Hiruk pikuk ruangan makan saat ini sama seperti hari sebelumnya. Obrolan dan candaan masyarakat asrama selalu bisa memecah keheningan tempat ini. Tidak ada yang menghentikan sunyi itu selain malam hari.
Aku dan Clain duduk di kursi barisan belakang yang masih kosong. Tentram dan damai. Suasana di sini memanglah pas untuk menyantap makan siang. Bahkan tanpa kusadari, makanan habis begitu saja. Sendawa kecil pun keluar dari mulutku. Dan agar tenggorokanku tidak kecil, akupun lekas meneguk air minum.
Saat hendak beranjak dari kursi, dua orang datang ke meja dan membungkam langkahku. Mereka duduk di kursi yang berhadapan dengan kami. Dua pemuda yang selalu dianggap kembar oleh banyak orang. Meski nyatanya kedua kepribadian itu sangatlah berbeda.
"Sudah lama sekali tidak melihat kalian, Tommy, Walru," ujar Clain. Ia membuka obrolan pada dua orang di kursi depan yang tengah membuka bungkus makan siangnya.
"Yah, belakang ini aku sibuk sekali dengan misi pengantaran barang yang dimana aku harus pergi kota lain yang lumayan cukup jauh di utara sana," balas Tommy. "Lebih lagi, akupun harus begadang untuk menjaga barang ketika malam tiba. Sebab itulah yang bisa kulakukan hari ini mungkin tidur seharian," tuturnya. Ia menguap beberapa kali seraya mengelus kantung matanya yang terlebih jelas.
"Kalau aku hanya sedang berlatih saja. Untuk meningkatkan kekuatan dan daya fisikku di tempat pelatihan," timpal Walru sembari melahap makanannya.
"Lalu bagaimana dengan masa pemulihanmu, Walru?" Tanya pemuda berambut biru dongkar di sampingku.
"Berjalan lancar. Bahkan saat ini pun aku sudah merasa prima kembali," jawab anak itu, sorot matanya kemudian berpaling padaku yang sedari tadi aku tak ingin terlibat dalam percakapan. "Bagaimana kondisi lukamu, Nevtor?" Tanyanya.
"Cukup baik!" Jawabku.
"Syukurlah, kalau begitu kau masih bisa melanjutkan ekspedisi. Sebab aku ingin menyelesaikanya bersama kau dan Aurora, agar Title Physical seperti kita dapat pencapaian lebih."
Ucapan anak itu memanglah bagus. Namun tanpa disadari juga ia telah melewatkan data seseorang dari yang disebutkan.
"Hey, kenapa aku tidak disematkan?" Keluh Clain seraya menaikan sebelah alis matanya.
"Ah iya, tentunya dengan Kak Claid juga." Pemuda pirang itu terkekeh sembari mengusap-usap rambut. Entah ia memang berniat menjahili Clain, atau memanglah lupa akan hal itu.
"Huah, aku yang terakhir." Clain melipat tangan di dada dan menyandar punggungnya pada kursi.
Di lain sisi lamban laun ruang makan yang ramai kini terasa sedikit sunyi. Orang-orang yang bercanda ria dan membuat kegaduhan sejak awal tadi saat ini telah pergi. Meninggalkan kesan berantakan tidak karuan pada kursi dan meja.
"Oh iya, ngomong-ngomong soal Aurora, apa kalian tahu dimana dia?"
Pertanyaan itu mendadak saja terlontarkan dari mulut pemuda di sampingku. Membuat tatapan kami semua mendarat padanya. Terlebih, tidak biasanya Clain membicarakan prihal tentang seorang gadis. Yah, normalnya ia selalu bicara tentang tugas dan tugas.
"Bukannya di asrama?" Kataku. Aku hanya menerka saja. Mengingat kepribadiannya yang seorang penyendiri, ia pasti tidak akan lepas dari yang namanya 'Kamar'. Setidaknya itulah kesimpulanku. Juga karena pengalamanku.
