Tama berjalan sempoyongan keluar dari kantor polisi setelah dia dinyatakan tidak terlibat dengan kasus Raflina. Pikirannya linglung. Batinnya menolak keras fakta bahwa Raflina sendiri yang telah membunuh ibunya. Kenapa gadis itu sampai hati membunuh ibu Cindy? Apa salah ibu Cindy sebenernya?
Pria itu ingin menemui Raflina. Dia ingin mendengar pengakuan langsung dari gadis itu. Tetapi harus kemana dia mencari gadis itu?
Tiba-tiba Tama teringat dengan tempat yang sering dikunjungi gadis itu. lalu dengan segera dia menaiki mobilnya untuk menuju ke tempat itu.
Beberapa saat kemudian dia sudah sampai di depan sebuah Panti. Bangunan yang tampak tua itu seolah tidak terurus. Sepertinya kurang perhatian dan pendanaan dari panti itu.
Tama tidak turun dari mobilnya. Dia mengawasi dari pinggir jalan. Beberapa hari yang lalu dia menjual mobilnya dan menggantinya yang baru sehingga tidak ada satupun orang yang tahu kalau di dalam mobil itu adalah dirinya.
Lalu tampak seseorang yang menggunakan hoodie hitam sambil menutupi wajahnya dengan masker melintas di samping mobilnya. Pandangan Tama tertuju ke arahnya. Mungkin penampilannya tertutup rapat, tapi Tama sangat mengenai cara dia berjalan. Tidak salah lagi, dia adalah Raflina.
Tama menahan dirinya untuk tidak memanggil gadis itu. Jadi dia memperhatikannya dari dalam mobilnya saja. Rasa rindu yang menyesak sekaligus rasa keingin tahuannya belum terbayar. tetapi dia tidak bisa gegabah, kalau sampai dia keluar dan mengejar gadis itu yang ada malah menjadi perhatian orang-orang. terlebih dia adalah buronan.
Tepat seperti dugaannya, sosok tertutup itu berbelok ke arah Panti jompo itu. Tama tidak tahu pasti alasan kenapa Raflina suka sekali pergi ke Panti jompo itu. Tapi yang jelas, Sosok Raflina tiba-tiba berubah lembut dan penuh kasih sayang kalau dihadapkan denga lansia perempuan itu, bahkan dia sering kali gadis itu menampillkan senyum yang manis sekali yang sangat jarang ditunjukan kepada orang lain termasuk dengan dirinya.
Dulu dia pernah mengantar Raflina ke panti jompo itu. gadis yang kaku yang dingin itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tetapi pada saat itu, ketika Tama menanyakan tentang perubahan sikapnya, gadis itu hanya tersenyum tipis sekali.
Dan lagi, dalam masa buronan, gadis itu masih sempatnya untuk datang ke Panti jompo itu. Dia seakan tidak memperdulikan dirinya yang bisa saja ditangkap polisi kapanpun itu.
Sekarang sosok itu mendorong kursi roda di mana terdapat seorang wanita sepuh yang sepertinya lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak dan tangan kanannya yang bergerak-gerak. Sosok itu melepas tudung hodi dan maskernya. Dan sekarang terlihat jelas sosok cantik Raflina.
Gadis itu mengajak komunikasi nenek itu dan menghiburnya. Senyum tulus juga dia curahkan ke sana, menjadikannya bagaikan sosok bidadari yang sangat anggun. Kecantikannya tidak tertandingi, begitu ungkap Tama di dalam hati.
Rasa rindu yang menyesaki dada Tama sedikit terobati. Walaupun berjauhan, tetapi dengan memandangnya dari kejauhan itu sudah cukup baginya. Tetapi jauh di lubuk hatinya menyimpan ketakutan. bagaimana kalau sampai Raflina tertangkap oleh polisi. Sungguh dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba dari seberang jalan, terlihat beberapa polisi yang melintas. Tama terhenyak. apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Bagaiman caranya dia memberi tahu raflina kalau ada polisi yang datang.
