Chereads / Tunanganku Arwah Jugun Ianfu / Chapter 16 - Pertemuan Ghaib

Chapter 16 - Pertemuan Ghaib

"Mama."

Tama duduk di samping Bu Cindy yang belum sadar dari komanya. Dia mengenggam tangan lemah ibunya sambil terus meratap. Pria itu sangat kacau. Berhari-hari dia berjaga di rumah sakit, menunggu ibunya siuman. Tapi sampai detik ini keadaannya tidak kunjung membaik. Jika sampai terjadi apa-apa dengan ibunya, dia tidak akan memaafkan dirinya seumur hidup.

Wajahnya kuyu karena air mata yang terus mengalir di pelupuk matanya sampai menimbulkan bekas di pipinya. Beberapa kali dia menghela nafas berat seperti orang frustasi. Betapa sekarang dia menyadari bahwa rasa cinta itu kadang bisa membunuh logika. Bisa-bisanya dia bertahan dengan gadis psikopat. Pembunuh berdarah dingin yang bisa saja membahayakannya sewaktu-waktu. Dan sekarang terbukti, ibu yang sangat amat dicintainya itu terbaring koma gara-gara ucapan wanita sialan itu.

Tidak ada cara lain, kalau memang gadis itu tidak bisa diperingatkan secara halus. Maka dengan terpaksa dia akan melakukannya lagi. Sekarang ibunya menjadi korban, bisa saja besok dia sendiri yang akan terbunuh oleh Gadis itu. walaupun dendam gadis itu hanya untuk pria yang memiliki keturunan penjajah. Tapi, untuk gadis psikopat seperti Raflina, siapapun akan sangat mungkin menjadi korbannya.

Mata pria itu nyalang. Seringai muncul dari pipinya yang manis. Sebuah rencana tersusun di kepalanya. Dia bangkit dari tempat duduknya. Sebelum dia meninggalkan kamar rawat itu, Pria itu menatap lamat-lamat ke arah ibunya. ketidakberdayaan ibunya membuat emosinya semakin membara. Dia pun lantas pergi ke rumah Raflina.

"Brak!"

Tama mendobrak pintu rumah Raflina tepat ketika dia sudah sampai di sana. Langkahnya lebar memasuki rumah itu dan memeriksa semua ruangan. Sial! Ternyata gadis itu tidak ada di rumah. Dia mengusap wajahnya kasar. Hanya ada satu ruang yang belum dia periksa. Ruang rahasia yang ada di gudang.

Begitu sampai di depan ruangan itu, dia mengeluarkan sebuah pisau yang masih terbungkus dari sakunya. Dengan langkah mengendap-endap, dia menhunus pisau itu. firasatnya kuat mengatakan bahwa gadis itu berada di dalam ruangan itu. Dia sudah berancang-ancang dengan pisaunya sembari membuka pintu.

Dia tercenung ketika tidak mendapati siapapun di kamar itu. Nafasnya tidak beraturan. Emosinya memuncak. Sebagai pelampiasannya, dia mengambil beberapa foto yang terpambang di dinding itu dan menyobeknya sehingga berhamburan di lantai. di saat bersamaan dia terduduk sambil meremas rambutnya sendiri.

Perasaaan Frustasi telah menggelapkan nuraninya. Batinnya bergolak seakan tidak mempercayai kenapa hatinya memilih mencintai seorang wanita psikopat? Cinta yang seharusnya memberikan rasa aman dan damai, tapi justru menjadi petaka karena mencintai wanita yang salah. Dia sangat putus asa menghadapai insting sesat Raflina. Satu-satunya cara untuk menghentikan perbuatannya adalah dengan membunuhnya!

Sayup-sayup terdengar suara tangisan lirih. Tama tertegun. Dia memastikan pendengarannya. Ternyata benar ada suara wanita yang menangis. Terdengar lirih dan menyayat hati. Pria itu beranjak keluar dari ruangan itu. Dia sangat yakin suaranya berasal dari dalam gudang ini. dia mengedarkan pandangannya. Tiba-tiba matanya tertuju ke arah sosok wanita yang sedang menangis di sudut ruangan.

Dia duduk sambil menghadap tembok. Dia membenamkan kepalanya diatas pahanya sambil memeluk erat kedua kakinya yang ditekuk. Punggung wanita itu bergetar.