"Seharusnya. Tapi Jake bilang dia tidak ada di situ beberapa hari ini."
"Entahlah, akupun tidak tahu. Selepas ekspedisi itu akupun tidak pernah melihatnya lagi," ucap Walru. "Dan jika sumber percaya saja sudah bilang begitu, pastinya ia memang tidak ada di asramanya."
Setelah ucapan dari pemuda pirang itu suasana di meja kami pun kembali sunyi. Tidak ada secerah informasi apapun yang didapat mengenai gadis dingin itu, pemuda di sampingku hanya diam.
"Hm... Aurora? Apa yang kalian maksud itu gadis berambut ungu yang selalu memasang wajah pahit itu?"
Sontak saja pernyataan dari pemuda berambut coklat itu langsung memecah keheningan. Clain bereaksi dengan menghentakan tangannya di atas meja seraya menatap lekat pemuda dihadapannya.
Aku bahkan sempat terperanjat. Tidak biasanya Clain bersikap seperti itu.
"Iya, itu benar. Apa kau tahu dimana dia, Tommy?" Tanya Clain. Nada suara sedikit meninggi.
"Ya, kurang lebih tiga jam yang lalu, aku melihatnya menuju rumah yang berada di selatan kota. Gadis itu membawa bekal atau entah apalah itu," jawab pemuda berambut coklat itu.
"Selatan kota? Apakah kau tahu rumah siapa itu?" Tanya Clain lagi.
"Aku tidak tahu. Sebab dari jarak sejauh itu aku tidak dapat sepenuhnya melihat siapa yang tinggal di sana."
"Mudah saja. Kalau kau ingin tahu rumah siapa itu, tinggal minta ahli pakarnya saja untuk menyelidiki hal tersebut, bukan?" Usul Walru.
Pemuda berambut biru dongkar di samping itu menghela nafas panjang dan kembali melipatkan tangan di dada. Terlepas dari tingkahnya, nampaknya apa yang ada dibenakku saat ini tidaklah salah.
"Kau terlihat antusias sekali membicarakan hal ini. Apa kau menyukai Aurora?" Tanyaku.
Atas ungkapan itu, mata pemuda di sampingku itu terbelalak. Di lain sisi, Walru yang hendak meneguk air minum pun harus terbungkam dan menaruh kembali gelasnya di atas meja.
"Apakah itu benar, Kak Claid?" Tanya pemuda pirang itu. Dia tampak penasaran.
"Yah, terlihat dari aktifnya membicarakan hal itu yang pasti Kak Claid memang menyukainya, dan itu tidak bisa disangkal," sahut Tommy seraya tersenyum tipis. Penjelasan dari membuat Clain hanya diam.
Dia mungkin sulit untuk memberi jawaban atau malu. Yah, mungkin karena pertanyaan yang kuberikan terlalu spontan.
Apa seharusnya aku tidak melontarkan kata itu?
Lagi pun itu sudah terlanjur.
"Yah ...," mulut pemuda di samping itu mulai bergerak, "sejak dirinya ikut dalam ekspedisi waktu itu, aku memang sedikit tertarik dengannya. Karena kau tahu, aku menyukai seorang gadis yang memiliki sifat dingin dan juga cuek," ungkapnya. Wajah Clain sedikit memerah.
"Tidak kusangka kau punya pemikiran yang menarik seperti itu, Kak Claid," kata Tommy.
"Baiklah, aku mendukungmu, Kak Claid!" Tambah Walru seraya memberikan isyarat jempol. Itu membuat pemuda berambut dongkar tersebut semakin tersipu malu.
"Sepertinya kau akan menjadi pesaing untuk si Jake!" Celetukku.
Atas perkataan itu gelak tawa dari mereka bertiga pun langsung pecah. Menawarkan kemeriahan di meja kami dan ruangan ini yang semula hening. Bahkan hal itu memicu tempat duduk kami menjadi sorotan utama para warga asrama di sekitar.
Namun ...,
Apakah ucapanku barusan sebuah lelucon?