Pria itu harus mencari cara bagaimana supaya Raflina kabur dari situ, terlebih para polisi itu sudah semakin dekat. tiba-tiba matanya berbinar saat mendapatkan ide yang cemerlang. Tama membunyikan klakson beberapa kali, menciptakan keributan. Idenya berhasil Raflina lantas menoleh ke arah mobilku. dia terlihat panik melihat beberapa polisi yang akan sampai ke panti itu. lantas dengan segera dia melarikan dari belakang. Para polisi masih tetap berjalan ke arah panti itu tanpa menyadari kalau Raflina sudah pergi dari situ.
Tama menghempaskan punggungnya ke jok mobil. Dia bisa bernafas dengan lega. Sekarang bisa dipastikan Raflina tidak akan pergi ke panti itu lagi, karena panti itu sudah dalam pantauan polisi. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang, kemana Raflina akan pergi?
Sementara Raflina terlihat ngos-ngosan setelah berlari cukup kencang, dia melirik ke arah belakang panti sejenak. memastikan kedua polisi itu tidak mengejarnya. Dia harus segera pergi dari sini atau dia akan tertangkap konyol oleh para polisi itu. Gadis itu lantas menggunakan maskernya dan penutup kepala hoodienya dengan terburu-buru. Lalu dia menghentikan angkutan yang melintas dan menaikinya.
Dia bersyukur karena berhasil lolos untuk kesekian kalinya. Ketika nyaris akan tertangkap pun, tadi ada seseorang yang sepertinya sengaja menyalakan klakson dengan sangat kencang seakan sedang memberitahunya. Tiba-tiba dia teringat dengan Tama. Mungkinkah dia Tama?
Perasaannya berkecamuk. Di balik pakaiannya yang tertutup. Matanya menghangat. Bulir bening menetes dari wajahnya. Dia menyadari alangkah banyak kesalahan yang telah dia perbuat kepada Tama. Tetapi kenapa lelaki itu tidak berhenti untuk peduli kepadanya. begitu berhargakah dirinya di hati Pria itu?
Sungguh dia sebenernya ingin hidup layaknya manusia normal. Saling cinta dan mengasihi. Tetapi semua itu seakan telah ternodai oleh dendam kesumat leluhurnya. Ketika gadis itu ingin merasakan cinta tetapi insting sesatnya selalu berbicara untuk menuntaskan sebuah dendam. Bahkan nuraninya tak sanggup membendungnya. Pergolakan batin yang begitu menyiksa dirinya.
Raflina pergi tanpa arah dan tujuan. Yang terpenting baginya sekarang dia harus bersembunyi seaman mungkin dari kejaran polisi. Tapi dia belum berniat untuk meninggalkan kota itu.
Pada tengah malam, gadis itu berjalan masuk ke gang rumahnya. Sebenernya sangat beresiko sekali untuk kembali kerumahnya mengingat mungkin rumahnya dalam pantauan polisi. Tetapi, entah kenapa dia harus pergi ke rumah itu. Dia ingin berbicara dari hari ke hati bersama dengan Arwah Wagiyem yang dia yakini ada di rumah itu.
Begitu sampai di depan rumahnya, gadis itu terdiam. bagaikan ribuan paku yang menancap di jantungnya, saat menyaksikan rumah itu hancur karena kebakaran. Dia melangkah secara perlahan memasuki pelataran rumahnya. Bahkan asap masih menyembul di beberapa tempat menandakan bahwa tempat itu baru saja habis kebakaran.
Raflina terduduk. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia terisak. Perih rasanya melihat rumah yang dia tempati bertahun-tahun itu harus hancur seketika. siapa yang tega melakukan ini semua? Kenapa tidak ada warga yang membantu memadamkannya?
Meskipun jarak rumahnya cukup berjauhan dengan para tetangganya. Tetapi seakan mereka tutup mata dengan kebakaran di rumah itu. bagi mereka, pantas rumah pembunuh itu kebarakan. Kalau pergi pembunuhnya sekalian!
Raflina semakin terisak dalam tangisnya. Pundaknya bergetar. Sungguh perih luka yang dialami sehingga menghujam rasanya yang sebenernya hampir mati.
Sementara dari atas pohon terlihat sosok mengerikan berkebaya merah itu menyaksikan Raflina yang sedang dirundung kesedihan, sama seperti dirinya yang terus menangis dengan suara yang lirih yang mampu menegakan bulu roma setiap orang yang mendengarkannya. Sosok itu lantas terbang turun ke arah Raflina. Mengelus-elus pundaknya, menenangkan hati gadis itu.