kenapa arwah itu berubah menjadi dirinya untuk menggoda Tama? Apa motivasinya?
Sebenernya, semenjak dia memutuskan untuk tinggal di rumah ini. Dia sudah diganggu dengan kehadiran hantu berkebaya merah itu. Entah dia berasal luar atau memang sudah menetap lama di rumah ini, Tapi yang jelas dia sangat menyakini kalau sosok itu adalah arwah wagiyem yang sedang mengikutinya. Gadis itu tidak takut sama sekali malah menganggap Arwah itu adalah pelindungnya. Semakin sering dia merasakan kehadiran mahluk itu, semakin bergolak juga rasa dendam membuncah di dadanya untuk membunuh keturunan penjajah yang telah membuat leluhurnya itu menderita.
Gadis itu menghela nafas. Tidak mungkin dia menceritakan tentang arwah wagiyem kepada kekasihnya yang penakut itu. Dia takut kalau cerita, nanti malah Tama menjadi parno sendiri.
"Nah, sekarang lukanya sudah bersih, tinggal kasih plester." Raflina bertingkah layaknya seorang suster yang merawat tentara yang terluka akibat peperangan. Kalau dia perhatikan seperti ini, dia mau sakit terus-terusan, Batinnya tertawa geli.
Setelah memasang plester, pandangan Raflina bertubrukan dengan sorot mata Tama yang sedari tadi tersenyum sambil melihat ke arahnya, membuat gadis itu menjadi salah tingkah. Dia menurunkan tangannya dari dahi pria itu dengan sangat cepat.
"Kamu sudah tidak marah lagi kan sama aku?" tukas Tama. Raflina tidak segera menjawab. Dia membuang wajahnya.
"Selama kamu tidak memaksaku untuk menikah cepat-cepat, aku tidak akan marah. Kamu tahu sendiri 'kan?" ujarnya yang meminta Tama untuk memahaminya. Pria itu menghela nafas lega. Lalu dia merengkuh tubuh mungil Raflina ke dadanya.
"Maafkan aku ya, aku janji tidak akan gitu lagi. Aku sangat mencintaimu Raflina." tukasnya sambil mengelus-elus punggung gadis itu dengan penuh kasih sayang. lalu dia melayangkan kecupan tepat di kepalanya.
"Sudah ah." Kata Raflina sambil mendorong dada Tama sehingga dia berhasil lepas dari pelukannya. Tapi pria itu menarik tanganya lagi sehingga menimpa tubuh mungil itu terjengkang dan menindih tubuh Tama. Sungguh Tama menikmati momen-momen seperti itu.
"Ih, kamu apaan sih." Gadis itu memukul lembut dada Tama lalu bangkit. Pipinya terlihat bersemu merah.
"Aku buatkan sarapan dulu, nanti kita makan sama-sama. terus kamu anterin aku ya ke pelabuhan. Aku tidak mau terlambat di awal-awal bekerja." Tukas Raflina yang tetap dengan ekspresi datarnya. Walau jelas di mata Tama, wajahnya terlihat bersemu bagaikan tomat matang.
"Siap Juragan."
***
Tama mengantarkan Raflina sampai di depan syahbandar. Di sana sudah terlihat sebuah kapal pesiar yang sedang bersandar. Pria itu berdecak kagum dengan kapal yang begitu besar itu. Pasti didalamnya dilengkapi fasilitas yang mewah seperti yang pernah dia lihat di televisi. Dia mempunyai impian suatu saat bia mengajak Raflina untuk liburan dengan menggunakan kapal pesiar.
"Kok melamun?" tanya Raflina. Tapi Tama tidak menoleh ke arahnya. Pria yang masih takjub dengan besi besar yang terapung itu.
"Kapal Pesiarnya besar sekali. Pasti banyak sekali penumpang diatas sana."
"Banyak, karena kapal pesiar itu memuat penumpang dari berbagai negara dari asia selatan, seperti China, korea, dan jepang."
Tenggorokan Tama tercekat. Apalagi mendengar negara yang terakhir disebut oleh kekasihnya itu. Perasaannya menjadi tidak enak. Apakah ini akan menjadi destinasi bagi gadis itu untuk menuntaskan hasrat sesatnya. Dia tidak mampu membayangkan akan berapa banyak nyawa lagi yang akan melayang.
Raflina turun dari mobil dan beranjak memasuki gerbang Syahbandar itu. Tama yang masih tercekat itu memandangi punggung gadis itu sampai menghilang di balik gerbang.
Sore harinya, setelah pulang bekerja, Tama menjemput Raflina. Meski Raflina hari itu harus pulang pukul tujuh malam, tapi itu tidak masalah baginya untuk menunggu.
Tidak berapa lama kemudian, Raflina muncul di balik gerbang. Lantas dia langsung menghampiri mobil Tama yang terparkir dipinggir jalan.
"Kamu pasti sudah lama menunggu ya." Ujarnya dengan nada datar. Tama hanya tersenyum sembari melihat permaisurinya itu masuk ke dalam mobil.
"Gimana kerjanya hari ini? apakah ada kendala?" tanya Tama yang sudah menjalankan mobilnya. Raflina menyenderkan tubuhnya di jok mobil. Sepertinya dia sangat kelelahan.
"Aku betah banget kerja disini. lebih banyak jalan-jalannya. Tidak terkungkung seperti pekerjaan sebelumnya yang menjadi sekretaris. Dan yang paling penting banyak Tamu yang berasal dari jepang yang datang." Tukasnya santai, tapi membuat Tama bergidik ngeri. Kira-kira rencana sadis apa yang dia rencanakan?
Gila! Ini sungguh gila! Tama sangat tahu bahwa gadis di sampingnya ini sadisnya melebihi psikopat. Tapi entah kenapa, jiwanya seolah terikat dengannya. seakan ada pertalian yang sudah tercipta begitu lama. sehingga Tama bertekuk lutut akan cintanya terhadap Raflina dan membiarkan gadis itu membabi buta.
Tapi, kali ini dia tidak mau mengusik rencana gadis itu lagi. Biarlah dia menuruti insting sesatnya yang secara tidak langsung membuatnya menjadi tersesat juga. Memang kadang cinta bisa sangat membutakan, apapun akan dia lakukan supaya tidak kehilangan orang yang dikasihinya, walaupun itu harus menuruti sebuah insting sesatnya.
Tama berdehem sejenak. sekilas dia menoleh ke arah Raflina yang bersandar dengan nyamannya di sebelahnya.
"Sayang , nanti setelah sampai rumah. Kamu dandan yang cantik ya. Soalnya Mama ingin mengajakmu makan malam."
Gadis itu langsung menegakkan badannya. "Kamu bilangnya kok mendadak sekali sih?"
"Maaf Sayang, Soalnya Tadi Mamah telfon aku katanya dia sudah masak banyak special buat kamu. kamu mau ya."
Gadis itu terdiam sejenak. lalu mengangguk tanda setuju.