***
Sore menyising. Matahari telah berada di bawah garis cakrawala.
Aku berjalan seorang diri di jalan setapak penuh sunyi sepi. Hendak menuju asrama selepas dari berlatih di tempat latihan yang biasa. Bahkan kurasa tubuhku saat ini sudah mengalami perubahan aroma yang cukup menyekat. Sebab pori-pori kulitku sudah mengeluarkan banyak sekali keringat pada latihan tadi.
Sesaat sorot aku berpaling pada asrama wanita dikejauhan depan sana, mataku mendapati sesuatu hal. Melihat seseorang yang sudah lama sekali tidak menampakkan dirinya.
Aurora yang tengah berjalan santai menuju tempat bernaungnya seraya membawa kotak berukuran kecil yang entah apa isinya. Gadis itu seperti biasanya. Seorang diri, tanpa ada orang yang menemani. Yah sama seperti suasana diriku saat ini.
-----
Usai membersihkan diri akupun beranjak ke kamar untuk segera beristirahat. Sebab tubuh ini sudah cukup lelah sekali sedari tadi. Melakukan beragam aktifitas hari ini begitu banyak menguras energi.
Ketika memasuki kamar rupanya di dalam sudah ada Clain yang sedang sibuk di tempat sambil memasukan barang-barangnya ke dalam sebuah tas besar. Tampak juga keceriaan dan semangat pada wajahnya. Bahkan ia tidak berpaling sedikit pun.
"Kau terlihat sibuk sekali. Apa kau akan menjalankan misi?" Tanyaku sembari duduk di kasur dan menggosok-gosok rambutku yang masih basah dengan handuk.
"Oh, Nevtor," pemuda itu menoleh ke belakang, ia nampaknya memang tidak sadar akan kedatanganku. "Tidak. Esok aku akan pergi ke desa halamanku untuk menemui keluargaku di sana, karena sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka," jawabnya.
"Begitu ya. Jadi itu alasanmu membeli aksesoris siang tadi."
Setidaknya itulah tebakanku. Terlepas dari sama bersemangatnya ia ketika membeli aksesoris waktu itu dan mengemas barang saat ini.
"Wah… kau dapat menerka itu ya." Pemuda itu mengusap-usap kepala. "Ya, kau benar. Aksesoris itu akan kuberikan kepada adik dan kakak perempuanku sebagai hadiah ulang tahun mereka."
Hm... ternyata Clain mempunyai dua saudari. Aku baru tahu hal itu. Yah mengingat ia tidak pernah membicarakannya.
"Kalau begitu semoga perjalananmu esok menyenangkan dan selamat sampai tujuan," kataku. Aku kemudian merapihkan kasur dan bantal untuk segera tidur. Karena rasa kantuk sudah menyerang amat parah.
"Ya, terima kasih! Tapi sebenarnya …." sesaat hendak berbaring, perkataan pemuda itu membuatku berpaling lagi padanya.
Kata 'Sebenarnya' itu adalah ucapan seseorang yang menginginkan sesuatu ataupun ajakan yang sering kudengar. Bahkan aku mempunyai pengalaman tentang hal itu melebihi siapapun, atau lebih tepatnya diriku sebagai pendengar yang selalu mendengar curhatan seseorang terutama Jake. Meski dirinya selalu memaksaku.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu besok ke kampung halamanmu. Itupun kalau kau sedang senggang," lanjut pemuda itu.
Seperti yang kuduga.
"Tentu!" Mengingat belakang ini tidak ada kesibukan jadi kuputuskan ikut. Juga seraya menghilangkan kejenuhan.
"Bagus, kalau begitu esok kita akan berangkat pagi sekali."
"Hm... apakah harus sepagi itu?"
"Tentu saja. Karena perjalanan pagi lebih segar suasananya. Terlebih, kita juga akan sampai lebih awal sebelum hari sore."
Penuturan yang dikatakannya memang benar. Pagi adalah waktu yang bagus untuk berpergian.