"Siapa wanita itu? kenapa dia berada di rumah Raflina dengan menangis seperti itu?" batinnya bertanya-tanya. Pria itu pun berjalan mengendap-endap menghampiri wanita itu. Semakin dia mendekat, tangisannya menjadi lebih pelan. Dan ketika dia berdiri tepat di belakang sosok itu, tangisannya berhenti. Dengan tangan gemetar, Tama berniat mau menyentuh pundaknya, menanyakan keadaan wanita itu. Tapi sesuatu hal diluar nalar terjadi. Wanita itu memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat tanpa mengubah posisi duduknya. Kedua matanya melotot sembari menampilkan senyum psikopat yang mengerikan.

***

Suasana rumah sakit sangat hening malam itu, sehingga membuat sesosok gadis leluasa untuk masuk ke dalam ruangan wanita yang terbaring lemah. Gadis itu menghampiri wanita itu dan menatapnya dalam-dalam. Sejenak dia merogoh sebuah foto jadul dari sakunya. Amarahnya seketika berkobar-kobar saat melihat siapa yang terpampang di foto itu.

Dia teringat akan rentang waktu berpuluh-puluh tahun lalu saat para penjajah bermata sipit itu datang ke bumi pertiwi. Mereka dengan kejam mengekpoitasi tubuh wanita-wanita pribumi. Seenaknya merusak mahkota mereka sampai membusuk diakhir hayatnya.

Darahnya mendidik. Kilat amarah sudah tidak terbendung lagi. Lalu pandangan gadis itu beralih ke arah wanita setengah baya yang terbaring lemah. Rahangnya mengeras, otot diwajahnya menegang.

"Tidak ada ampun untuk keturunan penjajah. Kalian pantas mati." desisnya.

Sungguh iblis tertawa melihat apa yang terjadi selanjutnya. Wanita malang yang terbaring lemah itu mendadak kejang-kejang saat selang oksigen dicabut dari hidungnya. Insting sesat yang menghilangkan nalurinya sebagai manusia. Bukannya merasa bersalah, Gadis itu tertawa puas. Lantas dia pergi meninggalkan wanita itu yang sedang merenggang nyawa.

***

"Siapa kamu?" tanya Tama kepada sosok wanita berkebaya merah di hadapannya. Paras wanita itu masih tampak cantik meski menggunakan pakaian jadul. Tubuh singsetnya terbungkus ketat oleh pakaiannya. Sayang, wanita itu tampak awut-awutan. Dia menangis sesegukan.

"Shinici...shinici...hu...hu..."

Alisnya naik sebelah. Dia tidak mengerti kenapa wanita itu selalu menyebut nama orang jepang itu. Tapi entah kenapa, Tama seolah tidak asing dengan nama itu.

"Kamu siapa?" Tama mengulangi pertanyaannya lagi dengan nada yang lebih keras. Wanita itu berhenti sesegukan. Lantas dia menoleh ke arah Tama, sedetik kemudian, wanita itu langsung memeluk tubuh Tama dengan sangat erat. Sepertinya pasangan kekasih yang sudah lama terpisah dan melampiaskan kerinduan dalam pertemuan mereka.

"Shinichi...shinichi..." tukasnya terus menerus. Tama yang merasa bukan orang yang disebut pun segera melepas pelukan wanita itu. dan mendorong tubuh wanita itu sampai mundur beberapa langkah.

"Aku bukan Shinichi! Dan aku tidak kenal siapa shinici dan kamu!" tukasnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Wanita itu tidak bergeming. Dia tetap kekeh mengatakan bahwa Tama adalah Shinichi.

"Kamu adalah Shinici. Serdadu Jepang yang baik. " Ujar Wanita itu. Tama menggelengkan kepala pelan seakan masih belum percaya. ketika menunduk, dia terhenyak melihat pakaian yang dia gunakan. Sebuah pakaian khas serdadu jepang khas pada zaman dahulu lengkap dengan topinya. Dia terlihat kebingungan sebenernya apa yang terjadi?

"Shinichi dari awal aku bertemu denganmu, aku sudah sangat mencintaimu. Meski pertemuan kita sangat singkat sekali dan berakhir tragis." wajah wanita itu berubah mendung.

"Kupikir semua tentara bermata sipit itu jahannam, tapi ternyata aku salah. buktinya kamu adalah serdadu berhati lembut dan baik. Parasmu juga sangat rupawan. Bahkan... ketika aku akan ditembak, kamu sengaja melindungiku sehingga kau yang tertembak. Sungguh aku sangat sedih sekali kehilanganmu Shinichi." Tuturnya dengan kalimat terakhir yang menyayat hati.

"Lalu di ujung rasa sedihku karena kehilanganmu, para serdadu bajingan itu menyeretku paksa, memukuliku tanpa ampun, dan..."